Kegiatan Prodi Psikologi

Kantor Bersama Lembaga Mahasiswa FPSB, Selesai di Renovasi

Pimpinan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) secara simbolik menyerahkan kembali kantor bersama Lembaga Mahasiswa FPSB UII (DPM, LEM, LPM Kognisia) setelah sebelumnya dilakukan renovasi agar lebih nyaman. Prosesi penyerahan dilakukan dengan pemotongan pita oleh pimpinan fakultas (Dekan/Wadek) beserta ketua Program Studi di lingkungan FPSB UII. Read more

Janji Allah bagi Hamba yang Bersedekah

Oleh : Sulasmi, S.Psi.—–

Keluarkan yang ada di sakumu, maka akan datang sesuatu dari arah mana yang tidak kamu duga. Ungkapan ini cukup sederhana namun sejatinya mengandung makna yang cukup mendalam terutama sangat erat berkaitan dengan bersedekah. Bersedekah tidak hanya dalam bentuk harta kekayaan tapi juga berupa ibadah seperti berdzikir, beramal dan perbuatan baik yang lainnya. Read more

MENGHORMATI ILMU DAN AHLI ILMU

Oleh : Hazhira Qudsyi, S.Psi, M.A—- 

“Harta akan sirna dalam waktu dekat, namun ilmu akan abadi tak bisa disirnakan”

(Syaikh Imam Az-Zarnuji)

Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang pintar dan berilmu? Bisa memiliki pengetahuan, bisa tahu tentang banyak hal, bisa memahami apa yang dikatakan oleh orang lain, dan berbagai bentuk pengetahuan dan keterampilan. Sejatinya setiap orang punya keinginan dapat memiliki kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan. Terlebih bagi umat Islam, di mana banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits mengenai keutamaan orang yang memiliki pengetahuan, orang yang berilmu. Salah satu keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al Mujadalah berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ – ١١

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah [22]: 11).

Betapa pentingnya menuntut ilmu bagi individu, terutama bagi muslim, sampai-sampai Rasulullah shollahu’alaihi wassalam menegaskan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim” (HR. Ibnu Majah)

Dalam konteks kewajiban menuntut ilmu ini, Syaikh Imam Az-Zarnuji menjelaskan bahwa setiap muslim dan muslimah tidak berkewajiban mempelajari semua ilmu, namun berkewajiban mempelajari ilmu yang dibutuhkan saat itu. Dan ditambahkan pula bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu yang dibutuhkan saat itu, dan sebaik-baik amal adalah menjaga (amal) yang dituntut saat itu (Az-Zarnuji, 2019). Dengan demikian, kita tidak dapat menafikan bahwa belajar dan menuntut ilmu adalah suatu hal yang penting bagi tiap muslim.

Dengan ilmu, hal tersebut menjadi salah satu amalan manusia yang tidak akan terputus sekalipun manusia itu meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah shollahu’alaihi wassalam:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Dan dengan ilmu, sejatinya manusia dapat mencapai apa yang diinginkan di dunia maupun di akhirat, seperti yang disabdakan Rasulullah shollahu’alaihi wassalam:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ

“Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu,” (HR Ahmad).

Dengan banyaknya keutamaan menuntut ilmu (berilmu) yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, menunjukkan bahwa agama Islam memberikan perhatian penuh pada ilmu dan bagaimana muslim seharusnya menuntut ilmu. Seperti yang disampaikan oleh Saihu (2020), bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainnya adalah pada penekanannya terhadap ilmu. Dalam Islam, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul dari makhluk-makhluk lain dengan tujuan menjalankan fungsi kekhalifahan. Ditambahkan oleh Saihu (2010), bahwasanya Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shollahu’alaihi wassalam mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan.

Kini kita tahu pentingnya menuntut ilmu. Lantas, apa yang perlu kita lakukan dalam menuntut ilmu? Apakah kemudian sekedar kita hadir ke majelis ilmu dan menyimak apa yang disampaikan oleh guru? Atau ditambah dengan mencatat materi yang dijelaskan guru? Banyak hal yang perlu kita persiapkan dan perhatikan saat kita menuntut ilmu, tidak sekedar kita hadir secara fisik dalam forum ilmu dan mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru. Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam menuntut ilmu adalah adab menuntut ilmu (adab sebelum ilmu).

Syaikh Az-Zarnuji memaparkan, bahwa beliau telah melihat banyak penuntut ilmu pada zaman sekarang yang bersungguh-sungguh, namun tidak sampai kepada ilmu, tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut, dan tidak dapat mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Beliau menambahkan, bahwa hal tersebut disebabkan karena penuntut ilmu keliru dalam menempuh jalan untuk mencari ilmu dan meninggalkan syarat-syaratnya, di mana siapa yang salah jalan maka akan tersesat dan tidak akan meraih tujuan, entah sedikit maupun banyak. Oleh karena itulah, penting bagi para penuntut ilmu untuk memperhatikan cara dalam menuntut ilmu yang baik, bagaimana pentingnya adab sebelum menuntut ilmu (Az-Zarnuji, 2019).

Az-Zarnuji (2019) menjelaskan, bahwa syarat utama dalam menuntut ilmu diantaranya berkaitan dengan niat, memilih guru, dan menghormati ilmu. Seringkali kita sudah banyak mendengar bagaimana kita seharusnya menghormati orang lain, tetapi bagaimana dengan menghormati ilmu? Bagaimana cara kita dalam menghormati ilmu?

Hakekatnya, ilmu itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, jika kita melakukan segala upaya untuk menghormati ilmu, itu artinya kita telah mengagungkan Dzat yang Maha memiliki ilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Ali Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ – ٧

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 7).

Itulah yang kemudian dikatakan oleh Syaikh Az-Zarnuji bahwa adab yang utama dalam menuntut ilmu adalah takzim terhadap ilmu, memuliakan ilmu, menghormati ilmu. Takzim ini merupakan nilai adab yang tertinggi. Seseorang tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu, dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu, kecuali dia takzim dan hormat kepada ilmu itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah memuliakan dan menghormati para ulama (guru) (Az-Zarnuji, 2019). Rasulullah shollahu’alaihi wassalam bersabda:

تَعَلَّمُوْاوَعَلِّمُوْاوَتَوَاضَعُوْالِمُعَلِّمِيْكُمْ وَلَيَلَوْا لِمُعَلِّمِيْكُمْ

“Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu.” (HR Tabrani)

Jika penulis boleh merujuk pada apa yang pernah disampaikan oleh seorang ustadz dalam suatu kajian, disebutkan bahwa dalam konteks menghormati ilmu ini, ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan dalam menghormati ilmu, yakni (Sholihun, 2020):

  1. Hormat itu lebih baik dari taat.

Orang melakukan penghormatan bukan karena objeknya, namun karena siapa yang memerintahkan. Dalam konteks belajar, siapa atau apa yang perlu kita hormati? Kedudukan ilmu itu sendiri yang perlu kita hormati. Bagaimana dengan guru kita? Harus kita muliakan kedudukannya sebagai guru, ustadz kedudukannya sebagai ustadz, ulama kedudukannya sebagai ulama. Kedudukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan kita, maka apapun perintah-Nya, apapun larangan-Nya, maka akan kita hormati. Bagian dari penghormatan itu adalah ketaatan. Tetapi jika taat belum tentu hormat.

  1. Sebab kehormatan itulah, orang itu akan tercapai apa yang diinginkan.

Orang yang menuntut ilmu itu tidak akan sampai pada apa yang dimaksudkan kecuali dia menghormati ilmu dan kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan, serta menghormati guru dan kedudukannya sebagai guru. Jangan sampai kita menjadi orang yang kufur, yang meremehkan perintah dan meninggalkan penghormatan.

  1. Diantara bentuk menghormati atau memuliakan ilmu adalah memuliakan ustadz atau memuliakan guru. Dalam hal ini, ada beberapa cara untuk memuliakan guru, antara lain:
  1. Tidak berjalan di depannya.
  2. Tidak menempati tempat duduknya (termasuk mejanya).
  3. Tidak memulai berbicara di sisi guru kecuali mendapatkan izinnya.
  4. Tidak banyak bicara di sisi guru (tidak memperbanyak ngobrol, terlebih lagi jika itu obrolan-obrolan yang tidak penting).
  5. Tidak bertanya sesuatu kepada guru, saat guru sedang kelelahan. Karena itu bisa menjadi sebab, memunculkan kebosanan, bisa dari guru, bisa juga dari orang lain.
  6. Menjaga waktu, mengikuti waktu yang diberikan guru. sepatutnya ketika majelis taklim sudah dimulai, ya ditunggu saja sampai guru atau ustadznya datang, dan tidak perlu memaksa atau memburu.
  7. Seorang murid tidak mengetuk pintu, namun justru murid itu harus bersabar sampai guru itu menemuinya.
  8. Memuliakan putra-putrinya dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan gurunya.

Dalam mempelajari ilmu, salah satu yang penting adalah keberkahan ilmu, yakni bertambahnya kebaikan (ziyaadatul khoiir). Jika apa yang dipelajari itu berkah, jika interaksi dalam proses pembelajaran itu diberkahi Allah, insya Allah akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu yang bermanfaat, akan menjadi amalan yang tidak terputus meski manusia itu telah meninggal. Salah satu cara untuk mencapai keberkahan ilmu adalah dengan memuliakan ilmu. Dan diantara bentuk memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan guru. Ali radhiyallahu anhu pernah berkata, “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajariku satu huruf, jika mau ia boleh menjualku, dan jika mau ia membebaskanku”. Rasulullah shollahu’alaihi wassalam bersabda:

تَعَلّمُواالعِلْمَ وَتَعَلّمُوْا لِلْعِلْمِ السّكِيْنَةَ وَالْوَقَا رَ وَتَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَتَعَلّمُوانَ مِنْهُ

“Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya” (HR. Ath-Thabrani).

Syaikh Az-Zarnuji menjelaskan, bahwa seorang penuntut ilmu harus mencari rida gurunya, menjauhi kemurkaannya, melaksanakan perintahnya selama bukan maksiat. Maka jika seorang guru tersakiti oleh muridnya, maka murid akan terhalang dalam mendapatkan keberkahan ilmu, dan ia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali hanya sedikit. Seperti sebuah syair yang dikutip oleh Syaikh Az-Zarnuji seperti berikut (Az-Zarnuji, 2019):

“Sesungguhnya guru dan dokter itu, tidak akan memberikan nasihat jika tidak dihormati. Tahanlah sakitmu jika kamu kasar terhadap dokter. Dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu kasar terhadap gurumu”

Masya Allah.  Betapa pentingnya kita sebagai penuntut ilmu, sebagai pembelajar, untuk senantiasa memuliakan guru-guru kita dan tidak menyakiti hati guru-guru kita, karena di situlah ada keberkahan atas ilmu yang sedang kita pelajari. Tidak hanya itu saja, dalam konteks menghormati dan memuliakan ilmu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh penuntut ilmu, agar keberkahan atas ilmu dapat kita peroleh, yaitu (Az-Zarnuji, 2019):

  1. Memuliakan kitab

Murid atau pelajar hendaknya tidak mengambil dan memegang kitab kecuali dalam keadaan suci. Ditambahkan oleh Saihu (2020), bahwa demikian juga dalam konteks belajar, hendaknya ketika kita akan memulai belajar juga dalam keadaan suci. Untuk itu, sebelum pelajar memulai belajar (dalam konteks apapun), sepatutnya dia tidak mengambil kitab kecuali dia dalam keadaan suci (dari hadas kecil maupun besar). Hal ini dikarenakan ilmu adalah cahaya, dan wudhu juga cahaya, sehingga cahaya ilmu akan bertambah terangnya karena bersuci (berwudhu). Keberkahan ilmu akan semakin bertambah dengan kita berwudhu.

Ilmu itu adalah cahaya dari Allah, dan Allah berkehendak untuk menjatuhkan cahaya ilmu itu kepada seseorang yang dalam kondisi bersih. Bersih niatnya, bersih dirinya dari hadas, bahkan hatinya juga harus bersih. Maka kesucian itu akan memperkuat pemahaman atas ilmu dan memperkuat rahmat Allah terhadap ilmu pengetahuan yang terlimpah kepada seseorang (Sholihun, 2020).

  1. Tidak menjulurkan kaki ke arah kitab. Jika kitab ada di depannya, maka kakinya tidak diarahkan ke kitab.
  2. Tidak meletakkan sesuatu yang lain di atas kitab. Tidak meletakkan buku (terlebih lagi buku-buku agama) sembarangan, karena hal tersebut bagian dari adab.

Dalam hal menyusun buku, yang paling atas adalah buku/kitab tafsir (diletakkan paling atas karena itu adalah kalamullah). Apalagi Al-Qur’an, tidak boleh meletakkan sembarangan. Baru kemudian diikuti oleh buku-buku yang lain (Sholihun, 2020). Mengapa penting kitab itu ditata, dipotong-potong menjadi segi empat, itu tentu akan memudahkan seseorang untuk mengangkat kitab, menata kitab, dan mengulanginya.

  1. Mencatat dan memperbagus tulisan saat mencatat.

Diantara memuliakan ilmu adalah memperbagus ketika menulis. Berlatih supaya bagus tulisannya, jelas, dan dapat terbaca. Dan jangan menulis itu acak-acakan dan meninggalkan catatan-catatan di pinggir.

Catatan yang dibuat atas ilmu dapat menjadi amal jariyah. Maka mengapa penting untuk membuat catatan yang bagus dan rapi dalam dokumentasi yang baik. Semisal dibundel dalam satu buku yang rapi. Dan dalam mencatat kajian agama, jangan dijadikan satu dengan catatan yang lain-lain dalam satu buku. Tulis dalam buku terpisah dan tersendiri (Sholihun, 2020). Pelajar juga dapat menulis catatan dengan warna apa saja, kecuali warna merah dan warna kuning yang menyala, karena kedua warna itu sering digunakan oleh orang kafir.

  1. Memuliakan dan menghormati kawan dan siapapun yang belajar darinya.

Pelajar perlu mengedepankan sikap keempatian, kepedulian, dan kasih sayang di antara manusia. Hindari sifat iri dengki kepada teman atau sahabat dalam menuntut ilmu. Allah berkenan mengistimewakan kepada siapapun yang Dia kehendaki dalam proses belajar, penting untuk ada mahabbah (cinta), cinta yang dibangun karena Allah (Sholihun, 2020).

  1. Menyimak semua ilmu dan hikmah dengan penuh pengagungan dan penghormatan.

Sepatutnya bagi yang mempelajari ilmu, ketika kita sedang belajar, dan guru sedang menyampaikan materi kepada kita, maka kita wajib mendengarkan ilmu itu dengan penuh penghormatan, khidmat, dan takzim, sekalipun materi tersebut sudah sering kita dapatkan, diulang-ulang, bahkan sampai berkali-kali. Kecenderungan orang, akan meremehkan ilmu, ketika dia sudah mendengarnya berulang kali. Dan hal ini dapat menjadi sebab terhalangnya keberkahan sebuah ilmu. Ketika kita meremehkan ilmu, itu artinya sama dengan meremehkan Dzat yang memiliki ilmu (Sholihun, 2020).

  1. Tidak memilih sendiri jenis ilmu yang akan dipelajari.

Penting bagi pelajar untuk memperhatikan aspek kemampuan dalam mempelajari ilmu. Jika seseorang itu masih pemula dalam bab atau bidang tersebut, maka sepatutnya murid/pelajar menyerahkan sepenuhnya kepada guru harus mempelajari dari mana dulu dan urut-urutannya. Mulai belajar dari sesuatu yang kecil, terus menerus akan semakin meningkat, sehingga pada akhirnya sampai pada tahapan dia dapat memilih ilmu apa yang akan dia pelajari (Sholihun, 2020).

  1. Tidak duduk terlalu dekat dengan guru.

Poinnya adalah ketakziman. Jika antara guru dan murid terlalu dekat, maka dikhawatirkan akan mengurangi ketakziman seorang murid terhadap guru, tidak memandang adab dalam berinteraksi dengan guru. Dikhawatirkan juga menjadi sebab kecemburuan pada murid yang lainnya, menjadikan sombong dan ujub pada diri murid tersebut. Demikian pula sebaliknya, jika terlalu jauh jaraknya, guru akan tidak menganggap seorang murid seperti anaknya, sehingga dapat mengurangi kemungkinan adanya hubungan emosional antara guru dengan murid (Sholihun, 2020).

  1. Menghindari akhlak yang tercela.

Seorang murid wajib menghindari akhlak yang tercela. Jika dalam diri seorang murid masih ada sifat sombong, maka itu akan menjadi penghalang untuk dirinya, penghalang dalam memperoleh ilmu, bahkan penghalang bagi diri penuntut ilmu dalam memahami ilmu. Akhlak yang tercela dalam diri itu seperti najis dalam diri. padahal ilmu itu adalah sesuatu yang suci, karena turun dari Dzat yang suci, sehingga akan turun pada hati dan diri seseorang yang suci. Sifat-sifat yang tercela itu harus dibersihkan, agar ilmu itu dapat masuk dan memberikan keberkahan kepada penuntut ilmu (Sholihun, 2020).

Subhanallah. Betapa banyak hal-hal yang mungkin saja luput untuk kita perhatikan saat belajar dan menuntut ilmu. Mohonlah kepada Allah agar diberikan pemahaman dan keberkahan saat sedang mempelajari ilmu. Serta berdoa semoga ilmu yang sudah kita pelajari akan terus bertambah kebaikan-kebaikannya, dan bertambah kebermanfaatannya. Allahumma aamiin.

 

Referensi:

  1. Az-Zarnuji, I. (2019). Ta’limul Muta’allim: Pentingnya adab sebelum ilmu. Cetakan ketujuh. Penerjemah: Abdurrahman Azzam. Solo: Penerbit Aqwam.
  2. Saihu. (2020). Etika menuntut ilmu menurut kitab Ta’lim Muta’alim. Al Amin Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 3(1), 99-112.
  3. Sholihun, M.A. (2020). Materi kajian kitab Ta’lim Muta’allim Syaikh Az Zarnuji. Dirangkum mandiri oleh penulis.

 

Tasyakuran Akreditasi Unggul Prodi Psikologi, Tim ISK Ingatkan Pentingnya Matrik User Alumni

Kepuasan user atau pengguna alumni itu sangat penting. Dari para pengguna alumni sebuah program studi (termasuk Prodi Psikologi FPSB UII) bisa memperoleh masukan untuk pengembangan kurikulum. Ke depan, diharapkan akan ada penanganan atau pengelolaan secara sistematis terkait kepuasan user alumni khususnya alumni FPSB UII. Read more

Makna Minal Aidin wal Faizin

Oleh: Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., M.Ag., Psikolog—-

Salah satu ajaran Islam dalam konteks hari raya adalah mendoakan diri dan orang lain yang telah menyelesaikan kewajiban menjalankan berbagai ibadah selama bulan ramadhan. Ucapan standar yang diajarkan oleh Nabi Muhammad adalah Taqabbalalahhu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum (yang artinya semoga Allah menerima amalanmu dan amalanku, puasamu dan pusaku). Di Indonesia, para ulama mengajarkan bagaimana menyampaikan doa kepada sesama muslim dengan ungkapan minal aidin wal faizin. Ucapan versi  lengkapnya adalah ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin. Artinya, “semoga Allah menjadikan kami dan anda orang-orang yang kembali dan beruntung”. Read more

Husnudzan Kepada Allah Subhanahu Wata’ala

OLeh : Fenny Sri Rahayu, S.Psi. ———

Pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan, bukan hanya dari segi kesehatan, namun juga perekonomian, pariwisata, pendidikan, dan bidang kehidupan lainnya. Semua terjadi secara tiba-tiba, dari yang awalnya bebas melakukan aktivitas di luar rumah, saat ini menjadi terbatas, diharuskan menggunakan masker, wajib menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan lainnya yang menjadi upaya pencegahan dari penyebaran virus Covid-19. Bahkan saat ini, protokol kesehatan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari terutama saat kita harus beraktivitas di luar rumah.

Banyaknya hal yang membatasi dalam segala aktivitas, sering membuat manusia menyalahkan orang lain, keadaan, dan celakanya lagi, berprasangka tidak baik kepada Yang Maha Pencipta Allah Subhanahu Wata’ala, naudzubillahi mindzalik.

Sebagai seorang muslim, ketika mendapatkan hal buruk, ujian, ataupun masalah, seharusnya instropeksi kepada diri sendiri terlebih dahulu. Hal-hal apa saja yang perlu dibenahi dan diperbaiki. Setiap muslim juga mestinya menyadari dan mempercayai setiap hal yang terjadi di dunia ini, hal baik maupun hal buruk adalah takdir dari Yang Maha Kuasa Allah Subhanahu Wata’ala.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S.  Al-Baqarah: 216)

Husnudzan (حسن ظن) yang artinya berprasangka baik kepada Allah Subhanahu Wata’ala merupakan kewajiban setiap seorang hamba kepada pencipta-Nya Allah Subhanahu Wata’ala.  Terutama di masa pandemi yang tengah kita hadapi saat ini berhusnudzan ketika sedang menjalankan ujian, secara manusiawi tentu tidak mudah dan tidak kita sukai, ingin rasanya segera mengakhiri ujian ini, merasa tidak nyaman, dan tidak terima dengan keadaan, padahal sebenarnya menurut Allah Subhanahu Wata’ala ujian tersebut baik untuk hamba yang mengalaminya. Oleh karena itu, saat ujian datang, bersabarlah dan berbaik sangkalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Apapun yang dialami dalam kehidupan manusia, pasti memiliki hikmah yang besar di masa mendatang.

Dalam sebuah hadis qudsi dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya:

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman sebagai berikut: ”Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun bila ia berprasangka buruk kepada-Ku maka dia akan mendapatkan keburukan.” (Hadis Riwayat Tabrani dan Ibnu Hibban).

Berhusnudzan kepada Sang Khalik merupakan salah satu cara penghambaan kita pada Allah Subhanahu Wata’ala. Menyadari betapa kecil dan lemahnya kita sebagai makhluk yang tidak mungkin bisa bertahan hingga hari ini, di masa pandemi dalam keadaan sehat dan berkecukupan tanpa kasih sayang Allah Subhanahu Wata’ala. Prasangka baik kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala tentu akan memberikan kebaikan untuk hidup kita, bukan hanya di dunia namun juga di akhirat nanti. Berhusnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala tentu bukan hanya saat pandemi ini, tapi juga setiap waktu hingga kita meninggal dunia.

Husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala terbagi menjadi empat, yaitu:

Pertama, husnudzan dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Husnudzan
dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala harus menjadi hal utama yang tertanam pada perasaan dan pikiran seorang hamba. Meskipun hati seorang hamba belum bisa merasakan kebenaran peraturan atau ketetapan Allah Subhanahu Wata’ala, dan pikiran manusia terkadang melihat ada hal lain yang lebih baik menurut pendapat manusia, sebagai muslim yang baik tidak ada sikap yang akan diambil selain sami’na waata’na, yang artinya “Kami dengar perintah-Mu ya Allah, dan kami taat”.

Kedua, husnudzan dalam pemberian nikmat Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah Subhanahu Wata’ala akan memberikan nikmat kepada siapa pun hamba yang dikehendaki-Nya. Nikmat dapat berupa harta, kesehatan, kesempatan, dan masih banyak lagi. Allah Subhanahu Wata’ala memberikan nikmat kepada hamba dengan maksud dan tujuan tertentu.

Husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas nikmat yang telah diberikan, dapat diwujudkan dengan memperbanyak syukur dan merenungkan apa sebenarnya maksud Allah Subhanahu Wata’ala memberikan nikmat tersebut kepada hamba-Nya.

Ketiga, husnudzan dalam menghadapi ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Seperti yang disampaikan penulis dan menjadi inti dari pembahasan penulis, tentang husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala ketika menghadapi ujian.

Keempat, husnudzan dalam melihat ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala.

Setiap makhluk yang diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala pasti memiliki maksud dan tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan di bumi ini. Husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam hal ini ditunjukkan dengan meyakini bahwa tidak ada satu pun yang menjadi sia-sia dalam ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala.

Adapun beberapa hal yang perlu kita yakini agar kita dapat selalu berprasangka kepada Allah Subhanahu Wata’ala, yaitu sebagai berikut:

Pertama, membangun keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala akan memberi rahmat dan ampunan bagi para hamba-Nya yang berbuat kebaikan.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa: 110).

Kedua, meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala akan memberi pahala bagi hamba-Nya yang melakukan ketaatan.  Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 277:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.

Ketiga, membangun keyakinan bahwa siapa yang bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan diberi kecukupan oleh-Nya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya.” (Q.S.  At-Thalaq: 3).

Keempat, membangun keyakinan bahwa setiap takdir dan keputusan Allah Subhanahu Wata’ala memiliki hikmah dan kebaikan.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al-qur’an surah Al-Hijr ayat 21:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

“Tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.

Adapun hikmah yang akan kita dapatkan ketika kita mampu berhusnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala diantaranya sebagai berikut:

Pertama, senantiasa mensyukuri segala sesuatu yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Mulai dari hal yang kecil apalagi hal yang besar, karena percaya Allah Subhanahu Wata’ala selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya.

Kedua, memiliki rasa khauf (takut) dan raja’ (berharap) kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Ketiga, bersikap optimis, tidak berkeluh kesah serta berputus asa terhadap segala ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Keempat, berpikiran lebih positif terhadap segala sesuatu yang terjadi, sehingga dapat mengambil kebaikan dari masalah yang dialami.

Kelima, terhindar dari sifat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Keenam, paling utama hal yang diinginkan setiap hamba yaitu dicintai dan disayangi Yang Maha Cinta Allah Subhanahu Wata’ala.

Semoga kita dapat meyakini juga mengamalkan segala kebaikan dari kalam Allah Subhanahu Wata’ala tersebut, sehingga kita menjadi hamba Allah yang selalu berhusnudzan kepada Yang Maha Baik Allah Subhanahu Wata’ala, dalam kondisi apapun dan kapanpun. Aamiin Yaa Rabbal’Aalamiin

FPSB Bedah Buku “Regret Theory: Perspektif Barat dan Islam”

Regret Theory: Perspektif Barat dan Islam. Demikian judul buku karya Dr. Faraz, S.IP., MM, salah satu dosen Prodi Psikologi  (Psi) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) yang dibedah secara apik oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D, Sabtu, 23 April 2022. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka Milad ke-27 FPSB UII ini dimoderatori oleh Wanadya Ayu Krishna Dewi, S.Psi., M.A.  dan dibuka langsung oleh Dekan FPSB UII, Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., MSi., M.Ag., Psikolog. Read more

Merdeka Belajar dan Resiliensi SIstem Pendidikan

Merdeka Belajar bukan sekedar program, melainkan adalah cita-cita yang mendasar untuk mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada kualitas, ada aspek keadilan atau menyeluruh. Kualitas bukan hanya meningkatkan fasilitas ataupun akses/partisipasi tetapi juga memastikan bahwa setelah mereka mendapatkan akses, akses itu diterjemahkan menjadi pengalaman belajar yang bermakna, yang relevan dan berguna untuk masa depan mereka. Read more

Milad ke-27, FPSB Gelar Rangkaian Bedah Buku Menarik

Salah satu agenda menarik dari Milad ke-27 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) adalah diagendakannya rangkaian 7 bedah buku bertajuk Integrasi Ilmu dan Islam dan 1 bedah buku buku berisi pengalaman dosen FPSB UII dalam menyelesaikan studi S3. Read more