Oleh : Dr. Faraz, MM——
Berkembangnya teknologi media sosial di Indonesia telah menguak banyak fakta luar biasa tentang fenomena mualaf (orang yang mendapat hidayah dan mengucapkan 2 kalimah syahadat). Bagaimana kisah atau perjalanan mereka masuk Islam, seringkali sangat sederhana tetapi tidak jarang penuh perjuangan. Carissa Grani, seorang dokter gigi yang bekerja di Pemprov DKI, sering memperhatikan teman-temannya yang muslimah, memakai cadar, tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan sering berwudlu termasuk membersihkan hidung. Carissa berpikir bahwa perilaku teman-temannya itu ternyata sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia di dunia saat mengahadapi pandemi Covid-19. Carissa kemudian menyimpulkan, “Inilah agama yang benar, karena sesuai dengan ilmu pengetahuan”. Atas dasar itu Carissa masuk Islam. Mudah sekali.
Bagi Koh Asen, warga Tionghoa di Jakarta Barat, masuk Islam baginya sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Dia sebenarnya terbuka dengan banyak agama, seperti Kongucu, Budha, dan Kristen, tetapi untuk Islam nanti dulu, tidak terpikir sama sekali, karena “Melihat tulisan Arab aja udah bikin pusing, “ katanya. Cara beribadah orang Islam, menurut Asen, berbeda dengan agama lain yang mempunyai objek untuk disembah. “Orang Islam menyembah apa, gak jelas, “lanjut Asen. Namun, apa yang terjadi kemudian, pada usia menginjak dewasa, Koh Asen mengalami perasaaan panas pada tubuhnya yang luar biasa. Hal ini dialami setiap musim kemarau. Pada saat musim hujan, rasa panas itu hilang. Pada suatu musim panas, ia merasa tidak kuat lagi. Ia pun keluar rumah di sore-sore, ia mau cari hiburan nonton film bioskop. Sebelum menonton, Asen iseng melihat lihat dagangan buku yang digelar di pinggir jalan, di depan bioskop itu. Niatnya ingin membeli buku TTS (Teka Teki Silang), tetapi Asen melihat ada judul buku yang mengusik pikirannya, berjudul Seputar Alam Gaib. Menariknya ketika Asen membuka buku itu, ada tulisan Arab, tentang ayat minta hujan, dan disitu ada anjuran, “Siapa yang menuliskan ayat ini pada batu hitam dan meletakkannya kemudian di bawah pohon kering akan mendatangkan hujan”. Kalimat itu langsung direspon Asen, dalam hatinya, ”Wah ini mah bohong, ngibul”. Asik melihat-lihat buku, Asen lupa bioskop sudah dibuka, ia bergegas dan meminta pedagang untuk membungkus buku TTS. Anehnya, ketika keluar dari bioskop, Asen terkejut karena buku yang dibungkus tadi bukan TTS tetapi Seputar Alam Gaib. Siapa yang menyangka, melalui buku itu, Koh Asen bisa masuk Islam, meskipun prosesnya tidak mudah, butuh tiga kali praktek minta hujan sesuai yang diperintahkan dalam buku. Percobaan pertama, Asen terkejut karena permintaannya tidak lama kemudian dikabulkan, hujan turun lebat. Namun, Asen menganggap itu cuma kebetulan. Empat hari kemudian ketika merasa panas lagi, Asen mencoba yang kedua, dan hasilnya sama. Asen mulai percaya tetapi belum yakin. Pada prosesi ketiga, Asen tidak bisa berbicara lagi, kecuali menangis, karena ia merasa sudah berdosa tidak percaya sejak awal pada Tuhan (Allah).
Imam Ibnu al-Qayim Al-Jauziyyah, salah satu murid terpenting Ibnu Taimiyyah, membagi hidayah dalam empat hal: (1). Hidayah umum ini diberikan Allah pada seluruh makhlukNya, sesuai Q.S. Thaha ayat 50 artinya; Musa berkata; “Rabb kami ialah rabb yang telah memberikan kepada makhluk setiap makhluk bentuk kejadiannya dan ia juga memberinya petunjuk”. (2). Hidayah bayan, berupa penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Fushshilat ayat 17, artinya “Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mareka (jalan kebenaran) tetapi mareka tidak mau mengikuti petunjuk”. (3). Hidayah taufik, merupakan suatu ilham dan kelapangan dada untuk menerima petunjuk Allah. Inilah hidayah (sempurna), sesuai Q.S. Faathir ayat 8, artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya”. (4). Puncak dari suatu hidayah yaitu hidayah syurga. Allah berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 43 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke surga) kalau Allah tidak menunjukkan kami”.
Kasus mualaf di Indonesia, seperti Carissa atau Koh Asen, menurut ketua Mualaf Center Indonesia (MCI), Koh Steven, jumlahnya sekarang sudah puluhan ribu orang. Namun, fokus tulisan ini bukan bagaimana mereka menjadi Mualaf, tetapi yang jauh lebih menarik adalah bagaimana para mualaf yang baru saja beberapa tahun beragama Islam tetapi sudah mempunyai kontribusi yang sangat signifikan bagi syiar Islam, jauh melebihi orang yang sudah Islam sejak lahir.
Sebut saja Felix Siauw, Ia masuk Islam 2002, tetapi penguasaan Al-Quran dan Hadits-nya luar biasa dibandingkan kita yang belajar Islam sejak lahir. Irena Handono, mantan biarawati, masuk Islam usia 26 tahun. Saat ini berprofesi ustadzah dan berdakwah ke berbagai kota di Indonesia. Terakhir, Yusuf Ismail, keturunan Tionghoa, penginjil di gereja, ayahnya pendeta, Ia masuk Islam 1994, kini kondang sebagai Kyai, memiliki pondok pesantren Al Hadid, di Karangmojo, Gunungkidul, DIY. Pertanyaannya, mengapa mereka jauh lebih cepat dalam belajar Islam? Mengapa mereka terlihat begitu mudah untuk istiqomah berprofesi sebagai pendakwah? Dibandingkan kita yang tetap asik dengan posisi duniawi sebagai pejabat di pemerintahan, di dunia ekonomi, di dunia politik maupun di dunia pendidikan seperti menjadi dosen.
Banyak dalil baik dari Al-Qurán maupun hadits yang menegaskan bahwa seorang mualaf, orang yang mengucapkan syahadat, akan dihapus semua dosanya yang dilakukan sebelumnya. “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…” (QS. Al-Anfaal: 38). Banyak hadits shohih, riwayat Bukhari dan Muslim juga memberikan penjelasan yang sama, bahwa siapa saja yang bersyahadat, memeluk agama Islam, maka akan dihapuskan dosa-dosa masa silamnya, dan seperti dilahirkan kembali, suci tanpa dosa.
Apakah karena dosa-dosanya dihapus sehingga para mualaf itu mudah istiqomah dalam berdakwah atau berjuang untuk Islam? Jawabannya bisa “Ya” bisa “Tidak”, karena tidak semua mualaf menjadi dai atau ustad, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang berani memutuskan keluar dari zona nyamannya. Hampir semua mualaf siap dimusuhi keluarganya, kelompoknya, dan siap kehilangan harta atau siap miskin. Koh Asen, bekerja di perusahaan orangtuanya, posisinya sebagai manajer, karena orangtuanya tidak senang ia masuk Islam, maka beliau digaji dengan standar gaji pegawai yang paling rendah di perusahaan itu. Yusuf Ismail dari keluarga yang berkecukupan, karena ayahnya seorang pendeta senior, langkahnya memeluk Islam telah membuat keluarganya kehilangan penghasilan dan jatuh miskin, tidak hanya tidak punya rumah, tetapi untuk makan sehari-hari saja sulit. Ia terpaksa memutuskan tidak kuliah, tetapi tetap istiqomah.
Salah satu sosok mualaf yang juga perlu dicatat disini yakni Koh Steven, ketua MCI itu. Posisi sebelumnya, adalah pendeta di gereja terkenal di Jakarta. Ia alumnus Perguruan Kristen (S2) di Universitas Leiden, Belanda. Ketika memutuskan masuk Islam, ia mundur dari gereja. Oleh orangtuanya ia diusir. Ia pun menjadi gelandangan di Jakarta, tidur tidak jelas, di emper toko atau di emper masjid. Ia hijrah ke Cilegon jadi kuli panggul dan pekerjaan serabutan lainnya. Dengan modal bahasa Inggris, ia akhirnya bekerja sebagai office boy sebuah perusahaan asing. Dari sini ia bisa menabung dan dibantu atasannya untuk pergi umroh. Pulang umroh ia bergerak cepat mendirikan Mualaf Center Indonesia. Melalui MCI, Koh Asen berhasil memfasilitasi orang masuk Islam sebanyak 58 ribu lebih. Ketika ia sudah maju, bekerja di lembaga riset dunia di Singapore, dan mempunyai bisnis kedai kopi di beberapa tempat, Allah mengujinya kembali. Pada awal tahun 2020, dunia dihantui ketakutan virus covid-19. Steven berpikir dampak negatif yang mungkin akan menimpah Indonesia ketika pandemik covid-19 merebak. Ia pun pulang ke Indonesia, menjual semua hartanya, dua rumah, tujuh mobil dan tiga motor gede, untuk membeli dan membuat masker serta beberapa peralatan medis yang dibutuhkan. Semua peralatan medis itu termasuk APD ia sumbangkan ke semua petugas kesehatan yang membutuhkan termasuk ke Yayasan-yayasan Kristen dan Budha yang menangani pasien covid-19. Dia sendiri kemudian mengontrak rumah di Yogyakarta bersama tim bisnis dan dakwahnya, sementara istrinya tinggal di Bandung bersama mertuanya. Mengapa dia mampu melakukan itu, banyak orang menilainya, “gila”, terbius agama dan sebagainya, tetapi Koh Steven sendiri punya argumentasi sederhana, menurutnya, harta yang dimiliki adalah titipan Tuhan, cepat atau lambat akan kembali ke pemiliknya, karena bencana atau faktor lain. “Daripada kembali ke Allah karena dipaksa, lebih baik saya sedekahkan saja” tegasnya. Menariknya, ketika banyak usaha berguguran karena pandemi, usaha Kedai Kopi Koh Steven, malah bertambah 19 outlet.
Bagaimana dengan kita, kita bukan orang awam, kita warga terpelajar, bahkan dari kita berprofesi sebagai dosen, bergelar doktor bahkan profesor. Kita mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam, yang mendorong untuk melakukan karya-karya yang mengintegrasikan Barat dan Islam. Pertayaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Seberapa besar tenaga dan pikiran yang kita sudah habiskan untuk Islam? Apakah kita sudah puas berjuang untuk Islam dengan standar minimalis? Apakah kita masih berat meninggalkan profesi yang lebih banyak menciptakan kenikmatan dunia? Apakah bekal kita sudah cukup untuk dibawa ke kampung akhirat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini, mari kita simak model lain, yakni dokter Zakir Naik, pendakwah kondang tingkat dunia. Ia merupakan alumnus terbaik dari fakultas kedokteran di kota kelahirannya Mumbay, India. Meski lulus dengan nilai terbaik, ia tidak melanjutkan profesinya sebagai dokter. Jiwanya bergetar dan menangis ketika Ahmad Deedat, gurunya, menyampaikan firman Allah Q.S. Al-Asr: 1-3. “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Surat ini hampir setiap hari kita baca, tetapi mengapa tidak memunculkan hidayah Allah? Sebaliknya, bagi Zakir Naik sangat cukup untuk meninggalkan profesi paling terhormat di kota Mumbay, menuju belajar menjadi pendakwah, dengan segala konsekwensi, tidak ada pemasukkan finansial, sebaliknya mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga untuk membaca dan berguru pada banyak ahli agama atau ulama.
Keluar dari zona nyaman mungkin mudah kita pikirkan, tetapi mengapa sulit untuk dipraktikkan. Persoalan klasik yang tidak kita disadari, bahwa jiwa yang kita anggap lebih penting dari pikiran dan tubuh, realitanya terbalik. Jujur, kita lebih mengutamakan tubuh dibandingkan jiwa. Perilaku kita untuk membesarkan jiwa, seperti ibadah terutama sedekah, umumnya sedikit sekali dibandingkan kegiatan untuk tubuh dan pikiran. Padahal, menurut Imam Al-Ghazali bahwa jiwa itu habitat kebaikkan, bila habitat itu kecil dan sempit, maka kebaikkan sulit dapat bertahan lama pada diri kita. Mungkin ini penyebabnya, mengapa kebaikkan tidak menjadi kebiasaan kita. Banyak kebaikkan dunia maupun akhirat yang kita tahu kebenarannya, tetapi sulit atau berat kita praktikkan. Ini juga mungkin yang menyebabkan kita sulit keluar dari zona nyaman, dari profesi yang lebih besar dunianya dibandingkan akhiratnya. Bila kita kembali kepada kriteria hidayah Ibnu Qayyim, mungkin kita baru berada pada level 2 (bayan), berupa seruan untuk berdakwah. Diantara kita sudah banyak yang berdakwah, tetapi banyak juga yang belum punya waktu untuk itu. Sampai di sini, penulis ragu, apakah kita benar-benar sudah mendapatkan hidayah taufik dari Allah (level 3), sebuah tingkatan yang harus dilalui sebelum mendapatkan hidayah tertinggi yakni surga. Fenomena keluar dari zona nyaman ala mualaf mungkin sedikit banyak akan mengusik hati dan pikiran kita untuk mencoba, semoga.
FPSB UII Gelar Pelatihan Pengembangan Kepemimpinan
/in Berita Sorotan/by Widodo Hesti PurwantoroSelama 2 (dua) hari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia menggelar pelatihan pengembangan kepemimpinan secara luring bagi mahasiswa FPSB UII (khususnya para penerima beasiswa FPSB UII), Sabtu-Ahad, 26-27 Maret 2022. Read more
Mappro Gelar Sumpah Profesi Psikolog ke-55
/in Berita Sorotan/by Widodo Hesti PurwantoroProgram Studi Magister Psikologi Profesi (MAPPRO) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar prosesi pengambilan sumpah profesi psikolog secara daring, Sabtu, 26 Maret 2022. Ada 8 lulusan Program Studi MAPPRO yang diambil sumpahnya pada pengambilan sumpah periode ke-55 ini, yakni Anggita Nadya Yulanda, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Dita Amalia Rahmawati, S.Psi., M.Si., Psikolog, Husna Astria Aritonang, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Nikki Khoirunnisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Nurin Baroroh, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Amellia Rozza Destyani, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Indy Cita Aisyah, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan Khairul Fadhilah Mahfuzatillah, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Read more
Ramadhan: Momentum Kembali pada Tuhan
/in Berita Sorotan/by Widodo Hesti PurwantoroRamadhan sebagai momentun menormalisasi kehidupan. Ramadhan juga momentum untuk mengejar ketertinggalan spiritual. Allah menyediakan banyak kesempatan untuk mengejar ketertinggalan spiritual melalui keberkahan, rahmat dan ampunan di Bulan Ramadhan. Seyogyanya kita bisa bersama-sama untuk seoptimal mungkin serius dalam beribadah di Bulan Ramadhan mendatang. Ramadhan sebagai momentum untuk kembali kepada Tuhan. Read more
Menjadi Pemimpin Amanah
/in Syiar Islam/by Widodo Hesti PurwantoroOleh: Willi Ashadi ——-
Artikel Islam ini direncanakan berisi empat poin bahasan, yaitu bahasan pertama adalah urgensi pemimpin dalam Islam, sebagai refleksi mengapa kepemimpinan itu penting dalam kehidupan serta dalam ajaran agama Islam. Bahasan kedua, mengenai kepemimpinan yang zalim, kemudian diuraikan apa saja kriteria kepemimpinan yang zalim serta contoh contoh kepemimpinan yang zalim. Pembahasan ketiga, mengulas kepemimpinan Islam, dimana penulis akan menguraikan kepemimpinan yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Ulasan ini banyak menguraikan dalil dalil normatif yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis mengenai kepemimpinan Islam serta model pemimpin dalam Islam. Sebagai penutup tulisan, pada bahasan terakhir penulis memberikan rekomendasi kepada calon pemimpin agar suatu saat ketika menjadi pemimpin maka jadilah pemimpin yang amanah. Penulis akan mengeksplorasi kepemimpinan Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan keteladanan Rasulullah SAW. Read more
Jalanku Berkait Masjid
/in Syiar Islam/by Widodo Hesti PurwantoroOleh : Aris Budiono—-
Alkisah, sebuah cerita pribadi yang mungkin akan bermanfaat ketika saya mencoba untuk menulis di waktu ini. Kelas dua sekolah teknik kejuruan di Yogyakarta adalah awal mula hati saya terbuka memikirkan sebuah masjid. Diawali dari sebuah kegiatan masjid yang saat itu jarang terlihat ada pemuda ikut mengurusnya. Saat itu ada perkataan seorang sesepuh masjid, yang waktu itu menurut saya sangat menyayat hati ketika pemuda mendengarnya: “Cah enom saiki ki isone ngopo, acoro masjid we ra ono pemudane sik ngurusi.” (Anak muda sekarang bisanya ngapain, ada acara masjid saja pemuda tidak ada yang ikut mengurusi). Read more
INFORMASI PENTING SEPUTAR PERKULIAH LURING FPSB UII
/in Arsip Pengumuman Agenda Kegiatan-out off date/by Widodo Hesti PurwantoroAssalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh
Berikut kami sampaikan beberapa informasi penting seputar penyelenggaraan KULIAH LURING di FPSB UII Tahun 2022 untuk kebaikan bersama di masa Pandemi Covid-19 ini.
Berikut beberapa informasi yang kami sampaikan:
1. Informasi Grafis Alur Masuk Perkuliahan di Gedung FPSB UII & Perpustakaan UII
2. Video Alur Masuk dan Panduan Prokes Perkuliahan di Gedung FPSB UII Utama (Gedung Soekiman Wirdjosandjojo)
3. Video Alur Masuk dan Panduan Prokes Perkuliahan di Gedung FPSB UII sisi Selatan
4. Video Alur Masuk dan Panduan Prokes Perkuliahan di Gedung FPSB UII Unit 18 / Prodi Ilmu Komunikasi
5. Video Alur Masuk dan Panduan Prokes Perkuliahan di Gedung Perpustakaan UII (Gedung Mohammad Hatta)
6. Alur Komunikasi Mahasiswa Bergejala Covid-19
Demikian informasi ini kami sampaikan. Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh.
PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI FPSB UII TAHUN 2022
/in Agenda Kegiatan, Prestasi/by Widodo Hesti PurwantoroPemilihan Mahasiswa Berprestasi (PILMAPRES) atau yang dulu dikenal sebagai Anugerah Prestasi Mahasiswa (APM) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) merupakan agenda rutin yang diselenggarakan setiap tahun dan dilaksanakan dalam rangka Milad FPSB UII. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk apresiasi FPSB UII terhadap prestasi mahasiswa FPSB UII.
Pada tahun 2022 ini, FPSB UII kembali menyelenggarakan kegiatan PILMAPRES dalam rangka Milad FPSB UII ke-27. Untuk informasi lengkap PILMAPRES FPSB UII dapat di DOWNLOAD DISINI atau klik gambar di atas.
FENOMENA MUALAF DAN PERILAKU KELUAR ZONA NYAMAN: Sebuah Autokritik
/in Syiar Islam/by Widodo Hesti PurwantoroOleh : Dr. Faraz, MM——
Berkembangnya teknologi media sosial di Indonesia telah menguak banyak fakta luar biasa tentang fenomena mualaf (orang yang mendapat hidayah dan mengucapkan 2 kalimah syahadat). Bagaimana kisah atau perjalanan mereka masuk Islam, seringkali sangat sederhana tetapi tidak jarang penuh perjuangan. Carissa Grani, seorang dokter gigi yang bekerja di Pemprov DKI, sering memperhatikan teman-temannya yang muslimah, memakai cadar, tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan sering berwudlu termasuk membersihkan hidung. Carissa berpikir bahwa perilaku teman-temannya itu ternyata sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia di dunia saat mengahadapi pandemi Covid-19. Carissa kemudian menyimpulkan, “Inilah agama yang benar, karena sesuai dengan ilmu pengetahuan”. Atas dasar itu Carissa masuk Islam. Mudah sekali.
Bagi Koh Asen, warga Tionghoa di Jakarta Barat, masuk Islam baginya sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Dia sebenarnya terbuka dengan banyak agama, seperti Kongucu, Budha, dan Kristen, tetapi untuk Islam nanti dulu, tidak terpikir sama sekali, karena “Melihat tulisan Arab aja udah bikin pusing, “ katanya. Cara beribadah orang Islam, menurut Asen, berbeda dengan agama lain yang mempunyai objek untuk disembah. “Orang Islam menyembah apa, gak jelas, “lanjut Asen. Namun, apa yang terjadi kemudian, pada usia menginjak dewasa, Koh Asen mengalami perasaaan panas pada tubuhnya yang luar biasa. Hal ini dialami setiap musim kemarau. Pada saat musim hujan, rasa panas itu hilang. Pada suatu musim panas, ia merasa tidak kuat lagi. Ia pun keluar rumah di sore-sore, ia mau cari hiburan nonton film bioskop. Sebelum menonton, Asen iseng melihat lihat dagangan buku yang digelar di pinggir jalan, di depan bioskop itu. Niatnya ingin membeli buku TTS (Teka Teki Silang), tetapi Asen melihat ada judul buku yang mengusik pikirannya, berjudul Seputar Alam Gaib. Menariknya ketika Asen membuka buku itu, ada tulisan Arab, tentang ayat minta hujan, dan disitu ada anjuran, “Siapa yang menuliskan ayat ini pada batu hitam dan meletakkannya kemudian di bawah pohon kering akan mendatangkan hujan”. Kalimat itu langsung direspon Asen, dalam hatinya, ”Wah ini mah bohong, ngibul”. Asik melihat-lihat buku, Asen lupa bioskop sudah dibuka, ia bergegas dan meminta pedagang untuk membungkus buku TTS. Anehnya, ketika keluar dari bioskop, Asen terkejut karena buku yang dibungkus tadi bukan TTS tetapi Seputar Alam Gaib. Siapa yang menyangka, melalui buku itu, Koh Asen bisa masuk Islam, meskipun prosesnya tidak mudah, butuh tiga kali praktek minta hujan sesuai yang diperintahkan dalam buku. Percobaan pertama, Asen terkejut karena permintaannya tidak lama kemudian dikabulkan, hujan turun lebat. Namun, Asen menganggap itu cuma kebetulan. Empat hari kemudian ketika merasa panas lagi, Asen mencoba yang kedua, dan hasilnya sama. Asen mulai percaya tetapi belum yakin. Pada prosesi ketiga, Asen tidak bisa berbicara lagi, kecuali menangis, karena ia merasa sudah berdosa tidak percaya sejak awal pada Tuhan (Allah).
Imam Ibnu al-Qayim Al-Jauziyyah, salah satu murid terpenting Ibnu Taimiyyah, membagi hidayah dalam empat hal: (1). Hidayah umum ini diberikan Allah pada seluruh makhlukNya, sesuai Q.S. Thaha ayat 50 artinya; Musa berkata; “Rabb kami ialah rabb yang telah memberikan kepada makhluk setiap makhluk bentuk kejadiannya dan ia juga memberinya petunjuk”. (2). Hidayah bayan, berupa penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Fushshilat ayat 17, artinya “Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mareka (jalan kebenaran) tetapi mareka tidak mau mengikuti petunjuk”. (3). Hidayah taufik, merupakan suatu ilham dan kelapangan dada untuk menerima petunjuk Allah. Inilah hidayah (sempurna), sesuai Q.S. Faathir ayat 8, artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya”. (4). Puncak dari suatu hidayah yaitu hidayah syurga. Allah berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 43 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke surga) kalau Allah tidak menunjukkan kami”.
Kasus mualaf di Indonesia, seperti Carissa atau Koh Asen, menurut ketua Mualaf Center Indonesia (MCI), Koh Steven, jumlahnya sekarang sudah puluhan ribu orang. Namun, fokus tulisan ini bukan bagaimana mereka menjadi Mualaf, tetapi yang jauh lebih menarik adalah bagaimana para mualaf yang baru saja beberapa tahun beragama Islam tetapi sudah mempunyai kontribusi yang sangat signifikan bagi syiar Islam, jauh melebihi orang yang sudah Islam sejak lahir.
Sebut saja Felix Siauw, Ia masuk Islam 2002, tetapi penguasaan Al-Quran dan Hadits-nya luar biasa dibandingkan kita yang belajar Islam sejak lahir. Irena Handono, mantan biarawati, masuk Islam usia 26 tahun. Saat ini berprofesi ustadzah dan berdakwah ke berbagai kota di Indonesia. Terakhir, Yusuf Ismail, keturunan Tionghoa, penginjil di gereja, ayahnya pendeta, Ia masuk Islam 1994, kini kondang sebagai Kyai, memiliki pondok pesantren Al Hadid, di Karangmojo, Gunungkidul, DIY. Pertanyaannya, mengapa mereka jauh lebih cepat dalam belajar Islam? Mengapa mereka terlihat begitu mudah untuk istiqomah berprofesi sebagai pendakwah? Dibandingkan kita yang tetap asik dengan posisi duniawi sebagai pejabat di pemerintahan, di dunia ekonomi, di dunia politik maupun di dunia pendidikan seperti menjadi dosen.
Banyak dalil baik dari Al-Qurán maupun hadits yang menegaskan bahwa seorang mualaf, orang yang mengucapkan syahadat, akan dihapus semua dosanya yang dilakukan sebelumnya. “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…” (QS. Al-Anfaal: 38). Banyak hadits shohih, riwayat Bukhari dan Muslim juga memberikan penjelasan yang sama, bahwa siapa saja yang bersyahadat, memeluk agama Islam, maka akan dihapuskan dosa-dosa masa silamnya, dan seperti dilahirkan kembali, suci tanpa dosa.
Apakah karena dosa-dosanya dihapus sehingga para mualaf itu mudah istiqomah dalam berdakwah atau berjuang untuk Islam? Jawabannya bisa “Ya” bisa “Tidak”, karena tidak semua mualaf menjadi dai atau ustad, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang berani memutuskan keluar dari zona nyamannya. Hampir semua mualaf siap dimusuhi keluarganya, kelompoknya, dan siap kehilangan harta atau siap miskin. Koh Asen, bekerja di perusahaan orangtuanya, posisinya sebagai manajer, karena orangtuanya tidak senang ia masuk Islam, maka beliau digaji dengan standar gaji pegawai yang paling rendah di perusahaan itu. Yusuf Ismail dari keluarga yang berkecukupan, karena ayahnya seorang pendeta senior, langkahnya memeluk Islam telah membuat keluarganya kehilangan penghasilan dan jatuh miskin, tidak hanya tidak punya rumah, tetapi untuk makan sehari-hari saja sulit. Ia terpaksa memutuskan tidak kuliah, tetapi tetap istiqomah.
Salah satu sosok mualaf yang juga perlu dicatat disini yakni Koh Steven, ketua MCI itu. Posisi sebelumnya, adalah pendeta di gereja terkenal di Jakarta. Ia alumnus Perguruan Kristen (S2) di Universitas Leiden, Belanda. Ketika memutuskan masuk Islam, ia mundur dari gereja. Oleh orangtuanya ia diusir. Ia pun menjadi gelandangan di Jakarta, tidur tidak jelas, di emper toko atau di emper masjid. Ia hijrah ke Cilegon jadi kuli panggul dan pekerjaan serabutan lainnya. Dengan modal bahasa Inggris, ia akhirnya bekerja sebagai office boy sebuah perusahaan asing. Dari sini ia bisa menabung dan dibantu atasannya untuk pergi umroh. Pulang umroh ia bergerak cepat mendirikan Mualaf Center Indonesia. Melalui MCI, Koh Asen berhasil memfasilitasi orang masuk Islam sebanyak 58 ribu lebih. Ketika ia sudah maju, bekerja di lembaga riset dunia di Singapore, dan mempunyai bisnis kedai kopi di beberapa tempat, Allah mengujinya kembali. Pada awal tahun 2020, dunia dihantui ketakutan virus covid-19. Steven berpikir dampak negatif yang mungkin akan menimpah Indonesia ketika pandemik covid-19 merebak. Ia pun pulang ke Indonesia, menjual semua hartanya, dua rumah, tujuh mobil dan tiga motor gede, untuk membeli dan membuat masker serta beberapa peralatan medis yang dibutuhkan. Semua peralatan medis itu termasuk APD ia sumbangkan ke semua petugas kesehatan yang membutuhkan termasuk ke Yayasan-yayasan Kristen dan Budha yang menangani pasien covid-19. Dia sendiri kemudian mengontrak rumah di Yogyakarta bersama tim bisnis dan dakwahnya, sementara istrinya tinggal di Bandung bersama mertuanya. Mengapa dia mampu melakukan itu, banyak orang menilainya, “gila”, terbius agama dan sebagainya, tetapi Koh Steven sendiri punya argumentasi sederhana, menurutnya, harta yang dimiliki adalah titipan Tuhan, cepat atau lambat akan kembali ke pemiliknya, karena bencana atau faktor lain. “Daripada kembali ke Allah karena dipaksa, lebih baik saya sedekahkan saja” tegasnya. Menariknya, ketika banyak usaha berguguran karena pandemi, usaha Kedai Kopi Koh Steven, malah bertambah 19 outlet.
Bagaimana dengan kita, kita bukan orang awam, kita warga terpelajar, bahkan dari kita berprofesi sebagai dosen, bergelar doktor bahkan profesor. Kita mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam, yang mendorong untuk melakukan karya-karya yang mengintegrasikan Barat dan Islam. Pertayaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Seberapa besar tenaga dan pikiran yang kita sudah habiskan untuk Islam? Apakah kita sudah puas berjuang untuk Islam dengan standar minimalis? Apakah kita masih berat meninggalkan profesi yang lebih banyak menciptakan kenikmatan dunia? Apakah bekal kita sudah cukup untuk dibawa ke kampung akhirat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini, mari kita simak model lain, yakni dokter Zakir Naik, pendakwah kondang tingkat dunia. Ia merupakan alumnus terbaik dari fakultas kedokteran di kota kelahirannya Mumbay, India. Meski lulus dengan nilai terbaik, ia tidak melanjutkan profesinya sebagai dokter. Jiwanya bergetar dan menangis ketika Ahmad Deedat, gurunya, menyampaikan firman Allah Q.S. Al-Asr: 1-3. “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Surat ini hampir setiap hari kita baca, tetapi mengapa tidak memunculkan hidayah Allah? Sebaliknya, bagi Zakir Naik sangat cukup untuk meninggalkan profesi paling terhormat di kota Mumbay, menuju belajar menjadi pendakwah, dengan segala konsekwensi, tidak ada pemasukkan finansial, sebaliknya mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga untuk membaca dan berguru pada banyak ahli agama atau ulama.
Keluar dari zona nyaman mungkin mudah kita pikirkan, tetapi mengapa sulit untuk dipraktikkan. Persoalan klasik yang tidak kita disadari, bahwa jiwa yang kita anggap lebih penting dari pikiran dan tubuh, realitanya terbalik. Jujur, kita lebih mengutamakan tubuh dibandingkan jiwa. Perilaku kita untuk membesarkan jiwa, seperti ibadah terutama sedekah, umumnya sedikit sekali dibandingkan kegiatan untuk tubuh dan pikiran. Padahal, menurut Imam Al-Ghazali bahwa jiwa itu habitat kebaikkan, bila habitat itu kecil dan sempit, maka kebaikkan sulit dapat bertahan lama pada diri kita. Mungkin ini penyebabnya, mengapa kebaikkan tidak menjadi kebiasaan kita. Banyak kebaikkan dunia maupun akhirat yang kita tahu kebenarannya, tetapi sulit atau berat kita praktikkan. Ini juga mungkin yang menyebabkan kita sulit keluar dari zona nyaman, dari profesi yang lebih besar dunianya dibandingkan akhiratnya. Bila kita kembali kepada kriteria hidayah Ibnu Qayyim, mungkin kita baru berada pada level 2 (bayan), berupa seruan untuk berdakwah. Diantara kita sudah banyak yang berdakwah, tetapi banyak juga yang belum punya waktu untuk itu. Sampai di sini, penulis ragu, apakah kita benar-benar sudah mendapatkan hidayah taufik dari Allah (level 3), sebuah tingkatan yang harus dilalui sebelum mendapatkan hidayah tertinggi yakni surga. Fenomena keluar dari zona nyaman ala mualaf mungkin sedikit banyak akan mengusik hati dan pikiran kita untuk mencoba, semoga.
Renungan Sebelum Berpulang
/in Syiar Islam/by Widodo Hesti PurwantoroOleh: Diana Rahma Qadari—–
“Di dunia ini berisi ketidakpastian, satu hal yang pasti hanya satu yaitu kematian. Segala sesuatu yang kita rencanakan hari ini belum tentu terwujud esok, karena bisa jadi kematian lebih dulu datangnya dan tanpa aba-aba.”
Kalimat di atas membuat saya kembali merenungkan sejauh apa diri ini menyiapkan bekal untuk sebuah kematian? Waktu yang sudah dihabiskan apakah sudah diisi dengan hal-hal manfaat? Ataukah justru rutinitas duniawi mengambil porsi besar dalam diri sehingga menjalankan ibadah wajibpun seolah diburu waktu, menjadi asal selesai saja dan terlalu singkat. Sedekah yang kita keluarkan hanya sebatas ingin mendapat pengakuan dari orang lain, dinilai baik dan sholeh di mata manusia. Waktu yang digunakan lebih banyak membicarakan orang lain, mengumbar kekurangan orang lain seakan lupa bahwa apapun yang ada di dunia ini pasti Allah dengar, tercatat dan terhitung tanpa terlewatkan sedikitpun.
Ketika menjalankan urusan pekerjaan kita menjalankan tugas dengan segala cara untuk mendapatkan hasil terbaik. Fokus, serius, berusaha minim kesalahan sampai-sampai menunda makan dan istirahat hingga target selesai dengan hasil baik seperti yang diinginkan. Bukankah seharusnya begitu juga sikap kita terhadap urusan akhirat? Serius ketika sedang melaksanakan ibadah, menunda urusan-urusan lain hingga akhir sholat, pikiran dan hati kita fokus kepada Allah semata. Tetapi tak jarang terjadi, ketika dalam sholat justru teringat akan urusan lainnya. Tak terasa kondisi tersebut terus berulang hingga kenikmatan dalam ibadah hilang dalam diri kita.
Kematian memang menjadi nasehat terbaik untuk manusia, adapun beberapa ayat dalam Al Quran dan hadis tentang kematian sebagai berikut:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Banyak kesenangan di dunia ini yang bisa kita dapatkan, banyak kemudahan yang dunia tawarkan. Teknologi berkembang pesat, banyak informasi yang sangat mudah kita dapatkan dan tentu saja hiburan yang mudah kita akses dan ada dalam genggaman. Kita begitu mudah mengenalkan gawai pada anak kita tapi sedikit mengajarkan ayat-ayat Al Quran bahkan seringkali kita menenangkan anak kita dengan gawai. Di balik semua kemudahan yang kita dapatkan, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kita. Mengakses gawai untuk waktu yang lama, kemudahan mengakses hiburan di tangan kita sangat memungkinkan untuk membuat diri kita lalai dan parahnya kesenangan tersebut membuat diri kita mampu menunda sholat. Kemudahan-kemudahan yang ada di dunia ini seharusnya menjadikan diri kita semakin keras berupaya untuk memfilter dan membentengi diri kita dan keluarga dari sesuatu yang akan membawa diri kita pada sebuah penyesalan dan tentu saja dari hal yang merugikan.
“Ingatlah pada kematian. Demi yang jiwaku dalam genggamannya, seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.”
Ketika melewati makam sesekali kita perlu membayangkan diri yang semula bebas bergerak dan beraktifitas kemudian tubuh terbujur kaku dan berakhir di bawah tanah, tidak ada hari-hari bertegur sapa dengan keluarga maupun tetangga dan tentu saja tidak ada yang membuat kita kembali ke dunia. Mengingat kematian membuat diri ini menimbang, mengukur kembali amal apa yang nantinya akan menjauhkan dari siksa kubur dan berakhir kekal di surga-Nya. Mengingat kematian bukan sesuatu yang harus buru-buru dienyahkan dan bukan hal yang harus dihentikan atau disikapi dengan ketakutan namun seharusnya membuat diri kita melakukan banyak tindakan atau persiapan yang tidak ada hentinya. Jika husnul khatimah yang kita idam-idamkan, seharusnya kita juga mempersiapkan diri untuk mengantarkan jiwa dan raga menujunya. Keberhasilan orang hidup adalah mampu mengantarkan jiwa dan raganya untuk sesuatu yang kekal baginya yaitu setelah kematiannya serta mengetahui ke mana akhir dari perjalanan hidupnya.
Dari Ibnu Umar bahwa dia berkata: “Saya bersama dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertanya; “Ya Rasulullah, bagaimanakah mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.”
Semakin sering kita mengingat kematian, semakin sering pula usaha kita mempersiapkannya. Bertaubat, sholat khusyu’, menjaga diri dan lisan kita kepada orang lain, menjalin hubungan baik dengan saudara seiman. Hubungan yang baik membawa ketenangan dalam diri kita dan membuat diri kita optimis menjalani hidup ini dan semakin berjuang untuk mendapatkan ridho-Nya. Lingkaran yang baik adalah lingkaran di mana diri kita bisa saling mengingatkan kebaikan tanpa saling menyakiti. Tidak tersinggung apabila diri kita diingatkan ketika melakukan kesalahan, memperkaya diri kita dengan ilmu agama sebagai bekal berpulang nanti. Bersaudara, bersahabat dengan lingkaran yang baik adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, saling menjaga dari sesuatu yang akan membawa pada kemurkaan Allah. Di dunia ini banyak hal yang bisa kita cari dan bisa kita nikmati namun kenikmatan yang didapatkan tidak boleh membuat kita terlena hingga sedikit mempersiapkan mati sedangkan kematian pasti datangnya.
Waktu kita di dunia ini tidaklah lama, benar akan sebuah istilah bahwa hidup sekedar singgah untuk minum. Tidak terasa hitungan satu tahun cepat sekali berlalu dan waktu yang dijalani semakin mendekat dengan hari pertanggungjawaban. Semakin banyak berita kematian yang kita dengar di tengah kondisi pandemi. Dalam kondisi pandemi, menjadi kesempatan bagi kita untuk banyak bermuhasabah, melakukan kegiatan amal seperti membantu meringankan kesulitan tetangga ataupun saudara yang terkena musibah. Pandemi yang dihadirkan oleh Allah di dunia ini seharusnya membuat diri mengenal arti tawakal bukan malah menyalahkan pandemi yang membuat banyak rencana yang kita buat tidak dapat terealisasikan. Pesta pernikahan yang diharapkan tidak dapat diselenggarakan kemudian menggerutu menyalahkan pandemi. Kehilangan pekerjaan dan peta rencana kehidupan berantakan karena pandemi. Tetapi apakah memang benar bahwa penundaan, kehilangan adalah buruk bagi kita? Bukankah kita diminta untuk berbaik sangka bagaimanapun keadaan yang datang pada kita seperti Umar bin Khattab pernah berkata “Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”. Dari pandemi kita belajar bahwa kehendakNya adalah yang terbaik bagi diri kita seberapapun sulitnya kita menerima karena di balik air mata kita ada hal baik yang mungkin belum secepat kilat dapat kita ambil maknanya. Kesabaran kita diuji dari sebuah kehilangan maupun kekecewaan dan dari keadaan tersebut ke mana diri kita mendatangi dan mengadu.
Pandemi membawa kita pada pemahaman bahwa batas kehidupan dengan kematian begitu tipis. Di masa pandemi ini ada masa di mana untuk memakamkan jenazah begitu memakan waktu yang lama. Tukang gali kubur kepayahan karena begitu banyak jenazah yang dimakamkan. Kematian menjadi pengingat paling dahsyat. Kedatangannya tak disangka-sangka, baru kemarin bercengkerama tetiba menerima kabar kepulangannya. Hari ini terlihat update story WhatsApp, esok hari mendengar kabar pemakamannya. Berita kematian saudara dan kerabat membuat diri tertunduk dan termenung membayangkan kapan waktu kematian datang menjemput dan dalam keadaan apa. Banyak hal di dunia ini yang sudah kita rencanakan beberapa tahun ke depan mulai dari merencanakan pendidikan anak, merencanakan membangun rumah dan banyak hal lainnya tetapi sedikit mempersiapkan kehidupan akhirat setelah kematian.
Semoga diri kita senantiasa diberikan nikmat dalam istiqomah, nikmat dalam beribadah. Waktu yang masih diberikan untuk kita jangan disia-siakan, perbanyak dengan zikir, isi ransel kehidupan dengan bekal kematian. Selamatkan diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka, buatlah diri kita dan keluarga kita sebagai manusia-manusia yang layak untuk ditempatkan di surgaNya. Buatlah diri kita dan keluarga kita tidak silau dengan gemerlapnya dunia namun menghiasi hati dengan tawakal. Semoga ketika Allah memanggil, diri kita betul-betul telah mempersiapkannya, meninggalkan banyak kebermanfaatan, amal jariyah sebagai bekal berpulang untuk bertemu dengan illahi Rabbi.