Oleh : Narayana Mahendra Prastya, S.Sos., MA—
Beberapa tahun silam, Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) merilis temuan bahwa masyarakat di daerah yang kental dengan nuansa agama rentan termakan hoaks. Seperti diberitakan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, daerah yang memiliki afiliasi dengan Islam politik memiliki tingkat penerimaan informasi hoaks yang tinggi[i]. Tentu temuan LIPI ini perlu menjadi perhatian kita selaku umat Islam, karena mengindikasikan orang Islam mudah termakan hoaks atau berita bohong.
Penyebaran hoaks seringkali dikaitkan dengan perkembangan teknologi internet, di mana berkat adanya internet membuat siapa pun bisa bersuara, bisa menyampaikan pendapatnya. Jika sebelum ada internet sumber informasi masyarakat hanya dari media massa konvensional seperti televisi, radio, surat kabar, atau portal berita online, maka di era internet dan media sosial siapa pun bisa memnjadi sumber informasi. Yang perlu diwaspadai adalah “kategori” siapa pun ini begitu luas : mulai dari orang yang memiliki ilmu yang cukup untuk memberikan informasi tentang suatu hal, orang yang memiliki kewenangan untuk menyampaikan hal terkait permasalahan tertentu, hingga orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tapi ingin eksis di internet (istilah populer-nya adalah “panjat sosial”), hingga pihak-pihak yang memang memiliki niat jahat sehingga dengan sengaja menyebarkan informasi yang salah. Untuk yang disebut terakhir, biasanya mereka bersembunyi dengan menggunakan akun anonim, tidak menggunakan nama asli mereka.
Tidak jarang hoaks di Indonesia dikaitkan dengan agama, termasuk juga Islam. Perkembangan teknologi komunikasi menjadikan media tersebut sumber utama bagi gagasan-gagasan religius, secara umum sebagai “agama banal”. Mengutip dari Hjarvard (2008), “agama banal” ini merupakan istilah bagi interpretasi keagamaan yang belum terverifikasi. Ketika internet memungkinkan siapa pun berbiara tentang fatwa keagamaan, maka standar baku agama menjadi kabur. Di Indonesia, gagasan-gagasan terkait Islam yang tersebar di dunia maya dipopulerkan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang studi Islam. Tujuan dari penyebaran ide tersebut adalah mengontrol politik Indonesia, menggantikan dasar negara, dan memberikan stigma pada kelompok yang berbeda. “Agama Banal” menjadi semakin diterima karena di era pascakebenaran (post truth), faktor-faktor emosional seringkali menjadi lebih penting daripada fakta, bukti, atau pun kebenaran itu sendiri[ii].
Di satu sisi penyebar informasi yang keliru – entah itu karena ketidaktahuan atau memang punya niat buruk sehingga sengaja menyebarkannya – memang salah. Tetapi di sisi lain, hoaks menjadi semakin subur karena ada yang mempercayai – dan repotnya lagi, jumlahnya yang percaya itu juga tidak bisa dibilang sedikit. Persoalannya, mengapa orang jadi mudah percaya? Jawabannya sekali lagi adalah karena internet. Teknologi ini telah memberikan orang kebebasan untuk memilih informasi. Jika dahulu ketika masyarakat hanya bisa menerima informasi yang disajikan kantor-kantor berita, maka saat ini masyarakat bisa mencari informasi. Repotnya, orang mencari informasi sebenarnya tidak sekadar ingin memuaskan rasa ingin tahu, tetapi juga memperkuat cara pandang dia terhadap sesuatu hal. Kondisi ini membuat orang menjadi tidak lagi mempertimbangkan kredibilitas sumber informasi, tetapi yang terpenting adalah informasinya sesuai dengan cara pandang dan ideologinya[iii]
Status “Resmi” ternyata Tidak Cukup
Cukup banyak artikel ilmiah populer, tulisan kajian ilmiah, pendapat para tokoh, yang menyatakan ayat-ayat Al Quran dan ajaran Islam yang sebenarnya sangat mengharamkan untuk mempercayai, apalagi menyebarkan informasi yang keliru. Selain itu, kalimat yang populer dalam beberapa tahun terakhir adalah “tabayyun” terhadap segala informasi yang diterima dari media sosial.
Pertanyaan selanjutnya, kepada siapa ber-tabayyun? Jawabannya adalah kepada informasi dari organisasi yang resmi seperti Lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah yang resmi, dan/atau media massa. Mengapa ? Karena informasi yang disampaikan oleh organisasi resmi pasti memiliki data yang kuat dan disampaikan oleh narasumber yang kredibel. Untuk saat ini, akses informasi ke Lembaga pemerintah atau organisasi non-pemerintah relatif cukup mudah, karena masing-masing Lembaga itu sudah memiliki situsweb resmi dan akun media sosial resmi. Informasi yang diberikan pun tidak sekadar satu arah. Masyarakat bisa menanyakan sesuatu dengan cara me-mention akun Lembaga yang dikehendaki
Sementara untuk media massa penyajian informasi telah melalui beberapa tahap mulai dari verifikasi informasi dan meminta konfirmasi dari pihak-pihak yang berkepentingan, sebelum akhirnya disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, dalam operasionalnya media massa terikat oleh kode etik profesi jurnalistik yang menekankan pentingnya objektivitas. Dengan begini, kualitas informasi pada media massa bisa dianggap lebih baik daripada sekadar informasi yang diedarkan oleh sumber yang tidak jelas dan tidak kredibel di media sosial.
Allah sudah memerintahkan bagi umat Islam untuk menanyakan pada sumber resmi ketika ada informasi yang meragukan datang, terlebih lagi jika informasi tersebut dapat menimbulkan kepanikan. Hal tersebut terdapat pada Al Quran surat An-Nisa ayat 83, di mana sumber resmi disebut sebagai Rasul dan Ulil Amri. Selengkapnya adalah sebagai berikut :
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu
Faktanya, label “resmi” tidak 100 persen menjamin masyarakat akan berminat mengakses informasi dari Lembaga pemerintah, lembaga resmi non-pemerintah, atau pun media massa. Survei yang dilakukan pada periode awal masuknya Covid-19 ke Indonesia (Maret – Mei 2020) terhadap 18.743 responden se-Indonesia menunjiukkan saluran informasi resmi tentang kebijakan keagamaan dalam kaitan penanganan Covid-19, sangat jarang dilirik responden. Data menunjukkan kebanyakan responden (45,68%) tidak pernah mengakses WhatsApp Center Kemenag Sigap Covid-19, dan 24,74% menyatakan jarang[iv]
Status “resmi” tidak membuat organisasi-organisasi tersebut lepas dari kekurangan seperti blunder[v] dalam komunikasi krisis pemerintah Indonesia di masa awal pandemic Covid-19 atau media massa yang dipandang “memiliki sejumlah kepentingan di balik pemberitaannya”[vi]. Kekurangan tersebut dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Tentu saja ini merupakan pekerjaan rumah bagi para sumber resmi tersebut.
Namun hanya menuntut sumber informasi resmi memperbaiki diri juga kurang adil. Masyarakat umum sebagai pengguna informasi juga dituntut untuk lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi. Jangan sekadar memprioritaskan informasi yang sesuai dengan cara pandang diri sendiri, tetapi perlu juga kritis terhadap sumber informasi. Selain itu perlu juga lebih ikhlas ketika informasi dari sumber resmi berbeda dengan cara pandang diri sendiri. Terlepas dari segala kekurangan yang ditunjukkan oleh sumber-sumber informasi resmi, setidaknya informasi dari sumber resmi lebih kredibel dan lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dibandingkan dengan informasi (terlihat) meyakinkan yang disebarikan sumber anonim.
Sebagai pengingat, pada Al Quran Allah telah banyak mengingatkan tentang perlunya teliti terhadap informasi, serta ancaman hukuman terhadap mereka yang menyebarkan berita bohong. Sebagai penutup, mungkin yang terdapat pada Surat An-Nur (QS.24) ayat 15-17 ini bisa menjadi bahan bagi renungan kita semua, di mana Allah mengingatkan jika seseorang tersebut memang benar-benar beriman, maka dia akan berhenti menyebarkan berita bohong :
إِذْ تَلَقَّوْنَهٗ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ وَّتَحْسَبُوْنَهٗ هَيِّنًاۙ وَهُوَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمٌ ۚ١٥
Ayat 15. (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُوْنُ لَنَا أَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَاۖ سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ ١٦
Ayat 16. Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.”
يَعِظُكُمُ اللّٰهُ أَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ ۚ١٧
Ayat 17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman,
Semoga bermanfaat. Wallahualam Bissawab
REFERENSI
[i] “Tiga daerah dengan tingkat penerimaan hoaks tinggi menurut survei LIPI”. Antaranews.com, tanggal publikasi 18 Januari 2019. Tautan : https://www.antaranews.com/berita/789119/tiga-daerah-dengan-tingkat-penerimaan-hoaks-tinggi-menurut-survei-lipi
[ii] Al-Zaman, Md Sayeed; Alimi, Moh Yasir. 2021. “Islam, Religious Confrontation and Hoaxes in the Digital Public Sphere: Comparison of Bangladesh and Indonesia”. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol.13, No.2, hal.198
[iii] Rianto, Puji. 2016. “Media Baru, Visi Khalayak Aktif, dan Urgensi Literasi Media” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia , Vol.1, No.2, hal 94-95
[iv] Ruhana, Akmal Salim & Burhani, Haris. 2020. “Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Umat Beragama Menghadapi Covid-19”. Tanggal publikasi 13 Mei 2020. Tautan : https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id/simlitbang/spdata/upload/dokumen-penelitian/1592454380Laporan_UmatVSCovid_.pdf
[v] Masduki. 2020. “Blunders of Government Communication: The Political Economy of COVID-19 Communication Policy in Indonesia” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Poliitk Vol.24, No.2
[vi] Dewa Broto, Gatot S. 2014. The PR : Tantangan Public Relations di Era Keterbukaan Informasi. Jakarta: Gramedia, hal.6
REFERENSI
[1] “Tiga daerah dengan tingkat penerimaan hoaks tinggi menurut survei LIPI”. Antaranews.com, tanggal publikasi 18 Januari 2019. Tautan : https://www.antaranews.com/berita/789119/tiga-daerah-dengan-tingkat-penerimaan-hoaks-tinggi-menurut-survei-lipi
[1] Al-Zaman, Md Sayeed; Alimi, Moh Yasir. 2021. “Islam, Religious Confrontation and Hoaxes in the Digital Public Sphere: Comparison of Bangladesh and Indonesia”. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol.13, No.2, hal.198
[1] Rianto, Puji. 2016. “Media Baru, Visi Khalayak Aktif, dan Urgensi Literasi Media” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia , Vol.1, No.2, hal 94-95
[1] Ruhana, Akmal Salim & Burhani, Haris. 2020. “Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Umat Beragama Menghadapi Covid-19”. Tanggal publikasi 13 Mei 2020. Tautan : https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id/simlitbang/spdata/upload/dokumen-penelitian/1592454380Laporan_UmatVSCovid_.pdf
[1] Masduki. 2020. “Blunders of Government Communication: The Political Economy of COVID-19 Communication Policy in Indonesia” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Poliitk Vol.24, No.2
[1] Dewa Broto, Gatot S. 2014. The PR : Tantangan Public Relations di Era Keterbukaan Informasi. Jakarta: Gramedia, hal.6