MENYELAMI NIKMAT DAN UJIAN KEHIDUPAN DUNIA MENINGKATKAN KEIMANAN

Oleh : Giri Hadmoko——- 

Allah SWT menciptakan alam semesta beserta isinya pasti ada maksud dan tujuannya. Dalam pandangan  Islam, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi semua yang ada di dalamya, baik yang dapat diamati maupun yang tidak bisa diamati. Di mana alam dibagi menjadi dua alam, yaitu alam nyata dan alam ghaib. Keberadaan alam semesta ini sebagai tanda dari kekuasaan sang Pencipta.  Selain Allah SWT menciptakan alam, Allah SWT juga menciptakan manusia, sebagai penghuni di bumi ini, yang mana akan berperan sebagai pemimpin atau pengendali dari alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan mempunyai kedudukan tertentu, yaitu sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-baqarah ayat 30)

Kedudukan manusia bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari segala apa yang ada di muka bumi ini. Hal tersebut tergantung pada akhlak dan akal (ilmu) nya.

Mari kita sejenak merenung tentang kehidupan di dunia ini yang sudah kita lewati, dari awal kita dilahirkan di dunia.  Pertama kita terlahir di dunia ini atas kehendak Allah SWT melalui seorang ibu. Sembilan bulan kita dikandung dalam rahim seorang ibu, dari segumpal darah lalu menjadi segumpal daging. Kemudian Allah SWT mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rezekinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya. Setelah terlahir di dunia, kita mendapat kasih sayang dari kedua orang tua, kita diasuh dilindungi disayang, dalam perjalanan kehidupan dari masa ke masa kita melakukan perubahan, dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dalam perjalanan hidup dan tambahnya umur kita tidak jauh dari segala kenikmatan dari Allah SWT yang  telah kita rasakan dan kita nikmati, di saat masih bayi kita begitu lemah, sekarang bisa  tumbuh menjadi kuat, itu semua karena seorang ibu dan orang tua kita.

Pada diri kita ada anggota badan yang begitu nyata kita rasakan dan fungsikan di saat hidup di dunia ini yaitu perut, lisan, mata, telinga, tangan, kaki, dan kemaluan. Kita bersyukur tanpa meminta, semua organ itu diberi kesehatan dan berfungsi pada kegunaanya masing masing. Coba bayangkan bila semua organ itu dapat berfungsi tetapi harus dengan biaya, pasti kita sangat berat untuk menjalaninya. Berutunglah kita dengan semua yang ada di badan ini dengan segala kesempurnaan dan kegunaannya, itu suatu nikmat yang besar. Allah SWT memberikan semua itu dengan segala kesempurnaannya. Kita bisa menikmati apa saja yang telah Allah SWT ciptakan di dunia ini.  Allah SWT  menciptakan bumi lengkap tidak ada yang kurang sedikitpun, semua tersedia dan ada di bumi Allah SWT.  Semua itu untuk mencukupi kebutuhan yang diperlukan umat manusia. Sebagai contoh udara, air, tumbuhan, hewan ternak, bahan makan, emas, serta sumber ilmu yang terkandung di dalamnya, semua itu akan menjadi bekal manusia  bertahan serta mempelajarinya. Semua itu tanda kuasa dan cinta-Nya Allah SWT pada umat manusia. Maha Besar Allah SWT.
Telepas dari semua nikmat Allah SWT yang diberikan, dalam menjalani kehidupan di bumi, kita pasti juga tidak terlepas dari masalah, baik masalah pribadi, masalah keluarga, masalah sosial. Semua masalah itu memang telah menjadi sandangan orang hidup di dunia ini. Allah SWT mendatangkan masalah ke umat manusia sebagai ujian dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Masalah setiap manusia itu pun jelas sangat berbeda beda, Allah SWT memberikan ujian berupa masalah kepada umatnya sesuai dengan kemampuan manusia yang akan diuji, dan tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hambanya sebagaimana dalam firman Allah SWT:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah ayat 286)

Sebagai umat islam yang beriman, dengan semua yang melekat pada kita, baik berupa nikmat kesenangan atau ujian yang ada, pasti kita tidak bisa menghindar dari ketetapan Allah SWT, karena Allah SWT memberikan nikmat dan ujian kepada manusia tidak akan salah ataupun tertukar antara satu dengan yang lainnya.  Itu semua adalah wujud cinta Allah SWT kepada umatnya, dengan tujuan sebagai peringatan dan untuk mengatahui seberapa kuat kadar iman makhluk-Nya.  Melalui semua ujian dan nikmat itu akan menjadikan manusia menyadari apa arti kehidupan sebenarnya, maka dari itu kita dalam menghadapai dan menyikapi  ujian dengan cara yang dicontohkan Rosul SAW.

  1. Beriman pada takdir

Sebagai manusia yang merupakan ciptaan Allah SWT, maka sudah seharusnya kita mempercayai takdir yang diberikan kepada kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)

  1. Yakinlah bahwa ujian para nabi lebih berat

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sa’d bin Abî Waqqâsh Radhiyallahu anhu :

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ

Ya Rasûlullâh! Siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya” (HR. at-Tirmidzi no. 2398, an-Nasâi no. 7482, & Ibnu Mâjah no. 4523)

  1. Selalu ada hikmah

Cara menerima ujian dari Allah SWT berikutnya adalah dengan memetik hikmahnya. Yakinkan diri bahwa setiap ujian akan membawa hikmah tersendiri bagi kita. Tidak ada ujian yang sia-sia jika dilewati dengan baik.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun ayat 115-116)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Ad Dukhan ayat 38-39)

  1. Ujian merupakan bentuk cinta Allah

Abu Hurairah r.a. berkata, bahawa Rasulullah bersabda,

Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik maka dia akan diberi-Nya cobaan.” (HR.Bukhari).

Rasul bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).

  1. Perbanyak mengingat dosa

Rasul bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ

Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”. (HR. At-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh Al-Albani)

  1. Selalu berzikir

Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS Ar Ra’du ayat 28).

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzaab ayat 41).

  1. Perbanyak sedekah

Rasul bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api“.(HR. At-Tirmidzi).  Rasulullah kembali bersabda: “Bersegeralah untuk bersedekah. Karena musibah dan bencana tidak bisa mendahului sedekah“.

  1. Selalu sabar

Allah berfirman:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli ‘Imrân ayat 186]

  1. Sholat taubat

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Aku adalah seorang lelaki, jika aku telah mendengar sebuah hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla memberiku manfaat yang Dia kehendaki dengan perantara hadîts itu. Jika ada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan sebuah hadits kepadaku, maka aku akan memintanya bersumpah (bahwa dia benar-benar telah mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika dia telah bersumpah kepadaku, maka aku mempercayainya.

Dan sesungguhnya Abu Bakar telah memberitakan sebuah hadits kepadaku, dan Abu Bakar telah berkata jujur, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang melakukan dosa, lalu dia berdiri kemudian bersuci lalu menunaikan shalat, setelah itu memohon ampun kepada Allâh, kecuali Allâh pasti akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini (yang maknanya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imrân ayat 135)

  1. Husnuzhon pada Allah

Allah berfirman:

وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir..” (QS. Yusuf: 87).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya, jika dia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari 7405 & Muslim 6981)

  1. Yakin bahwa ujian mampu menghapus dosa

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمِّ، وَلاَ حُزْنٍ، وَلاَ أَذًى، وَلاَ غَمِّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا؛ إِلاَّ كَفَّرَ الله بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Apa saja yang menimpa seseorang Muslim seperti rasa letih, sedih, sakit, gelisah, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dengan sebab itu semua”. (Muttafaqun ‘alaihi)

  1. Semakin besar cobaan semakin besar pahala

Anas r.a. berkata: Nabi saw. bersabda,“Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya cobaan. Sesungguhnya apabila Allah Ta’ala itu mencintai suatu kaum maka Dia mengujinya. Barang siapa yang rela menerimanya, dia mendapat keridhoan Allah, dan barangsiapa yang murka, maka dia pun mendapat kemurkaan Allah” (H.R.Tirmidzi)

Itulah 12 cara menerima ujian dari Allah SWT sesuai dengan ajaran Rasul. Bila kita sudah berpedoman dengan cara itu , InsyaAllah SWT semua masalah yang ada di dunia ini akan mudah kita hadapi, Semoga usaha yang kita upayakan untuk menerima dan menghadapi serta menyelesaikan  dari semua ujian Allah SWT  menjadikan iman kita semakin meningkat dan menjadi orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Amin

Sumber: https://dalamislam.com/info-islami/cara-menerima-ujian-dari-allah-SWT

Makna Minal Aidin wal Faizin

Oleh: Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., M.Ag., Psikolog—-

Salah satu ajaran Islam dalam konteks hari raya adalah mendoakan diri dan orang lain yang telah menyelesaikan kewajiban menjalankan berbagai ibadah selama bulan ramadhan. Ucapan standar yang diajarkan oleh Nabi Muhammad adalah Taqabbalalahhu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum (yang artinya semoga Allah menerima amalanmu dan amalanku, puasamu dan pusaku). Di Indonesia, para ulama mengajarkan bagaimana menyampaikan doa kepada sesama muslim dengan ungkapan minal aidin wal faizin. Ucapan versi  lengkapnya adalah ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin. Artinya, “semoga Allah menjadikan kami dan anda orang-orang yang kembali dan beruntung”. Read more

Husnudzan Kepada Allah Subhanahu Wata’ala

OLeh : Fenny Sri Rahayu, S.Psi. ———

Pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan, bukan hanya dari segi kesehatan, namun juga perekonomian, pariwisata, pendidikan, dan bidang kehidupan lainnya. Semua terjadi secara tiba-tiba, dari yang awalnya bebas melakukan aktivitas di luar rumah, saat ini menjadi terbatas, diharuskan menggunakan masker, wajib menjaga jarak, dan mematuhi protokol kesehatan lainnya yang menjadi upaya pencegahan dari penyebaran virus Covid-19. Bahkan saat ini, protokol kesehatan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari terutama saat kita harus beraktivitas di luar rumah.

Banyaknya hal yang membatasi dalam segala aktivitas, sering membuat manusia menyalahkan orang lain, keadaan, dan celakanya lagi, berprasangka tidak baik kepada Yang Maha Pencipta Allah Subhanahu Wata’ala, naudzubillahi mindzalik.

Sebagai seorang muslim, ketika mendapatkan hal buruk, ujian, ataupun masalah, seharusnya instropeksi kepada diri sendiri terlebih dahulu. Hal-hal apa saja yang perlu dibenahi dan diperbaiki. Setiap muslim juga mestinya menyadari dan mempercayai setiap hal yang terjadi di dunia ini, hal baik maupun hal buruk adalah takdir dari Yang Maha Kuasa Allah Subhanahu Wata’ala.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S.  Al-Baqarah: 216)

Husnudzan (حسن ظن) yang artinya berprasangka baik kepada Allah Subhanahu Wata’ala merupakan kewajiban setiap seorang hamba kepada pencipta-Nya Allah Subhanahu Wata’ala.  Terutama di masa pandemi yang tengah kita hadapi saat ini berhusnudzan ketika sedang menjalankan ujian, secara manusiawi tentu tidak mudah dan tidak kita sukai, ingin rasanya segera mengakhiri ujian ini, merasa tidak nyaman, dan tidak terima dengan keadaan, padahal sebenarnya menurut Allah Subhanahu Wata’ala ujian tersebut baik untuk hamba yang mengalaminya. Oleh karena itu, saat ujian datang, bersabarlah dan berbaik sangkalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Apapun yang dialami dalam kehidupan manusia, pasti memiliki hikmah yang besar di masa mendatang.

Dalam sebuah hadis qudsi dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya:

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman sebagai berikut: ”Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun bila ia berprasangka buruk kepada-Ku maka dia akan mendapatkan keburukan.” (Hadis Riwayat Tabrani dan Ibnu Hibban).

Berhusnudzan kepada Sang Khalik merupakan salah satu cara penghambaan kita pada Allah Subhanahu Wata’ala. Menyadari betapa kecil dan lemahnya kita sebagai makhluk yang tidak mungkin bisa bertahan hingga hari ini, di masa pandemi dalam keadaan sehat dan berkecukupan tanpa kasih sayang Allah Subhanahu Wata’ala. Prasangka baik kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala tentu akan memberikan kebaikan untuk hidup kita, bukan hanya di dunia namun juga di akhirat nanti. Berhusnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala tentu bukan hanya saat pandemi ini, tapi juga setiap waktu hingga kita meninggal dunia.

Husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala terbagi menjadi empat, yaitu:

Pertama, husnudzan dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Husnudzan
dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala harus menjadi hal utama yang tertanam pada perasaan dan pikiran seorang hamba. Meskipun hati seorang hamba belum bisa merasakan kebenaran peraturan atau ketetapan Allah Subhanahu Wata’ala, dan pikiran manusia terkadang melihat ada hal lain yang lebih baik menurut pendapat manusia, sebagai muslim yang baik tidak ada sikap yang akan diambil selain sami’na waata’na, yang artinya “Kami dengar perintah-Mu ya Allah, dan kami taat”.

Kedua, husnudzan dalam pemberian nikmat Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah Subhanahu Wata’ala akan memberikan nikmat kepada siapa pun hamba yang dikehendaki-Nya. Nikmat dapat berupa harta, kesehatan, kesempatan, dan masih banyak lagi. Allah Subhanahu Wata’ala memberikan nikmat kepada hamba dengan maksud dan tujuan tertentu.

Husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas nikmat yang telah diberikan, dapat diwujudkan dengan memperbanyak syukur dan merenungkan apa sebenarnya maksud Allah Subhanahu Wata’ala memberikan nikmat tersebut kepada hamba-Nya.

Ketiga, husnudzan dalam menghadapi ujian dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Seperti yang disampaikan penulis dan menjadi inti dari pembahasan penulis, tentang husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala ketika menghadapi ujian.

Keempat, husnudzan dalam melihat ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala.

Setiap makhluk yang diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala pasti memiliki maksud dan tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan di bumi ini. Husnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam hal ini ditunjukkan dengan meyakini bahwa tidak ada satu pun yang menjadi sia-sia dalam ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala.

Adapun beberapa hal yang perlu kita yakini agar kita dapat selalu berprasangka kepada Allah Subhanahu Wata’ala, yaitu sebagai berikut:

Pertama, membangun keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala akan memberi rahmat dan ampunan bagi para hamba-Nya yang berbuat kebaikan.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa: 110).

Kedua, meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala akan memberi pahala bagi hamba-Nya yang melakukan ketaatan.  Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 277:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.

Ketiga, membangun keyakinan bahwa siapa yang bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan diberi kecukupan oleh-Nya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya.” (Q.S.  At-Thalaq: 3).

Keempat, membangun keyakinan bahwa setiap takdir dan keputusan Allah Subhanahu Wata’ala memiliki hikmah dan kebaikan.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al-qur’an surah Al-Hijr ayat 21:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

“Tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.

Adapun hikmah yang akan kita dapatkan ketika kita mampu berhusnudzan kepada Allah Subhanahu Wata’ala diantaranya sebagai berikut:

Pertama, senantiasa mensyukuri segala sesuatu yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Mulai dari hal yang kecil apalagi hal yang besar, karena percaya Allah Subhanahu Wata’ala selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya.

Kedua, memiliki rasa khauf (takut) dan raja’ (berharap) kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Ketiga, bersikap optimis, tidak berkeluh kesah serta berputus asa terhadap segala ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Keempat, berpikiran lebih positif terhadap segala sesuatu yang terjadi, sehingga dapat mengambil kebaikan dari masalah yang dialami.

Kelima, terhindar dari sifat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Keenam, paling utama hal yang diinginkan setiap hamba yaitu dicintai dan disayangi Yang Maha Cinta Allah Subhanahu Wata’ala.

Semoga kita dapat meyakini juga mengamalkan segala kebaikan dari kalam Allah Subhanahu Wata’ala tersebut, sehingga kita menjadi hamba Allah yang selalu berhusnudzan kepada Yang Maha Baik Allah Subhanahu Wata’ala, dalam kondisi apapun dan kapanpun. Aamiin Yaa Rabbal’Aalamiin

TAFAKKUR NIKMAT

OLeh: Kartono —–

Bersyukur adalah bentuk terima kasih kita kepada Allah SWT.  Marilah kita senantiasa menunjukkan rasa syukur kita atas segala karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Karunia yang sangat banyak yang sampai-sampai Allah SWT sendiri mengatakan dalam Al-Quran, jikalau kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Read more

Belajar Menjadi Sabar

Oleh : Muslimah ——

Makna sabar

Mari kita lihat arti dari kata “sabar”, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sabar adalah tahan dalam menghadapi cobaan, tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, dan tabah. Kata sabar berasal dari bahasa Arab yaitu as-Shabru, yang berarti menahan diri dari keluh kesah.

Kalau melihat dari maknanya berarti orang yang sabar dalam menjalani kehidupan tidak boleh berkeluh kesah atau ngomel dalam bahasa Jawa. Misalnya ibu-ibu yang sering ngomel sendiri sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya, meskipun pekerjaan itu tetap bisa selesai tetapi rasanya kurang berkah. Terkadang kita sampai berkata masak orang berkeluh kesah tidak boleh, atau curhat (curahan hati) misalnya yang dianggap bisa mengurangi tekanan dalam diri kita menjadi merasa ringan. Tetapi kita memang dianjurkan untuk berkeluh kesah kepada Allah SWT di tengah malam saat menghadap Nya dalam shalat malam. Dalam menjalan shalat malam itu adalah kesempatan bagi kita mencurahkan isi hati kita, memohon yang kita inginkan untuk keluarga kita di dunia dan akhirat, Insya Allah, Allah SWT akan mendengar permohonan kita. Jangan sampai kita berprasangka buruk kepada Allah SWT hanya karena permohonan kita belum dikabulkan, karena hanya Allah SWT yang tahu yang terbaik untuk kita.

Tidak ada suatu kebaikan ketika curhat ditujukan semata kepada Allah.  Sebab hanya Allah SWT yang bisa menyimpan rahasia kita.  Bandingkan jika kita curhat kepada teman atau siapapun, mungkin saat hubungan kita tidak baik curhatan kita bisa bocor atau disampaikan kepada orang lain. Akan tetapi bila curhat kepada Allah SWT, sudah jelas hanya Allah SWT yang akan memberikan jalan keluar untuk masalah kita.

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 155-156:

Artinya : “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”

Sebagai umat manusia, kita tidak akan meningkat imannya jika tidak melewati ujian dari Allah SWT. Ibarat orang sekolah, agar bisa naik ke level yang di atasnya harus melewati pembelajaran dan ujian.  Allah SWT juga  akan memberikan pembelajaran dan ujian berupa cobaan dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan umatnya.  Ujian itu bisa berupa kesenangan atau kesusahan dan biasanya ujian yang berupa kesusahan lebih mendekatkan kita kepada Allah SWT.  Bahkan kadang kita menganggap kesenangan bukanlah ujian melainkan seperti rezeki, yang selalu dianggap ujian adalah apabila kita mendapatkan kesusahan dan tertimpa musibah.

Bahkan jika ada yang terkena musibah kecil kita jarang mengucapkan Inna lillaahi wa Innaa ilaihi raaji’uun.  Ucapan tersebut lebih sering kita dengar saat kita mendengar ada yang tertimpa musibah besar seperti bencana dan ada orang yang meninggal dunia. Orang yang menerima cobaan berupa kesenangan dan rezeki berlimpah kadang juga tidak dengan mudah bisa melewatinya, karena kadang kesenangan atau kesuksesan bisa menjadikan orang sombong dan kadang salah dalam menafkahkan rezekinya, lupa jika dalam harta kita terdapat harta orang lain.

Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 153

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Misalkan kita diberi ujian sakit oleh Allah SWT.  Kita pasti akan merasa sedih, tidak bersemangat, apalagi jika sakitnya parah yang untuk menuju kesembuhan membutuhkan waktu yang lama bahkan kadang yang disampaikan belum ada obatnya. Akan tetapi yang terpenting bagi kita adalah memohon pertolongan kepada Allah SWT karena Allah SWT yang memberikan sakit dan Allah pulalah yang akan memberikan kesembuhan tentunya dengan memohon kesembuhan dan bersabar dalam menghadapinya serta ikhtiar. Sedangkan obat, dokter, terapi semua itu hanyalah perantara dari Allah SWT untuk menjadi jalan menuju kesembuhan. Jangan sampai kita mendewakan obat atau dokter, yang kita anggap karena itulah kita sembuh, karena yang bisa memberikan kesembuhan hanyalah Allah SWT semata.

Sabar dalam kehidupan sehari-hari

Kita bisa bersabar menerima cobaan dengan melihat kondisi d ilingkungan  kita, baik di tempat kerja maupun di tempat kita tinggal, atau dengan melihat berita. Di mana ada tetangga atau teman kerja kita yang sakit atau kondisi kesehatannya tidak lebih baik dari kita, semua itu akan membuat kita lebih iklhas menerima cobaan dan bersabar. Sebagai orang yang beriman jika kita mendapatkan kesusahan atau cobaan dari Allah SWT sebaiknya berdoalah dengan sholat memohon keridhaan-Nya supaya digugurkan dosa-dosa kita dan bersabarlah karena Allah SWT bersama orang-orang yang sabar.

Mari kita lihat dari kehidupan sehari-hari sebagai contoh dalam menjalani kesabaran dan berserah diri kepada Allah SWT:

  • Saat kita mendapat musibah sakit dari Allah SWT, kita menyalahkan orang lain atau diri kita sendiri, padahal hal tersebut terjadi pasti sudah seijin Allah SWT. Kita berusaha berobat kesana-kemari, mengkonsumsi ini dan itu sebagai upaya sehat dan kadang sampai terlupa untuk memohon ampunan dan kesembuhan kepada Allah SWT.
  • Saat menghadapi anak-anak di rumah, kadang kita sering marah-marah, padahal anak adalah amanah dari Allah SWT, dan akan kita pertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Bahkan jika kita bisa amanah dalam mendidik anak-anak kita, Insyaallah kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  • Dalam menghadapi orang tua kita, yang semakin tua lebih membutuhkan perhatian dari kita tetapi kadang kita lebih sibuk dengan kehidupan rumah tangga, yang kadang tidak sempat memikirkan kebahagiaan orang tua kita.
  • Hidup bertetangga yang kadang membuat kita merasa lebih dari orang lain, di situ setan akan sangat senang berada dipihak kita, karena sombong adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT, kita bahkan harus bersabar jika mendapati tetangga yang membenci kita.
  • Dengan pasangan kita, sabar dan pertolongan Allah SWT sangatlah kita butuhkan, karena setan sangat tidak senang dengan orang yang mengikuti sunnah Rasul yaitu menikah. Maka didalam rumah tangga kesabaran sangatlah penting, karena menikah adalah menyatukan dua keluarga yang berbeda latar belakang, kepribadian, dan budaya. Begitu banyak kejadian yang berawal dari rumah bisa menghancurkan kehidupan orang lain.
  • Shalat, ini juga begitu penting karena biasanya ada yang menjalankan ibadah shalat dengan terburu-buru dikarenakan hanya mempunyai sedikit waktu, padahal dalam menjalankan shalat kita harus sabar, tuma’ninah, jadi tidak perlu terburu-buru dalam menjalankan ibadah shalat karena dalam shalat kita kadang terpikirkan hal lain selain Allah SWT. Bagi orang yang bertaqwa kepada Allah waktu shalat adalah yang dinanti-nanti, karena waktu tersebut kesempatan untuk berhubungan dengan Allah SWT.
  • Ini yang paling sulit, yaitu orang yang teraniaya atau terdholimi tetapi tetap bisa sabar. Karena biasanya orang akan melakukan balas dendam untuk menunjukkan keakuannya. Ini adalah hal yang tersulit untuk dijalani karena manusia mempunyai sifat memberontak dan balas dendam.

 

Dari beberapa contoh kejadian dalam kehidupan kita sehari-hari di atas dan masih banyak lagi yang lain akan dapat kita jadikan pelajaran untuk melatih kesabaran kita.  Tinggal bagaimana niat kita untuk menjadi pribadi yang sabar dan berserah diri kepada Allah SWT.  Sabar tidak ada batasnya dan belajar menjadi orang yang sabar pastilah tidak ada batasnya juga, jalannya sangatlah panjang yang harus kita lalui untuk menjadi orang yang sabar. Belajar menjadi orang yang sabar dimulai sejak kecil sampai remaja (yang masa ini sangat emosional dan sulit dikendalikan),  kemudian sampai dewasa, bahwa sampai kita tua pun kadang belum bisa menjadi pribadi yang sabar. Tetapi dengan niat dan mencoba perilaku yang mencerminkan sifat sabar setidaknya melatih diri dan pikiran kita untuk menjadi orang yang bersabar.

Marilah kita bersama-sama belajar menjadi orang yang sabar, di manapun kita berada.  Meskipun sangat sulit, tetapi dengan niat yang kuat Insya Allah akan bisa dengan sedikit demi sedikit dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan akan meluas ke lingkungan kita. Karena perilaku tidak sabar bisa merusak persatuan, kerukunan, bahkan bisa menghancurkan kehidupan. Semoga artikel singkat ini bisa menjadikan pelajaran bagi penulis dan pembaca yang akan belajar menjadi orang yang sabar dan mendapatkan ridha Allah SWT.

Mengapa Seorang Muslim Perlu Kaya?

Oleh: Muhammad Yopa Velda Putra—–

Walaupun saat ini umat Islam menjadi penganut agama mayoritas nomor dua di dunia saat ini, namun umat islam adalah salah satu yang paling banyak dirundung masalah, seperti masalah kemiskinan. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa mayoritas umat Islam hidup di negara miskin atau berkembang dengan pendapatan menengah ke bawah, sedangkan sisanya umat islam yang hidup di negara kaya, mereka mendapatkan kekayaan dari sumber daya alam yang melimpah sebagai contoh minyak bumi dan gas alam. Namun seandainya sumber daya tersebut sudah habis maka pertanyaanya bagaimana kesejahteraan umat muslim yang tinggal di negara tersebut? Di negara kita yaitu Indonesia yang disebut sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia namun justru kekuatan ekonomi kita masih bergantung dengan orang non muslim. Di zaman Rasulullah SAW, meskipun beliau hidup sederhana namun beliau adalah termasuk pemimpin imperium terbesar saat itu,  dan memiliki kekayaan yang luar biasa karena beliau pandai berdagang. Selain itu 10 sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga, sembilan diantaranya adalah orang yang luar biasa kaya yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Bukan sebuah kebetulan pula dalam Al-Qur’an terdapat ayat paling panjang yang menjelaskan tentang perekonomian (Al-Baqarah 282). Read more

BERJEJARING DALAM DUNIA KERJA DI MASA PANDEMI COVID-19

OLeh: Nur Pratiwi Noviati, S.Psi, M.Psi.——–

“Duh, gara-gara pandemi semua kolegaku jadi susah dihubungi”

“PPKM membuat banyak pekerjaan dan karirku terhambat”

Ungkapan ini mungkin menjadi semakin sering kita dengar ketika kita mengalami masa pandemi COVID-19. Hal ini menunjukkan bahwa membangun hubungan dengan pihak lain dalam dunia kerja menjadi penting. Bekerja dalam membangun karir sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai kompetensi dan kualitas diri seseorang saja. Namun lebih dari itu, bagaimana seseorang dapat membangun jejaring (networking) sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang yang ada di lingkungannya. Membangun jejaring memiliki nilai yang penting bagi manusia modern saat ini. Kompleksitas yang dihadapi dalam kehidupan saat ini baik dalam ruang lingkup sehari-hari maupun dalam dunia kerja memaksa kita untuk selalu berhubungan dengan pihak lain. Read more

Menjadi Pemimpin Amanah

Oleh: Willi Ashadi ——-

Artikel Islam ini direncanakan berisi empat poin bahasan, yaitu bahasan pertama adalah urgensi pemimpin dalam Islam, sebagai refleksi mengapa kepemimpinan itu penting dalam kehidupan serta dalam ajaran agama Islam. Bahasan kedua, mengenai kepemimpinan yang zalim, kemudian diuraikan apa saja kriteria kepemimpinan yang zalim serta contoh contoh kepemimpinan yang zalim. Pembahasan ketiga, mengulas kepemimpinan Islam, dimana penulis akan menguraikan kepemimpinan yang dikehendaki oleh ajaran Islam.   Ulasan ini banyak menguraikan dalil dalil normatif yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis mengenai kepemimpinan Islam serta model pemimpin dalam Islam. Sebagai penutup tulisan, pada bahasan terakhir penulis memberikan rekomendasi kepada calon pemimpin agar suatu saat ketika menjadi pemimpin maka jadilah pemimpin yang amanah. Penulis akan mengeksplorasi kepemimpinan Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan keteladanan Rasulullah SAW. Read more

Jalanku Berkait Masjid

Oleh : Aris Budiono—-

Alkisah, sebuah cerita pribadi yang mungkin akan bermanfaat ketika saya mencoba untuk menulis di waktu ini.  Kelas dua sekolah teknik kejuruan di Yogyakarta adalah awal mula hati saya terbuka memikirkan sebuah masjid. Diawali dari sebuah kegiatan masjid yang saat itu jarang terlihat ada pemuda ikut mengurusnya.  Saat itu ada perkataan seorang sesepuh masjid, yang waktu itu menurut saya sangat menyayat hati ketika pemuda mendengarnya: “Cah enom saiki ki isone ngopo, acoro masjid we ra ono pemudane sik ngurusi.” (Anak muda sekarang bisanya ngapain, ada acara masjid saja pemuda tidak ada yang ikut mengurusi). Read more

FENOMENA MUALAF DAN PERILAKU KELUAR ZONA NYAMAN: Sebuah Autokritik

Oleh : Dr. Faraz, MM——

Berkembangnya teknologi media sosial di Indonesia telah menguak banyak fakta luar biasa tentang fenomena mualaf (orang yang mendapat hidayah dan mengucapkan 2 kalimah syahadat). Bagaimana kisah atau perjalanan mereka masuk Islam, seringkali sangat sederhana tetapi tidak jarang penuh perjuangan. Carissa Grani, seorang dokter gigi yang bekerja di Pemprov DKI, sering memperhatikan teman-temannya yang muslimah, memakai cadar, tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan sering berwudlu termasuk membersihkan hidung. Carissa berpikir bahwa perilaku teman-temannya itu ternyata sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia di dunia saat mengahadapi pandemi Covid-19. Carissa kemudian menyimpulkan, “Inilah agama yang benar, karena sesuai dengan ilmu pengetahuan”. Atas dasar itu Carissa masuk Islam. Mudah sekali.

Bagi Koh Asen, warga Tionghoa di Jakarta Barat, masuk Islam baginya sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Dia sebenarnya terbuka dengan banyak agama, seperti Kongucu, Budha, dan Kristen, tetapi untuk Islam nanti dulu, tidak terpikir sama sekali, karena “Melihat tulisan Arab aja udah bikin pusing, “ katanya. Cara beribadah orang Islam, menurut Asen,  berbeda dengan agama lain yang mempunyai objek untuk disembah. “Orang Islam menyembah apa, gak jelas, “lanjut Asen. Namun, apa yang terjadi kemudian, pada usia menginjak dewasa, Koh Asen mengalami perasaaan panas pada tubuhnya yang luar biasa. Hal ini dialami setiap musim kemarau. Pada saat musim hujan, rasa panas itu hilang. Pada suatu musim panas, ia merasa tidak kuat lagi. Ia pun keluar rumah di sore-sore, ia mau cari hiburan nonton film bioskop. Sebelum menonton, Asen iseng melihat lihat dagangan buku yang digelar di pinggir jalan, di depan bioskop itu. Niatnya ingin membeli buku TTS (Teka Teki Silang), tetapi Asen melihat ada judul buku yang mengusik pikirannya, berjudul Seputar Alam Gaib. Menariknya ketika Asen membuka buku itu, ada tulisan Arab, tentang ayat minta hujan,  dan disitu ada anjuran, “Siapa yang menuliskan ayat ini pada batu hitam dan meletakkannya kemudian di bawah pohon kering akan mendatangkan hujan”. Kalimat itu langsung direspon Asen, dalam hatinya, ”Wah ini mah bohong, ngibul”. Asik melihat-lihat buku, Asen lupa bioskop sudah dibuka, ia bergegas dan meminta pedagang untuk membungkus buku TTS. Anehnya, ketika keluar dari bioskop, Asen terkejut karena buku yang dibungkus tadi bukan TTS tetapi Seputar Alam Gaib. Siapa yang menyangka, melalui buku itu, Koh Asen bisa masuk Islam, meskipun prosesnya tidak mudah, butuh tiga kali praktek minta hujan sesuai yang diperintahkan dalam buku. Percobaan pertama, Asen terkejut karena permintaannya tidak lama kemudian dikabulkan, hujan turun lebat. Namun, Asen menganggap itu cuma kebetulan. Empat hari kemudian ketika merasa panas lagi, Asen mencoba yang kedua, dan hasilnya sama. Asen mulai percaya tetapi belum yakin. Pada prosesi ketiga, Asen tidak bisa berbicara lagi, kecuali menangis, karena ia merasa sudah berdosa tidak percaya sejak awal pada Tuhan (Allah).

Imam Ibnu al-Qayim Al-Jauziyyah, salah satu murid terpenting Ibnu Taimiyyah, membagi hidayah dalam empat hal: (1). Hidayah umum ini diberikan Allah pada seluruh makhlukNya, sesuai Q.S. Thaha ayat 50 artinya; Musa berkata; Rabb kami ialah rabb yang telah memberikan kepada makhluk setiap makhluk bentuk kejadiannya dan ia juga memberinya petunjuk”. (2). Hidayah bayan, berupa penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Fushshilat ayat 17, artinya “Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mareka (jalan kebenaran) tetapi mareka tidak mau mengikuti petunjuk. (3). Hidayah taufik, merupakan suatu ilham dan kelapangan dada untuk menerima petunjuk Allah. Inilah hidayah (sempurna), sesuai Q.S. Faathir ayat 8, artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya. (4). Puncak dari suatu hidayah yaitu hidayah syurga. Allah berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 43 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke surga) kalau Allah tidak menunjukkan kami.

Kasus mualaf di Indonesia, seperti Carissa atau Koh Asen, menurut ketua Mualaf Center Indonesia (MCI), Koh Steven,  jumlahnya sekarang sudah puluhan ribu orang. Namun, fokus tulisan ini bukan bagaimana mereka menjadi Mualaf, tetapi yang jauh lebih menarik adalah bagaimana para mualaf yang baru saja beberapa tahun beragama Islam tetapi sudah mempunyai kontribusi yang sangat signifikan bagi syiar Islam, jauh melebihi orang  yang sudah Islam sejak lahir.

Sebut saja Felix Siauw, Ia masuk Islam 2002, tetapi penguasaan Al-Quran dan Hadits-nya luar biasa dibandingkan kita yang belajar Islam sejak lahir. Irena Handono, mantan biarawati, masuk Islam usia 26 tahun. Saat ini berprofesi ustadzah dan berdakwah ke berbagai kota di Indonesia. Terakhir, Yusuf Ismail, keturunan Tionghoa, penginjil di gereja, ayahnya pendeta, Ia masuk Islam 1994, kini kondang sebagai Kyai, memiliki pondok pesantren Al Hadid, di Karangmojo, Gunungkidul, DIY. Pertanyaannya, mengapa mereka jauh lebih cepat dalam belajar Islam? Mengapa mereka terlihat begitu mudah untuk istiqomah berprofesi sebagai pendakwah? Dibandingkan kita yang tetap asik dengan posisi duniawi sebagai pejabat di pemerintahan, di dunia ekonomi, di dunia politik maupun di dunia pendidikan seperti menjadi dosen.

Banyak dalil baik dari Al-Qurán maupun hadits yang menegaskan bahwa seorang mualaf, orang yang mengucapkan syahadat, akan dihapus semua dosanya yang dilakukan sebelumnya. “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…” (QS. Al-Anfaal: 38). Banyak hadits shohih, riwayat Bukhari dan Muslim juga memberikan penjelasan yang sama, bahwa siapa saja yang bersyahadat, memeluk agama Islam, maka akan dihapuskan dosa-dosa masa silamnya, dan seperti dilahirkan kembali, suci tanpa dosa.

Apakah karena dosa-dosanya dihapus sehingga para mualaf itu mudah istiqomah dalam berdakwah atau berjuang untuk Islam? Jawabannya bisa “Ya”  bisa “Tidak”, karena tidak semua mualaf menjadi dai atau ustad, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang berani memutuskan keluar dari zona nyamannya. Hampir semua mualaf siap dimusuhi keluarganya, kelompoknya, dan siap kehilangan harta atau siap miskin. Koh Asen, bekerja di perusahaan orangtuanya, posisinya sebagai manajer, karena orangtuanya tidak senang ia masuk Islam, maka beliau digaji dengan standar gaji pegawai yang paling rendah di perusahaan itu. Yusuf Ismail dari keluarga yang berkecukupan, karena ayahnya seorang pendeta senior, langkahnya memeluk Islam telah membuat keluarganya kehilangan penghasilan dan jatuh miskin, tidak hanya tidak punya rumah, tetapi untuk makan sehari-hari saja sulit. Ia terpaksa memutuskan tidak kuliah, tetapi tetap istiqomah.

Salah satu sosok mualaf yang juga perlu dicatat disini yakni Koh Steven, ketua MCI itu. Posisi sebelumnya, adalah pendeta di gereja terkenal di Jakarta. Ia alumnus Perguruan Kristen (S2) di Universitas Leiden, Belanda. Ketika memutuskan masuk Islam, ia mundur dari gereja. Oleh orangtuanya ia diusir. Ia pun menjadi gelandangan di Jakarta, tidur tidak jelas, di emper toko atau di emper masjid. Ia hijrah ke Cilegon jadi kuli panggul dan pekerjaan serabutan lainnya. Dengan modal bahasa Inggris, ia akhirnya bekerja sebagai office boy sebuah perusahaan asing. Dari sini ia bisa menabung dan dibantu atasannya untuk pergi umroh. Pulang umroh ia bergerak cepat mendirikan Mualaf Center Indonesia. Melalui MCI, Koh Asen berhasil memfasilitasi orang masuk Islam sebanyak   58 ribu lebih. Ketika ia sudah maju, bekerja di lembaga riset dunia di Singapore, dan mempunyai bisnis kedai kopi di beberapa tempat,  Allah mengujinya kembali.   Pada awal tahun 2020, dunia dihantui ketakutan virus covid-19. Steven  berpikir dampak negatif yang mungkin akan menimpah Indonesia ketika pandemik covid-19 merebak. Ia pun pulang ke Indonesia, menjual semua hartanya, dua rumah, tujuh mobil dan tiga motor gede, untuk membeli dan membuat masker serta beberapa peralatan medis yang dibutuhkan. Semua peralatan medis itu termasuk APD ia sumbangkan ke semua petugas kesehatan yang membutuhkan termasuk ke Yayasan-yayasan Kristen dan Budha yang menangani pasien covid-19. Dia sendiri kemudian mengontrak rumah di Yogyakarta bersama tim bisnis dan dakwahnya, sementara istrinya tinggal di Bandung bersama mertuanya. Mengapa dia mampu melakukan itu, banyak orang menilainya, “gila”, terbius agama dan sebagainya, tetapi Koh Steven sendiri punya argumentasi sederhana, menurutnya, harta yang dimiliki adalah titipan Tuhan, cepat atau lambat akan kembali ke pemiliknya, karena bencana atau faktor lain. “Daripada kembali ke Allah karena dipaksa, lebih baik saya sedekahkan saja” tegasnya. Menariknya, ketika banyak usaha berguguran karena pandemi, usaha Kedai Kopi Koh Steven, malah bertambah 19 outlet.

Bagaimana dengan kita, kita bukan orang awam, kita warga terpelajar, bahkan dari kita berprofesi sebagai dosen, bergelar doktor bahkan profesor. Kita mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam, yang mendorong untuk melakukan karya-karya yang mengintegrasikan Barat dan Islam. Pertayaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Seberapa besar tenaga dan pikiran yang kita sudah habiskan untuk  Islam? Apakah kita sudah puas berjuang untuk Islam dengan standar minimalis? Apakah kita masih berat meninggalkan profesi yang lebih banyak menciptakan kenikmatan dunia? Apakah bekal kita sudah cukup untuk dibawa ke kampung akhirat?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini, mari kita simak model lain, yakni dokter Zakir Naik, pendakwah kondang tingkat dunia. Ia merupakan alumnus terbaik dari fakultas kedokteran di kota kelahirannya Mumbay, India. Meski lulus dengan nilai terbaik, ia tidak melanjutkan profesinya sebagai dokter. Jiwanya bergetar dan menangis ketika Ahmad Deedat, gurunya,  menyampaikan firman Allah  Q.S. Al-Asr: 1-3. “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Surat ini hampir setiap hari kita baca, tetapi mengapa tidak memunculkan hidayah Allah? Sebaliknya, bagi Zakir Naik sangat cukup untuk meninggalkan profesi paling terhormat di kota Mumbay, menuju belajar menjadi pendakwah, dengan segala konsekwensi, tidak ada pemasukkan finansial, sebaliknya mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga untuk membaca dan berguru pada banyak ahli agama atau ulama.

Keluar dari zona nyaman mungkin mudah kita pikirkan, tetapi mengapa sulit untuk dipraktikkan. Persoalan klasik yang tidak kita disadari, bahwa jiwa yang kita anggap lebih penting dari pikiran dan tubuh, realitanya terbalik. Jujur, kita lebih mengutamakan tubuh dibandingkan jiwa. Perilaku kita untuk membesarkan jiwa, seperti ibadah terutama sedekah, umumnya sedikit sekali dibandingkan kegiatan untuk tubuh dan pikiran. Padahal, menurut Imam Al-Ghazali bahwa  jiwa itu habitat kebaikkan, bila habitat itu kecil dan sempit, maka kebaikkan sulit dapat bertahan lama pada diri kita. Mungkin ini penyebabnya, mengapa kebaikkan tidak menjadi kebiasaan kita. Banyak kebaikkan dunia maupun akhirat yang kita tahu kebenarannya, tetapi sulit atau berat kita praktikkan. Ini juga mungkin yang menyebabkan kita sulit keluar dari zona nyaman, dari profesi yang lebih besar dunianya dibandingkan akhiratnya. Bila kita kembali kepada kriteria hidayah Ibnu Qayyim, mungkin kita baru berada pada level 2 (bayan), berupa seruan untuk berdakwah. Diantara kita sudah banyak yang berdakwah, tetapi banyak juga yang belum punya waktu untuk itu. Sampai di sini, penulis ragu, apakah kita benar-benar sudah mendapatkan hidayah taufik dari Allah (level 3), sebuah tingkatan yang harus dilalui sebelum mendapatkan hidayah tertinggi yakni surga. Fenomena keluar dari zona nyaman ala mualaf mungkin sedikit banyak akan mengusik hati dan pikiran kita untuk mencoba, semoga.