OLeh : Annisaa Miranty Nurendra, S.Psi., M.Psi.—
Akhir-akhir ini di kalangan generasi milenial muncul fenomena hustle culture. Hustle culture dapat didefinisikan sebagai budaya gila kerja atau workaholic. Orang yang terjebak dalam hustle culture merasa bahwa dirinya harus bekerja keras demi mencapai kesuksesan. Mereka menganggap satu-satunya jalan untuk mencapai keberhasilan hanya dengan bekerja secara terus menerus. Hustle culture juga tampak melalui adanya kebiasaan yang menganggap bahwa bekerja lebih penting diatas segalanya.
Ciri-ciri hustle culture dapat dilihat dari individu maupun dari budaya yang ada di tempat kerja. Menurut beberapa sumber, ciri dari individu yang menganut hustle culture dan terjebak menjadi workaholic memiliki ciri sebagai berikut: selalu memikirkan kerja dan tidak punya waktu santai, merasa bersalah ketika beristirahat dari bekerja, memiliki target yang tidak realistis, sering mengalami burnout atau kelelahan dalam bekerja, serta tidak puas dengan hasil kerja. Ciri lain dari hustle culture adalah anggapan bahwa bekerja lembur sebagai hal yang normal, begitu juga dengan persepsi bekerja secara rutin di akhir pekan sebagai hal biasa serta merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja. Padahal, dari tinjauan manajemen kerja, seorang pekerja mestinya memiliki waktu istirahat yang cukup. Pemerintah pun sebetulnya sudah mengatur bahwa jam kerja normal maksimal adalah 40 jam per pekan.
Dampak dari adanya hustle culture ini cukup berbahaya bagi kesehatan mental dan juga kesehatan fisik. Terjadinya fatigue atau keletihan yang ekstrim adalah dampak yang umum terjadi karena adanya workaholisme dalam bekerja. Banyak studi menunjukkan workaholisme berkaitan dengan penyakit jantung, serta sakit pada leher dan punggung. Pada beberapa kondisi yang lebih buruk, kelelahan tersebut dapat menyebabkan kematian, bahkan pada usia yang relatif muda. Telah banyak pula riset yang menunjukkan bahwa workaholisme menimbulkan depresi, kecemasan, insomnia, dan banyak gangguan terhadap kesehatan mental.
Bekerja, tentu saja merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat secara finansial, psikologis dan sosial. Dengan bekerja, seorang individu mampu mengaktualisasikan potensi dirinya, memperoleh pendapatan untuk menikmati kehidupan yang sehat dan layak, serta mendapatkan status sosial yang baik dalam masyarakat. Meski demikian, dari tinjauan kesehatan, bekerja tidak boleh berlebihan karena dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Dalam bidang psikologi juga telah lama disampaikan pentingnya menjaga keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan personal. Menurut penelitian, ketika seorang individu terlalu banyak bekerja, produktivitas yang dicapai justru malah lebih rendah dan justru akan merusak bidang kehidupan lainnya. Sebaliknya ketika individu mampu mengelola waktu yang seimbang untuk bekerja dan untuk melakukan kegiatan lainnya maka produktivitasnya akan makin meningkat.
Beberapa manfaat lain dari memiliki keseimbangan kehidupan kerja adalah individu akan lebih sehat, baik secara fisik maupun secara mental. Seiring dengan baiknya tingkat kesehatan, maka individu juga akan memiliki performa kerja yang baik. Individu yang memiliki keseimbangan kehidupan kerja juga cenderung memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kehidupan kerjanya maupun terhadap bidang kehidupan lainnya, misalnya kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan sebagainya.
Pentingnya memiliki keseimbangan kehidupan kerja ini juga berlaku bagi seorang muslim. Kewajiban muslim selain bekerja adalah juga beribadah, selain melakukan aktivitas personal lain untuk mendukung kehidupannya. Islam tentunya juga memiliki solusi agar keseharian seorang muslim dapat seimbang.
Prinsip Bekerja dalam Islam
Sebagai agama yang paripurna, Islam juga memiliki pandangan tersendiri mengenai aktivitas bekerja. Dalam Islam, bekerja adalah sebuah kegiatan yang mulia, yang memiliki nilai ibadah dan juga jihad, sebagaimana dalam ayat-ayat berikut ini :
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum”ah : 10).
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15).
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzzammil: 20).
Islam sangat menganjurkan seorang muslim bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Bahkan, karena sifat wajb dari aktivitas kerja, bekerja juga dapat menggugurkan dosa. Beberapa hadist tentang keutamaan bekerja antara lain :
‘Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut.” (HR. Imam Tabrani).
“Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bekerja dan terampil. Siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka ia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).
Islam juga mengajarkan bahwa bekerja tidak boleh serampangan. Ada beberapa etika kerja yang perlu diperhatikan, misalnya pentingnya menjaga kualitas hasil kerja dan mengedepankan profesionalitas. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan.” (HR Thabrani).
Pekerjaan juga dapat dianggap sebagai sebuah amanah. Dalam konteks ini, seorang muslim perlu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sebuah amanah sampai tuntas. Ketika pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik, sama artinya dengan tidak amanah dan memiliki sikap khianat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS Al Anfal : 27)
Tawazun sebagai Solusi
Walaupun seorang muslim harus menampilkan kinerja terbaiknya, bersungguh-sungguh, dan amanah, akan tetapi Islam juga mengajarkan mengenai pentingnya keseimbangan. Seorang muslim boleh saja bekerja keras, akan tetapi waktu bekerja tersebut juga harus seimbang dengan waktu untuk beribadah. Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa bekerja penting untuk mencapai kebahagiaan di dunia, namun demikian seorang muslm juga tidak boleh melupakan upaya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat sebagaimana dalam ayat berikut :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al Qashas : 77).
Lebih luas lagi, tawazun juga berarti memiliki pengaturan waktu yang seimbang dan memperhatikan berbagai aspek dalam kehidupan. Ini karena tawazun tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembagian waktu yang baik, seperti alokasi waktu untuk bekerja, alokasi untuk beribadah, alokasi waktu untuk istirahat, dan sebagainya. Pengelolaan waktu yang baik juga merupakan hal yang didorong dalam Islam, sebagaimana hadist berikut ini:
“Gunakan yang lima sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa lapangmu sebelum masa sibukmu dan masa hidupmu sebelum masa matimu,” (HR Al-Hakim).
Lantas, bagaiamana cara mengaplikasikan sikap tawazun? Yang pertama, sebagaimana yang sudah disampaikan diatas, meskipun bekerja itu adalah suatu hal yang penting, tetapi seorang muslim perlu memiliki mindset pentingnya menjaga keseimbangan dalam kehidupan dan tidak berlebih-lebihan dalam bekerja. Hal ini dapat dibangun dengan cara memahami bahwa terlalu berlebihan dalam bekerja sesungguhnya malah akan membawa kerugian dibandingkan dengan kebermanfaatan. Selain itu, perlu diingat juga, bahwa jika ingin aktivitas kerja mendatangkan keberkahan dan mengharapkan ridha Allah, maka jangan sampai aktivitas kerja tersebut justru menyebabkan kelelahan dan sakit secara fisik dan mental, atau justru mengakibatkan konflik dengan keluarga.
Yang kedua, mengelola waktu. Pengelolaan waktu yang perlu dipikirkan seorang muslim, selain waktu untuk bekerja, untuk keluarga, untuk rekreasional, juga perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk beribadah. Pentingnya memiliki waktu untuk beribadah selain berkaitan dengan kewajiban sebagai muslim, adalah berkaitan dengan prinsip keseimbangan itu sendiri. Seorang muslim tidak mungkin berharap aktivitas kerjanya mendatangkan berkah dan ridha dari Allah jika ia melupakan waktu untuk beribadah. Selain itu, memiliki waktu beribadah akan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Pekerja yang memiliki religiusitas dan kehidupan spiritual yang baik, menurut penelitian akan memiliki kehidupan kerja yang lebih memuaskan. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki sikap kerja yang lebih positif. Mereka biasanya lebih termotivasi dalam bekerja karena bekerja tidak semata-mata demi aktualisasi diri atau mengharapkan gaji, tetapi juga menganggap bekerja adalah bagian dari habluminannas. Orang-orang dengan religiusitas yang tinggi cenderung lebih mudah dalam bekerjasama dan membantu rekan kerjanya, mereka juga berkomitmen dalam penyelesaian tugas-tugas mereka sendiri.
Yang ketiga, konsisten dalam pengelolaan waktu. Jika sudah tiba waktu istirahat, gunakan waktu untuk istirahat. Jika sudah tiba waktu ibadah, gunakan waktu untuk ibadah. Banyak orang yang mungkin tidak menyadari jika waktu ibadah di sela waktu luang jam kerja, justru memiliki banyak manfaat. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Simon Webley pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ketika karyawan memiliki kesempatan untuk beribadah di tempat kerja, stres kerja menurun, dan kesejahteraan psikologis mereka meningkat. Karyawan yang dapat menyalurkan kebutuhan spiritualnya juga memiliki sikap kerja yang lebih ramah kepada pelanggan. Menariknya, hal ini tidak hanya berlaku untuk agama Islam saja, tetapi juga agama lain. Sampai-sampai dalam penelitian tersebut disarankan bahwa menyediakan fasilitas untuk beribadah bagi karyawan di tempat kerja adalah bagian dari praktik baik etika kerja.
Kesimpulan
Hustle culture, alih-alih meningkatkan produktivitas, justru malah akan menimbulkan berbagai problem kesehatan fisik dan mental bagi individu. Islam telah memberi arahan bahwa dalam menjalankan kehidupannya, seorang muslim tidak boleh sampai terjebak pada gaya hidup workaholic. Meskipun seorang muslim diperintahkan untuk bekerja dengan itqan, professional dan menjaga amanah, prinsip tawazun atau keseimbangan harus penting diperhatikan. Tawazun dalam kehidupan kerja dan ibadah juga telah dinyatakan berkali-kali dalam beberapa ayat dan hadist. Cara mewujudkan sikap tawazun adalah dengan memiliki pengelolaan waktu yang baik dalam bekerja maupun dalam beribadah. Dengan memiliki sikap tawazun, seorang muslim akan lebih sehat secara fisik dan mental, lebih produktif, serta lebih puas dengan kehidupannya, dan tentu saja setiap aktivitas yang dilakukan akan lebih berkah dan tidak melupakan aktivitas bekerja dan beribadah untuk mendapatkan ridha Allah. Insya Allah.
HINDARI HUSTLE CULTURE : PENTINGNYA TAWAZUN DALAM BEKERJA
/in Syiar Islam/by Widodo Hesti PurwantoroOLeh : Annisaa Miranty Nurendra, S.Psi., M.Psi.—
Akhir-akhir ini di kalangan generasi milenial muncul fenomena hustle culture. Hustle culture dapat didefinisikan sebagai budaya gila kerja atau workaholic. Orang yang terjebak dalam hustle culture merasa bahwa dirinya harus bekerja keras demi mencapai kesuksesan. Mereka menganggap satu-satunya jalan untuk mencapai keberhasilan hanya dengan bekerja secara terus menerus. Hustle culture juga tampak melalui adanya kebiasaan yang menganggap bahwa bekerja lebih penting diatas segalanya.
Ciri-ciri hustle culture dapat dilihat dari individu maupun dari budaya yang ada di tempat kerja. Menurut beberapa sumber, ciri dari individu yang menganut hustle culture dan terjebak menjadi workaholic memiliki ciri sebagai berikut: selalu memikirkan kerja dan tidak punya waktu santai, merasa bersalah ketika beristirahat dari bekerja, memiliki target yang tidak realistis, sering mengalami burnout atau kelelahan dalam bekerja, serta tidak puas dengan hasil kerja. Ciri lain dari hustle culture adalah anggapan bahwa bekerja lembur sebagai hal yang normal, begitu juga dengan persepsi bekerja secara rutin di akhir pekan sebagai hal biasa serta merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja. Padahal, dari tinjauan manajemen kerja, seorang pekerja mestinya memiliki waktu istirahat yang cukup. Pemerintah pun sebetulnya sudah mengatur bahwa jam kerja normal maksimal adalah 40 jam per pekan.
Dampak dari adanya hustle culture ini cukup berbahaya bagi kesehatan mental dan juga kesehatan fisik. Terjadinya fatigue atau keletihan yang ekstrim adalah dampak yang umum terjadi karena adanya workaholisme dalam bekerja. Banyak studi menunjukkan workaholisme berkaitan dengan penyakit jantung, serta sakit pada leher dan punggung. Pada beberapa kondisi yang lebih buruk, kelelahan tersebut dapat menyebabkan kematian, bahkan pada usia yang relatif muda. Telah banyak pula riset yang menunjukkan bahwa workaholisme menimbulkan depresi, kecemasan, insomnia, dan banyak gangguan terhadap kesehatan mental.
Bekerja, tentu saja merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat secara finansial, psikologis dan sosial. Dengan bekerja, seorang individu mampu mengaktualisasikan potensi dirinya, memperoleh pendapatan untuk menikmati kehidupan yang sehat dan layak, serta mendapatkan status sosial yang baik dalam masyarakat. Meski demikian, dari tinjauan kesehatan, bekerja tidak boleh berlebihan karena dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Dalam bidang psikologi juga telah lama disampaikan pentingnya menjaga keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan personal. Menurut penelitian, ketika seorang individu terlalu banyak bekerja, produktivitas yang dicapai justru malah lebih rendah dan justru akan merusak bidang kehidupan lainnya. Sebaliknya ketika individu mampu mengelola waktu yang seimbang untuk bekerja dan untuk melakukan kegiatan lainnya maka produktivitasnya akan makin meningkat.
Beberapa manfaat lain dari memiliki keseimbangan kehidupan kerja adalah individu akan lebih sehat, baik secara fisik maupun secara mental. Seiring dengan baiknya tingkat kesehatan, maka individu juga akan memiliki performa kerja yang baik. Individu yang memiliki keseimbangan kehidupan kerja juga cenderung memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kehidupan kerjanya maupun terhadap bidang kehidupan lainnya, misalnya kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan sebagainya.
Pentingnya memiliki keseimbangan kehidupan kerja ini juga berlaku bagi seorang muslim. Kewajiban muslim selain bekerja adalah juga beribadah, selain melakukan aktivitas personal lain untuk mendukung kehidupannya. Islam tentunya juga memiliki solusi agar keseharian seorang muslim dapat seimbang.
Prinsip Bekerja dalam Islam
Sebagai agama yang paripurna, Islam juga memiliki pandangan tersendiri mengenai aktivitas bekerja. Dalam Islam, bekerja adalah sebuah kegiatan yang mulia, yang memiliki nilai ibadah dan juga jihad, sebagaimana dalam ayat-ayat berikut ini :
“Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum”ah : 10).
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15).
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzzammil: 20).
Islam sangat menganjurkan seorang muslim bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Bahkan, karena sifat wajb dari aktivitas kerja, bekerja juga dapat menggugurkan dosa. Beberapa hadist tentang keutamaan bekerja antara lain :
‘Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut.” (HR. Imam Tabrani).
“Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bekerja dan terampil. Siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka ia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).
Islam juga mengajarkan bahwa bekerja tidak boleh serampangan. Ada beberapa etika kerja yang perlu diperhatikan, misalnya pentingnya menjaga kualitas hasil kerja dan mengedepankan profesionalitas. Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan.” (HR Thabrani).
Pekerjaan juga dapat dianggap sebagai sebuah amanah. Dalam konteks ini, seorang muslim perlu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sebuah amanah sampai tuntas. Ketika pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik, sama artinya dengan tidak amanah dan memiliki sikap khianat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS Al Anfal : 27)
Tawazun sebagai Solusi
Walaupun seorang muslim harus menampilkan kinerja terbaiknya, bersungguh-sungguh, dan amanah, akan tetapi Islam juga mengajarkan mengenai pentingnya keseimbangan. Seorang muslim boleh saja bekerja keras, akan tetapi waktu bekerja tersebut juga harus seimbang dengan waktu untuk beribadah. Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa bekerja penting untuk mencapai kebahagiaan di dunia, namun demikian seorang muslm juga tidak boleh melupakan upaya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat sebagaimana dalam ayat berikut :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al Qashas : 77).
Lebih luas lagi, tawazun juga berarti memiliki pengaturan waktu yang seimbang dan memperhatikan berbagai aspek dalam kehidupan. Ini karena tawazun tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembagian waktu yang baik, seperti alokasi waktu untuk bekerja, alokasi untuk beribadah, alokasi waktu untuk istirahat, dan sebagainya. Pengelolaan waktu yang baik juga merupakan hal yang didorong dalam Islam, sebagaimana hadist berikut ini:
“Gunakan yang lima sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa lapangmu sebelum masa sibukmu dan masa hidupmu sebelum masa matimu,” (HR Al-Hakim).
Lantas, bagaiamana cara mengaplikasikan sikap tawazun? Yang pertama, sebagaimana yang sudah disampaikan diatas, meskipun bekerja itu adalah suatu hal yang penting, tetapi seorang muslim perlu memiliki mindset pentingnya menjaga keseimbangan dalam kehidupan dan tidak berlebih-lebihan dalam bekerja. Hal ini dapat dibangun dengan cara memahami bahwa terlalu berlebihan dalam bekerja sesungguhnya malah akan membawa kerugian dibandingkan dengan kebermanfaatan. Selain itu, perlu diingat juga, bahwa jika ingin aktivitas kerja mendatangkan keberkahan dan mengharapkan ridha Allah, maka jangan sampai aktivitas kerja tersebut justru menyebabkan kelelahan dan sakit secara fisik dan mental, atau justru mengakibatkan konflik dengan keluarga.
Yang kedua, mengelola waktu. Pengelolaan waktu yang perlu dipikirkan seorang muslim, selain waktu untuk bekerja, untuk keluarga, untuk rekreasional, juga perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk beribadah. Pentingnya memiliki waktu untuk beribadah selain berkaitan dengan kewajiban sebagai muslim, adalah berkaitan dengan prinsip keseimbangan itu sendiri. Seorang muslim tidak mungkin berharap aktivitas kerjanya mendatangkan berkah dan ridha dari Allah jika ia melupakan waktu untuk beribadah. Selain itu, memiliki waktu beribadah akan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Pekerja yang memiliki religiusitas dan kehidupan spiritual yang baik, menurut penelitian akan memiliki kehidupan kerja yang lebih memuaskan. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki sikap kerja yang lebih positif. Mereka biasanya lebih termotivasi dalam bekerja karena bekerja tidak semata-mata demi aktualisasi diri atau mengharapkan gaji, tetapi juga menganggap bekerja adalah bagian dari habluminannas. Orang-orang dengan religiusitas yang tinggi cenderung lebih mudah dalam bekerjasama dan membantu rekan kerjanya, mereka juga berkomitmen dalam penyelesaian tugas-tugas mereka sendiri.
Yang ketiga, konsisten dalam pengelolaan waktu. Jika sudah tiba waktu istirahat, gunakan waktu untuk istirahat. Jika sudah tiba waktu ibadah, gunakan waktu untuk ibadah. Banyak orang yang mungkin tidak menyadari jika waktu ibadah di sela waktu luang jam kerja, justru memiliki banyak manfaat. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Simon Webley pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ketika karyawan memiliki kesempatan untuk beribadah di tempat kerja, stres kerja menurun, dan kesejahteraan psikologis mereka meningkat. Karyawan yang dapat menyalurkan kebutuhan spiritualnya juga memiliki sikap kerja yang lebih ramah kepada pelanggan. Menariknya, hal ini tidak hanya berlaku untuk agama Islam saja, tetapi juga agama lain. Sampai-sampai dalam penelitian tersebut disarankan bahwa menyediakan fasilitas untuk beribadah bagi karyawan di tempat kerja adalah bagian dari praktik baik etika kerja.
Kesimpulan
Hustle culture, alih-alih meningkatkan produktivitas, justru malah akan menimbulkan berbagai problem kesehatan fisik dan mental bagi individu. Islam telah memberi arahan bahwa dalam menjalankan kehidupannya, seorang muslim tidak boleh sampai terjebak pada gaya hidup workaholic. Meskipun seorang muslim diperintahkan untuk bekerja dengan itqan, professional dan menjaga amanah, prinsip tawazun atau keseimbangan harus penting diperhatikan. Tawazun dalam kehidupan kerja dan ibadah juga telah dinyatakan berkali-kali dalam beberapa ayat dan hadist. Cara mewujudkan sikap tawazun adalah dengan memiliki pengelolaan waktu yang baik dalam bekerja maupun dalam beribadah. Dengan memiliki sikap tawazun, seorang muslim akan lebih sehat secara fisik dan mental, lebih produktif, serta lebih puas dengan kehidupannya, dan tentu saja setiap aktivitas yang dilakukan akan lebih berkah dan tidak melupakan aktivitas bekerja dan beribadah untuk mendapatkan ridha Allah. Insya Allah.
Seberapa Besar Kita Meyakini Ketetapan Allah SWT?
/in Syiar Islam/by Widodo Hesti PurwantoroOLeh : Diana Rahma Qadari —–
Jika seseorang ditanya bagaimana bila harapannya berakhir dengan kesedihan? Seringkali terjawab “tidak mau” atau “tidak siap”. Suatu hal yang lumrah jika yang diinginkan berakhir dengan kebahagiaan. Apabila Allah memberikan kesedihan berupa patah hati, kehilangan, kegagalan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, apakah kita bersedia menerima dengan hati yang lapang?
Selama kita masih bernafas, ujian dan cobaan hadir dalam hidup kita. Kesedihan dan kebahagiaan saling bersisihan. Tentunya, setiap manusia tidak bisa memperoleh semua kebahagiaan meski itu menjadi sebuah harapan dan doa yang kerap dilangitkan. Kita boleh meletakkan ekspektasi bahwa apa yang diinginkan akan menjadi milik kita, namun siapkan hati yang lapang untuk menerima segala kemungkinkan karena diatas segala pinta kita, Allah lebih dulu tahu apa yang terbaik untuk kita. Allah Maha Mengetahui apa-apa saja yang terbaik bagi tiap manusia karena pemegang hak prerogatif atas takdir manusia. Tugas manusia tetap harus berprasangka baik terhadap kehendak Allah hingga saatnya Allah putuskan.
Terkadang saat kita mengupayakan sesuatu, kita terlalu fokus kepada proses untuk mendapatkan sebuah keberhasilan. Bagaimana caranya berhasil, persiapan apa yang harus dilakukan untuk mencapai yang diinginkan, dan tak sedikitpun menyiapkan diri dengan kemungkinan menghadapi kegagalan. Ketika kegagalan datang menghampiri, diri kita sibuk menyalahkan karena persiapan yang kurang maksimal atau bahkan larut dalam kesedihan. Kegagalan seakan membuat dunia tampak tidak ramah untuknya. Usaha dan upaya dikerahkan baik pikiran, energi, maupun waktu, dimaksimalkan untuk sebuah keberhasilan. Seringkali kita lupa bahwa di atas usaha dan upaya yang dilakukan ada kehendak Allah. Apabila Allah berkehendak lain maka tak akan sampai pada genggaman bahkan menyentuh ujung jaripun tidak.
Ketetapan Allah adalah yang terbaik
Sebagai hamba, kita haruslah meyakini bahwa Allah pasti memberikan yang terbaik kepada hambaNya. Allah mengetahui apapun yang tidak kita ketahui, jika Allah selalu memberi keberhasilan, mungkin kita tidak akan menemukan diri kita yang lebih baik saat setelah melewati kegagalan. Karena saat diberikan kegagalan, maka ibadah sejatinya semakin khusyu’, semakin deras dalam melantunkan dzikir. Kegagalanpun pasti tetap memiliki makna. Ikhtiar kita untuk mencari keridhoanNya tidak akan sia-sia. Luaskan hati untuk menerima dan meyakini bahwa segala urusannya Allah telah mengaturnya, seharusnya tak menyisakan keraguan dihati kita dan cemas menghadapinya. Apapun yang menjadi ketetapan yang Allah adalah yang terbaik bagi hambaNya. Menerima setiap ketetapanNya dengan hati yang luas dan lisan yang tak henti mengucapkan syukur karena saat itu diri kita sedang diberikan jalan paling baik. Kita perlu berlindung dari ekspektasi diri sendiri yang nantinya akan membawa diri kita dari kekecewaan yang terlalu dalam dan berlarut yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Keyakinan utuh kepada Allah justru akan membuat diri kita ringan dalam menjalani hidup disertai hati yang tenang. Jaga diri kita dari ‘nglokro’ ketika Allah hadapkan dengan sesuatu di luar ekspektasinya. Lisannya sibuk berkeluh kesah dan menganggap keadaan yang ia terima tidak akan membawa perubahan yang lebih baik apapun ikhtiarnya. Agaknya, kita perlu membiasakan mengawali segala penerimaan atau takdir dengan berkhusnudzon pada Allah. Bagaimana Allah akan mengubah keadaan kita jika tanpa disertai ikhtiar. Kita harus pantang menyerah membawa harapan dalam doa untuk terus mengetuk pintu rizkiNya. Adapun kenikmatan atau kesedihan yang diterima di akhir, jangan sampai membawa diri kita untuk melangkah menjauh dariNya.
Harapan yang Allah ijabah menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri untuk kita. Bisa jadi kebahagiaan tersebut didapat karena sujud panjang setelah ujian bertubi-tubi dengan tetap meyakini bahwa Allah akan segera mengangkat beban di atas pundak, mengangkat kesedihan dalam hati dan Allah akan memberikan kebahagiaan seperti matahari terbit seusai malam berakhir. Namun, yang perlu kita hindari adalah saat diri kita menjadi jumawa saat mendapatkan kebahagiaan atas sesuatu yang di idam-idamkan. Kadang manusia mudah berbangga hati bahwa pencapaian yang didapatkan adalah karena kepandaiannya. Kesuksesan yang ia peroleh semata karena kerja kerasnya. Jangan sampai dibalik kebahagiaan yang kita terima justru menimbulkan kesedihan bagi oranglain.
Keadaan maupun ketetapan yang sampai pada kita, kelola hati ketika Allah hadirkan kebahagiaan dan bersabar apabila cobaan menyapa kita seperti yang dijelaskan dalam QS. Al Baqarah:155-156 :
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” (QS. Al Baqarah:155).
Dari QS Al Baqarah : 155 dapat kita pahami bahwa setiap manusia akan diberikan cobaan oleh Allah dan kita diminta bersabar yang tentunya menjadi hal sulit apabila hati kita dalam kondisi yang tidak menentu. KetetapanNya adalah hal yang misterius bagi manusia, namun dalam kekecewaan yang kita terima saat ini bisa jadi menjadi sesuatu yang melegakan diwaktu kedepan. Kesedihan yang kita terima saat ini sangat mungkin berujung kebahagiaan di waktu yang lain dan hal tersebut baru dapat kita sadari saat hati kita mampu menerima ketetapanNya. Cobaan yang dihadirkan dalam hidup kita untuk menguji kita, kemana diri dan hati kita akan berlari dan mengadu. Ujian hidup diberikan sesuai kemampuan manusia, jangan sampai pikiran kita yang membatasi bahkan mendorong untuk melakukan hal-hal yang semakin menjauh dari titik terang. Banyak kehidupan diluar sana yang bertubi-tubi diberikan ujian, namun tetap berjuang untuk bertahap hidup. Masalah yang dialami oranglain lebih pelik dari masalah kita yang mungkin hanya persoalan patah hati. Oranglain berfikir bagaimana urusan makan esok hari sementara kita membuang makanan sisa yang kita dapatkan hari ini. Apapun ujian yang sedang kita alami, jangan menyerah untuk mendekat padaNya dan sesering mungkin lekatkan dahi kita untuk bersujud. Jika saat ini kita berbangga hati dengan harga yang kita terima, sempatkanlah menengok kehidupan orang-orang di pinggiran.
Segala fase hidup yang diberikan Allah untuk kita pasti memiliki banyak catatan yang dapat diambil poin pentingnya dan tentu tidak sama pada masing-masing orang. Proses menjalani kehidupan yang dikawal dengan keimanan akan menjadi benteng diri sehingga diri kita tidak melakukan sesuatu yang tidak disukai olehNya dan menjadikan pandangan kita lebih luas untuk melihat kebaikan-kebaikan atas keadaan yang dihadirkan oleh Allah. Mungkin saat ini kita sedang menjalani kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya bahkan kehidupan yang tidak kita inginkan. Namun satu hal yang sangat penting adalah ikhlas dan jalani takdirNya dengan lapang dada. Hidup yang kita jalani bagaimanapun ceritanya adalah yang terbaik bagi kita. Semoga di sisa umur kita penuh hikmah, memiliki kebaikan diri yang semakin bertambah, dan istiqomah dijalanNya.
Pertajam Dakwah Digital, FPSB Gelar Pelatihan Menulis Artikel Dakwah
/in Berita Sorotan/by Widodo Hesti PurwantoroSalah satu cara menghidupkan Islam adalah dengan memperkenalkan Islam kepada publik secara terus menerus. Memperkenalkan nilai-nilai yang menurut Islam sebagai kebaikan maupun keburukan. Jangan sampai nanti ada generasi yang tidak tahu bahwa sesuatu yang dilakukannya adalah suatu keburukan. Dan mestinya yang menjadi panduan atau rujukan adalah Al Quran dan Hadits. Semangatnya adalah ber-amar ma’ruf nahi munkar. Read more
Dosen Psikologi UII Masuk 100 Ilmuwan Sosial Top Indonesia
/in Berita Sorotan, Prestasi/by Widodo Hesti PurwantoroSebagai salah satu perguruan tinggi swasta kategori terbaik di Indonesia, Universitas Islam Indonesia (UII) banyak menorehkan prestasi di kancah nasional maupun internasional. Mengawali tahun 2022 ini, kabar baik kembali menghampiri UII dengan masuknya seorang dosen Prodi Psikologi (Psi) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) dalam 100 Ilmuwan Sosial Top Indonesia menurut lembaga pemeringkatan dunia AD Scientific Index (Alper-Doger Scientific Index). Dosen tersebut adalah Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog yang menempati urutan 17. Selain Fuad Nashori, Sonny Andrianto, S.Psi., M.Si., Ph.D. juga berhasil masuk dalam urutan 55 dosen UII yang masuk dalam jajaran ilmuwan top. Read more
Pengabdian Masyarakat: FPSB Gelar Workshop bersama Gerakan Indonesia Beradab dan Yayasan Rumah Teduh
/in Arsip Pengumuman Agenda Kegiatan-out off date, Berita Sorotan/by Widodo Hesti PurwantoroHope (Harapan) tertinggi itu jelek karena akan kehilangan kewaspadaan. Ketika hope tidak memiliki kewaspadaan, maka akan terjadi ekspektansi. Jika ekspektasi tidak sesuai, maka akan hancur. Yang benar adalah balance. Tidak optimis dan tidak pesimis. Ada keyakinan bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan, dibalik kegagalan ada pelajaran dan seterusnya. Read more
Sambut PKM 2022, FPSB UII Studi Banding ke FISIP Universitas Brawijaya
/in Berita Sorotan, Kunjungan/by Widodo Hesti PurwantoroDalam rangka mengoptimalkan capaian keikutsertaan dalam ajang bergengsi Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) tahun 2022, Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni (KKA) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universita Islam Indonesia (UII), Dr.Phil. Emi Zulaifah, M.Sc., beserta 24 peserta yang terdiri dari Tenaga Kependidikan serta perrwakilan dosen dan mahasiswa dari Program Studi yang ada di di lingkungan FPSB UII secara khusus melakukan kunjungan studi banding ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB), Malang, Rabu, 12 Januari 2022. Dipilihnya Universitas Brawijaya tak lain karena Universitas ini cukup memiliki banyak prestasi bidang kemahasiswaan khususnya pada program PKM. Read more
FPSB UII Sambut Doktor Baru
/in Berita Sorotan/by Widodo Hesti PurwantoroDi penghujung akhir tahun 2021 atau tepatnya 31 Desember 2021, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar proses penyambutan 6 Doktor Baru secara daring. Keenam Doktor baru yang dimaksud adalah Susilo Wibisono, S.Psi., M.A., Ph.D., (Prodi Psikologi), Iwan Awaludidn Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D. (Prodi Ilmu Komunikasi), Dr. Zaki Habibi, S.I.P., M.Comms., (Prodi Ilmu Komunikasi), Dr. Herman Felani, S.S., M.A., (Prodi Ilmu Komunikasi), Puji Rahayu, S.Pd., MLST., Ph.D (Prodi Pendidikan Bahasa Inggris), dan Hasbi Aswar, S.I.P., M.A., Ph.D . (Prodi Hubungan Internasional). Read more
Kalender Akademik Semester Genap TA. 2021/2022
/in Agenda Kegiatan, Divisi Administrasi Akademik/by Widodo Hesti Purwantoro