Memahami Hubungan Islam dan Kekuasaan

OLeh : Dr. Hasbi Azwar, S.IP., M.A ———-

 Persoalan politik dan kekuasaan mungkin menjadi salah satu isu yang dihindari oleh banyak orang sebab kecenderungan berbicara soal yang satu ini sering melibatkan kecurigaan – kecurigaan, dan menggosipkan orang lain. Bahkan obrolan politik sering melibatkan emosi dan seringkali menimbulkan keretakan hubungan pertemanan/kekeluargaan, utamanya jika dilakukan di tahun – tahun politik.

Wajar, Ketika masyarakat memahami politik itu sesuatu yang patut dihindari dan membicarakannya juga merusak mood karena memang kita minim pendidikan politik dan wajah politik negara kita yang tidak membahagiakan. Padahal sebenarnya, jika dilihat dari sudut pandang yang jernih, politik itu adalah satu – satunya sarana efektif untuk memperbaiki kondisi masyarakat, menjaga kebaikan terpelihara, dan menyebarkan kebaikan secara lebih luas dan massif.

Kita ambil satu contoh, Covid 19 adalah ancaman kesehatan kita selama 2 tahun terakhir sejak tahun 2020 sampai hari ini, di tahun 2021. Covid 19 membuat banyak korban berjatuhan seluruh dunia. Kita juga bisa memahami bahwa manusia bisa menghalau ancaman covid tersebut dengan langkah – langkah efektif. Dan yang punya kemampuan terkuat untuk menghentikan ancaman Covid hanyalah kekuasaan. Penguasa mampu melakukan riset untuk memahami fenomena virus ini; mencari langkah – langkah menghadapinya; mencari obat dan vaksinnya; menghimbau dan memaksa masyarakat untuk mematuhi kebijakan terkait covid 19. Dari sini kita bisa belajar bahwa kunci sukses penanganan covid ada pada manajemen kebijakan oleh penguasa. Kita tidak bisa membayangkan seandainya penguasa berdiam diri, tidak peduli dan hanya mengamankan diri masing – masing.

Sedemikian pentingnya fungsi kekuasaan ini sehingga Islam memberikan perhatian yang besar terhadap perkara ini. Dalam al-Quran, hanya penguasalah yang menduduki posisi penting setelah Allah dan Nabi Muhammad SAW untuk ditaati sebagaimana disebutkan dalam al-Quran  Surah an-Nisa, (4): 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu[1].

Fungi kekuasaan dalam Islam tidak terbatas pada mengangkat pemimpin, dan para pejabat- pejabat yang lain untuk menjalankan urusan – urusan rakyat secara umum. Tapi lebih dari itu, kekuasaan punya tanggung jawab untuk menjamin dunia dan akhirat rakyatnya dengan menjadikan kekuasaan sebagai sarana amar makruf nahi munkar sebagaimana amanah dari nabi SAW[2].

Kekuasaan Sebagai Sarana Berbuat Kebaikan dan Mencegah Kerusakan

Pada dasarnya, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran adalah aktifitas yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi dalam haditsnya “ barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya, jika tidak sanggup maka hendaklah dengan lisannya, jika tidak sanggup maka hendaklah melalui penolakan hatinya” (HR Muslim).

Hadits diatas menjelaskan tiga cara dalam mengubah sebuah kemungkaran yang terjadi atau sebaliknya mengajak kepada kebaikan. Cara yang paling efektif adalah yang pertama yakni dengan dengan tangan atau berkontribusi secara langsung dengan tindakan. Dalam skala yang lebih kecil, tindakan orang perorangan atau kelompok sudah cukup untuk mengubah keburukan tersebut atau dalam melakukan kebaikan. Tapi untuk skala besar dan meluas perlu tangan kekuasaan yang bisa melaksanakan hal tersebut. Ambil contoh, munculnya kekerasan yang dilakukan oleh satu orang terhadap orang yang lain hanya perlu ditangani oleh sekumpulan orang tertentu saja. Namun, jika kekerasan sifatnya meluas maka, tangan kekuasaan wajib untuk menyelesaikannya. Kekerasan bahkan tidak terjadi jika negara mampu menerapkan hukum yang efektif di masyarakat.

Contoh lain, mengajak masyarakat untuk berakhlak mulia, saling menghormati dan toleran satu sama lain bisa dilakukan oleh orang per orang atau kelompok – kelompok masyarakat tertentu dengan berbagai macam kegiatan edukasi. Tapi dampaknya akan berbeda ketika negara yang memimpin upaya tersebut. Negara mampu mendesain sebuah kebijakan yang mewajibkan dan memberika sanksi terhadap pelanggaran akhlak dan negara juga mampu membuat desain system pendidikan yang berbasis kebaikan dan akhlak.

Pemimpin: Keutamaan dan Ancaman

Sebagai sebuah risalah yang sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia, Islam mengakui karakter manusia sebagai zoon politicon, atau mahluk politik yang butuh terhadap lingkungan masyarakat yang terorganisir dan terarah. Islam telah menjelaskan berbagai hal terkait kekuasaan atau politik seperti asas, tujuan, fungsi kekuasaan termasuk keutamaan dan ancaman terhadap para pemimpin.

Dalam Kitab Riyadhus Shalihin yang di susun oleh Imam An-Nawawi, beliau banyak mengutip hadits terkait keutamaan menjadi seorang pemimpin yang benar dan adil di tengah – tengah masyarakat seperti  akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT di akhirat; akan ditempatkan di mimbar yang bercahaya; dan tentunya akan menjadi ahli syurga[3].

Di sisi yang lain, ancaman terhadap pemimpin juga besar jika lalai dalam kepemimpinannya, zhalim dan menipu rakyatnya maka Allah akan mengharamkan surga baginya, bahkan termasuk mencium baunya saja tidak bisa. Nabi bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

“Tiada seorang pemimpin yang menguasai urusan pemerintahan kaum Muslimin, kemudian ia tidak bersungguh-sungguh memberikan kemanfaatan kepada mereka, juga tidak memberikan nasihat pada mereka – yakni mengusahakan mana-mana yang baik dan menolak mana-mana yang tidak baik, melainkan pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mereka yang di-pimpinnya itu.”[4]

Nabi juga mendoakan bagi para pemimpin yang buruk tersebut secara khusus:

“Ya Allah, barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan ummatku, kemudian ia membuat kesengsaraan pada mereka, maka berilah kesengsaraan kepada orang itu sendiri, sedang barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan ummatku, kemudian ia menunjukkan kasih-sayang kepada mereka, baik ucapan ataupun perbuatannya, maka kasih-sayangilah orang itu.” (Riwayat Muslim)[5].

Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah bagian dari perintah syariat yang sangat penting dan menjadi potensi ladang amal kebaikan yang berbuah pahala yang sangat besar. Tapi sebaliknya, jika disalahgunakan akan mendapatkan murka Allah dan siksa neraka.

Mengapa begitu besar ganjaran kebaikan dan ancaman terhadap pemimpin?. Sebab pemimpinlah yang punya kuasa paling besar untuk mengarahkan masyarakat kepada kebaikan dengan kekuatan hukum dan aparat yang dimilikinya. Jika dimanfaatkan dengan benar akan menciptakan masyarakat yang baik namun, jika penguasa lalai maka masyarakat pun akan rusak. Sejarah sudah menjelaskan termasuk di dunia Islam, bagaimana rusaknya kekuasaan menjadi awal malapetaka kerusakan masyarakat secara keseluruhan.

Menciptakan Lingkungan Politik yang Sehat Ala Islam

Untuk menciptakan lingkungan politik yang sehat, beban tanggung jawab bukan hanya diberikan semata kepada pemimpin tapi juga berbagai unsur yang yang lain seperti proses pemilihan pemimpin, membangun kualitas individual calon pemimpin, dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan.  Islam mengajarkan bahwa pemilihan pemimpin melalui proses musyawarah untuk menentukan orang yang paling berkualitas bukan hanya dalam aspek keagamaan tapi juga kualitas kepemimpinan. Cara ini menutup peluang orang – orang yang tidak punya kualifikasi menjadi pemimpin. Pun, seandainya ada voting atau pemilu, itu terjadi setelah penjaringan sesuai dengan kriteria standar yang wajib dipenuhi calon pemimpin seperti, muslim, laki – laki, baligh, adil (bukan fasiq), merdeka, berakal, cerdas, dan kuat[6].

Proses pembibitan calon – calon pemimpin dalam pandangan Islam dilakukan dengan menjalankan system pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam yang bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat. Diharapkan dengan sistem ini, lahir calon – calon pemimpin yang ahli dibidang keilmuan masing – masing dan memiliki ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan inilah yang menjadi modal bagi para calon pemimpin agar bisa menjalankan kekuasaan secara profesional. Dalam sejarah umat Islam, banyak tokoh – tokoh besar dan inspirati baik pemimpin, ilmuwan dan para panglima perang yang lahir dari gemblengan sistem pendidikan Islam yang berlaku saat itu. Sebuah negara tanpa pondasi system pendidikan yang benar akan sulit melahirkan calon – calon pemimpin yang professional dan berakhlak mulia.

Terakhir adalah mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Islam mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk menjalankan aturan Amar Makruf Nahi Munkar bahkan dalam sebbuah hadits disebutkan bahwa melaksanakan koreksi pada penguasa adalah jihad yang paling utama[7]. Disamping itu, pemimpin wajib untuk untuk mendengar nasehat dari rakyatnya.

Dalam sejarah terdapat banyak cerita terkait upaya umat Islam untuk menasehati penguasanya. Seperti saat Umar bin Khattab dikritik oleh seorang Muslimah karena ingin menetapkan harga mahar dalam pernikahan yang dianggap terlalu tinggi.  Setelah itu Umar mengaku salah dan menarik kembali ucapannya. Umar pernah berkata “ orang yang paling aku sukai adalah yang memberitahukan segala kekuranganku kepadaku”.

Penutup

Mempelajar dan memahami pandang politik dalam Islam akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Bahwa ternyata politik tidaklah selalu berwajah buruk karena politik sekedar sarana untuk menerapkan hukum atau norma dalam masyarakat. Baik buruknya politik tergantung pada bagaimana kekuasaan atau pemimpin mengatur masyarakatnya dan menjalankan kekuasaanya. Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah dari Allah untuk mengatur masyarakat dengan adil dan benar serta selalu membimbing masyarakat kearah kebaikan. Juga, mencegah berbagai keburukan dan ancaman yang akan mengganggu masyarakat. Jika ajaran ilahi ini diaplikasikan oleh para elit politik kita, nampaknya berbagai problem politik hari ini bisa diminimalisir dan persepsi masyarakat terhadap politik pun akan berubah dari kebencian kepada pengharapan dan kecintaan kepada para pemimpin.

[1] Al-Quran, Surah (4), Ayat: 59.

[2] Az-Zuhaili, Wahbah. 2011.Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 8, Jakarta: Gema Insani Press, hal: 313.

[3] Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Jilid 1, 311-312.

[4] Ibid, 309-310.

[5] Ibid.

[6] Abdullah Ad-Dumaiji, 2016, Konsep Kepemimpinan dalam Islam, Jakarta: Ummul Qura, hal, 265.

[7]  (HR. Ahmad).