Meningkatkan Kematangan Beragama

Oleh : Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog—-

Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam dikenal sebagai bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini tampak dari keyakinan akan adanya Tuhan, ritual agama yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari, maupun dari perilaku sosial-moral yang didasarkan pada ajaran agama yang dianutnya. Sebagai masyarakat yang religius, bangsa Indonesia menempatkan keimanan dan ketakwaan (imtak), di samping ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sebagai kualitas yang diperjuangkan perwujudannya. Penempatan religiusitas sebagai hal yang penting tampak dari kebijaksanaan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh dasar negara, perundang-undangan, dari harapan-harapan masyarakat, maupun dari harapan-harapan individu yang ada dalam masyarakat.

Harapan akan terus bertumbuh kembangnya keimanan dan ketakwaan ini adalah harapan sebagian besar masyarakat Indonesia. Trend ke arah meningkatnya keberagamaan sesungguhnya terbuka. Sebagian besar umat Islam di Indonesia berafiliasi dengan organisasi-organisasi besar dalam keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Front Pembela Islam (FPI), dan sebagainya demi menghidupkan keberagamaannya. Sayangnya kadang usaha meningkatkan keberagamaan ini dilakukan dengan cara yang kontroversial dan bahkan sesat, yaitu bergabung bersama kelompok sempalan-sempalan agama. Kesalahan dalam pemilihan afiliasi beragama ini bisa jadi menghasilkan hal yang sebaliknya, yaitu keberagamaan yang sempit. Keberagamaan yang sempit ditandai keengganan memperbahaui ilmu agama, mudah menyalahkan kelompok agama lain, dan memandang agama hanya urusan ritual dan semata-mata bersifat personal.

Harapan tentang religiusitas pada diri bangsa Indonesia ini tampaknya banyak memperoleh tantangan bahkan ancaman. Di tengah isu globalisasi dan digitalisasi, berbagai tantangan yang dapat saja menggerus kekuatan religiusitas ternyata semakin hari kian menguat. Hadirnya internet, play station, video game, media sosial, dan berbagai produk teknologi informasi yang menjadi media penyebaran paham hedonisme, konsumtivisme dan materialisme, ternyata melenakan sementara orang sehingga mereka meninggalkan praktik-praktik ibadah dan akhlak mulia yang semestinya mereka jalankan. Bahkan sejumlah orang pesimis terhadap masa depan religiusitas umat manusia. Ahli-ahli psikologi Budi Andayani dan Koentjoro mengungkapkan adanya kecenderungan pergeseran untuk meninggalkan religiusitas serta mementingkan dan mendewakan hedonisme, materialisme, dan konsumtivisme. Pada saat ini sebagian orang mengkhawatirkan apa yang dikhawatirkan oleh Andayani dan Koentjoro, yaitu semakin menipisnya rasa keberagamaan seseorang.

Di antara berbagai tantangan dan ancaman, tetap ada harapan akan bertumbuh kembangnya kematangan beragama. Seorang ahli psikologi, yaitu Gordon W. Allport, dalam buku klasik The Individual and His Religion: a Psychological Interpretation (1967), menyebut masalah rasa keagamaan itu dengan istilah kematangan beragama (the mature religious sentiment). Kematangan beragama dapat diartikan sebagai sentimen keberagamaan yang mendalam yang terbentuk melalui pengalaman. Sentimen keberagamaan merupakan sistem kesediaan yang ada dalam diri individu yang terarah ke dan terorganisasi di sekitar objek nilai tertentu. Orang yang matang beragama memiliki pemahaman yang tinggi terhadap agama yang dianutnya, mencoba untuk terus memperbaharui pemahaman agamanya, bersedia untuk mencocokkan perilaku dan kebiasaan dengan apa yang diajarkan oleh agama, dan berupaya agar perilakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang ada dalam ajran agamanya.  Lebih lanjut, inilah ciri-ciri kematangan beragama yang saya sarikan dan interpretasikan secara bebas dari David M. Wulff dalam buku Psychology of Religion: Classic and Contemporary Views (1991).

Ciri Orang yang Matang Beragama

Ciri pertama adalah mampu menyadari dan menjabarkan ajaran agama yang diyakininya. Mereka mampu menjelaskan agamanya, baik yang masuk akal dan tidak. Dalam setiap agama, termasuk agama yang diyakininya, ada bagian yang rasional dan ada bagian yang dogmatis dalam agama. Dalam ajaran agama ada bagian yang dapat dipahami oleh akal. Sebagian besar ajaran agama masuk dalam wilayah rasional, sesuatu yang mudah diterima oleh umumnya akal manusia. Perlunya berakhlak baik terhadap orangtua, anak, saudara, tetangga, umat manusia pada umumnya adalah contoh ajaran agama yang mudah diterima akal. Namun, agama juga mengajarkan sesuatu yang tidak mudah diterima oleh akal. Kalupun mudah, butuh waktu untuk mencernanya, seperti adanya surga dan neraka, adanya malaikat raqib dan malaikat atid yang selalu mencatat perbuatan kita, adanya jin yang dapat ganggu kehidupan kita, ada arsy Allah, tiap kepak sayap burung ada zikirnya, dan seterusnya. Tidak hanya mempercaya sisi rasional dan sisi dogmatis dalam agama, orang yang matang beragama juga mampu menjabarkan ajaran agamanya. Mereka mampu menerangkan berbagai macam ajaran agama, termasuk bagian agama yang dapat dengan mudah diterima manusia dan bagian agama yang butuh waktu untuk diterima kebanyakan manusia. Lebih lanjut, mereka juga berupaya untuk mengharmoniskan hal yang rasio dan dogmatis.

Ciri kedua adalah berupaya komprehensif dalam beragama. Mereka menyadari universalitas agama. Di satu isi mereka meyakini agama yang dipeluknya adalah agama yang benar atau bahkan yang paling benar. Namun, mereka juga menyadari ada kebenaran pada agama-agama lain yang tidak dipeluknya dan ada kebenaran pada keyakinan pada kelompok lain pada ajaran agama yang sama dengan mereka. Karenanya, mereka mengembangkan adanya toleransi dalam beragama. Orang yang matang beragama manyadari bahwa pemeluk agama lain boleh saja sangat yakin sepenuh hatinya dengan agamanya dan menganggap ajaran agamanyalah yang paling benar. Orang yang matang beragama menyadari sepenuhnya bahwa anggota kelompok agama yang berbeda sekaligun ajaran pokok agamanya sama bisa memiliki keyakinan yang khas, sesuatu yang berbeda dengan apa yang diyakini individu. Sebagai contoh, dalam Islam ada kelompok agama yang memilih ber-tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara tertentu) melalui orang-orang saleh dan ada yang hanya memilih melalui amalan tertentu (seperti membaca zikir, asmaul husna, fatihah, bacaan qur’an lainnya). Sekalipun tidak memilih bertawassul melalui orang saleh, orang yang matang beragama tetap menghargai tawassul yang dilakukan kelompok agama yang menggunakan orang-orang saleh di masa lalu sekalipun dirinya hanya mau bertawassul dengan menggunakan amal tertentu.

Ciri ketiga dari kematangan beragama adalah dinamis dalam beragama. Orang yang matang beragama banyak merenungkan dirinya agar terus melakukan perubahan atau perbaikan. Dalam Islam, umat beragama diperintahkan untuk melakukan tafakkur (melakukan renungan yang mendalam). Perenungan diri dimaksudkan untuk menilai apakah dirinya telah menjalankan agama secara lebih baik dari waktu ke waktu. Perenungan diri ini sangat berguna untuk mengukur sejauh mana pencapaian dirinya dalam beragama. Perenungan juga dilakukan sejauh mana dirinya telah memberi sumbangan kepada pengembangan masyarakat yang ada di sekitarnya, terutama keterlibatan dirinya dalam memperbaiki perilaku atau akhlak masyarakat yang ada di lingkungannya. Kesadaran diri ini mendorong mereka untuk meningkatkan kualitas keberagamaannya yang ditandai oleh peningkatakan kebermaknaan dirinya di hadapan Tuhan. Kebermaknaan hidup sendiri dicapai melalui kebermaknaan atas ritual atau ibadah yang rutin dilakukannya dan perilaku sosial yang telah ditunjukkannya.

Ciri keempat adalah konsistensi moral. Orang yang matang beragama berupaya agar perilaku sosialnya didasari oleh prinsip-prinsip moral yang ada dalam agamanya. Mereka berupaya untuk dapat menjunjung tinggi kejujuran, penghargaan terhadap sesama, keberpihakan terhadap fakir miskin dan anak yatim, dan sebagainya dikarenakan ajaran agama menuntun demikian. Mereka juga berupaya meninggalkan penipuan termasuk korupsi, perzinaan, minuman keras, dan kemaksiatan lainnya dikarenakan agama menuntun demikian.

Ciri kelima adalah berupaya mengaitkan agama dengan bidang lain kehidupan. Orang yang matang secara menyadari bahwa agama mengatur seluruh sisi kehidupannya. Agama mengatur kehidupannya terkait ekonomi, kesenian, politik, lingkungan, seni dan budaya, teknologi, dan sebagainya. Beragama secara matang beragama berarti mengupayakan agar seluruh kehidupan itu terintegrasi dengan agama.   Dalam berpolitik, individu merujuk ke ajaran agamanya. Ketika melakukan aktivitas ekonomi, mereka merujuk ke agamanya. Ketika berkesenian, mereka merujuk ke agamanya. Ketika memandang dan memperlakukan lingkungan fisik, tumbuhan, dan binatang, mereka juga merujuk ke ajaran agamanya. Ketika memanfaatkan teknologi apapun, mereka merujuk kepada ajaran agamanya.

Ciri keenam adalah berupaya untuk selalu mengembangkan pemahaman dan penghayatan agama. Orang yang matang beragama menyadari keterbatasan dirinya dalam beragama, terutama ilmu agama. Karenanya, mereka berusaha untuk terus menerus meningkatkan pengetahuan dan penghayatan agamanya. Mereka membuka diri untuk memperoleh pencerahan secara terus menerus demi meningkatkan pengetahuan dan penghayatan agamanya. Mereka tidak nyaman kalau hari berganti namun pengetahuan dan penghayatan agamanya mandek apalgi setback (mengalami kemunduran).

Beberapa Keprihatinan

Berbagai kasus akhir-akhir ini menunjukkan  kematangan beragama dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal ini tampak dari adanya dan berkembangnya pandangan anggota masyarakat yang sempit dalam agama. Mereka memahami agama secara parsial. Bahkan, dikarenakan sering memandang agama sebagai “kelompok agama”, maka mereka sangat mudah membenci dan bertindak tidak adil terhadap orang-orang yang berbeda “kelompok agama” sekalipun agama formalnya sama. Mereka yang memiliki ketidakmatangan beragama sangat mudah diprovokasi untuk membenci orang-orang yang berasal dari kelompok agama lain. Ini menunjukkan pemahaman agama mereka tidak komprehensif.

Selain itu, kita juga menemukan sejumlah fenomena ketidakmampuan memahami agamanya secara utuh. Mereka  yang memiliki kebencian terhadap “kelompok lain” melakukan berbagai macam tindak agresivitas dan kekerasan, baik secara individual maupun kelompok, dengan mengatasnamakan agama. Secara empirik, orang-orang Indonesia, bisa dipengaruhi untuk bertindak agresif setelah mereka mendengarkan penjelasan ayat-ayat yang disalahartikan sebagai ayat agresif. Bukti empirik yang disampaikan Nurjannah (UIN Yogyakarta) menunjukkan bahwa seseorang dapat meningkat agresivitasnya setelah memperoleh perlakuan yang berisi rangsangan ayat-ayat yang ditafsirkan secara subjektif sebagai ayat “agresif” yang diambil dari kitab suci al-Qur’an. Orang yang memandang dirinya religius namun berperilaku penuh kekasaran dan kebencian patut untuk menyadari bahwa orang beragama adalah orang yang berusaha memperjuangkan kebaikan dan keselamatan manusia. Penganut Islam seharusnya dengan tuntas menyadari bahwa agama yang dianutnya bertujuan untuk menghasilkan kebaikan bagi semua makhluk (rahmatan lil alamin).

Bukti ketidakmatangan dalam beragama lainnya adalah enggan untuk terus menerus memperbaiki pemahaman keagamaannya. Memperbaiki religiusitas dapat dilakukan dengan terus menambah wawasan keagamaan dengan menyegarkan kembali pengetahuan agama. Ketika seseorang berpandangan bahwa ilmu agamanya sudah cukup dan tidak bersemangat untuk menyebarkan Kembali keberagamaannya, itu menjadi pertanda awal tentang layunya keberagamaan.

Meningkatkan Kematangan Beragama

Dengan memperhatikan kondisi sebagaimana disebutkan, muncul pertanyaan: apa yang dapat meningkatkan kematangan beragama? Berdasarkan pendapat David M. Wulff diketahui bahwa kematangan beragama seseorang berkaitan dengan perkembangan usia ditambah dengan berbagai pengalaman hidup seseorang. Pengalaman hidup yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan akan memberikan sumbangan bagi berkembangnya kematangan beragama orang tersebut.

Sekalipun demikian, perlu disadari bahwa sekalipun usia menjadi faktor yang dapat mempermatang keberagamaan seseorang, tidak dengan sendirinya bertambah usia akan bertambah kematangan beragamanya. Ketika seseorang bertambah usia namun tidak melakukan usaha peningkatan pengetahuan dan penghayatan agama atau tidak membuka diri untuk meningkat pengetahuan dan penghayatan keagamaan, maka yang terjadi adalah kemandekan. Bahkan, sekalipun usia bertambah namun individu memilih cara berpikir sempit, maka yang terjadi adalah setback (kemunduran).

Karenanya, upaya peningkatan kematangan beragama perlu dilakukan secara sengaja. Ada upaya kesengajaan yang intensif-kuat dan ada yang berlangsung secara gradual. Pengalaman yang tidak sengaja dan bersifat gradual adalah hal-hal yang dialami seseorang dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat rutin. Pengalaman yang tidak sengaja dan bersifat kuat pengaruhnya di antaranya adalah keajadian-kejadian mengesankan yang didapatkan seseorang dalam kehidupan nyata. Pengalaman yang sengaja dan gradual antara lain dapat dilihat dari pendidikan yang ditempuh seseorang. Terakhir, pengalaman yang disengaja dan bersifat intensif adalah rangsangan-rangsangan kuat yang antara lain berupa keterlibatan dalam berbagai aktivitas keagamaan. Terus menerus berupaya meningkatkan pengetahuan agama dengan berguru kepada ulama tertentu secara langsung atau berupaya mengikuti berbagai pengajian melalui youtube dan media lainnya adalah cara untuk terus menerus memperbaharui pemahaman keagamaan.

Memiliki teman-teman yang saleh juga penting untuk mempermatang keberagamaan. Teman-teman yang saleh adalah orang lain yang memilih semangat yang sama untuk dapat beragama secara baik dan benar. Bila ada penyimpangan dalam memahami, mempraktikkan dan menghayati agama, orang-orang yang saleh akan meluruskannya. Bila ada kekendoran dalam beragama, orang-orang saleh akan membantu menyemangati lagi keberagamaan kita.

Selain itu, salah satu cara untuk meningkatkan kematangan beragama, terutama dinamis dalam beragama dan konsistensi moral, adalah dengan melakukan perenungan secara intensif. Perenungan secara intensif dilakukan dengan cara sejenak menjauhkan diri dari aktivitas rutin dan bersama banyak orang. Nabi Muhammad saw dulu melakukan khalwat (menyendiri dan menjauh dari pandangan orang-orang) ke gua Tsur untuk melakukan perenungan mendalam tentang akhlak penduduk Makkah. Raja Sulaiman dari Turki Utsmani juga suka melakukan khalwat untuk merenungkan problem sosial di istana dan masyarakatnya. Cara ini memungkinkan seseorang mengambil jarak dengan problem masyarakatnya sehingga dapat memahami masalah secara lebih komprehensif.

Demikian. Bagaimana menurut Anda?

————–

Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog

Dosen dan Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII; Ketua Inter-Islamic University Conference on Psychology Forum (2014-2022)