Membaca dan Menulis Dalam Islam

Oleh : Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A.——–

Membaca dan menulis adalah ibadah yang utama dalam agama Islam. Ummat Islam umumnya memahami bahwa wahyu pertama Surah Al-Alaq 1-5 mengandung perintah untuk membaca juga menulis. Perintah membaca disebutkan dua kali dalam wahyu pertama ini:

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq 1-5)

Tafsir Ibnu Katsir banyak menyediakan cerita mengenai bagaimana respon Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan istrinya Khadijah ketika mendapat wahyu pertama. Khadijah demi menenangkan Nabi SAW, mengajak Nabi bertemu sepupu Khadijah bernama Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdi’l Uzza bin Khusay. Waraqah adalah penganut Nasrani menulis kitab dan juga menulis Injil dengan bahasa Arab. Waraqah menerangkan bahwa yang menemui Nabi SAW  adalah Namus (Jibril) yang juga menemui Musa a.s. Waraqah meyakinkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menerima wahyu. Fokus Ibnu Katsir pada penegasan kewahyuan ini dapat dimafhumi karena konteks penafsiran yang dibutuhkan saat itu adalah keimanan pada turunnya wahyu pada Nabi Muhammad.

Sementara itu Ziauddin Sardar, seorang cendekia muslim mengemukakan bahwa wahyu Surah Al-Alaq ayat 1 sampai dengan 5 adalah bukti kebudayaan pengetahuan ilmiah yang menjadi dasar dari masyarakat muslim. Menurut Sardar, wahyu pertama yang datang pada Nabi SAW menyinggung mengenai tindakan komunikasi yang membantu muslim dalam memproduksi pengetahuan; yakni membaca dan penggunaan alat komunikasi (digambarkan dengan Qolam/pena).

Kata ‘Iqra’ (bacalah) mengimplikasikan ide dari kesadaran berkomunikasi. Tindakan membaca baik dengan suara atau tidak, pastilah mengandaikan adanya pemahaman mengenai kata dan ide yang diterima dari sumber luar. Pena (Qolam) juga merepresentasikan ide komunikasi. Pena adalah simbol bagi teknologi komunikasi yang digunakan untuk persebaran pengetahuan. Pena sebagai simbol komunikasi adalah instrumen untuk menjawab seruan Al-Quran bagi muslim, yaitu membaca.

Ayat-ayat Al-Quran yang pertama diturunkan itu mengindikasikan bahwa pondasi sebuah kebudayaan dan masyarakat adalah didasarkan dari tindakan membaca dan menulis, selain riset dan penggunaan teknologi komunikasi dalam rangka transmisi pengetahuan dan informasi. “Sebuah masyarakat yang tidak mendemonstrasikan perilaku ini tidak dapat disebut sebagai masyarakat ideal dalam Islam” (Sardar, 1993)

Komunitas muslim pertama yang terbentuk di Madinah, merekam Al-Quran pada segala sesuatu yang bisa mereka dapatkan. Nabi Muhammad SAW sendiri punya keputusan-keputusan yang didokumentasikan. Ada hampir 300 dokumen yang tersimpan hingga sekarang. Misalnya perjanjian politik, catatan militer, penugasan resmi dan korespondensi diplomatik yang ditulis di kulit. Nabi memang seorang ummiy, tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi beliau dibantu oleh 45 sekretaris (ahli lain menyatakan 60) yang mencatat apa yang beliau katakan, instruksikan dan kegiatannya.  Hal yang menakjubkan dari ummat Islam masa awal adalah mereka dapat menemukan sebuah ilmu yang hingga sekarang bertahan; mustholahul hadits.

Utsman, kalifah ketiga, barangkali tidak terlalu menemui hambatan berarti ketika menyusun rekaman Al-Quran ke dalam mushaf. Hal ini karena karakter dari rekaman Al-Quran. Hal yang menjadi masalah adalah upaya merekam dan mengajarkan apa yang dilakukan dan dibicarakan oleh Nabi SAW atau hadits. Pasalnya, ia adalah rekaman pada kegiatan Nabi SAW sehari-hari. Namun masalah ini kemudian dipecahkan dengan solusi yang unik; sains penyampaian, validasi dan otentikasi Hadits (Mustholahul Hadits). Metode atau ilmu ini kemudian menjadi basis intelektual dalam manajemen informasi dalam peradaban Islam -bahkan hingga sekarang.

Penghormatan pada kegiatan membaca dan menulis ini bahkan membuat peradaban Islam berperan sebagai perantara teknologi kertas masuk ke Eropa. Kertas adalah medium yang penting dalam membaca dan menulis.

Ummat Islam berkenalan pertama kali dengan kertas di Samarkand (sekarang daerah Uzbekistan) pada tahun 751 Masehi. Kala itu, muslim belajar pada pekerja kertas China yang biasa membuat kertas dari buat Mullberry. Mulberry tidak ada di Arab, lalu ummat Islam menggantinya dengan linen dan kapas dan juga cetakan dari bambu. Akhirnya pabrik kertas pertama didirikan di Baghdad pada 793 pada masa Khalifah Harun Ar Rasyid. Industri kertas di daratan Eropa dibuat pertama ketika dinasti Abbasiah menguasai Spanyol. Pabrik kertas pertama ada di Jativa pada abad 10.

Sementara itu,  masyarakat Eropa baru mendirikan pabrik kertas pertama pada tahun 1276 di Fabriano, Italia. Barangkali itulah mengapa, terutama di dalam ilmu komunikasi, selalu diperkenalkan penemuan ‘percetakan’ oleh Johann Gutenberg sebagai perubah sejarah dunia, ketimbang penemuan ‘kertas’. Kita selalu dikenalkan pada ‘Revolusi Percetakan’ sebagai penggerak peradaban, ketimbang penemuan kertas. Meski sebenarnya percetakan tidak akan dikenali bila tidak ada industri kertas sebagai pendahulunya.

Berdasarkan gambaran tadi, kita dapat menggarisbawahi beberapa poin. Pertama bahwa Islam yang melihat membaca dan menulis sebagai ibadah, sebagai instrumen diri untuk mendekatkan pada pengetahuan dan kemudian pada Tuhan. Kedua, dengan menjadikan membaca dan menulis sebagai ibadah, masyarakat Islam tumbuh dan menggerakkan peradaban, meninggikan kemanusiaan.

Bagaimana dengan Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia?

Survei yang sering dikutip mengenai minat baca masyarakat Indonesia adalah survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019 yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Survei ini menemukan bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonedia menempati ranking ke 62 dari 70 negara, atau berada 10 negara terbawah (Utami, LD. 2021) Membaca belum menjadi kebisaan yang tumbuh dalam kebiasaan masyarakat, meski Indek Kegemaran Membaca (IKM) menunjukkan peningkatan. Pada 2016, IKM Indonesia mencatat skor 26,5 dan menjadi 55,74 pada 2020 (Retno H. 2021).

Mestinya, masyarakat Indonesia memiliki kesadaran akan pentingnya membaca dan menulis sebagai jalan menjadi masyarakat ilmiah. Atau minimal rajin membaca, sebab membaca adalah ibadah pertama yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat disebut -meminjam ungkapan Sardar: ‘masyarakat Ideal dalam Islam’.

Memang harus diakui, bahwa baca-tulis modern (latin) baru dikenal luas di Indonesia setelah awal abad 20. Baca tulis sebenarnya sudah ada di zaman sebelumnya. Misalnya banyak kyai pesantren menuliskan manuskrip, biasanya merupakan salinan Al-Quran atau karya para sarjana Islam, terutama fiqh. Pada abad 8 misalnya, kisah kitab suci dapat dipahatkan di atas relief candi (misalnya Candi Borobudur yang terdiri dari tiga sutra suci Buddha). Tetapi, tidak seperti sekarang, keterampilan baca-tulis kala itu hanya sedikit dan dikuasai oleh segelintir orang.

Akibatnya membaca bagi masyarakat umum di nusantara bukanlah membaca dalam kerangka untuk memahami (membaca rasional), tetapi meresitasi/menghapal atau menembang. Laporan kolonial yang dibuat Van der Chisj pada 1867 menceritakan bahwa;

Penduduk bumiputera mengenal dua cara membaca; pertama, dengan cara seperti kita, bedanya mereka jarang memahami tujuan resitasi; kedua, membaca dengan cara menyanyikannya (nembang maca). Mereka hanya menggunakan cara pertama, apabila cara kedua tidak mungkin, karena bagi mereka cara kedua pasti sangat digemari dan betul-betul dirasakan sebagai cara yang benar. (dikutip oleh Moriyama, 2003)

Teknik membaca yang demikian, menghasilkan pengetahuan yang hanya didapat dari otoritas tertentu. Sebab meresitasi dan menembang pada dasarnya hanya bertujuan pada hafalan, dan bukan interpretasi atau pemahaman. Artinya, masyarakat nusantara terlatih untuk menghafal dan bukan membaca. Artinya pula, bahwa bacaan ditujukan untuk melayani otoritas penguasa, ketimbang menjadi instrumen untuk pengetahuan.

Tulisan juga sangat jarang. Sebab menulis akhirnya juga dilakukan hanya oleh otoritas tertentu. Kita sama-sama tahu bahwa tulisan di zaman dahulu hanya dilakukan oleh pujangga istana.

Oleh karenanya, masyarakat Indonesia barangkali punya kebiasaan; ketika baca-tulis tidak berhubungan dengan kekuasaan atau hal yang pragmatis, maka baca-tulis dianggap kurang berguna. Sama dengan seorang mahasiswa yang tidak akan membaca materinya jika tidak dihadapkan pada pengajar atau mekanisme ujian.

Apakah Islam ketika masuk di Indonesia ikut dalam tradisi nusantara tersebut? Tampaknya jawabannya adalah ‘ya’. Sebagian besar muslim kala itu masih memperlakukan membaca adalah untuk hafalan dan bukan pemahaman.

Tetapi tidak adakah sama sekali yang mendorong pembacaan rasional?

Sampai di sini, kita perlu ingat lirik bagian tembang yang dikarang Sunan Bonang, seorang wali di abad 15: “Tombo Ati Iku Limo Perkarane, kaping pisan moco Quran sak maknane… (Obat hati ada 5 perkaranya, yang pertama, baca Quran dan maknanya)”.

Lirik ini barangkali sederhana dan tidak ada yang istimewa. Tetapi jika dihadapkan dengan kultur membaca nusantara yang bertujuan untuk hafalan, lirik ini adalah lirik yang sangat penting. Bahwa membaca dalam Islam sebagaimana membaca Quran, menurut Sunan Bonang, mestinya tidak dilakukan sebagaimana kebiasaan membaca kala itu. Membaca dalam Islam, adalah membaca dengan pemahaman atas makna, sebagaimana membaca Quran. Membaca adalah untuk pengetahuan dan bukan dalam kerangka pragmatis.

Tampaknya, perjuangan Sunan Bonang dalam menumbuhkan tradisi membaca Islam di Nusantara masihlah panjang. Oleh karenanya, tulisan ini berusaha untuk mengingatkan kembali hikmah wahyu pertama Al-Quran mengenai perintah membaca dan menulis. Meski kita, sebagai masyarakat Indonesia, bangga menjadi negara berpenduduk muslim terbesar, pada faktanya kita masih belum menumbuhkan budaya Islam yang paling awal yakni membaca dan menulis. Ini masih menjadi pekerjaan rumah kita di masa mendatang. []

 

Daftar Pustaka

Moriyama, M. 2003. Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya dan Kesusastraan Sunda Abad ke 19. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama

Retno, H.2021. Miris, Minat Baca di Indonesia Menurut UNESCO Hanya 0,001 persen dapat diakses di https://portalbandungtimur.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-941922838/miris-minat-baca-di-indonesia-menurut-unesco-hanya-0001-persen

Sardar, Z. (1993). Paper, printing and compact disks: the making and unmaking of Islamic culture. Media Culture and Society, 43-59.

Utami, LD. 2021. Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara dapat diakses di : https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661