Meningkatkan Kematangan Beragama

Oleh : Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog—-

Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam dikenal sebagai bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini tampak dari keyakinan akan adanya Tuhan, ritual agama yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari, maupun dari perilaku sosial-moral yang didasarkan pada ajaran agama yang dianutnya. Sebagai masyarakat yang religius, bangsa Indonesia menempatkan keimanan dan ketakwaan (imtak), di samping ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sebagai kualitas yang diperjuangkan perwujudannya. Penempatan religiusitas sebagai hal yang penting tampak dari kebijaksanaan nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh dasar negara, perundang-undangan, dari harapan-harapan masyarakat, maupun dari harapan-harapan individu yang ada dalam masyarakat. Read more

Membaca dan Menulis Dalam Islam

Oleh : Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., M.A.——–

Membaca dan menulis adalah ibadah yang utama dalam agama Islam. Ummat Islam umumnya memahami bahwa wahyu pertama Surah Al-Alaq 1-5 mengandung perintah untuk membaca juga menulis. Perintah membaca disebutkan dua kali dalam wahyu pertama ini: Read more

Dua Nikmat yang Terlupakan

Oleh: Farhan Al Farizi, S.Psi.—-

Tidak menghargaI betapa berharganya waktu luang, merupakan pangkal permasalahan ummat islam saat ini. Betapa banyak dari kita yang terjerumus ke dalam perbuatan yang sia-sia, yang tidak mendatangkan keuntungan bagi penghidupan di dunia dan tidak juga mendatang manfaat di kehidupan akhirat. Read more

Bersyukur itu Nikmat

Oleh : Muslimah—–

Kita harus selalu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’alla yang telah memberikan berbagai kenikmatan seperti nikmat hidup, nikmat iman, sehat, dan lain sebagainya sehingga kita bisa menjalankan aktivitas dengan berbagai kemudahan apalagi seperti pada masa serba canggih sekarang ini. Bahkan jika coba untuk menghitung nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’alla berikan niscaya kita akan sangat bersyukur bahkan wajib bersyukur dan sangat tidak pantas mendustakan nikmat yang telah Allah subhanahu wa ta’alla berikan kepada kita. Read more

Menjaga Kesehatan dan Kebugaran Tubuh dengan Bersepeda Ditengah Pandemi yang Masih Tidak Menentu

Oleh: Muhammad Yopa Velda Putra—-

Semenjak pandemi covid-19 melanda, hampir semua gaya hidup kita berubah. Semua kegiatan berpusat di rumah atau yang biasa disebut Work From Home, termasuk dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Untuk menghilangkan penat biasanya orang-orang mencari hiburan seperti bermain game online maupun offline, media sosial seperti Instagram, Tiktok, Facebook, menonton film melalui Youtube dan platform video streaming lainya. Kegiatan tersebut sangat minim sekali pergerakan fisik dan menurut penelitian medis hal ini dapat mengakibatkan menurunya fungsi organ tubuh sehingga dapat menurunkan imunitas seseorang, selain itu malas bergerak juga beresiko terserang penyakit seperti stroke, serangan jantung, diabetes dan osteoporosis. Solusi untuk pencegahan yaitu dengan melakukan olahraga mudah dan murah di dalam rumah seperti angkat beban, push up, sit up, lompat tali,  naik turun tangga dsb. Sebagai seorang muslim, kita diperintahkan untuk selalu menjaga kebugaran rohani dan jasmani, hal ini sesuai dengan hadis sebagai berikut: Read more

Memahami Hubungan Islam dan Kekuasaan

OLeh : Dr. Hasbi Azwar, S.IP., M.A ———-

 Persoalan politik dan kekuasaan mungkin menjadi salah satu isu yang dihindari oleh banyak orang sebab kecenderungan berbicara soal yang satu ini sering melibatkan kecurigaan – kecurigaan, dan menggosipkan orang lain. Bahkan obrolan politik sering melibatkan emosi dan seringkali menimbulkan keretakan hubungan pertemanan/kekeluargaan, utamanya jika dilakukan di tahun – tahun politik.

Read more

Mencari Berkah dari Bekerja

Oleh: Ike Agustina, S.Psi, M.Psi, Psikolog ——–

Dalam proses kehidupan seorang individu, status sebagai karyawan atau pekerja seringkali menjadi salah satu peran yang paling lama yang dijalankan individu dalam hidupnya. Seseorang tak jarang menghabiskan lebih dari 30 tahun untuk statusnya sebagai pekerja, yang artinya, lebih dari lima puluh persen dari bilangan usia hidupnya. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih dalam mengenai alasan seseorang bekerja dan bagaimana seseorang melakukan pekerjaannya selalu menjadi sesuatu yang menarik. Read more

BERBAIK SANGKA PADA SUMBER INFORMASI RESMI

Oleh : Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., MA—

Beberapa tahun silam, Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) merilis temuan bahwa masyarakat di daerah yang kental dengan nuansa agama rentan termakan hoaks. Seperti diberitakan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, daerah yang memiliki afiliasi dengan Islam politik memiliki tingkat penerimaan informasi hoaks yang tinggi[i]. Tentu temuan LIPI ini perlu menjadi perhatian kita selaku umat Islam, karena mengindikasikan orang Islam mudah termakan hoaks atau berita bohong.

Penyebaran hoaks seringkali dikaitkan dengan perkembangan teknologi internet, di mana berkat adanya internet membuat siapa pun bisa bersuara, bisa menyampaikan pendapatnya. Jika sebelum ada internet sumber informasi masyarakat hanya dari media massa konvensional seperti televisi, radio, surat kabar, atau portal berita online, maka di era internet dan media sosial siapa pun bisa memnjadi sumber informasi. Yang perlu diwaspadai adalah “kategori” siapa pun ini begitu luas : mulai dari orang yang memiliki ilmu yang cukup untuk memberikan informasi tentang suatu hal, orang yang memiliki kewenangan untuk menyampaikan hal terkait permasalahan tertentu, hingga orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tapi ingin eksis di internet (istilah populer-nya adalah “panjat sosial”), hingga pihak-pihak yang memang memiliki niat jahat sehingga dengan sengaja menyebarkan informasi yang salah. Untuk yang disebut terakhir, biasanya mereka bersembunyi dengan menggunakan akun anonim, tidak menggunakan nama asli mereka.

Tidak jarang hoaks di Indonesia dikaitkan dengan agama, termasuk juga Islam. Perkembangan teknologi komunikasi menjadikan media tersebut sumber utama bagi gagasan-gagasan religius, secara umum sebagai “agama banal”. Mengutip dari Hjarvard (2008), “agama banal” ini merupakan istilah bagi interpretasi keagamaan yang belum terverifikasi. Ketika internet memungkinkan siapa pun berbiara tentang fatwa keagamaan, maka standar baku agama menjadi kabur. Di Indonesia, gagasan-gagasan terkait Islam yang tersebar di dunia maya dipopulerkan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang studi Islam. Tujuan dari penyebaran ide tersebut adalah mengontrol politik Indonesia, menggantikan dasar negara, dan memberikan stigma pada kelompok yang berbeda. “Agama Banal” menjadi semakin diterima karena di era pascakebenaran (post truth), faktor-faktor emosional seringkali menjadi lebih penting daripada fakta, bukti, atau pun kebenaran itu sendiri[ii].

Di satu sisi penyebar informasi yang keliru – entah itu karena ketidaktahuan atau memang punya niat buruk sehingga sengaja menyebarkannya – memang salah. Tetapi di sisi lain, hoaks menjadi semakin subur karena ada yang mempercayai – dan repotnya lagi, jumlahnya yang percaya itu juga tidak bisa dibilang sedikit. Persoalannya, mengapa orang jadi mudah percaya? Jawabannya sekali lagi adalah karena internet. Teknologi ini telah memberikan orang kebebasan untuk memilih informasi. Jika dahulu ketika masyarakat hanya bisa menerima informasi yang disajikan kantor-kantor berita, maka saat ini masyarakat bisa mencari informasi. Repotnya, orang mencari informasi sebenarnya tidak sekadar ingin memuaskan rasa ingin tahu, tetapi juga memperkuat cara pandang dia terhadap sesuatu hal. Kondisi ini membuat orang menjadi tidak lagi mempertimbangkan kredibilitas sumber informasi, tetapi yang terpenting adalah informasinya sesuai dengan cara pandang dan ideologinya[iii]

 

Status “Resmi” ternyata Tidak Cukup

Cukup banyak artikel ilmiah populer, tulisan kajian ilmiah, pendapat para tokoh, yang menyatakan ayat-ayat Al Quran dan ajaran Islam yang sebenarnya sangat mengharamkan untuk mempercayai, apalagi menyebarkan informasi yang keliru. Selain itu, kalimat yang populer dalam beberapa tahun terakhir adalah “tabayyun” terhadap segala informasi yang diterima dari media sosial.

Pertanyaan selanjutnya, kepada siapa ber-tabayyun? Jawabannya adalah kepada informasi dari organisasi yang resmi seperti Lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah yang resmi, dan/atau media massa. Mengapa ? Karena informasi yang disampaikan oleh organisasi resmi pasti memiliki data yang kuat dan disampaikan oleh narasumber yang kredibel. Untuk saat ini, akses informasi ke Lembaga pemerintah atau organisasi non-pemerintah relatif cukup mudah, karena masing-masing Lembaga itu sudah memiliki situsweb resmi dan akun media sosial resmi. Informasi yang diberikan pun tidak sekadar satu arah. Masyarakat bisa menanyakan sesuatu dengan cara me-mention akun Lembaga yang dikehendaki

Sementara untuk media massa   penyajian informasi telah melalui beberapa tahap mulai dari verifikasi informasi dan meminta konfirmasi dari pihak-pihak yang berkepentingan, sebelum akhirnya disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, dalam operasionalnya media massa terikat oleh kode etik profesi jurnalistik yang menekankan pentingnya objektivitas. Dengan begini, kualitas informasi pada media massa bisa dianggap lebih baik daripada sekadar informasi yang diedarkan oleh sumber yang tidak jelas dan tidak kredibel di media sosial.

Allah sudah memerintahkan bagi umat Islam untuk menanyakan pada sumber resmi ketika ada informasi yang meragukan datang, terlebih lagi jika informasi tersebut dapat menimbulkan kepanikan. Hal tersebut terdapat pada Al Quran surat An-Nisa ayat 83, di mana sumber resmi disebut sebagai Rasul dan Ulil Amri. Selengkapnya adalah sebagai berikut :

 

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu

Faktanya, label “resmi” tidak 100 persen menjamin masyarakat akan berminat mengakses informasi dari Lembaga pemerintah, lembaga resmi non-pemerintah, atau pun media massa. Survei yang dilakukan pada periode awal masuknya Covid-19 ke Indonesia (Maret – Mei 2020) terhadap 18.743 responden se-Indonesia menunjiukkan saluran informasi resmi tentang kebijakan keagamaan dalam kaitan penanganan Covid-19, sangat jarang dilirik responden. Data menunjukkan kebanyakan responden (45,68%) tidak pernah mengakses WhatsApp Center Kemenag Sigap Covid-19, dan 24,74% menyatakan jarang[iv]

Status “resmi” tidak membuat organisasi-organisasi tersebut lepas dari kekurangan seperti blunder[v]  dalam komunikasi krisis pemerintah Indonesia di masa awal pandemic Covid-19 atau media massa yang dipandang “memiliki sejumlah kepentingan di balik pemberitaannya”[vi]. Kekurangan tersebut dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Tentu saja ini merupakan pekerjaan rumah bagi para sumber resmi tersebut.

Namun hanya menuntut sumber informasi resmi memperbaiki diri juga kurang adil. Masyarakat umum sebagai pengguna informasi juga dituntut untuk lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi. Jangan sekadar memprioritaskan informasi yang sesuai dengan cara pandang diri sendiri, tetapi perlu juga kritis terhadap sumber informasi. Selain itu perlu juga lebih ikhlas ketika informasi dari sumber resmi berbeda dengan cara pandang diri sendiri. Terlepas dari segala kekurangan yang ditunjukkan oleh sumber-sumber informasi resmi, setidaknya informasi dari sumber resmi lebih kredibel dan lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dibandingkan dengan informasi (terlihat) meyakinkan yang disebarikan sumber anonim.

Sebagai pengingat, pada Al Quran Allah telah banyak mengingatkan tentang perlunya teliti terhadap informasi, serta ancaman hukuman terhadap mereka yang menyebarkan berita bohong. Sebagai penutup, mungkin yang terdapat pada Surat An-Nur (QS.24) ayat 15-17 ini bisa menjadi bahan bagi renungan kita semua, di mana Allah mengingatkan jika seseorang tersebut memang benar-benar beriman, maka dia akan berhenti menyebarkan berita bohong :

 

إِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ١٥

Ayat 15. (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.

 

وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَا أَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ     ١٦

Ayat 16. Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.”

 

يَعِظُكُمُ اللّٰهُ أَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ ۚ١٧

Ayat 17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman,

 

Semoga bermanfaat. Wallahualam Bissawab

REFERENSI

 

[i] “Tiga daerah dengan tingkat penerimaan hoaks tinggi menurut survei LIPI”. Antaranews.com, tanggal publikasi 18 Januari 2019. Tautan : https://www.antaranews.com/berita/789119/tiga-daerah-dengan-tingkat-penerimaan-hoaks-tinggi-menurut-survei-lipi

[ii] Al-Zaman, Md Sayeed; Alimi, Moh Yasir. 2021. “Islam, Religious Confrontation and Hoaxes in the Digital Public Sphere: Comparison of Bangladesh and Indonesia”. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol.13, No.2, hal.198

[iii] Rianto, Puji. 2016. “Media Baru, Visi Khalayak Aktif, dan Urgensi Literasi Media” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia , Vol.1, No.2, hal 94-95

[iv] Ruhana, Akmal Salim & Burhani, Haris. 2020. “Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Umat Beragama Menghadapi Covid-19”. Tanggal publikasi 13 Mei 2020. Tautan : https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id/simlitbang/spdata/upload/dokumen-penelitian/1592454380Laporan_UmatVSCovid_.pdf

[v] Masduki. 2020. “Blunders of Government Communication: The Political Economy of COVID-19 Communication Policy in Indonesia” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Poliitk Vol.24, No.2

[vi] Dewa Broto, Gatot S. 2014. The PR : Tantangan Public Relations di Era Keterbukaan Informasi. Jakarta: Gramedia, hal.6

 

REFERENSI

 

[1] “Tiga daerah dengan tingkat penerimaan hoaks tinggi menurut survei LIPI”. Antaranews.com, tanggal publikasi 18 Januari 2019. Tautan : https://www.antaranews.com/berita/789119/tiga-daerah-dengan-tingkat-penerimaan-hoaks-tinggi-menurut-survei-lipi

[1] Al-Zaman, Md Sayeed; Alimi, Moh Yasir. 2021. “Islam, Religious Confrontation and Hoaxes in the Digital Public Sphere: Comparison of Bangladesh and Indonesia”. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol.13, No.2, hal.198

[1] Rianto, Puji. 2016. “Media Baru, Visi Khalayak Aktif, dan Urgensi Literasi Media” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia , Vol.1, No.2, hal 94-95

[1] Ruhana, Akmal Salim & Burhani, Haris. 2020. “Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Umat Beragama Menghadapi Covid-19”. Tanggal publikasi 13 Mei 2020. Tautan : https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id/simlitbang/spdata/upload/dokumen-penelitian/1592454380Laporan_UmatVSCovid_.pdf

[1] Masduki. 2020. “Blunders of Government Communication: The Political Economy of COVID-19 Communication Policy in Indonesia” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Poliitk Vol.24, No.2

[1] Dewa Broto, Gatot S. 2014. The PR : Tantangan Public Relations di Era Keterbukaan Informasi. Jakarta: Gramedia, hal.6

TAUBAT: SUATU PROSES MENJADI AHSANI TAQWIM

Ahmad Kholikul Khoir (Mahasiswa FPSB UII)—

“Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah membuahkan kesehatan fisik,” begitu tulis Shihab (2017) dalam bukunya Wawasan Alqur’an. Kalimat itu ditulis sebagai komentar dan/atau penjelasan atas surat Albaqarah ayat 222. Lebih lanjut, dalam tafsirnya Almisbah, Qurais Shihab menambahkan, bahwa kewarasan mental itu hadir karena “taubat adalah menyucikan diri dari kotoran batin,” (Shihab, 2005). Read more

When you feel tired of this life: Self-Help

OLeh : Dr. Ista Maharsi, S.S., M.Hum—-

Not one person in this world has never experienced difficulties in life and in one moment throughout our life we may be in the lowest and the worst condition that we have never imagined. Everyone is indeed tested by Allah in so many forms of both happiness and sadness, shortage and abundance as mentioned in the Qur’an Surah Al Baqarah Verse 155-157.

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

 

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

 

أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

 

We will certainly test you with some fear and hunger, and some loss of possessions and lives and crops. But give good news to the steadfast (Al Baqarah: 155)

Those who, when a calamity afflicts them, say, “To God we belong, and to Him we will return.” (Al Baqarah: 156)

Upon these are blessings and mercy from their Lord. These are the guided ones (Al Baqarah: 157)

The verse reminds us that anyone, whoever he/she is, even the Prophets are tested by Allah SWT. Such tests indicate how Allah pay attention and want us to be stronger and sustaining in this life. When we can get through all the difficulties and hurdles, Allah will give us good news because we have been patient and resilient in facing all the tests. The good news is given as blessings and mercy from Allah SWT. However, some people may think that the tests are too difficult for them, too hard to handle. This kind of assumption is misleading as Allah SWT tests people because they can bear them. This is mentioned in the Qur’an Al Baqarah: 286).

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

God does not burden any soul beyond its capacity. To its credit is what it earns, and against it is what it commits. “Our Lord, do not condemn us if we forget or make a mistake. Our Lord, do not burden us as You have burdened those before us. Our Lord, do not burden us with more than we have strength to bear; and pardon us, and forgive us, and have mercy on us. You are our Lord and Master, so help us against the disbelieving people.” (Al Baqarah: 286)

Even though Allah has confirmed that He does not burden human beings with something that they can not carry, we at times feel that we can not bear any longer. When we feel that everything seems to get worse and even the universe does not seem to support us, we may feel so desperate. When there seems no way out, we may feel so tired. We feel so tired of the complex problems at home, offices, families, even societies. We may feel we will not get over them and seem like the sky is falling down and the Earth becomes narrower and crushing. At this moment, we may think of stopping and not trying anymore. We may surrender, but no…it is not the time to surrender yet.

Let’s think again, clearly and mindfully, as Believers and Moslems. Let this be a self-help and things to ponder.

This life is just temporary. There will certainly another life which is more eternal. If we feel tired, isn’t it this world a place where we have to work and prepare for our future? The future life which is more promising, everlasting, and joyful should not be traded with something fake, temporary, unstable, and sorrowful sometimes. This world is where we have to keep saving goodness for our next life. It is the time when we need to do the compulsory and the voluntary worshipping. It is the time when we have to make everything that we do our saving because of and for Allah SWT. This world is the place where we should make our work, struggles, actions, eating, walking, resting, even breathing becomes valuable saving for our future life. Our hard work, sweat, tears, fatigue, should be turned into Allah SWT blessings and never do those go without meanings.

How, then, should we face all the tests and fatigue in this life? Here are several advices:

  1. Accept the tests with an open heart

The first thing that we need to do when we are tested is by accepting it. Whatever the kind of tests they are, simply accept them and believe that those tests are the ways to achieve higher levels of faith quality. Students at schools need to pass the exam if they want to level up. Tests given by teachers are those within the students’ competence. In the same way, the tests given by Allah are certainly not the tests beyond our levels that are impossible to be answered. Allah gives us the tests because He knows that we can finish the tests well. Besides, He also wants us to become stronger and get more blessings from Allah SWT.

  1. Limitless patience and keep doing good deeds

While we are doing the tests, patience is the key and it has no limit. Patience does not mean to do nothing. Even, patience is viewed as half of faith because patience is the confirmation of principles of religion and that the origin of faith is from knowledge and good deeds. According to Al Ghazali, there are two kinds of patience: patience over physical pains and at inclination of evil (Ihya Ulumuddin, page 64). For those who are patience and do not stop from doing good deeds are rewarded by Allah SWT as mentioned in the Qur’an Surah Az-Zumar, Verse 10.

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Say, “O My devotees who have believed, keep your duty to your Lord. For those who do good in this world, is goodness. And God’s earth is vast. The steadfast will be paid their wages in full, without reckoning.” (Az-Zumar, 10)

  1. If you feel tired, have a rest for a while

It is fine sometimes to take a rest, releasing all burdens and problems. Spending several days for thinking, reflecting, evaluating, and having intensive communication with Allah SWT may be of great help. Repositioning the aim of doing things in life and regaining beliefs about Allah’s Limitless Power may give us strength to continue our struggle. Or else, seeking advice from Ustadz and good Moslem friends can also be beneficial.

  1. Ikhitar (trying) is a never-ending action

Efforts are everything that Moslems do as the implementation of faith and evidence of their beliefs of rewards given after life. Efforts are obligatory as long as a Moslem lives. These efforts, regardless of the success or failure, are counted as ibadah or good deeds. In this case, process is viewed as more important than the results because the results are within the Power of Allah and His Privilege.

Allah has mentioned in the Qur’an Surah An-Najm 39-42:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَ

وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ

ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَ

And that the human being attains only what he strives for (An-Najm: 39)

And that his efforts will be witnessed (An-Najm: 40)

Then he will be rewarded for it the fullest reward (An-Najm: 41)

And that to your Lord is the finality (An-Najm: 42)

  1. If you want to stop, does it mean you want to go back home (to Allah SWT)?

Bearing all those hardness, do we surrender? Are we ready to give up and go back to Allah because we do not want to try again? It is not an easy thing to answer such a question as we may always answer that we are not ready yet. However, it is not merely about readiness to return to Allah, it is about our duties to accept Allah’s tests and how to gain His blessings upon what we do to the tests.

To sum up, for human beings feeling tired or want to give up may be a normal situation. However, as Moslems we need to act complying with what Allah SWT has guided us. Accepting tests of life and being patient throughout the tests are never easy. Therefore, those who have succeeded in performing them will get blessings and rewards from Allah SWT. Getting a test is not an option, but performing it in the best way that we could is the rightest decision. Allah is the best of Helpers and to Him we shall ask for help.

Wallahu’alam bisshowab.