Mencari Berkah dari Bekerja

Oleh: Ike Agustina, S.Psi, M.Psi, Psikolog ——–

Dalam proses kehidupan seorang individu, status sebagai karyawan atau pekerja seringkali menjadi salah satu peran yang paling lama yang dijalankan individu dalam hidupnya. Seseorang tak jarang menghabiskan lebih dari 30 tahun untuk statusnya sebagai pekerja, yang artinya, lebih dari lima puluh persen dari bilangan usia hidupnya. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih dalam mengenai alasan seseorang bekerja dan bagaimana seseorang melakukan pekerjaannya selalu menjadi sesuatu yang menarik.

Pada beberapa kesempatan ketika saya diminta mengisi pelatihan pengembangan sumber daya manusia untuk instansi atau perusahaan tertentu, peserta-peserta pelatihan tersebut telah berbagi kepada saya mengenai alasan-alasan yang membuatnya bekerja. Secara umum, faktor yang menjadi alasan seseorang bekerja dapat saya kategorikan sebagai berikut:

  1. Faktor Finansial

Faktor finansial mungkin merupakan alasan paling jamak yang melatarbelakangi keputusan orang untuk bekerja. Penghasilan yang diperoleh dari bekerja merupakan sesuatu yang dinilai mampu memberikan dukungan atas kebutuhan dasar yang harus dipenuhi seperti membeli makanan, membayar sewa rumah, membiayai pendidikan anak hingga mendukung gaya hidup tertentu yang dijalankannya.

  1. Faktor Sosial

Pada beberapa orang, keputusan untuk bekerja sangat mungkin didorong oleh motif sosial, seperti: keinginan untuk berkontribusi kepada kelompok masyarakat tertentu, mendapatkan pertemanan di tempat kerja, menjadikan diri  merasa lebih berharga ketika berhadapan dengan orang lain, atau juga untuk mendapatkan status sosial tertentu.

  1. Faktor Personal

Hal lain yang juga sering disebut-sebut menjadi alasan seseorang untuk bekerja adalah karena keinginan pribadi untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya selama bersekolah atau kuliah, ingin mengisi waktu luangnya dengan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat (karena memang kebutuhan materinya sudah terpenuhi lewat sumber lain), atau karena ingin mendapatkan kesempatan mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru dari pekerjaan yang dijalaninya.

Kenyataan yang terjadi di lapangan, faktor tersebut di atas bisa saja menjadi pendorong yang bersifat tunggal. Namun demikian, tak jarang seseorang bisa memiliki dua faktor bahkan tiga faktor sekaligus yang menjadi pendorongnya dalam bekerja. Memahami apa yang menjadi motif seseorang untuk bekerja seringkali menjadi menjadi penentu utama atas jenis pekerjaan yang akhirnya dipilih dan bagaimana seseorang akan memaknai pekerjaannya.

Pengamatan saya di lapangan menunjukkan bahwa seseorang yang bekerja dengan penuh semangat, totalitas ketika bekerja, dan sangat mencintai serta berbahagia dengan apa-apa yang dilakukannya dalam pekerjaan, ternyata bukanlah orang-orang yang bekerja karena ingin menjadi kaya-raya atau demi mengejar posisi jabatan tertentu, namun karena mereka menjadikan bekerja sebagai ekspresi ibadah mereka kepada Allah.

Mungkin tidak sedikit orang-orang di sekitar kita yang menyampaikan bahwa mereka bekerja karena alasan ibadah. Jika ditelisik lebih jauh, ibadah yang dimaksud oleh mereka mungkin dalam konteks bahwa bekerja adalah sarana baginya untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai kehidupan keluarga. Mencari penghasilan dengan bekerja merupakan kewajiban yang dijalannya karena statusnya sebagai kepala keluarga.

Pernah terjadi di masa lampau ketika ada beberapa sahabat yang mengomentari seorang pemuda yang rajin bekerja. Kala itu, para sahabat berkomentar, “Andai saja ini (rajin dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah”. Mendengar hal tersebut, Rasullah Muhammad SAW kemudian bersabda: “Janganlah kamu berkomentar seperti itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan” (HR. Thabrani). Artinya, seseorang boleh saja meniatkan bekerja untuk membuatnya mampu menafkahi diri dan keluarganya. Namun, seseorang mungkin perlu merenungi lebih dalam manakala ia kemudian bekerja dengan mengatasnamakan ibadah namun ternyata dalam bekerja masih dilakukan dengan serampangan, marah-marah yang tidak terkendali ketika bekerja, menggunjingkan atasannya di kantor, atau bahkan menjadi ribut dan terputus hubungannya dengan orang lain karena konflik di tempat kerja. Dalam situasi ini, penghasilan yang diterima dari pekerjaannya boleh jadi merupakan sesuatu yang halal bagi dirinya dan keluarganya, namun apakah itu kemudian menjadi berkah baginya? Allahu’alam bish-shawab.

Bekerja Sebagai Ekspresi Ibadah

Dalam pengertian yang sederhana, ibadah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diupayakan seseorang dalam rangka mengharapkan ridha dari Allah semata. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia sedang menjalankan ibadah, maka ia akan berusaha sungguh-sungguh untuk memastikan apa-apa yang dilakukannya dalam ibadahnya tersebut menjadi sesuatu yang Allah sukai. Jikapun orang tersebut belum mampu untuk beribadah dengan khusyuk, minimal ia akan mengupayakan sedapat mungkin menghindarkan dirinya dari apa-apa yang secara nyata bisa mengurangi nilai dari ibadahnya.

Ketika seseorang menjadikan bekerja sebagai ekspresi ibadah maka orang tersebut akan selalu berusaha melibatkan kehadiran Allah dalam setiap perilaku kerjanya. Ia umumnya akan bertindak sangat hati-hati dalam bekerja agar perilakunya ketika bekerja tidak sampai menurunkan nilai dari ibadahnya. Ia sangat menginginkan ibadah yang dilakukannya berbuah menjadi keberkahan di dalam hidup.

Dalam bahasa Arab, berkah berasal dari kata “barokah” yang memiliki arti nikmat. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa makna kata berkah yaitu berarti bertambahnya kebaikan. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk terus mengimani bahwa setiap aktivitas kita dalam kehidupan, termasuk bekerja, adalah sarana kita untuk mencapai ridha Allah. Bahkan doa ini senantiasa kita ucapkan dalam setiap sholat kita, ”Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (Qs. Al An’am ayat 162). Adanya ridha Allah dalam setiap aktivitas hidup insyaallah menjadi jalan bagi kita untuk meraih keberkahan.

Lantas, apa upaya yang harus dilakukan agar kerja kita bisa menjadi ekspresi ibadah yang lalu dapat mengantarkan kita meraih keberkahan? Secara umum, tuntunan itu sesungguhnya telah ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menurut saya bisa kita lakukan dalam perilaku kerja kita:

  1. Bekerja Secara Jujur

Allah memerintahkan kita untuk selalu berlaku jujur, menyelaraskan perkataan dan perbuatan kita. Dalam Qs. Al Ahzab ayat 70, Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Selain itu, perintah Allah kepada kita untuk jujur juga terdapat dalam Qs. At Taubah ayat 15: “Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Berlaku jujur dalam bekerja bukan hanya wujud kepatuhan kita atas perintah Allah yang telah menciptakan kita, namun dalam konteks pekerjaan, berlaku jujur akan menjadikan kita sebagai pribadi yang dapat dipercaya oleh orang lain.

  1. Bekerja dengan Sunguh-sungguh dan Sepenuh Hati

Sebagai muslim, kita perlu memahami bahwa bekerja dengan sepenuh hati sesungguhnya merupakan ekspresi dari rasa syukur atas nikmat Allah yang telah dikaruniakan-Nya kepada kita. Dalam banyak kesempatan, bekerja sebetulnya adalah pemanfaatan atas daya yang kita miliki, baik daya fisik atau daya pikir.

Tidak semua orang yang terlahir di dunia ini memiliki kondisi fisik sempurna dan kemampuan berpikir yang baik sebagaimana yang kita miliki. Beberapa orang mungkin terlahir dengan keterbatasan fisik tertentu dan hambatan dalam berpikir karena adanya gangguan mental. Hal ini tentu saja menyebabkan mereka jadi lebih sulit dan lebih rumit untuk bisa bekerja dengan optimal. Oleh karena itu, akankah kita yang hari ini dikarunai Allah dengan kesempurnaan fisik dan kemampuan berpikir memadai justru melemahkan daya yang kita miliki itu dengan bekerja tanpa kesungguhan (optimalisasi)? Tidakkah kita menyadari bahwa mengurangi daya dalam bekerja boleh jadi justru menggelincirkan kita dalam kondisi kufur nikmat? Allah dalam Qs. Saba’ ayat 13 telah berfirman: “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”.

  1. Senantiasa Berlapang Hati Dalam Bekerja

Salah satu hal yang dapat mengurangi keberkahan kita dalam bekerja ternyata berpotensi muncul dari pola interaksi yang kita bangun dengan pihak-pihak yang bersinggungan dengan pekerjaan kita, entah itu pelanggan, rekan kerja, anggota tim kerja atau atasan kita.

Sekali waktu dalam bekerja, kita mungkin pernah marah karena apa yang kita lakukan dalam pekerjaan kita disalahpahami orang lain dan kemudian membuat kita menjadi korban fitnah di kantor. Di lain waktu, kita mungkin pernah tergoda untuk menggunjingkan atasan kita dengan rekan kerja karena sebab-sebab tertentu. Atau pada kesempatan lainnya, kita mungkin pernah kesal setelah dimarahi oleh atasan kita di hadapan rekan kerja lainnya atau saat hasil pekerjaan kita kurang dihargai. Interaksi dengan orang lain dalam pekerjaan kita memang menjadi tantangan tersendiri karena membuka ruang bagi kita untuk menjadi tidak lulus dalam ujian kesabaran dan keikhlasan dengan apa yang kita lakukan dalam pekerjaan kita manakala kita gagal menyikapinya secara benar. Oleh karena itu, mengupayakan diri untuk selalu berlapang hati dalam bekerja menjadi kunci agar keberkahan dalam bekerja menjadi tidak luntur.

Beberapa orang mungkin bertanya, bagaimana caranya bisa berlapang hati? Bagi saya, berlapang hati bisa dimulai dengan melatih diri untuk tidak pernah membiarkan emosi kita membajak logika kita. Kita perlu belajar untuk tidak reaktif ketika mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam interaksi kerja kita dengan orang lain. Seringkali, menunda sebentar respons atas sebuah situasi untuk digunakan berpikir tentang dampak dari respons yang kita pilih dan bertanya ke dalam hati, “Apakah Allah ridha dengan apa yang saya lakukan ini?”, maka hal itu bisa menghindarkan kita dari kerugiaan dan kesia-siaan dalam beribadah.

Menjadikan bekerja sebagai ekspresi ibadah dan mencapai keberkahan dari ibadah bekerja yang kita lakukan memang bukanlah hal mudah. Perjuangan itu membuat kita harus mengorbankan dan membunuh keinginan-keinginan tertentu yang timbul karena dorongan kemanusiaan kita sebagai mahkluk Allah yang memiliki nafsu. Namun, semua kembali kepada kita masing-masing. Apakah kita akan membiarkan bekerja kita hanya sekadar sarana untuk mencari nafkah? Ataukah kita akan menjadikan bekerja sebagai jalan kita meraih berkah? Yang jelas, pada setiap keputusan kita untuk membunuh nafsu, disitu ada jiwa kita yang bertumbuh.

Demikian. Semoga bermanfaat. Allahu’alam bish-shawab.