TAUBAT: SUATU PROSES MENJADI AHSANI TAQWIM

Ahmad Kholikul Khoir (Mahasiswa FPSB UII)—

“Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah membuahkan kesehatan fisik,” begitu tulis Shihab (2017) dalam bukunya Wawasan Alqur’an. Kalimat itu ditulis sebagai komentar dan/atau penjelasan atas surat Albaqarah ayat 222. Lebih lanjut, dalam tafsirnya Almisbah, Qurais Shihab menambahkan, bahwa kewarasan mental itu hadir karena “taubat adalah menyucikan diri dari kotoran batin,” (Shihab, 2005).

Sebagai hamba, manusia diciptakan oleh Allah menjadi makhluk yang bukan yaf’alu ma yu’marun (mengerjakan apa yang diperintahkan Allah) dan memiliki iman yang tak pernah turun. Kita ditakdirkan menjadi makhluk yang mengalami naik turunnya iman; tak selalu taat atas titah Allah dan berpotensi melakukan keburukan. Sedemikian, bukan suatu kerendahan dengan fluktuasi iman yang dimiliki manusia, alih-alih adalah suatu pembeda dari makhluk lain. Bahkan Allah menyebut manusia ahsani taqwym (sebaik-baik bentuk penciptaan).

Dengan hadirnya potensi itu, manusia harus mampu menaklukannya. Jika tidak, ia dapat jatuh (atau kembali) ke dalam jurang yang serendah-rendahnya (asfala safilin). Suatu keadaan yang menjadikan manusia bukan manusia, tapi binatang belaka. Sebagaimana dikatakan asfala safilyn adalah keadaan ketika ruh Ilahi belum lagi menyatu dengan diri manusia (Shihab, 2017). Disini, manusia hanya akan memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja. Bukankah itu perilaku binatang?

Kembalinya manusia ke dalam keadaan asfala safilyn itu didalangi oleh kekurangmampuannya dalam mengelola potensi-potensi keburukannya: an-Nafs al-Ammarah bis suu’ dan an-Nafs al-Lawwamah. Definisi al-Nafs al-Ammarah Bis Suu’ adalah nafsu yang selalu mendorong pada keburukan, karena mengikuti hawa nafsu (syahwat) (Sari & Lusyati, 2014). Adapun an-Nafs al-Lawwamah yaitu tingkat kejiwaan ketika seorang pribadi yang karena kesadarannya akan kelemahan dirinya sehingga banyak berbuat dosa (Madjid, 1998).

Sedihnya, tak sedikit manusia modern yang telah terperosok pada jurang asfala safilyn dan tak tahu cara kembali pada kejadian ahsany taqwym. Tak heran jika produk budaya yang diciptakannya pun bersifat jahiliah. “Budaya modern itu secara spiritual bodoh … kita melihat, menggunakan, dan mengalami sesuatu yang hanya bersifat langsung, dapat dilihat, dan pragmatis. Kita buta terhadap tingkatan simbol dan makna yang lebih dalam yang menempatkan … diri kita dalam suatu kerangka eksistensial yang lebih luas.” Demikian Zohar dan Marshall (2007).

Di lain tempat, dalam pidatonya di Brazil pada 2014, Danah Zohar menyampaikan bahwa, bahkan dalam bertindak dan berperilaku, masyarakat modern didorong oleh emosi-emosi negatif (an-Nafs ammarah bis suu): rasa takut, amarah, serakah, dan self-important. Hulu dari keempat emosi itu adalah hasrat akan hal kebendaan (materialisme). Hilirnya adalah ketidakwarasan, pelbagai destruksi, dan tindak kriminalitas yang tiada ujungnya.

Di masa pandemi sekarang membuat itu lebih jelas. Misalnya, di awal pandemi masuk ke Indonesia, tidak sedikit orang yang melakukan panic buying, menimbun masker, mengerek harga alat kesehatan, dan masih banyak tindak keserakahan lainnya. Selain itu, sebagaimana dilansir oleh Kompas (2020) bahwa tingkat kriminalitas meningkat sebanyak 8 persen semasa pandemi Covid-19 berlangsung. Hal ini menandakan, di masa kini tidak sedikit manusia yang tak sehat mentalnya.

Di titik ini, manusia harus segera menempuh jalan taubat untuk mengembalikan kewarasan jiwanya. Taubat secara bahasa dapat diartikan sebagai ruju’ (kembali): dari jalan yang jauh ke jalan yang dekat pada Allah. Adapun syarat dilaksanakannya taubat setidaknya terdapat empat hal yang perlu dipenuhi (Yulianti, 2017) Pertama, kesadaran akan dosa. Kita tidak mungkin mandi tanpa adanya kesadaran bahwa tubuh dan fisik kita telah kotor. Begitupun kita tak akan bertaubat tanpa adanya kesadaran bahwa hati dan pikiran kita sudah sedemikian tak bersih.

Kedua, pengakuan akan dosa. Para Sufi mengatakan bahwa pengakuan dosa (al I’tiraf) adalah suatu unsur penting dalam proses pertobatan. I’tiraf adalah pengungkapan kembali kesalahan yang pernah dilakukan secara jujur dan benar kepada Allah dan manusia (jika terkait hablun min an-nas).

Ketiga, penyesalan (al-nadam). Berbeda dengan pengakuan dosa yang diungkapkan dengan “terang-terangan,” dalam penyesalan (al-nadam), orang menginsyafi kesalahan pada mekanisme internal dirinya, karena telah berbuat salah. Penyesalan memiliki nilai dinamis yang selalu berjalan pada setiap babakan masa. Artinya, penyesalan itu dapat mengarahkan untuk berbuat lebih baik dengan menyempurnakan keimanan dan ketaqwaan.

Keempat, komitmen. Hal ini memungkinkan individu tidak terlalu larut dalam penyesalan oleh karena dosa yang telah diperbuat dan memilih keluar dari diri yang sebelumnya (buruk) menjadi diri baru (baik) secara utuh dan konstan. Pada akhirnya, komitmen akan mendorong seseorang berperilaku positif menuju hasil yang diharapkan oleh si empunya.

Sungguh indah jika manusia (di era pandemi ini) dapat melalui beberapa proses dalam pertaubatan itu, maka dapat segera selesai badai pandemi kini. Dalam proses pertama misalnya, manusia harus sadar bahwa dirinya bukan hanya makhluk ekonomi dan individual yang segala hal ditakar pada nilai ekonomi. Manusia juga makhluk sosial dan spiritual yang kehidupannya saling bergantung (interdependent) satu sama lain. Lebih dasar lagi, manusia adalah entitas berketuhanan.

Jika sudah sadar perihal kesalahannya, maka manusia perlu meminta maaf pada Allah dan sesamanya, serta tidak merepetisi perbuatan yang rendahan lagi. Kemudian menggantinya dengan perbuatan baru yang sama sekali berkebalikan dari tindakan sebelumnya. Sebagai contoh, dari mengerek harga harga alat kesehatan, alih-alih menurunkannya. Atau dari tidak berkenan di vaksin menjadi berkenan di vaksin, dsb.

Jika hal demikian terjadi, maka manusia – pada tataran tertentu – sesungguhnya telah kembali pada fitrahnya. Yakni, kembali pada makhluk yang dorongan utamanya bukan keserakahan, ketakutan dan berbagai emosi buruk lainnya, namun berganti menjadi suatu nilai yang lebih mendasar: cinta dan welas asih (compassion). Sebagaimana Rumi (2018) dalam Diwan Syams Tabrizi, “Ketika aku mabuk akibat anggur cinta, setiap saat aku berhenti dalam diam ku kenakan baju besiku, siap berperang, di medan perang kucari keberhasilan.”

Singkatnya, melalui jalan pertaubatan, manusia dapat kembali memfungsikan dirinya sebagaimana adanya. Dengan pertaubatan, manusia terhindar kembali menjadi asfala safilyn dan meningkat pada derajat entitas yang ahsani taqwym. Sebagaimana surat Al-Maun pada ayat 6, karena manusia itu telah amanu wa amilus salihat (beriman dan berbuat kebaikan). Alhasil, ganjarannya adalah ajrun ghoiru mamnun (pahala yang tak terputus).

Lebih jauh lagi, manusia akan sampai pada derajat makhluk yang radhiyatan mardhiyah (ridho dan diridhoi oleh Allah) karena telah kembali (taubat) dan menapaki jalan menuju pusat jiwanya. Oleh karenanya, mau sampai kapan kita lupa diri dan menunda pertaubatan? Mau sampai kapan kita sakit mental? Astaghfirullah.

 

Referensi:

Madjid, N. (1998). Islam: Doktrin dan peradaban. Jakarta: Universitas Paramadina.

Pandemi Covid-19, Angka Kriminalitas Meningkat, Kecelakaan Lalu Lintas Menurun. (2020). Diakses pada tanggal 28 September 2021 dari https://regional.kompas.com/read/2020/12/24/06351531/pandemi-covid-19-angka-kriminalitas-meningkat-kecelakaan-lalu-lintas-menurun?page=all

Pesquesita Atitude Brasil. (2014, 14 November). Danah zohar fisica filosofa — falou no fico.su sobre intelegecia esperitual [Video]. Youtube. https://youtu.be/9YVsGwurog8

Rumi, J. (2018). Diwan Syams Tabrizi. Yogyakarta: Forum.

Sari, M., & Lusyati, T. (2014). Nafs (Jiwa) dalam al-qur’an (Studi dalam tafsir Al-Alusi). Jurnal al-Fath, 177-214.

Shihab, Q. (2005). Tafsir Almisbah. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, Q. (2017). Wawasan al-qur’an: Tafsir maudhui atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

Yulianti, E. R. (2017). Tobat sebagai sebuah terapi (Kajian psikoterapi islam). Syifa Al-Qulub, 132-141.

Zohar, D., Marshall, I. (2007). Spiritual quotient. Bandung: Mizan