FENOMENA MUALAF DAN PERILAKU KELUAR ZONA NYAMAN: Sebuah Autokritik

Oleh : Dr. Faraz, MM——

Berkembangnya teknologi media sosial di Indonesia telah menguak banyak fakta luar biasa tentang fenomena mualaf (orang yang mendapat hidayah dan mengucapkan 2 kalimah syahadat). Bagaimana kisah atau perjalanan mereka masuk Islam, seringkali sangat sederhana tetapi tidak jarang penuh perjuangan. Carissa Grani, seorang dokter gigi yang bekerja di Pemprov DKI, sering memperhatikan teman-temannya yang muslimah, memakai cadar, tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan sering berwudlu termasuk membersihkan hidung. Carissa berpikir bahwa perilaku teman-temannya itu ternyata sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia di dunia saat mengahadapi pandemi Covid-19. Carissa kemudian menyimpulkan, “Inilah agama yang benar, karena sesuai dengan ilmu pengetahuan”. Atas dasar itu Carissa masuk Islam. Mudah sekali.

Bagi Koh Asen, warga Tionghoa di Jakarta Barat, masuk Islam baginya sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Dia sebenarnya terbuka dengan banyak agama, seperti Kongucu, Budha, dan Kristen, tetapi untuk Islam nanti dulu, tidak terpikir sama sekali, karena “Melihat tulisan Arab aja udah bikin pusing, “ katanya. Cara beribadah orang Islam, menurut Asen,  berbeda dengan agama lain yang mempunyai objek untuk disembah. “Orang Islam menyembah apa, gak jelas, “lanjut Asen. Namun, apa yang terjadi kemudian, pada usia menginjak dewasa, Koh Asen mengalami perasaaan panas pada tubuhnya yang luar biasa. Hal ini dialami setiap musim kemarau. Pada saat musim hujan, rasa panas itu hilang. Pada suatu musim panas, ia merasa tidak kuat lagi. Ia pun keluar rumah di sore-sore, ia mau cari hiburan nonton film bioskop. Sebelum menonton, Asen iseng melihat lihat dagangan buku yang digelar di pinggir jalan, di depan bioskop itu. Niatnya ingin membeli buku TTS (Teka Teki Silang), tetapi Asen melihat ada judul buku yang mengusik pikirannya, berjudul Seputar Alam Gaib. Menariknya ketika Asen membuka buku itu, ada tulisan Arab, tentang ayat minta hujan,  dan disitu ada anjuran, “Siapa yang menuliskan ayat ini pada batu hitam dan meletakkannya kemudian di bawah pohon kering akan mendatangkan hujan”. Kalimat itu langsung direspon Asen, dalam hatinya, ”Wah ini mah bohong, ngibul”. Asik melihat-lihat buku, Asen lupa bioskop sudah dibuka, ia bergegas dan meminta pedagang untuk membungkus buku TTS. Anehnya, ketika keluar dari bioskop, Asen terkejut karena buku yang dibungkus tadi bukan TTS tetapi Seputar Alam Gaib. Siapa yang menyangka, melalui buku itu, Koh Asen bisa masuk Islam, meskipun prosesnya tidak mudah, butuh tiga kali praktek minta hujan sesuai yang diperintahkan dalam buku. Percobaan pertama, Asen terkejut karena permintaannya tidak lama kemudian dikabulkan, hujan turun lebat. Namun, Asen menganggap itu cuma kebetulan. Empat hari kemudian ketika merasa panas lagi, Asen mencoba yang kedua, dan hasilnya sama. Asen mulai percaya tetapi belum yakin. Pada prosesi ketiga, Asen tidak bisa berbicara lagi, kecuali menangis, karena ia merasa sudah berdosa tidak percaya sejak awal pada Tuhan (Allah).

Imam Ibnu al-Qayim Al-Jauziyyah, salah satu murid terpenting Ibnu Taimiyyah, membagi hidayah dalam empat hal: (1). Hidayah umum ini diberikan Allah pada seluruh makhlukNya, sesuai Q.S. Thaha ayat 50 artinya; Musa berkata; Rabb kami ialah rabb yang telah memberikan kepada makhluk setiap makhluk bentuk kejadiannya dan ia juga memberinya petunjuk”. (2). Hidayah bayan, berupa penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Fushshilat ayat 17, artinya “Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mareka (jalan kebenaran) tetapi mareka tidak mau mengikuti petunjuk. (3). Hidayah taufik, merupakan suatu ilham dan kelapangan dada untuk menerima petunjuk Allah. Inilah hidayah (sempurna), sesuai Q.S. Faathir ayat 8, artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya. (4). Puncak dari suatu hidayah yaitu hidayah syurga. Allah berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 43 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke surga) kalau Allah tidak menunjukkan kami.

Kasus mualaf di Indonesia, seperti Carissa atau Koh Asen, menurut ketua Mualaf Center Indonesia (MCI), Koh Steven,  jumlahnya sekarang sudah puluhan ribu orang. Namun, fokus tulisan ini bukan bagaimana mereka menjadi Mualaf, tetapi yang jauh lebih menarik adalah bagaimana para mualaf yang baru saja beberapa tahun beragama Islam tetapi sudah mempunyai kontribusi yang sangat signifikan bagi syiar Islam, jauh melebihi orang  yang sudah Islam sejak lahir.

Sebut saja Felix Siauw, Ia masuk Islam 2002, tetapi penguasaan Al-Quran dan Hadits-nya luar biasa dibandingkan kita yang belajar Islam sejak lahir. Irena Handono, mantan biarawati, masuk Islam usia 26 tahun. Saat ini berprofesi ustadzah dan berdakwah ke berbagai kota di Indonesia. Terakhir, Yusuf Ismail, keturunan Tionghoa, penginjil di gereja, ayahnya pendeta, Ia masuk Islam 1994, kini kondang sebagai Kyai, memiliki pondok pesantren Al Hadid, di Karangmojo, Gunungkidul, DIY. Pertanyaannya, mengapa mereka jauh lebih cepat dalam belajar Islam? Mengapa mereka terlihat begitu mudah untuk istiqomah berprofesi sebagai pendakwah? Dibandingkan kita yang tetap asik dengan posisi duniawi sebagai pejabat di pemerintahan, di dunia ekonomi, di dunia politik maupun di dunia pendidikan seperti menjadi dosen.

Banyak dalil baik dari Al-Qurán maupun hadits yang menegaskan bahwa seorang mualaf, orang yang mengucapkan syahadat, akan dihapus semua dosanya yang dilakukan sebelumnya. “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…” (QS. Al-Anfaal: 38). Banyak hadits shohih, riwayat Bukhari dan Muslim juga memberikan penjelasan yang sama, bahwa siapa saja yang bersyahadat, memeluk agama Islam, maka akan dihapuskan dosa-dosa masa silamnya, dan seperti dilahirkan kembali, suci tanpa dosa.

Apakah karena dosa-dosanya dihapus sehingga para mualaf itu mudah istiqomah dalam berdakwah atau berjuang untuk Islam? Jawabannya bisa “Ya”  bisa “Tidak”, karena tidak semua mualaf menjadi dai atau ustad, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang berani memutuskan keluar dari zona nyamannya. Hampir semua mualaf siap dimusuhi keluarganya, kelompoknya, dan siap kehilangan harta atau siap miskin. Koh Asen, bekerja di perusahaan orangtuanya, posisinya sebagai manajer, karena orangtuanya tidak senang ia masuk Islam, maka beliau digaji dengan standar gaji pegawai yang paling rendah di perusahaan itu. Yusuf Ismail dari keluarga yang berkecukupan, karena ayahnya seorang pendeta senior, langkahnya memeluk Islam telah membuat keluarganya kehilangan penghasilan dan jatuh miskin, tidak hanya tidak punya rumah, tetapi untuk makan sehari-hari saja sulit. Ia terpaksa memutuskan tidak kuliah, tetapi tetap istiqomah.

Salah satu sosok mualaf yang juga perlu dicatat disini yakni Koh Steven, ketua MCI itu. Posisi sebelumnya, adalah pendeta di gereja terkenal di Jakarta. Ia alumnus Perguruan Kristen (S2) di Universitas Leiden, Belanda. Ketika memutuskan masuk Islam, ia mundur dari gereja. Oleh orangtuanya ia diusir. Ia pun menjadi gelandangan di Jakarta, tidur tidak jelas, di emper toko atau di emper masjid. Ia hijrah ke Cilegon jadi kuli panggul dan pekerjaan serabutan lainnya. Dengan modal bahasa Inggris, ia akhirnya bekerja sebagai office boy sebuah perusahaan asing. Dari sini ia bisa menabung dan dibantu atasannya untuk pergi umroh. Pulang umroh ia bergerak cepat mendirikan Mualaf Center Indonesia. Melalui MCI, Koh Asen berhasil memfasilitasi orang masuk Islam sebanyak   58 ribu lebih. Ketika ia sudah maju, bekerja di lembaga riset dunia di Singapore, dan mempunyai bisnis kedai kopi di beberapa tempat,  Allah mengujinya kembali.   Pada awal tahun 2020, dunia dihantui ketakutan virus covid-19. Steven  berpikir dampak negatif yang mungkin akan menimpah Indonesia ketika pandemik covid-19 merebak. Ia pun pulang ke Indonesia, menjual semua hartanya, dua rumah, tujuh mobil dan tiga motor gede, untuk membeli dan membuat masker serta beberapa peralatan medis yang dibutuhkan. Semua peralatan medis itu termasuk APD ia sumbangkan ke semua petugas kesehatan yang membutuhkan termasuk ke Yayasan-yayasan Kristen dan Budha yang menangani pasien covid-19. Dia sendiri kemudian mengontrak rumah di Yogyakarta bersama tim bisnis dan dakwahnya, sementara istrinya tinggal di Bandung bersama mertuanya. Mengapa dia mampu melakukan itu, banyak orang menilainya, “gila”, terbius agama dan sebagainya, tetapi Koh Steven sendiri punya argumentasi sederhana, menurutnya, harta yang dimiliki adalah titipan Tuhan, cepat atau lambat akan kembali ke pemiliknya, karena bencana atau faktor lain. “Daripada kembali ke Allah karena dipaksa, lebih baik saya sedekahkan saja” tegasnya. Menariknya, ketika banyak usaha berguguran karena pandemi, usaha Kedai Kopi Koh Steven, malah bertambah 19 outlet.

Bagaimana dengan kita, kita bukan orang awam, kita warga terpelajar, bahkan dari kita berprofesi sebagai dosen, bergelar doktor bahkan profesor. Kita mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam, yang mendorong untuk melakukan karya-karya yang mengintegrasikan Barat dan Islam. Pertayaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Seberapa besar tenaga dan pikiran yang kita sudah habiskan untuk  Islam? Apakah kita sudah puas berjuang untuk Islam dengan standar minimalis? Apakah kita masih berat meninggalkan profesi yang lebih banyak menciptakan kenikmatan dunia? Apakah bekal kita sudah cukup untuk dibawa ke kampung akhirat?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini, mari kita simak model lain, yakni dokter Zakir Naik, pendakwah kondang tingkat dunia. Ia merupakan alumnus terbaik dari fakultas kedokteran di kota kelahirannya Mumbay, India. Meski lulus dengan nilai terbaik, ia tidak melanjutkan profesinya sebagai dokter. Jiwanya bergetar dan menangis ketika Ahmad Deedat, gurunya,  menyampaikan firman Allah  Q.S. Al-Asr: 1-3. “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Surat ini hampir setiap hari kita baca, tetapi mengapa tidak memunculkan hidayah Allah? Sebaliknya, bagi Zakir Naik sangat cukup untuk meninggalkan profesi paling terhormat di kota Mumbay, menuju belajar menjadi pendakwah, dengan segala konsekwensi, tidak ada pemasukkan finansial, sebaliknya mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga untuk membaca dan berguru pada banyak ahli agama atau ulama.

Keluar dari zona nyaman mungkin mudah kita pikirkan, tetapi mengapa sulit untuk dipraktikkan. Persoalan klasik yang tidak kita disadari, bahwa jiwa yang kita anggap lebih penting dari pikiran dan tubuh, realitanya terbalik. Jujur, kita lebih mengutamakan tubuh dibandingkan jiwa. Perilaku kita untuk membesarkan jiwa, seperti ibadah terutama sedekah, umumnya sedikit sekali dibandingkan kegiatan untuk tubuh dan pikiran. Padahal, menurut Imam Al-Ghazali bahwa  jiwa itu habitat kebaikkan, bila habitat itu kecil dan sempit, maka kebaikkan sulit dapat bertahan lama pada diri kita. Mungkin ini penyebabnya, mengapa kebaikkan tidak menjadi kebiasaan kita. Banyak kebaikkan dunia maupun akhirat yang kita tahu kebenarannya, tetapi sulit atau berat kita praktikkan. Ini juga mungkin yang menyebabkan kita sulit keluar dari zona nyaman, dari profesi yang lebih besar dunianya dibandingkan akhiratnya. Bila kita kembali kepada kriteria hidayah Ibnu Qayyim, mungkin kita baru berada pada level 2 (bayan), berupa seruan untuk berdakwah. Diantara kita sudah banyak yang berdakwah, tetapi banyak juga yang belum punya waktu untuk itu. Sampai di sini, penulis ragu, apakah kita benar-benar sudah mendapatkan hidayah taufik dari Allah (level 3), sebuah tingkatan yang harus dilalui sebelum mendapatkan hidayah tertinggi yakni surga. Fenomena keluar dari zona nyaman ala mualaf mungkin sedikit banyak akan mengusik hati dan pikiran kita untuk mencoba, semoga.

Renungan Sebelum Berpulang

Oleh:  Diana Rahma Qadari—–

“Di dunia ini berisi ketidakpastian, satu hal yang pasti hanya satu yaitu kematian. Segala sesuatu yang kita rencanakan hari ini belum tentu terwujud esok, karena bisa jadi kematian lebih dulu datangnya dan tanpa aba-aba.”

Kalimat di atas membuat saya kembali merenungkan sejauh apa diri ini menyiapkan bekal untuk sebuah kematian? Waktu yang sudah dihabiskan apakah sudah diisi dengan hal-hal manfaat? Ataukah justru rutinitas duniawi mengambil porsi besar dalam diri sehingga menjalankan ibadah wajibpun seolah diburu waktu, menjadi asal selesai saja dan terlalu singkat. Sedekah yang kita keluarkan hanya sebatas ingin mendapat pengakuan dari orang lain, dinilai baik dan sholeh di mata manusia. Waktu yang digunakan lebih banyak membicarakan orang lain, mengumbar kekurangan orang lain seakan lupa bahwa apapun yang ada di dunia ini pasti Allah dengar, tercatat dan terhitung tanpa terlewatkan sedikitpun.

Ketika menjalankan urusan pekerjaan kita menjalankan tugas dengan segala cara untuk mendapatkan hasil terbaik. Fokus, serius, berusaha minim kesalahan sampai-sampai menunda makan dan istirahat hingga target selesai dengan hasil baik seperti yang diinginkan. Bukankah seharusnya begitu juga sikap kita terhadap urusan akhirat? Serius ketika sedang melaksanakan ibadah, menunda urusan-urusan lain hingga akhir sholat, pikiran dan hati kita fokus kepada Allah semata. Tetapi tak jarang terjadi, ketika dalam sholat justru teringat akan urusan lainnya. Tak terasa kondisi tersebut terus berulang hingga kenikmatan dalam ibadah hilang dalam diri kita.

Kematian memang menjadi nasehat terbaik untuk manusia, adapun beberapa ayat dalam Al Quran dan hadis tentang kematian sebagai berikut:

  1. QS Ali Imran: 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.”

Banyak kesenangan di dunia ini yang bisa kita dapatkan, banyak kemudahan yang dunia tawarkan. Teknologi berkembang pesat, banyak informasi yang sangat mudah kita dapatkan dan tentu saja hiburan yang mudah kita akses dan ada dalam genggaman. Kita begitu mudah mengenalkan gawai pada anak kita tapi sedikit mengajarkan ayat-ayat Al Quran bahkan seringkali kita menenangkan anak kita dengan gawai. Di balik semua kemudahan yang kita dapatkan, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kita. Mengakses gawai untuk waktu yang lama, kemudahan mengakses hiburan di tangan kita sangat memungkinkan untuk membuat diri kita lalai dan parahnya kesenangan tersebut membuat diri kita mampu menunda sholat. Kemudahan-kemudahan yang ada di dunia ini seharusnya menjadikan diri kita semakin keras berupaya untuk memfilter dan membentengi diri kita dan keluarga dari sesuatu yang akan membawa diri kita pada sebuah penyesalan dan tentu saja dari hal yang merugikan.

  1. HR Ibn Abi al-Dunya

“Ingatlah pada kematian. Demi yang jiwaku dalam genggamannya, seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Ketika melewati makam sesekali kita perlu membayangkan diri yang semula bebas bergerak dan beraktifitas kemudian tubuh terbujur kaku dan berakhir di bawah tanah, tidak ada hari-hari bertegur sapa dengan keluarga maupun tetangga dan tentu saja tidak ada yang membuat kita kembali ke dunia. Mengingat kematian membuat diri ini menimbang, mengukur kembali amal apa yang nantinya akan menjauhkan dari siksa kubur dan berakhir kekal di surga-Nya. Mengingat kematian bukan sesuatu yang harus buru-buru dienyahkan dan bukan hal yang harus dihentikan atau disikapi dengan ketakutan namun seharusnya membuat diri kita melakukan banyak tindakan atau persiapan yang tidak ada hentinya. Jika husnul khatimah yang kita idam-idamkan, seharusnya kita juga mempersiapkan diri untuk mengantarkan jiwa dan raga menujunya. Keberhasilan orang hidup adalah mampu mengantarkan jiwa dan raganya untuk sesuatu yang kekal baginya yaitu setelah kematiannya serta mengetahui ke mana akhir dari perjalanan hidupnya.

  1. HR Ibnu Majah

Dari Ibnu Umar bahwa dia berkata: “Saya bersama dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertanya; “Ya Rasulullah, bagaimanakah mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.”

Semakin sering kita mengingat kematian, semakin sering pula usaha kita mempersiapkannya. Bertaubat, sholat khusyu’, menjaga diri dan lisan kita kepada orang lain, menjalin hubungan baik dengan saudara seiman. Hubungan yang baik membawa ketenangan dalam diri kita dan membuat diri kita optimis menjalani hidup ini dan semakin berjuang untuk mendapatkan ridho-Nya. Lingkaran yang baik adalah lingkaran di mana diri kita bisa saling mengingatkan kebaikan tanpa saling menyakiti. Tidak tersinggung apabila diri kita diingatkan ketika melakukan kesalahan, memperkaya diri kita dengan ilmu agama sebagai bekal berpulang nanti. Bersaudara, bersahabat dengan lingkaran yang baik adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, saling menjaga dari sesuatu yang akan membawa pada kemurkaan Allah. Di dunia ini banyak hal yang bisa kita cari dan bisa kita nikmati namun kenikmatan yang didapatkan tidak boleh membuat kita terlena hingga sedikit mempersiapkan mati sedangkan kematian pasti datangnya.

Waktu kita di dunia ini tidaklah lama, benar akan sebuah istilah bahwa hidup sekedar singgah untuk minum. Tidak terasa hitungan satu tahun cepat sekali berlalu dan waktu yang dijalani semakin mendekat dengan hari pertanggungjawaban.  Semakin banyak berita kematian yang kita dengar di tengah kondisi pandemi. Dalam kondisi pandemi, menjadi kesempatan bagi kita untuk banyak bermuhasabah, melakukan kegiatan amal seperti membantu meringankan kesulitan tetangga ataupun saudara yang terkena musibah. Pandemi yang dihadirkan oleh Allah di dunia ini seharusnya membuat diri mengenal arti tawakal bukan malah menyalahkan pandemi yang membuat banyak rencana yang kita buat tidak dapat terealisasikan. Pesta pernikahan yang diharapkan tidak dapat diselenggarakan kemudian menggerutu menyalahkan pandemi. Kehilangan pekerjaan dan peta rencana kehidupan berantakan karena pandemi. Tetapi apakah memang benar bahwa penundaan, kehilangan adalah buruk bagi kita? Bukankah kita diminta untuk berbaik sangka bagaimanapun keadaan yang datang pada kita seperti Umar bin Khattab pernah berkata “Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”. Dari pandemi kita belajar bahwa kehendakNya adalah yang terbaik bagi diri kita seberapapun sulitnya kita menerima karena di balik air mata kita ada hal baik yang mungkin belum secepat kilat dapat kita ambil maknanya. Kesabaran kita diuji dari sebuah kehilangan maupun kekecewaan dan dari keadaan tersebut ke mana diri kita mendatangi dan mengadu.

Pandemi membawa kita pada pemahaman bahwa batas kehidupan dengan kematian begitu tipis. Di masa pandemi ini ada masa di mana untuk memakamkan jenazah begitu memakan waktu yang lama. Tukang gali kubur kepayahan karena begitu banyak jenazah yang dimakamkan. Kematian menjadi pengingat paling dahsyat. Kedatangannya tak disangka-sangka, baru kemarin bercengkerama tetiba menerima kabar kepulangannya. Hari ini terlihat update story WhatsApp, esok hari mendengar kabar pemakamannya. Berita kematian saudara dan kerabat membuat diri tertunduk dan termenung membayangkan kapan waktu kematian datang menjemput dan dalam keadaan apa. Banyak hal di dunia ini yang sudah kita rencanakan beberapa tahun ke depan mulai dari merencanakan pendidikan anak, merencanakan membangun rumah dan banyak hal lainnya tetapi sedikit mempersiapkan kehidupan akhirat setelah kematian.

Semoga diri kita senantiasa diberikan nikmat dalam istiqomah, nikmat dalam beribadah. Waktu yang masih diberikan untuk kita jangan disia-siakan, perbanyak dengan zikir, isi ransel kehidupan dengan bekal kematian. Selamatkan diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka, buatlah diri kita dan keluarga kita sebagai manusia-manusia yang layak untuk ditempatkan di surgaNya. Buatlah diri kita dan keluarga kita tidak silau dengan gemerlapnya dunia namun menghiasi hati dengan tawakal. Semoga ketika Allah memanggil, diri kita betul-betul telah mempersiapkannya, meninggalkan banyak kebermanfaatan, amal jariyah sebagai bekal berpulang untuk bertemu dengan illahi Rabbi.

 

Dicari! Pemimpin yang Takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Oleh Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si—–

Meskipun ada kesamaan konsep kepemimpinan Islam dan teori-teori kepemimpinan modern dalam hal tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, ada perbedaan sekaligus keunggulan konseptual dalam konsep kepemimpinan Islam yang tidak dimiliki teori-teori kepemimpinan modern. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan, kekuasaan adalah tanggung jawab yang disyariatkan untuk merealisasikan dan mencapai serangkaian tujuan agar agama dan ibadah seluruhnya dipersembahkan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan pemimpin yang meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu, memiliki segala penciptaan dan perintah, segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pastilah tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berbuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dan memutuskan hukum sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.

Pemimpin yang mengenal Allah Ta’ala akan tertanam dalam dirinya rasa malu,  pengagungan, pemuliaan, muraqabah (merasa selalu diawasi-Nya), kecintaan, tawakal, taubat, ridha, dan berserah diri kepada-Nya. Pemimpin yang mengenal Allah Ta’ala dan hak penghambaan kepada-Nya seperti demikian akan menyadari sepenuhnya bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab yang berat. Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dua hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُولُ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعمِلُنِي؟ قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِنِي ثُمَّ قَالَ : يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَهَا أَمَانَةُ، وَإِنَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Hai Rasulullah! Tidaklah engkau memperkerjakan aku?’ Ia berkata, ‘Maka beliau menepuk pundakku dengan tanggannya kemudian bersabda, ‘Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya”. (HR Muslim No1825)
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَاْلأَمِيْرُ الَّذِي عَلَى النّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُم، وَالرِّ جُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَغْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang memimpin manusia, ia memimpin mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan ia akan diminta pertangung jawabannya tentang mereka, dan seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya, dia akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka dan seorang budak pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” [HR Bukhari No 2554 dan HR Muslim No 1829).

Pentingnya dimensi ruhaniah kepemimpinan dalam perspektif Islam ini dipertegas oleh keharusan seorang Muslim yang beriman وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ    (QS Al Hasyr: 18), untuk senantiasa  memikirkan akibat baik dan buruk apa yang akan dia dapatkan dari kepemiminannya, serta apa yang mereka dapatkan dari amal perbuatan kepemimpinannya yang bisa membawakan manfaat atau malapetaka baginya di akhirat. Meyakini bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Mahateliti terhadap apa yang dia kerjakan, dimana amalnya tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan tidak akan sia-sia serta diremehkan-Nya. Keyakinan demikian dapat membuatnya semakin semangat beramal saleh dalam amanah kepemimpinannya.

Pemimpin yang senantiasa berpegang teguh kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala, membiasakan amal saleh, mengubah amal-amal buruk dengan kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan melaksanakan yang makruf, tidak akan pernah menjual kebahagiaan akhirat dengan kebahagiaan dunia, dan senantiasa mengingat firman-Nya,

أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَٰحَسْرَتَىٰ عَلَىٰ مَا فَرَّطتُ فِى جَنۢبِ ٱللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ ٱلسَّٰخِرِينَ

‘Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah’ (QS Az-Zumar:56).

Dalam kontek kepemimpinan yang demikian, maka rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla, bukan kepada selain-Nya, merupakan salah satu karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin dan menurut syariat-Nya rasa takut kepada Allah Ta’ala ini memang diperintahkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia Muslim beriman, sebagaimana firman berikut ini

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali Imrân [3]:175)

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit (QS Al-Mâida[5]:44).

Rasa takut yang perlu dimiliki seorang Muslim beriman adalah rasa cemas, gundah, dan khawatir terkena adzab Allâh Azza wa Jalla akibat melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban. Rasa khawatir jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima amalan shalihnya. Perasaan-perasaan takut tersebut akan mencegah seorang Muslim beriman dari hal-hal yang diharamkan dan mendorongnya untuk bergegas melakukan kebaikan.

Ibnu Rajab al-Hambali mengingatkan bahwa tingkatan rasa takut yang wajib dimiliki seorang Muslim berima adalah sejauhmana rasa takut  kepada Allah Azz awa Jalla tersebut mendorong yang bersangkutan melakukan hal-hal yang menjadi keutamaan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan menurut syariat-Nya. Apabila perasaan takutnya kepada Allah Ta’ala mampu membangkitkan dirinya untuk bersemangat mengerjakan nafilah (amalan sunat) dan ketaatan, menjauhi yang makrûh, dan tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah, maka itu semua merupakan rasa takut yang terpuji. Sebaliknya, apabila perasaan takut kepada Allah Ta’ala menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit, mati atau kecemasan permanen yang memutus semua jenis usaha, maka rasa takut kepada Allah Ta’ala yang demikian menjadi rasa takut yang tidak terpuji.
Rasa takut akan membuat seorang pemimpin menahan diri dari perbuatan maksiat terhadap Allah Ta’ala, termasuk dalam urusan kepemimpinan, dan mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakuti dan diseganinya, yaitu Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama” (QS Fathir:28). Seorang pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala memiliki karakteristik untuk disebut sebagai  orang yang cerdas (الْكَيِّس), yaitu orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada Hari Kiamat (HR At-Tirmidzi).

Pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala apabila diingatkan dan diperi peringatan dengan ayat-ayat Allah Azza wa Jalla tersungkur sujud karena terpengaruh dengan perkataan yang paling baik (Al-Quran Al-Karim),menerimanya dengan penuh rasa takut dan gemetar—rasa takut akan adzab Allah  Ta’ala dan rasa harap terhadap rahmat-Nya, rasa takut akan kemurkaan Allah Ta’ala dan rasa harap terhadap keridhaan-Nya, rasa takut akan penghinaan Allah Ta’ala dan rasa harap akan petunjuk dan bimbingan-Nya. Lambungnya jauh dari tempat tidur untuk menyibukan diri di hadapan-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap. Selalu berdebar-debar lantara merasa takut kepada Allah Ta’ala, berharap mendapatkan karunia-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan ketaatan.

Pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala akan meyakini bahwa memikul kewajiban-kewajiban kepemimpinan merupakan salah satu amal ketaatan  terbesar di sisi Allah Ta’ala bagi dirinya demi mengharapkan pahala-Nya dan bermaksud mendekatkan diri kepada-Nya. Menegakan agama-Nya dan menata dunia dengan agama-Nya (menata dengan hukum yang diturunkan Allah Ta’ala dalam segala sendi kehidupan sehingga keadilan tersebarkan dan kezaliman hilang, barisan tersatukan dan perpecahan terhapuskan, bumi termakmurkan dan kekayaan alam termanfaatkan), dilakukan demi mengejarkan apa yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari No 660, HR Muslim No 1031, HR Ahmad No 439)
Merujuk pada tafsir Ibnu Katsir atas orang yang takut akan waktu menghadap Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga” (QS. Ar Rahman: 46), maka lebih logis untuk mengharapkan, memprediksikan pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala untuk lebih mampu untuk menahan hawan nafsunya, tidak melampaui batas, tidak mementingkan urusan dunia, menjalankan kewajiban-kewajiban kepada Allah Ta’ala, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Rasa takut pada Allah, menurut Ibnu Taimiyah, mendorong seseorang pemimpin untuk semakin mengenali Allah. Ma’rifatullah ini membuatnya semakin khosyah (khawatir akan siksa Allah) dan khosyah inilah yang mengantarkan pada ketaatan pada Allah. Jadi orang yang takut pada Allah patut diduga kuat akan selalu menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

sabar Sebagai Penguat Hati

OLeh : Putri Asriyani—

 

Pengertian Sabar

Sabar adalah tindakan menahan diri dari hal-hal yang ingin dilakukan, menahan diri dari emosi, dan bertahan serta tidak mengeluh pada saat sulit atau sedang mengalami musibah. Untuk bisa sabar dibutuhkan kelapangan hati juga ketabahan, kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dilewati untuk bisa berada di jalan Allah. Kualitas diri seseorang akan terbentuk dari seberapa kuatnya seseorang untuk tetap bersabar. Semakin sabar seorang hamba maka akan semakin kuat dalam melewati setiap cobaan. Sabar sendiri maknanya sangat luas, tidak hanya menahan diri dari hal-hal yang tidak sesuai aturan Allah SWT, namun juga menahan diri dari nafsu, menahan diri saat di beri kelapangan maupun tatkala dihadapkan dalam situasi yang sempit.

Ali bin Abi Thalib RA, menjelaskan bahwa “kesabaran dan keimanan sangat berkaitan erat ibarat kepala dan tubuh. Jika kepala manusia sudah tidak ada, maka tubuhnya tidak akan berfungsi. Demikian pula apabila kesabaran hilang maka imanpun akan ikut hilang”.

Sebagaimana di jelaskan dalam surat Ali Imron : 200 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung (QS. Ali Imron:200).

Menurut Ulama Quraish Shihab berdasarkan ayat di atas, hukum bersabar adalah wajib. Setiap hamba yang tertimpa musibah maka wajib bersabar dari awal ujian datang hingga mendapatkan jalan keluarnya. Sabar merupakan tombak utama dalam iman, semakin tinggi kesabaran kita maka semakin tinggi pula iman kita.

Macam-Macam Sabar

Menurut ulama ada tiga macam sabar yang harus kita miliki, berikut penjelasan ke tiga sabar tersebut:

1. Sabar dalam Ketaatan

Menjadi hamba yang taat tentunya membutuhkan kesabaran yang terus-menerus dan diusahakan bertambah dari hari ke hari. Karena sabar sangat dibutuhkan dalam beribadah kepada Allah, didalam menjalankan kewajibannya, sedekahnya dan dalam membina hubungan baik dengan sesama umat.

2. Sabar dalam Menjauhi Maksiat

Menahan diri untuk tidak mendekati atau bahkan tidak melakukan maksiat menjadi rangkaian sabar yang harus kita miliki, ingat selalu bahwa ada Allah SWT selalu mengawasi dalam setiap aktifitas yang kita jalani.

3. Sabar Menerima Takdir Allah

Seringkali kita menyangkal setiap hal yang telah Allah gariskan namun tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Musibah dan ketidaknyamanan hidup sesungguhnya diturunkan Allah untuk menguji kesabaran hambanya. Sejauh mana kita mampu bersabar, menerima dan berusaha kuat menjalani setiap ujian. Maka setelah mampu melewati ujian Allah akan memberikan kabar gembira sebagai hasil dari kesabaran.

Kiat Menjadi Orang Yang Sabar

Dalam buku “Sabar Paling Dalam” karya Fajar Sulaiman diterangkan bahwa sabar merupakan sebuah seni dalam menjalani hidup yang sudah pasti tidak mudah. Dalamnya kesabaran merupakan kekuatan terhebat untuk menghadapi segala rintangan. Berserah diri kepada Tuhan menjadi cara agar beban menjadi ringan dan kaki tetap lincah melangkah menjelajahi hari-hari. Tidak perlu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain karena hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang tidak pandai bersyukur. Padahal syukur adalah salah satu wujud dari sikap sabar, hargai hidup dengan tidak mengukur pencapaian kita dengan pencapaian orang lain. Karena terjalnya jalan dan tanjakan yang dilewati tentulah berbeda.

Semakin sulit jalan yang dilewati maka dibutuhkan kesabaran yang lebih tinggi. Cemooh dan ejekan akan mengiringi, namun sekali lagi sabar merupakan kunci utama untuk memperbaiki keadaan agar mampu membuktikan bahwa kehidupan kita tidak seburuk yang dipikirkan oleh orang lain. Tidak ada ujian datang kecuali untuk menguatkan, terimalah dengan sabar dan ikhlas. Ukuran sukses tidak mampu dinilai dengan materi ataupun pencapaian besar, namun lebih kepada seberapa besar kita menjadi orang yang bermanfaat dan selalu berusaha menjadi lebih baik. Jalani hidup dengan baik tanpa perlu merasa banyak kekurangan. Tidak masalah jika sampai sekarang kita belum mencapai kesuksesan. Suatu saat kita akan sampai pada fase menikmati hasil yang telah diusahakan. Bersyukur atas apa saja yang telah kita raih, dan tetapi bersabar untuk mengusahakan semua hal yang belum terwujud.

Dalam surat Al-Baqarah: 45 yang artinya : : Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, Allah memerintahkan kita untuk meminta pertolongan dan tidak melalaikan shalat.

Shalat menjadi cara terbaik untuk mendatangkan jalan keluar, bersujudlah dan rendahkan diri kita dihadapan Allah. Akuilah bahwa kita hamba yang tidak berdaya terhadap apapun, mintalah petunjuk dan ketenangan. Kemudian terimalah bahwa musibah maupun masalah datang sebagai pengingat akan kelalaian kita kepada Allah. Seringkali sebagai hamba Allah kita merasa tinggi hati karena merasa mampu mencari solusi sendiri dan lupa untuk melibatkan Allah. Setelah ketenangan diraih, maka pikiran akan menjadi jernih dan bersabarlah untuk sampai kepada jalan keluar dari setiap masalah.

Syekh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Adapun salat maka akan menjadi penolong dalam setiap urusan dunia maupun agama, sehingga disebutkan dalam sebuah hadis: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengalami sesuatu masalah serius, beliau segera melakukan salat” (HR. Abu Daud, hasan).

Ada beberapa kiat yang bisa dilakukan agar kita tetap bersabar dalam berbagai keadaan:

1. Niat Karena Allah

Segala sesuatu yang diniatkan karena Allah maka akan mendapatkan ridha-Nya, dengan harapan akan diberi kemudahan, kelancaran dan tentunya kesabaran.

2. Mendekatkan Diri Kepada Allah

Mendekatkan diri kepada Allah bisa dengan membaca Al-Qur’an ataupun dengan sering berdzikir. Memahami Al-Qur’an mampu membuat kita lebih mengerti bahwa apa yang terjadi dikehidupan kita adalah atas kehendak Allah, sehingga bisa lebih menerima dan bersabar atas segala yang kita peroleh dan harus dijalani. Sedangkan dengan berdzikir hati akan menjadi lebih tenang, pikiran lebih fokus dan bisa membuat keputusan ataupun mencari solusi dengan tepat.

3. Mengambil Hikmah

Banyak hikmah tersembunyi dari setiap yang kita alami, maka disarankan untuk tidak mengeluh. Tetap ber-husnudzon kepada Allah, tetap meyakini bisa melewati segalanya dengan ijin Allah, berharap iman kita bertambah dan akan diganti dengan yang jauh lebih baik.

Segala sesuatu tentu diharapkan bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan, namun sebagai hamba yang terkait satu sama lain tidak akan mungkin kita hidup tanpa hambatan. Tidak ada hal yang tidak mungkin diraih dengan kesabaran, selama apapun waktu yang dibutuhkan untuk meraih sesuatu tetap jalani dan usahakan. Tidak ada kesuksesan yang tergapai tanpa usaha yang panjang dan persiapan yang teratur.

Kehidupan yang dijalani dengan kesabaran maka akan mendapatkan hasil yang baik, menjadi penguat hati yang utama. Dengan sabar kita bisa menjadi hamba yang tangguh dan selalu dalam bimbingan Allah. Dengan sabar kita bisa menjadi hamba yang berhasil. Maka bersabarlah, karena sabar menempati kedudukan tertinggi dalam iman. Semoga dengan sabar kita termasuk dalam hamba yang mulia dalam pandangan Allah SWT. Amiin….

Ini Hidupku, Bukan Hidupmu

Oleh: Dian Febriany Putri ——- 

Telah menjadi suatu kelaziman dan menjadi hal yang tidak terlepaskan bahwasanya penggunaan teknologi baik fisik maupun non-fisik, seperti gawai dan internet, telah melekat dalam aktivitas kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang hal yang kita genggam sebelum tidur dan hal yang kita gapai saat bangun tidur adalah gawai tersebut yang berbentuk handphone atau telepon genggam. Benda yang dahulu kita kenal dan manfaatkan sebagai media komunikasi secara verbal dan tekstual, saat ini telah semakin berkembang memenuhi kebutuhan untuk dapat berkomunikasi dengan menampilkan visual. Begitu banyak perkembangan yang terjadi dengan adanya gawai dan internet ini yang mana hampir memfasilitasi aspek-aspek kebutuhan maupun aktivitas manusia, antara lain di bidang pendidikan, ekonomi/finansial, hiburan, dan tentu masih banyak lainnya. Penggunaan teknologi inipun tidak terbatas pada kalangan atau usia tertentu. Baik orang tua, orang dewasa, lebih-lebih remaja, bahkan anak-anak sudah sangat fasih betul dengan penggunaan gawai ini sendiri. Read more

Berusaha Sekuat Tenaga, Berserah pada Yang Maha Kuasa

Oleh: Fenty Puspitasari——

Malam itu Christopher Columbus diundang pada sebuah perjamuan akbar di kerajaan Spanyol. Ia akan menerima penghargaan karena telah menemukan dunia baru, yang kelak masyhur disebut Benua Amerika. Columbus tahu bahwa banyak orang meremehkan kerja kerasnya. “Tinggal berlayar saja terus ke barat. Ah semua orang juga bisa melakukannya,” demikian suara-suara mencemoohnya. Columbus lantas maju, ditantangnya semua yang ada di ruang tersebut untuk memberdirikan telur rebus di atas meja. Orang-orang menggelengkan kepala, menganggap tak mungkin telur yang ujungnya lonjong tersebut bisa berdiri. Read more

Adab Bertetangga

Oleh: Banatul Murtafi’ah——-

Beberapa bulan lalu sempat viral video seorang ibu-ibu yang mencibir tetangganya dengan mengatakan bahwa tetangganya tersebut nganggur tapi uangnya banyak. Nampaknya si ibu dalam video tersebut sama sekali belum bertabayyun dengan tetangganya dan hanya berasumsi. Namun parahnya, asumsi itu dia sebar-sebarkan ke orang lain. Pada akhirnya diketahui bahwa Bu Wati, sosok dalam video tersebut, mengunggah video permintaan maaf atas ucapannya setelah dikecam netizen dari berbagai penjuru media sosial. Setahun sebelum video Bu Wati ini viral, ada sosok Bu Tejo yang juga sempat viral sebab mencibir Bu Lurah dan keluarganya, tetangganya sendiri, yang bahkan dikisahkan sedang sakit. Bedanya, Bu Tejo ini tokoh fiktif dalam sebuah film pendek. Sosok Bu Wati dan Bu Tejo agaknya cukup familiar untuk ditemui dalam masyarakat kita. Jika Anda kebetulan tidak memiliki tetangga seperti Bu Wati atau Bu Tejo, maka bersyukurlah banyak-banyak. Yang kebetulan memiliki tetangga mirip sosok tersebut, mari bersabar banyak-banyak. Read more

Berbakti pada Orangtua

Oleh : Widodo Hesti Purwantoro—

 

Ribuan kilo…, jalan yang kau tempuh…

Lewati rintang, demi aku anakmu…

Ibuku sayang, masih terus berjalan

Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah

Seperti udara, kasih yang engkau berikan

Tak mampu ku membalas… Ibuuu…. Ibuuu

Ingin ku dekap dan menangis di pangkuanmu.. Read more

Understanding Politics in Our Daily Lives: An Islamic Perspective

By : Hasbi Aswar (Lecturer of International Relations)—

­For some people, politics belongs to the elite or educated people, which is not suitable for the public who are thinking merely about fulfilling their lives. This assumption is not accurate. Politics is not something far from our lives instead it is an integral part. Simply put, politics is the art of exercising power or government or a strategy to regulate society through policies made.

From the Islamic point of view, politics cannot be understood as limited to government affairs but is the art of regulating life individually, family, society, and state. This concept is based on the prophet’s explanation through his hadith narrated by imam Bukhari & Muslims. From ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu: Read more

HINDARI HUSTLE CULTURE : PENTINGNYA TAWAZUN DALAM BEKERJA

OLeh : Annisaa Miranty Nurendra, S.Psi., M.Psi.—

Akhir-akhir ini di kalangan generasi milenial muncul fenomena hustle culture. Hustle culture dapat didefinisikan sebagai budaya gila kerja atau workaholic. Orang yang terjebak dalam hustle culture merasa bahwa dirinya harus bekerja keras demi mencapai kesuksesan. Mereka menganggap satu-satunya jalan untuk mencapai keberhasilan hanya dengan bekerja secara terus menerus. Hustle culture juga tampak melalui adanya kebiasaan yang menganggap bahwa bekerja lebih penting diatas segalanya.

Ciri-ciri hustle culture dapat dilihat dari individu maupun dari budaya yang ada di tempat kerja. Menurut beberapa sumber, ciri dari individu yang menganut hustle culture dan terjebak menjadi workaholic memiliki ciri sebagai berikut: selalu memikirkan kerja dan tidak punya waktu santai, merasa bersalah ketika beristirahat dari bekerja, memiliki target yang tidak realistis, sering mengalami burnout atau kelelahan dalam bekerja, serta tidak puas dengan hasil kerja. Ciri lain dari hustle culture adalah anggapan bahwa bekerja lembur sebagai hal yang normal, begitu juga dengan persepsi bekerja secara rutin di akhir pekan sebagai hal biasa serta merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja. Padahal, dari tinjauan manajemen kerja, seorang pekerja mestinya memiliki waktu istirahat yang cukup. Pemerintah pun sebetulnya sudah mengatur bahwa jam kerja normal maksimal adalah 40 jam per pekan.

Dampak dari adanya hustle culture ini cukup berbahaya bagi kesehatan mental dan juga kesehatan fisik. Terjadinya fatigue atau keletihan yang ekstrim adalah dampak yang umum terjadi karena adanya workaholisme dalam bekerja. Banyak studi menunjukkan workaholisme berkaitan dengan penyakit jantung, serta sakit pada leher dan punggung. Pada beberapa  kondisi yang lebih buruk, kelelahan tersebut dapat menyebabkan kematian, bahkan pada usia yang relatif muda. Telah banyak pula riset yang menunjukkan bahwa workaholisme menimbulkan depresi, kecemasan, insomnia, dan banyak gangguan terhadap kesehatan mental.

Bekerja, tentu saja merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat secara finansial, psikologis dan sosial. Dengan bekerja, seorang individu mampu mengaktualisasikan potensi dirinya, memperoleh pendapatan untuk menikmati kehidupan yang sehat dan layak, serta mendapatkan status sosial yang baik dalam masyarakat. Meski demikian, dari tinjauan kesehatan, bekerja tidak boleh berlebihan karena dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Dalam bidang psikologi juga telah lama disampaikan pentingnya menjaga keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan personal. Menurut penelitian, ketika seorang individu terlalu banyak bekerja, produktivitas yang dicapai justru malah lebih rendah dan justru akan merusak bidang kehidupan lainnya.  Sebaliknya ketika individu mampu mengelola waktu yang seimbang untuk bekerja dan untuk melakukan kegiatan lainnya maka produktivitasnya akan makin meningkat.

Beberapa manfaat lain dari memiliki keseimbangan kehidupan kerja adalah individu akan lebih sehat, baik secara fisik maupun secara mental. Seiring dengan baiknya tingkat kesehatan, maka individu juga akan memiliki performa kerja yang baik. Individu yang memiliki keseimbangan kehidupan kerja juga cenderung memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap kehidupan kerjanya maupun terhadap bidang kehidupan lainnya, misalnya kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan sebagainya.

Pentingnya memiliki keseimbangan kehidupan kerja ini juga berlaku bagi seorang muslim. Kewajiban muslim selain bekerja adalah juga beribadah, selain melakukan aktivitas personal lain untuk mendukung kehidupannya. Islam tentunya juga memiliki solusi agar keseharian seorang muslim dapat seimbang.

Prinsip Bekerja dalam Islam

Sebagai agama yang paripurna, Islam juga memiliki pandangan tersendiri mengenai aktivitas bekerja. Dalam Islam, bekerja adalah sebuah kegiatan yang mulia, yang memiliki nilai ibadah dan juga jihad, sebagaimana dalam ayat-ayat berikut ini :

 “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum”ah : 10).

“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15).

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzzammil: 20).

Islam sangat menganjurkan seorang muslim bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Bahkan, karena sifat wajb dari aktivitas kerja, bekerja juga dapat menggugurkan dosa. Beberapa hadist tentang keutamaan bekerja antara lain :

 ‘Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut.” (HR. Imam Tabrani).

“Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bekerja dan terampil. Siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka ia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).

Islam juga mengajarkan bahwa bekerja tidak boleh serampangan. Ada beberapa etika kerja yang perlu diperhatikan, misalnya pentingnya menjaga kualitas hasil kerja dan mengedepankan profesionalitas.  Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan.” (HR Thabrani).

 Pekerjaan juga dapat dianggap sebagai sebuah amanah. Dalam konteks ini, seorang muslim perlu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sebuah amanah sampai tuntas. Ketika pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik, sama artinya dengan tidak amanah dan memiliki sikap khianat.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (QS Al Anfal : 27)

Tawazun sebagai Solusi

Walaupun seorang muslim harus menampilkan kinerja terbaiknya, bersungguh-sungguh, dan amanah, akan tetapi Islam juga mengajarkan mengenai pentingnya keseimbangan. Seorang muslim boleh saja bekerja keras, akan tetapi waktu bekerja tersebut juga harus seimbang dengan waktu untuk beribadah. Dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa bekerja penting untuk mencapai kebahagiaan di dunia, namun demikian seorang muslm juga tidak boleh melupakan upaya untuk mencapai kebahagiaan di akhirat sebagaimana dalam ayat berikut :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al Qashas : 77).

Lebih luas lagi, tawazun juga berarti memiliki pengaturan waktu yang seimbang dan memperhatikan berbagai aspek dalam kehidupan. Ini karena tawazun tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembagian waktu yang baik, seperti alokasi waktu untuk bekerja, alokasi untuk beribadah, alokasi waktu untuk istirahat, dan sebagainya. Pengelolaan waktu yang baik juga merupakan hal yang didorong dalam Islam, sebagaimana hadist berikut ini:

“Gunakan yang lima sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa lapangmu sebelum masa sibukmu dan masa hidupmu sebelum masa matimu,” (HR Al-Hakim).

Lantas, bagaiamana cara mengaplikasikan sikap tawazun? Yang pertama, sebagaimana yang sudah disampaikan diatas, meskipun bekerja itu adalah suatu hal yang penting, tetapi seorang muslim perlu memiliki mindset pentingnya menjaga keseimbangan dalam kehidupan dan tidak berlebih-lebihan dalam bekerja. Hal ini dapat dibangun dengan cara memahami bahwa terlalu berlebihan dalam bekerja sesungguhnya malah akan membawa kerugian dibandingkan dengan kebermanfaatan. Selain itu, perlu diingat juga, bahwa jika ingin aktivitas kerja mendatangkan keberkahan dan mengharapkan ridha Allah, maka jangan sampai aktivitas kerja tersebut justru menyebabkan kelelahan dan sakit secara fisik dan mental, atau justru mengakibatkan konflik dengan keluarga.

Yang kedua, mengelola waktu. Pengelolaan waktu yang perlu dipikirkan seorang muslim, selain waktu untuk bekerja, untuk keluarga, untuk rekreasional, juga perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk beribadah. Pentingnya memiliki waktu untuk beribadah selain berkaitan dengan kewajiban sebagai muslim, adalah berkaitan dengan prinsip keseimbangan itu sendiri. Seorang muslim tidak mungkin berharap aktivitas kerjanya mendatangkan berkah dan ridha dari Allah jika ia melupakan waktu untuk beribadah. Selain itu, memiliki waktu beribadah akan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Pekerja yang memiliki religiusitas dan kehidupan spiritual yang baik, menurut penelitian akan memiliki kehidupan kerja yang lebih memuaskan. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki sikap kerja yang lebih positif. Mereka biasanya lebih termotivasi dalam bekerja karena bekerja tidak semata-mata demi aktualisasi diri atau mengharapkan gaji, tetapi juga menganggap bekerja adalah bagian dari habluminannas. Orang-orang dengan religiusitas yang tinggi cenderung lebih mudah dalam bekerjasama dan membantu rekan kerjanya, mereka juga berkomitmen dalam penyelesaian tugas-tugas mereka sendiri.

Yang ketiga, konsisten dalam pengelolaan waktu. Jika sudah tiba waktu istirahat, gunakan waktu untuk istirahat. Jika sudah tiba waktu ibadah, gunakan waktu untuk ibadah. Banyak orang yang mungkin tidak menyadari jika waktu ibadah di sela waktu luang jam kerja, justru memiliki banyak manfaat. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Simon Webley pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ketika karyawan memiliki kesempatan untuk beribadah di tempat kerja, stres kerja menurun, dan kesejahteraan psikologis mereka meningkat. Karyawan yang dapat menyalurkan kebutuhan spiritualnya juga memiliki sikap kerja yang lebih ramah kepada pelanggan. Menariknya, hal ini tidak hanya berlaku untuk agama Islam saja, tetapi juga agama lain. Sampai-sampai dalam penelitian tersebut disarankan bahwa menyediakan fasilitas untuk beribadah bagi karyawan di tempat kerja adalah bagian dari praktik baik etika kerja.

Kesimpulan

Hustle culture, alih-alih meningkatkan produktivitas, justru malah akan menimbulkan berbagai problem kesehatan fisik dan mental bagi individu. Islam telah memberi arahan bahwa dalam menjalankan kehidupannya, seorang muslim tidak boleh sampai terjebak pada gaya hidup workaholic. Meskipun seorang muslim diperintahkan untuk bekerja dengan itqan,  professional dan menjaga amanah, prinsip tawazun atau keseimbangan harus penting diperhatikan. Tawazun dalam kehidupan kerja dan ibadah juga telah dinyatakan berkali-kali dalam beberapa ayat dan hadist. Cara mewujudkan sikap tawazun adalah dengan memiliki pengelolaan waktu yang baik dalam bekerja maupun dalam beribadah. Dengan memiliki sikap tawazun, seorang muslim akan lebih sehat secara fisik dan mental, lebih produktif, serta lebih puas dengan kehidupannya, dan tentu saja setiap aktivitas yang dilakukan akan lebih berkah dan tidak melupakan aktivitas bekerja dan beribadah untuk mendapatkan ridha Allah. Insya Allah.