TAFAKKUR NIKMAT

OLeh: Kartono —–

Bersyukur adalah bentuk terima kasih kita kepada Allah SWT.  Marilah kita senantiasa menunjukkan rasa syukur kita atas segala karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Karunia yang sangat banyak yang sampai-sampai Allah SWT sendiri mengatakan dalam Al-Quran, jikalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.

Karena banyaknya nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita, hingga jikalau seluruh air yang ada di lautan dijadikan tinta, kemudian seluruh kayu dan pepohonan yang ada di muka bumi ini dijadikan pena untuk menuliskan semua nikmat tersebut, niscaya tidak akan cukup. Begitulah barang kali gambaran tentang nikmat-nikmat Allah subhanahu wataala.

Secara garis besar ada lima nikmat Allah yang wajib kita syukuri.  Pertama nikmat fitriyah, adalah nikmat yang ada pada diri kita sendiri.  Kedua, nikmat iktiyariyah yaitu berupa nikmat dari usaha kita.  Ketiga, nikmat Alamah adalah nikmat alam sekitar kita.  Keempat, nikmat Diiniyah yaitu nikmat agama Islam dan nikmat iman.  Kelima, nikmat ukhrowiyah adalah nikmat akhirat.

Tentu saja semua yang melekat pada diri kita adalah nikmat-nikmat dari Allah SWT. Nikmat kesehatan, nikmat anggota badan, nikmat penghidupan yang layak, nikmat kecerdasan akal, nikmat jabatan, lebih-lebih nikmat iman dan Islam.

Di dalam uraian Kitab Al hikam, Syaikh Ibnu Athaillah menerangkan, di antara nikmat Allah itu ada nikmat iijad dan nikmat imdad. Nikmat iijad itu adalah nikmat penciptaan kita di alam dunia ini. Karena sejatinya yang ada itu hanyalah Allah, sedangkan selain-Nya itu diadakan oleh Dzat yang wajibul wujud atau yang wajib adanya yakni Allah SWT.

Manusia dan seluruh alam semesta diwujudkan oleh Dzat yang Maha Esa. Diawali dari penciptaan Nur Muhammad Sawyang mulia, maka kemudian dari nur Muhammad itu dicabangkanlah penciptaan demi penciptaan, kejadian demi kejadian hingga kepada penciptaan makhluk yang bernama manusia.

Nikmat kedua adalah nikmat imdad. Setelah diciptakan tentu tidak mungkin manusia dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dilakukan si pembuat arloji yang membiarkan begitu saja hasil buatannya. Allah SWT dengan sifat-sifat rububiyyahnya senantiasa mengurusi setiap ciptaannya.

Manusia diberikan segala fasilitas yang menunjang kehidupannya. Mulai dari kecukupan rizki, kesehatan, kekuatan, kecerdasan, hidayah, hingga penjagaan dan perlindungan. Manusia yang pada dasarnya serba lemah, tak mampu berbuat apa-apa kemudian baru bisa menjalani hidupnya berkat nikmat imdad dari Allah SWT.

Nikmat imdad ini yang tak kan pernah terhitung jumlahnya. Tentu hanya orang-orang yang pandai bertafakkur atau pandai mengolah akalnya untuk merenungi apa-apa yang ada di alam semesta yang peka terhadap banyaknya nikmat imdad ini.

Bayangkan saja, ketika manusia tidur itu ibarat separuh nyawanya ditahan oleh Sang Pencipta. Jangankan untuk bangun, untuk sekedar membuka mata saja manusia yang lemah ini membutuhkan pertolongan Allah. Karena manusia tidak akan mampu membuka matanya kecuali setelah kesadarannya yang semula ‘digenggam’ Allah itu dikembalikan kepadanya.

Setelah itu pun dibutuhkan lagi kekuatan untuk mengangkat kepala hingga badan. Pertanyaannya, dari mana kekuatan itu ada? Tentu dari Dzat yang Maha Kuat. Karena sungguh tidak ada kekuatan melainkan kekuatan Allah. Allah semata yang memiliki kekuatan. Manusia tidak punya.

Kekuatan ini pulalah yang dititipkan kepada manusia untuk bisa beraktivitas. Baik aktivitas untuk urusan duniawinya lebih-lebih urusan akheratnya. Dari mulai yang sepele hingga yang penting. Dari yang biasa hingga yang mendatangkan pahala. Semua bisa terjadi berkat pertolongan Allah.

Kaidah laa haula wala quwwata illa billah

Laa haula, dalam ilmu tashawuf diartikan, tidak ada daya yang mampu menghindarkan manusia dari tindak durhaka dan dosa.  Wa laa quwwata, yaitu dan tidak ada kekuatan yang mampu mendorong manusia untuk berbuat amal ibadah.  Kalimat illa billah, bermakna kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wataala.  Setiap tarikan nafas kita, setiap gerakan anggota badan kita, baik di dalam menjalani aktivitas-aktivitas duniawi ataupun amal-amal ibadah, itu semua tidak terlepas dari rahmat dan pertolongan Allah. Bahkan dorongan hati yang membuat seseorang berniat untuk melakukan amal ibadah, itu juga berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Manusia tanpa pertolongan Allah ibarat bumi tanpa sinar matahari. Tanpa matahari bumi akan gelap. Bumi bisa terang karena adanya matahari. Begitu pula manusia, bisa terlihat hebat, terlihat pandai, terlihat cemerlang itu semata-mata karena pertolongan Allah. Tanpa pertolongan-Nya, manusia kembali pada tabiatnya yang serba lemah, hina serta tak mampu berbuat apa-apa.

Kita bisa membayangkan pada saat sedang terlentang di atas ranjang rumah sakit. Sekedar untuk menguyah saja tidak mampu, apalagi untuk bangun dan berjalan. Maka seperti itulah gambaran tabiat aslinya manusia. Lemah, hina, serta butuh pada yang lainnya. Pada intinya, semua yang melekat pada diri kita merupakan nikmat-nikmat dari Allah rabbul alamin yang wajib direnungkan.

Di dalam Al-Qur’an diterangkan, pada surat Al Kautsar Allah telah memberikan kepada Nabi Saw al-kautsar. Apa itu al-kautsar? Di dalam tafsirnya Imam Jalalain dijelaskan, bahwa al-kautsar itu adalah kebaikan yang banyak, mulai dari diutusnya baginda Nabi Muhammad Saw, diturunkannya Al-Qur’an juga syafaat Nabi Muhammad Saw dan yang semisalnya.

Meskipun seruan ayat ini tertuju pada Baginda Nabi Muhammad Saw, akan tetapi sebagaimana yang dijelaskan para ulama, ibrah atau petikan maknanya berlaku untuk semua umatnya. Sehingga al-kautsar ini juga merupakan anugerah yang luar biasa untuk seluruh umat Nabi Muhammad shollallahu alayhi wassalam.

Maka maha benarlah Allah atas segala firman-Nya yang di awal tadi memfirmankan, jikalau kamu mencoba menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungya. Kenapa demikian?  Sebab setiap helaan nafas adalah nikmat, setiap gerakan anggota badan adalah nikmat, setiap kunyahan dan tegukan adalah nikmat, setiap kedipan juga adalah nikmat.

Setiap kebaikan yang kita lakukan adalah nikmat, setiap dzikir kita juga adalah nikmat.

Oleh karena itu, maka marilah kita perbanyak  syukur kita kepada Allah SWT atas semua limpahan karunianya kepada kita.

Hakikat bersyukur itu sebagaimana diajarkan oleh para ulama tashawuf adalah bentuk kesadaran pada diri bahwa semua yang ada di tangan manusia semata-mata hanyalah anugerah dari Allah SWT.   Dimana manusia pada hakikatnya tidak memiliki andil sedikitpun, sehingga yang layak dipuji hanyalah Allah, bukan malah memuji dirinya sendiri. Juga bukan malah menyombongkan diri karena merasa apa yang ada merupakan hasil jerih payahnya sendiri, lupa bahwa kehebatan dan kecerdasan hanyalah milik Allah SWT.

Di dalam Al-Quran banyak sekali kisah yang termaktub mengisahkan orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah. Di antaranya kisah Nabi Sulaiman alayhis sholatu wassalam. Dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman adalah seorang nabi yang juga seorang raja. Kekuasaannya terbentang antara sungai nil hingga Eufrat. Pasukannya meliputi golongan jin, manusia hingga hewan. Kekayaanya juga sangat melimpah.

Itulah nabi Sulaiman, hidupnya bergelimang nikmat. Tetapi beliau sangat menyadari bahwa semua itu sesungguhnya hanyalah milik Allah. Sehingga dikatakan olehnya, “hadza min fadhli robb”i, semua ini dari anugerah Tuhanku, untuk menguji diriku, apakah aku akan bersyukur ataukah aku akan kufir nikmat.

Bersyukur atas nikmat Allah itu bukan hanya diucapkan, tetapi direalisasikan dalam perbuatan. Orang yang menyadari nikmat pemberian Tuhan tentu akan menyadari, bahwa nikmat-nikmat yang diberikan itu ibarat modal bagi pebisnis. Ibarat bekal bagi mereka yang menempuh perjalanan hidup. Tentu nikmat-nikmat itu adalah bekal bagi kita untuk mengabdi pada Sang pemberi nikmat. Beribadah kepadaNya sebagai mana tujuan kita diciptakan tidak lain kecuali untuk beribadah dan mengadi kepadaNya.

Orang yang senantiasa bersyukur akan senantiasa mentafakkuri semua yang telah dianugerahkan kepadanya kemudian berterima kasih kepada Allah dengan cara memuji Allah, lalu mewujudkan rasa terimakasihnya dalam bentuk amal-amal kebajikan. Itulah hakikat bersyukur. Termasuk juga dalam peribadahan. Seorang hamba sejatinya tidak akan mampu menjalankan ibadah melainkan berkat pertolongan Allah SWT. Sebagaimana diikrarkan di dalam setiap rokaat sholat, yaitu kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan dalam menjalankan ibadah kami.

Sesungguhnya manusia itu tidak akan pernah mampu beribadah kecuali setelah diberikan nikmat hidayah, juga taufik bahkan keikhlasan dan kekhusyukan itu juga semata-mata anugerah dari Allah. Sehingga seorang hamba sejatinya seperti tidak memiliki andil apa-apa dalam ibadahnya yang layak untuk diganjar. Tidak lain karena semuanya berkat rahmat dari Allah SWT.

Sekali lagi ini mesti kita syukuri dengan cara menyadari ini semua min fadhli robbi, seraya berterima kasih kepada-Nya dengan cara menambah kuantitas dan kualitas amal ibadah sebagai bekal untuk menghadap kepada-Nya di hari akhir nanti. Mudah-mudahan kita semua termasuk hamba yang pandai bersyukur, aamiin.