Pengembangan Potensi Diri dari Perspektif Islam

Oleh: Rizki Farani (dosen Prodi PBI)—-

Setiap manusia memiliki kemampuan dan potensi dalam dirinya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Surah At Tin (QS. 95), ayat 4:

لَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ فِیۡۤ اَحۡسَنِ تَقۡوِیۡمٍ ۫

Artinya: Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya namun pengembangan potensi diri belum tentu secara otomatis tampak. Setiap individu perlu berusaha untuk membangun potensi diri secara bertahap sesuai dengan karakter agar tujuan hidup dapat tercapai (Moerdijat, 2020 ). Satu diantara strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi diri adalah membangun visi hidup. Menurut Senge (1990), visi personal datang dari dalam diri seseorang. Beberapa orang mungkin memiliki tujuan hidup tetapi tidak ada visi dalam tujuan hidup tersebut. Mereka terlalu terfokus pada keinginan agar semua masalah dalam dunia ini segera selesai, misalnya “kita ingin lingkungan bersih”, “kita ingin tingkat kriminalitas menurun” atau “kita ingin sistem pendidikan membaik” tetapi mereka tidak fokus ke cara untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka hanya fokus kepada menghilangkan masalah, bukan menyelesaikan masalah.
Pembangungan visi sejak awal dapat membantu untuk berkomitmen pada usaha yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Dampak positif dari memiliki visi hidup adalah seorang individu memiliki semangat untuk tidak mudah menyerah. Mereka juga menjadi individu yang lebih berkomitmen, berinisiatif, cepat belajar, bertanggungjawab dan memandang kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar, (Senge, 1990 ). Membangun visi personal memang tidak mudah, terdapat banyak faktor yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mengembangkan diri, yaitu: rasa percaya diri, literasi terkait tujuan yang akan dicapai, dukungan keluarga dan lingkungan, akses yang luas untuk mencari informasi, keterampilan untuk mengatur strategi mencapai tujuan dan bekerjasama dalam tim. Deretan faktor ini menunjukkan bahwa proses pengembangan potensi diri merupakan sebuah proses yang panjang. Visi merupakan langkah awalnya saja, namun di balik visi hidup, terdapat serangkaian proses lagi yang perlu kita jalani. Agar dapat memaksimalkan visi diri dalam mengembangkan potensi, kita perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Awali langkah kita dengan proses refleksi diri agar kita dapat merenungi makna dan tujuan hidup kita sebagai manusia.
b. Kenali kekuatan dan kelemahan diri kita agar kita mudah menyusun strategi untuk mencapai tujuan sesuai dengan karakter diri kita.
c. Bangun prinsip diri agar kita tidak mudah goyah dengan bermacam-macam faktor internal dan ekternal yang mungkin menghambat langkah kita.
d. Fokus pada pengembangan diri yang sudah kita susun untuk masa depan. Maafkanlah segala masa lalu yang mungkin pernah menjadi penghalang kemurnian hati.
e. Menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin dan rasional yang baik sehingga kita bisa mengambil keputusan dengan tenang.
Langkah dasar tersebut merupakan ikhtiar awal yang dapat menjadi fondasi untuk mendampingi visi dasar hidup kita. Setelah hati merasa mantap untuk melangkah, kita dapat menyusun beberapa strategi praktis dalam kehidupan sehari-hari, misalnya:
a. Manajemen waktu. Buatlah skala prioritas dari setiap kegiatan agar kita mengerjakan sesuatu secara proporsional sesuai dengan amanahnya. Mengerjakan sesuatu secara berlebihan dapat membuat jadwal hidup tidak seimbang sehingga ada beberapa amanah yang akan terlupakan.
b. Banyak belajar hal baru. Pengetahuan terdiri dari bermacam-macam bidang sehingga kita jangan terpaku pada satu bidang saja. Kita perlu mengembangkan kompetensi di beberapa bidang agar hard skill dan soft skill terasah dengan baik.
c. Temukan teman belajar yang positif. Lingkungan belajar perlu diatur untuk mendukung tujuan kita. Jangan ragu untuk melangkah dari beberapa hubungan yang sekiranya membawa dampak negatif dalam diri. Kita perlu belajar mengatur kepedulian antara peduli pada diri sendiri dan peduli pada orang lain. Take care of yourself is not a selfish act.
d. Melakukan monitoring diri secara berkala. Proses pengembangan diri perlu dijaga agar kita tidak berhenti di tengah jalan. Sempatkanlah waktu untuk memonitor kemajuan langkah kita. Monitoring dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, misalnya membuat catatan harian, membuat to do list atau berdiskusi dengan rekan sejawat dan keluarga.
Islam sangat mendukung pengembangan potensi. Seperti dijelaskan dalam surah Yusuf ayat 87:
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ
لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (https://tafsirq.com)
Kesempatan mengembangkan diri merupakan salah satu rahmat Allah SWT sehingga manusia harus selalu semangat meningkatkan potensi dalam berbagai aspek kehidupan. Segala ujian dalam hidup adalah hal yang wajar namun kita jangan bersedih dan harus tetap melangkah, seperti yang disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 139:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (https://tafsirq.com)
Percayalah, Allah SWT mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Tugas kita adalah terus berusaha dan tidak berhenti berjuang. Apapun hasil dari usaha kita, itulah yang terbaik bagi kita. Selama kita selalu berusaha, berdoa dan bertawakal, Allah pasti akan selalu memberikan jalan keluar dari setiap masalah yang kita jalani. Bismillah, mari luruskan niat, bangun visi hidup, susun langkah stategis untuk mencapai potensi diri yang maksimal.

Daftar Pustaka

Moerdijat, L. (2020 ). Penerapan The Fifth Dicipline pada Pendidikan di Indonesia saat Pandemi Covid 19 . Sukma: Jurnal Pendidikan , 89-120.
Muslim, R. (2021, Maret 16). QS. At Tin ayat 4. Retrieved from Risalah Muslim : https://risalahmuslim.id/quran/at-tin/95-4/
Senge, P. M. (1990 ). The Fifth Dicipline: The Art and Practice of the Learning Organization . New York: Doubleday .
TafsirQ, T. K. (2021, Maret 20). Surah Ali Imran ayat 139. Retrieved from TafsirQ: https://tafsirq.com/3-ali-imran/ayat-139
TafsirQ, T. K. (2021, Maret 20). Surah Yusuf ayat 87. Retrieved from TafsirQ: https://tafsirq.com/12-yusuf/ayat-87

DENGAN WAKAF HIDUP AKAN SELAMANYA

Oleh: Willi Ashadi, S.H.I., M.A.——

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

Apabila anak Adam beserta cucu-cucunya meninggal dunia, maka terputuslah segala halnya kecuali 3 amal yang terus mengalir, diantaranya: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat (ilmu agama dan kebenaran), serta anak yang mendoakan orangtua. (HR.Muslim) Read more

RAMUAN KEBAHAGIAAN: Meraih Puncak Intelektual dan Moral

Oleh: Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si. ———–

Arus hidup materialisme telah menghancurkan banyak nilai kehidupan, sehingga menyebabkan manusia mengalami kehampaan hidup (Sukring, Rahman, Musthan, & Saadi, 2016). Suatu penelitian mengungkap bahwa pola hidup materialisme justru berdampak buruk pada kesejahteraan subjektif, sulit merasakan kepuasan psikologis, dan justru membuat orang menjadi depresi (Wang, Liu, Jiang, & Song, 2017). Orientasi kebahagiaan yang bersifat kesenangan, terbukti merupakan orientasi yang paling rendah pengaruhnya dengan kepuasan hidup seseorang (Park, Peterson, & Ruch, 2009). Maka, merubah orientasi kebahagiaan nampaknya menjadi hal yang penting bagi diri kita.

Rasulullah SAW memberikan arahan bagaimana menyikapi dunia dan akhirat, keduanya bukan hal yang bertenta Read more

Religiosity and Forgiveness

Oleh : Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog —-

Religious people are forgiving. That is what we believe. What about the findings of contemporary psychology on this issue?

So far, we believe that people who understand and (try) to practice Islam are people who are easy to forgive. They know Allah ‘Azza wa jalla is very forgiving and encourages forgiveness (al’ afwu, forgiveness). “Indeed, Allah is All-Merciful, Most Forgiving” (QS al-Hajj: 60). “Be forgiving and tell people to do what is good, and turn away from those who are ignorant” (QS al-A’raf: 199). There are about 33 other verses in the Koran that command forgiveness and because of that, Muslims would take the position of forgiveness if one day they are hurt based on their religious beliefs.

There is a cross-cultural study that links religiosity and forgiveness which supports the above view. This research does not specifically analyze forgiveness but seeks to portray some of the strengths of the characters of various ethnic groups in Indonesia (Nurwianti & Oriza, 2010). The research conducted on 1,066 people (540 men, 526 women) aged 18-55 in Javanese, Sundanese, Betawisese, Minangese, Batakese and Bugisese ethnic groups showed that the Minangese people had the highest forgiveness score compared to the other ethnic groups. another. I once asked the two researchers directly during a presentation at the International Conference on Indigenous and Cultural Psychology 2010 about what makes Minang people more forgiving? They replied, the Minangese people openly put religion as the foundation of their life. As is well known, one of the mottos believed by the Minangese community is the custom of basandi syara ‘, Kitabullah (Sharia-based custom and holy book-based Sharia). The holy book-in this case is al-Qur’an and al-Hadith-shows the command that the individual forgives others who do wrong.

Research with Muslim subjects has also been conducted. Nashori, Iskandar, Setiono, and Siswadi’s (2020) research involving 50 male and female students shows that religiosity is a factor that affects forgiveness. Some of the things that make a person able to forgive are the belief of Allah ‘Azza wa jalla as a source of strength that makes it easy to forgive, Allah’s attribute who is all-forgiving and removes sins, a view that unpleasant events are tests from Allah, good prejudice against Allah, forgiveness will make close to Allah, as well as religious guidance to forgive.

One of the important questions that can be asked is whether the influence of religiosity on forgiveness is direct or through a mediator?

Religiosity and Forgiveness: Is There a Mediator?

The contemporary positive psychologist, McCullough (2001), is one who voices the importance of the role of religiosity in forgiveness. Like most of us, he is of the view that religious values – in addition to cultural values – motivate many people to forgive. Even so, he argues that the effect of religiosity on forgiveness must go through a mediator called kindness and emotional stability. That is, being religious brings kindness to life (agreeableness trait) and emotional stability (emotional stability trait), which make it easy for individuals to forgive.

A study published in the same year (2001) turned out to show different results from McCullough’s. This study is the effect of religiosity on forgiveness of Catholics and Protestants. The results show that there is a direct effect, namely, religiosity has a direct effect on forgiveness. Research conducted by Krause and Ingersoll-Dayton (2001) on the elderly white and black Americans, amounting to 129 Catholics and Protestants, show that the religious elderly are easy to forgive. They believe God is all-forgiving and commands humans to give forgiveness to those who violate their rights.

I tried to research to answer whether religiosity, in this case, religious practice, influenced forgiveness. This study involved 109 male and female Muslim students in Yogyakarta. The results showed that the quality of dhikr – which is a form of worship or religious practice – has a direct influence on improving students’ ability to forgive. Recitation softens the heart, with a soft heart a person can easily empathize with others. Empathy, on the other hand, makes forgiveness easy (Nashori, 2005). The results of this research confirm that the practice of religion, in this case, zikr, makes it easy for someone to forgive. Why is that? The reasoning used is dhikr that leads people to be soft in the heart so that it makes it easier for them to forgive.

On the one hand, I believe the results of the research above. However, on the other hand, I also see the reality of people who do not forgive and even take revenge even though they understand and practice religious teachings. They are religious but hostile to other people, even people of their kind. I have read studies of people who commit violence in the name of their religion.

Not satisfied with that, I conducted several studies on whether religiosity has a direct or indirect effect on forgiveness. The research I conducted in Maduranese ethnicity shows that the effect of religiosity on forgiveness is indeed indirect and requires a mediator called agreeableness and emotional stability (Nashori et al, 2019). I obtained the same results when researching Javanese ethnicity Mancanegari subculture, Javanese who live in Surabaya, Malang, and Mojokerto (Nashori et al, 2020a), and Javanese ethnicity Negarigung subculture who live in Yogyakarta (Nashori et al, 2020b). Why is that? The reason is that being religious leads people to grow their good qualities and mature their emotions, making it easier for them to forgive. Religion encourages the growth of rahmatan lil alamin, which is love for anyone, regardless of religion, ethnicity, race.

Religiosity Enviates Compassion

Research related to religiosity and forgiveness was conducted by Webb, Chickering, Colburn, Heisler, and Call (2005). The research, which was conducted by 280 students of public universities and Christian universities, shows that there is a positive correlation between the concept of God who loves and forgiveness and there is a negative correlation between the concept of God controlling and forgiveness. In essence, if a person is dominated by the understanding that God loves humans, then they also develop feelings of love – or affection – towards others. Love for others is what makes it easier for them to forgive.

There is a relevant perspective. This appreciation of who God is ultimately leading someone to easily forgive or not. In looking at God, some view God with a Jamal perspective and some view God with a Jalal perspective. Included in the group of characteristics of jamal are Most Compassionate (ar-Rahman), Most Merciful (ar-Rahiim), Most Provider of Welfare (as-Salam), Most Forgiving (al-‘Afuw), Most Forgiving (al-Ghaffar), Most Forgiving (al-Ghafur), Most Extensive (al-Basith), Most Extensive (al-Wais’), Most Wise (al-Hakim), Most Glorifying (al-Mu’iz), Most Gentle (al-Lathif ), etc. Including the traits of jalal are Owner of Greatness (al-Jalal), Most Forcing (al-Qohhar), Most Ruling (al-Malik), Most Regulating (al-Muhaimin), Most Mighty (al-‘Aziz), Owner of Strength (al-Jabbar), Most Narrowing (al-Qabidh), Most Giving of Calculation (al-Hasib), Most Deadly (al-Mumitu), and so on. When a person sees God as having a stronger physical character, then people will be overwhelmed with compassion and that makes it easier for him to forgive. If someone views God as stronger in his jalal nature, then that person will be overwhelmed with assertiveness, courage, which makes him prefer to punish wrongs and uphold justice, so as not to put forgiveness as the main thing in life with other people.

In essence, let us follow Islam properly. When we become forgiving, people also become forgiving. Thereby.

The author is an Associate Professor in Islamic Psychology and Social Psychology at the Islamic University of Indonesia, Founder and Council of Experts of the Association of Islamic Psychology, Indonesia.

References

Krause, N. & Ingersoll-Dayton, B. (2001). Religion and The Process of Forgiveness in Late Life. Review of Religious Research, 42 (3), 252-276.

McCullough, M.E. (2001). Forgiveness: Who Does It and How Do They Do it? Current Directions in Psychological Science, 10 (6), 194-197.

Nashori, H. F. (2005). Hubungan Kualitas Dzikir dan Pemaafan pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi (Undip), 9, 27-35.

Nashori, H.F, Iskandar, T.Z., Setiono, K., & Siswadi, A.G.P. (2011). Forgiveness among Muslim Student University. The Roles of Islamic Psychology in the Effort of Increasing Life Quality: Proceeding International Conference on Islamic Psychology and the Third of Congress of Association of Islamic Psychology. Malang: Faculty of Psychology State Islamic University Malang.

Nashori, H. F., Wijaya, H.E., Diana, R.R., Herawati, N. (2019). Forgiveness Among Maduranese Ethnic: The Relation Between Religiosity, Interpersonal Attachment, and Personality Trait. Advanced Science Letters, 25 (1), 155-157.

Nashori, F., Gusniarti, U., Subandi, M.A., Diana, R.R., & Saputro, I. (2020a). Forgiveness among Javanese Ethnicity Mancanegari Subculture: A Case Study in Indonesia International. Journal of Psychosocial Rehabilitation, 24 (7), 8765-8776.

Nashori, F., Iskandar, T.Z., Setiono, K., Siswadi, Andriansyah, Y. (2020b). Religiosity, interpersonal attachment, and forgiveness among Javanese population. Mental Health, Religion, and Culture, 23 (2), 99-112.

Nurwianti, F. & Oriza, I.D. (2010). Explorative Study of Character Strengths on Indonesian People (Javanese, Sundanese, Minangese, Betawisese, Bugisese, and Batakese). Paper presented on The First International Conference of Indigenous and Cultural Psychology, Faculty of Psychology, Gadjah Mada University, July 24-27.

Tim Penerjemah Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2012). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementrian Agama RI.

Webb, M., Chickering, S.A., Colburn, T.A., Heisler, D. & Call, S. (2005). Religiosity and Dispositional Forgiveness. Review of Religious Research, 46 (4), 355-370.

 

Vaksin dan Pandemi Covid 19

Oleh : Enggar Furi Herdianto, S.I.P, M.A ——-

Vaksin atau yang sering kali dikenal dengan nama imunisasi telah lama beredar dalam kehidupan kita sehari-hari. Dimulai dari vaksin hepatitis B yang diberikan kepada bayi yang baru lahir untuk memberikan kekebalan imunitas kepada bayi tersebut, sehingga peluang hidup sehat lebih besar, serta diikuti oleh berbagai jenis vaksin lain guna memberikan kekebalan imunitas bagi bayi agar mampu tumbuh sehat dan memberikan peluang hidup yang lebih panjang (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Vaksin sendiri berasal dari bagian bakteri atau virus yang menyerang manusia, yang mana bagian tersebut dilemahkan dan disuntikkan ke dalam tubuh manusia dengan harapan tubuh akan membentuk antibodi terhadap bentuk bakteri atau virus serupa untuk kemudian mampu menciptakan imunitas terhadap paparan bakteri atau virus yang asli. Oleh karena itu, vaksin merupakan bagian penting dalam peradaban manusia dalam menghadapi penyakit mematikan dan menghindari penyebaran wabah penyakit mematikan (WHO, 2019). Read more

Pentingnya Berpikir Menyejarah dalam Islam

OLeh : Holy Rafika Dhona, S.I.Kom., MA —–Suatu kali Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia yang juga salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia, membawakan sambutannya di Sekolah Tinggi Islam.  Dalam sambutan itu Hatta menunjuk pengetahuan sejarah sebagai instrument penting dalam pembentukan berpikir dalam pendidikan tinggi agama, di samping pendidikan keagamaan juga filsafat dan sosiologi.

Hatta menulis,

“…dalam lingkungan Sekolah Tinggi Islam bisa diselenggarakan didikan agama yang berdasarkan pengetahuan tentang filsafat, sejarah dan sosiologi. Agama dan filsafat memperdalam kepercayaan dan memperhalus perasaaan…Dengan perasaan yang murni itulah baru orang sanggup memahamkan sedalam-dalamnya isi surat Al-Fatihah yang menjadi pokok Agama Islam!…Agama dan sejarah memperluas pandangan Agama. Membawa orang ke arah mengerti tentang lahir dan kembangnya agama di berbagai tempat dan berbagai masa di dunia ini dan mengajar mengerti tentang pendirian agama lain….Agama dan sosiologi mempertajam pandangan agama ke dalam masyarakat yang hendak dipimpin. Perhubungan yang kedua ini memberi pengertian tentang pengaruh agama dalam masyarakat, yang berlain-lainan dari masa ke masa, memberi keterangan pula tentang sikap masyarakat terhadap agama dalam tempat dan waktu…” (Hatta, 1955, hal. 113)

Hanya dengan penggabungan ilmu sebagaimana di atas, menurut Hatta, “Di Sekolah Tinggi Islam itu akan bertemu AGAMA dengan ILMU dalam suasana kerja bersama, untuk membimbing masyarakat ke dalam kesejahteraan” (Hatta, 1955, hal. 114)

Dari kisah di atas kita masih dapat bertanya kembali; mengapa sejarah sedemikian penting dalam pembangunan pengetahuan agama menurut seorang Hatta? Apakah benar, sejarah mampu “memperluas pandangan agama” sebagaimana keyakinan Hatta?

Perintah untuk berpikir dengan menyejarah jelas ada di dalam Quran. Terdapat banyak perintah untuk mengingat dan mempelajari apa yang terjadi pada kaum-kaum terdahulu. Dua pertiga Quran berisi mengenai kisah-kisah sejarah.

Misalnya kisah Habil-Qobil, dua anak nabi Adam yang menurut Ali Syari’ati menyimbolkan dua peradaban manusia kala itu; peradaban penggembala (diwakili Habil dengan persembahan hewan ternaknya) dan peradaban masyarakat yang menetap (diwakili Qobil dengan persembahan gandumnya). Uniknya, kisah yang diabadikan dalam Q.S Al Maidah mulai ayat 27 dibuka dengan kalimat perintah Alloh : “Watlu ‘alaihim…” (Dan bacakanlah kepada mereka …) yang berarti kisah sejarah tersebut wajib untuk diperdengarkan, dipelajari dan diambil hikmahnya.

Sejarah, sendiri menurut Ibnu Khaldun (2017) merupakan pendekatan yang mulia, besar manfaatnya dan bertujuan agung. Dengannya dapat diketahui perilaku dan akhlak ummat terdahulu, sehingga orang yang hidup di masa sekarang dapat mengambil pelajaran.

Dasar dalam metode pengembangan keilmuan Islam yang ada dalam Mustholahul hadits (ilmu yang mengkaji tentang kaidah-kaidah terkait silsilah orang yang menceritakan hadist dan perubahan redaksinya) sebenarnya adalah juga berpikir menyejarah.

Jika makhluk yang paling luas pandangan agamanya adalah seorang nabi, maka adakah setiap nabi punya sikap dan pandangan menyejarah (memikirkan realitas dengan cara sejarah)?

Berpikir menyejarah a la nabi dapat ditemui dalam kisah Yusuf misalnya.

Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S Yusuf ayat 40)

Ayat di atas adalah perkataan Nabi Yusuf Alaihissalam kepada kedua teman sepenjaraannya yang dita’wil mimpinya. Pertanyaan bagi kita adalah bagaimana Nabi Yusuf Alaihissalam dapat mengetahui bahwa sesembahan ummatnya adalah hanyalah nama-nama yang ditemu-cipta oleh leluhur ummatnya? Pengetahuan ini tentulah hasil dari berpikir menyejarah, dimana segala sesuatu, termasuk nama-nama tuhan, diyakini sebagai “tidak datang dengan sendirinya”, dan bisa saja ‘hanya karangan’ nenek moyang.

Sikap /berpikir menyejarah a la Nabi Yusuf Alaihissalam tidak hanya berfungsi mencurigai apa yang tidak datang dari Tuhan melainkan juga untuk menetapkan apa yang memang datang dari Tuhan.

Di dalam surah yang sama, ayat 38, Nabi Yusuf Alaihissalam menjunjung dan menegakkan ‘sejarah yang lain’ yakni sejarah Ibrahim. “Dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishak dan Yakub. Tidak pantas bagi kami mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah”. Penegakan ini, tentunya didasari oleh pengetahuan sejarah Nabi Yusuf Alaihissalam mengenai Ibrahim yang mengalir lewat Ishak dan kemudian Yakub.

Dari kisah ini, kita dapat mengambil hikmah. Bahwa Alloh tidak hanya memerintahkan kita untuk berpikir menyejarah, tetapi juga memperlihatkan kita pada bagaimana sejarah berfungsi memperluas cakrawala beragama lewat kisah etos sejarah dalam diri nabinya.

 

Daftar Pustaka

Hatta, M. (1955). Sifat Sekolah Tinggi Islam. Dalam D. Muchsin, A. Madatuang, M. Salim, M. Sjarbini, Ismuha, & M. Partakrama, Buku Peringatan University Islam Indonesia : 10 Tahun. (pp. 109-115). Yogyakarta: Dewan Pengurus Pusat Badan Wakaf University Islam Indonesia.

Khaldun, Ibnu, Irham, Supar dan Zuhri. 2017. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta Timur; Pustaka Al-Kautsar

Merahasiakan Amal Sholeh

Oleh : Ista Maharsi (Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FPSB UII) – – –

Alhamdulillah…bisa sholat tahajud di sepertiga malam”

“Akhirnya khatam juga baca Al-Qur’an setelah berjuang setiap habis sholat fardlu membaca 8 halaman”

  1. “Bisa puasa sunnah Senin-Kamis itu sungguh membahagiakan”

Read more

Membangun Sains Islam

Salah satu tugas universitas Islam, baik UII maupun universitas Islam lainnya, adalah menghasilkan dan mengajarkan sains Islam (Islamic sciences). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf dalam bukunya yang berjudul The Concept of Islamic University. Kedua penulis di atas mengungkapkan bahwa sejumlah ciri universitas Islam. Di samping ciri-ciri konsep pendidikan yang berdasar tauhid, staf pengajar yang menjunjung tinggi nilai Islam, mahasiswa yang terseleksi secara moral dan akademis, pimpinan dan staf yang berdedikasi, salah satu ciri yang penting universitas Islam adalah mengembangkan dan mengajarkan sains yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini: apakah yang dimaksud dengan sains Islam dan bagaimana mewujudkannya? Read more

Penguatan Akhlak dalam Konteks Literasi Media

OLeh : Rizki Farani, S.Pd., M.Pd. (Dosen Prodi PBI FPSB UII)

Teknologi telah terintegrasi ke dalam semua sektor kehidupan manusia namun tidak semua masyarakat siap dengan kemajuan teknologi tersebut. Akibatnya, beberapa fenomena penyimpangan teknologi sering terjadi, misalnya cyber bullying, penipuan, kekerasan, dll. Penyimpangan tersebut dapat terjadi ketika penggunaan teknologi dilakukan tanpa kontrol diri. Yusuf (2011) mengatakan bahwa esensi dari konsep teknologi antara lain: a) teknologi adalah alat; b) teknologi dilahirkan oleh sebuah struktur ekonomi, sosial dan politik; dan 3) teknologi membawa nilai-nilai yang berasal dari struktur ekonomi, sosial, dan politik tertentu. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ada kepentingan-kepentingan tertentu yang mempengaruhi hadirnya teknologi dalam kehidupan manusia. “Kepentingan” inilah yang biasanya menjadi bumerang yang menyerang para pengguna teknologi. Oleh karena itu, setiap manusia perlu kekuatan kontrol diri yang baik sebelum menggunakan teknologi. Salah satu aspek yang kita perlukan dalam membangun kontrol diri adalah penguatan akhlak. Read more

Bulan Haram dan Spirit Hijrah

Oleh : Subhan Afifi (Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII) ——

Setelah merayakan kegembiraan hari raya Idul Adha dan berqurban di bulan Dzulhijjah lalu, Saat ini kita berada dalam pertengahan salah satu bulan yang mulia, Bulan Muharram. Bulan pertama dalam kalender Hijriyah yang menghampiri kita setiap tahun ini, setidaknya mengingatkan kita tentang 2 pelajaran penting. Read more