Mengapa Harus Menulis ?

Oleh : Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog—

Pensil yang pendek lebih berguna daripada memori yang panjang

Begitu bunyi status facebook yang ditulis oleh Refiana Said, teman lama saya yang sudah lama tak bertemu. Seorang teman Refiana yang bernama Erick Sinaga memberi komentar: “Tentu … walau pensil itu pendek, namun bisa digunakan untuk menulis, berbagi atau menyampaikan isi hati atau pengalaman hidup pengguna/pemilik pensil. Sementara memori yang panjang hanya disimpan dan diamankan oleh pemilik memori itu sendiri...”

Saya kira apa yang kita lihat, baca, dengar lalu tersimpan dalam ingatan kita tidak banyak berguna kalau hanya tersimpan dalam diri kita. Kekuatan pengetahuan dan pengalaman itu baru terasa ketika kita mengungkapkannya lalu dibaca orang lain. Tentu harus diungkapkan dengan cara tertentu, yang berurutan dan menarik. Nanti apa yang kita ungkapkan itu akan menjadi “emas” yang berguna, yang menjadi sumber teladan dan inspirasi yang memberi pengaruh kepada dunia.

Pengungkapan pengetahuan atau pengalaman itu dapat kita sampaikan secara lisan dan secara tertulis. Ketika kita sampaikan secara lisan, hanya satu dua atau sejumlah kecil orang di sekitar kita yang dapat mendengarkannya dan mengambil manfaat darinya. Beruntung kalau profesi kita adalah public speaker, yaitu orang yang banyak bicara di depan banyak orang seperti guru, dosen, ustaz, kyai, motivator, pelatih. Mungkin ada belasan, puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang berkesempatan untuk memperoleh manfaat dari cerita kita. Sayangnya profesi ini minoritas dibanding profesi yang lain. Beruntung lagi kalau kita adalah narasumber di radio atau televisi. Akan tetapi, sangat sedikit di antara kita yang memperoleh kesempatan menjadi narasumber di media massa yang memang massif seperti radio dan televisi.

Sekarang ini media sosial memberikan peluang kepada kita untuk berbicara kepada ratusan, ribuan, puluhan ribu orang, bahkan jutaan orang. Melalui twitter, instagram, facebook, tik tok, dan beragam media sosial lainnya, kita dapat berbagi pengetahuan atau pengalaman secara real time. Seberapa banyak yang dapat menikmatinya sangat tergantung kepada follower yang kita miliki. Semakin banyak follower semakin banyak pihak yang dapat mengambil manfaat dari apa yang kita tulis. Komunikasi melalui medsos ini sebagian di antaranya tetap mengandalkan kemampuan menulis ketika kita hendak mengekspresikan diri kepada banyak orang.

Tulisan Lebih Abadi

Berbeda dengan ungkapan lisan langsung yang setelah kita dengar akan hilang dan tidak dapat dicek lagi oleh orang lain, tulisan-tulisan di media massa (buku, koran, majalah, dsb) dan media sosial lebih abadi. Bisa dibaca di lain kesempatan. Kita juga bisa meminta orang lain mengkonfirmasi isinya, karena isi tulisan dicek di berbagai kesempatan.

Buku adalah jenis tulisan yang tingkat keabadiannya paling meyakinkan. Sampai sekarang kita masih menikmati tulisan-tulisan ulama terkenal seperti Imam al-Ghazali, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Miskawaih, Ibnu Araby, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, dan seterusanya. Kita juga dapat menikmati pemikiran-pemikiran filsafat Yunani kuno dari Aristoteles, Plato, Socrates, Phytagoras yang hidup beberapa abad sebelum masehi (7 Filsuf Yunani Populer Sebelum Masehi, Masih Dikenang Terus (idntimes.com).

Buku bisa bertahan lama bahkan hingga ribuan tahun karena umumnya buku ditulis lebih serius dibanding penulisan naskah-naskah yang lebih pendek. Melalui buku, argumen-argumen ditulis secara baik dan mendalam. Ini berbeda dengan tulisan yang pendek seperti artikel yang sedang anda baca ini. Buku Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali adalah contoh buku yang ditulis secara baik dan mendalam yang tetap menjadi bacaan penting umat Islam di seluruh dunia setelah dinikmati berbagai kalangan selama hampir seribu tahun. Entah berapa ratus juta atau bahkan berapa milyar orang pernah membaca atau menyimak pembacaan buku Imam al-Ghazali ini.

Entah bagaimana rasanya memiliki tulisan dibaca orang seantero dunia dari generasi ke generasi. Menyaksikan buku bisa bertahan selama sekitar 27 tahun saja bukan main bahagianya. Ini saya alami sendiri. Sekitar 27 tahun lalu, tepatnya tahun 1994, bersama ahli Psikologi UGM Prof Djamaludin Ancok, saya menulis buku Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Sekarang buku tersebut sudah dicetak 8 kali. Kalau setiap cetak ada 3.000 eksemplar, maka buku itu telah dicetak dan dibeli 24.000 orang. Kalau tiap satu eksemplar buku dibaca 5-7 orang (di perpustakaan malah dibaca puluhan orang), maka berarti buku itu kemungkinan sudah memberi manfaat hingga menembus 100.000 orang. Akhir Oktober kemarin, saya berkunjung ke Universitas Islam Negeri Saizu Purwokerto. Dua orang yang terlibat dalam diskusi mendatangi saya ketika acara selesai. Mereka menyampaikan kalau mereka membaca buku saat mereka menjadi mahasiswa di tahun 1990-an. Hal yang sejenis saya temukan ketika saya berkunjung ke berbagai UIN/IAIN/STAIN dan beberapa universitas Islam. Intinya, mereka mengkonfirmasi bahwa buku tersebut adalah buku yang sampai detik ini menjadi bacaan banyak dosen, mahasiswa, dan umumnya warga masyarakat.

Selanjutnya, kalau kita menulis di berbagai blog dan situs, ratusan hingga ribuan orang akan segera membaca. Pada saat saya menulis tulisan-tulisan pendek yang diposting di facebook, umumnya sebuah tulisan sekitar 100-300 orang. Tentu semakin banyak kawan/pengikut, maka semakin luas daerah penyebarannya.  Kadang saya iseng beri komentar tulisan-tulisan lama di facebook. Ternyata masih ada orang yang mau membaca dan memberi komentar atas tulisan yang sudah beberapa tahun itu.

Motivasi Menulis

Setiap penulis memiliki motivasi. Motivasi menulis tidaklah tunggal. Di antara motivasi yang jamak itu, ada dua yang terpenting. Pertama adalah menyampaikan hal penting kepada orang lain untuk diperhatikan bahkan dilakukan. Para penulis memiliki keyakinan sendiri tentang apa yang dianggap penting. Sekalipun demikian, hal yang dianggapp penting oleh kebanyakan orang dan kebanyakan penulis adalah prinsip-prinsip hidup. Kisah-kisah atau ungkapan bisa berbeda, namun ada kesamaan ide pada berbagai tulisan, yaitu tersebarnya nilai-nilai atau prinsip kehidupan yang dimiliki penulisnya. Prinsip hidup seperti persaudaraan, keadilan, kebaikan hati, semangat hidup, pembersihan diri, kebahagiaan, adalah nilai-nilai yang akan terus menerus ditularkan, karena ide yang sebaliknya juga secara sengaja juga dipromosikan. Prinsip-prinsip penting untuk selalu diperjuangkan.

Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir ini saya suka menulis tentang pemaafan. Saya sendiri percaya bahwa memaafkan adalah sebuah bentuk kebaikan yang diperintahkan Allah. Karenanya, saya menulis topik ini dalam bentuk buku, publikasi internasional, publikasi ilmiah nasional, publikasi popular, selain video. Saya berharap dunia yang saat ini masih banyak diwarnai oleh dendam, kemarahan, sakit hati ini dapat berubah menjadi lebih dipenuhi pemaafan, kebaikan hati, dan cinta.

Kedua adalah menyampaikan hal-hal yang semestinya dijauhi atau dihindari agar keburukan dan kejahatan itu tak diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kesenangan sesaat, kekerasan, keputusasaan, jalan pintas, adalah ide-ide buruk yang juga tersebar dan karenanya butuh orang-orang yang selalu mengingatkan kepada banyak orang. Pejuang anti jalan hitam ini ditantang untuk menyebarkan ide ini sekalipun secara umum mencegah keburukan yang sering berarti kesenangan itu secara psikologis lebih berat dibanding memperjuangkan kebaikan dan cinta.

Tulisan Sebagai Terapi

            Salah satu fungsi tulisan adalah sebagai terapi. Pada awal 2017, saya mengalami stroke ringan. Seringan-ringannya stroke, pastinya berdampak terhadap kehidupan orang yang mengalaminya, termasuk saya. Salah satu yang terpengaruh adalah kemampuan kognitif. Kemampuan memahami konsep yang kompleks rasanya menurun sekali. Begitu juga kemampuan berpikir mendalam jauh berkurang. Kalau mau menulis suatu konsep agak kompleks, rasanya kepala ini berat sekali. Alhamdulillah ada saran dari dokter yang menangani saya pascastroke. Beliau menyarankan agar saya membiasakan menulis hal-hal yang ringan dulu. Peristiwa-peristiwa baik yang terjadi di masa lalu adalah hal yang direkomendasikan untuk saya tulis.

Akhirnya saya praktikkan apa yang disarankan dokter. Saya memilih menulis berbagai peristiwa atau kejadian yang berisi kebaikan-kebaikan dari berbagai orang yang saya saksikan sendiri. Saya tulis beberapa kejadian waktu saya SMP, seperti tanggapan dua orang mentri bernama Prof Emil Salim dan Letjen Alamsyah Ratu Prawiranegara waktu saya menyurati mereka SMP. Tanggapan mereka menjadi sesuatu yang membuat saya merasa surprise. Saya juga beberapa kali mendapat postcard dari artis yang saya gemari waktu SMP, yaitu Iis Sugiyanto. Waktu saya menulis, saya juga mengingat peristiwa yang tak pernah saya lupa, yaitu kelompok cerdas cermat saya waktu SMP berhasil mengumpulkan skor 2.000 ketika pesaingnya mendapat skor 200. Intinya saya merasa lancar mengungkapkan berbagai peristiwa membahagiakan di waktu kecil.

Ketika saya menulis dan merasakan derasnya aliran tulisan dari otak dan tangan saya, saya merasa kehidupan menjadi cerah kembali. Saya yakin menulis membuahkan pengaruh yang luar biasa. Saya bayangkan dalam hayalan saya di otak saya ada gumpalan-gumpalan. Setelah saya mengalirkan deras apa yang tersimpan dalam otak itu, gumpalan-gumpalan itu terurai satu per satu. Otak saya terasa berproses mengalami normalisasi.

            Karenanya, ketika saya menuliskan hal-hal yang menegangkan dalam hidup saya, saya sudah yakin kemampuan otak saya sudah pulih semakin mendekati 100% walau secara jujur saya merasa belum bisa 100% seperti dulu. Saya merasa lancar ketika menceritakan suatu peristiwa di mana saya ditinggal oleh bus padahal laptop dan HP saya ada di dalam tas di bus tersebut. Saya juga merasa lancar ketika menceritakan berbagai peristiwa menegangkan lainnya.

Manfaat bagi Pribadi dan Orang Lain

Saya percaya ketika menuliskan pengetahuan, perasaan, pemikiran, dan pengalaman kita kepada orang lain, ingatan kita akan isi tulisan itu semakin panjang. Berdasar pengalaman, gagasan atau pemikiran yang saya tulis sendiri jauh lebih saya pahami dibanding dari apa yang tidak saya tulis. Itu artinya pengetahuan yang ditulis akan menjadi memori yang lebih panjang bagi saya.

Bagi orang lain, bila saya menuliskan apa yang menjadi pengetahuan, perasaan, pemikiran, dan pengalaman saya, maka orang lain akan membaca dan mengingatnya dalam memorinya. Orang lain ini akan membagi memorinya kepada orang lain lagi, dan san seterusnya. Itu artinya memori yang saya tulis dan kemudian dibagi orang lain dan dibagi lagi ke orang lain lagi akan menjadi ingatan bagi banyak orang dan akan diwariskan dari generasi ke generasi. Kalau dapat diwariskan dari generasi ke generasi, maka sudah pasti artinya adalah memori ingatan akan isi ungkapan kita akan bermur panjang.

Demikian. Wallahu a’lam bi ash-shawab. Bagaimana pendapat anda?