Renungan Sebelum Berpulang

Oleh:  Diana Rahma Qadari—–

“Di dunia ini berisi ketidakpastian, satu hal yang pasti hanya satu yaitu kematian. Segala sesuatu yang kita rencanakan hari ini belum tentu terwujud esok, karena bisa jadi kematian lebih dulu datangnya dan tanpa aba-aba.”

Kalimat di atas membuat saya kembali merenungkan sejauh apa diri ini menyiapkan bekal untuk sebuah kematian? Waktu yang sudah dihabiskan apakah sudah diisi dengan hal-hal manfaat? Ataukah justru rutinitas duniawi mengambil porsi besar dalam diri sehingga menjalankan ibadah wajibpun seolah diburu waktu, menjadi asal selesai saja dan terlalu singkat. Sedekah yang kita keluarkan hanya sebatas ingin mendapat pengakuan dari orang lain, dinilai baik dan sholeh di mata manusia. Waktu yang digunakan lebih banyak membicarakan orang lain, mengumbar kekurangan orang lain seakan lupa bahwa apapun yang ada di dunia ini pasti Allah dengar, tercatat dan terhitung tanpa terlewatkan sedikitpun.

Ketika menjalankan urusan pekerjaan kita menjalankan tugas dengan segala cara untuk mendapatkan hasil terbaik. Fokus, serius, berusaha minim kesalahan sampai-sampai menunda makan dan istirahat hingga target selesai dengan hasil baik seperti yang diinginkan. Bukankah seharusnya begitu juga sikap kita terhadap urusan akhirat? Serius ketika sedang melaksanakan ibadah, menunda urusan-urusan lain hingga akhir sholat, pikiran dan hati kita fokus kepada Allah semata. Tetapi tak jarang terjadi, ketika dalam sholat justru teringat akan urusan lainnya. Tak terasa kondisi tersebut terus berulang hingga kenikmatan dalam ibadah hilang dalam diri kita.

Kematian memang menjadi nasehat terbaik untuk manusia, adapun beberapa ayat dalam Al Quran dan hadis tentang kematian sebagai berikut:

  1. QS Ali Imran: 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.”

Banyak kesenangan di dunia ini yang bisa kita dapatkan, banyak kemudahan yang dunia tawarkan. Teknologi berkembang pesat, banyak informasi yang sangat mudah kita dapatkan dan tentu saja hiburan yang mudah kita akses dan ada dalam genggaman. Kita begitu mudah mengenalkan gawai pada anak kita tapi sedikit mengajarkan ayat-ayat Al Quran bahkan seringkali kita menenangkan anak kita dengan gawai. Di balik semua kemudahan yang kita dapatkan, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kita. Mengakses gawai untuk waktu yang lama, kemudahan mengakses hiburan di tangan kita sangat memungkinkan untuk membuat diri kita lalai dan parahnya kesenangan tersebut membuat diri kita mampu menunda sholat. Kemudahan-kemudahan yang ada di dunia ini seharusnya menjadikan diri kita semakin keras berupaya untuk memfilter dan membentengi diri kita dan keluarga dari sesuatu yang akan membawa diri kita pada sebuah penyesalan dan tentu saja dari hal yang merugikan.

  1. HR Ibn Abi al-Dunya

“Ingatlah pada kematian. Demi yang jiwaku dalam genggamannya, seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Ketika melewati makam sesekali kita perlu membayangkan diri yang semula bebas bergerak dan beraktifitas kemudian tubuh terbujur kaku dan berakhir di bawah tanah, tidak ada hari-hari bertegur sapa dengan keluarga maupun tetangga dan tentu saja tidak ada yang membuat kita kembali ke dunia. Mengingat kematian membuat diri ini menimbang, mengukur kembali amal apa yang nantinya akan menjauhkan dari siksa kubur dan berakhir kekal di surga-Nya. Mengingat kematian bukan sesuatu yang harus buru-buru dienyahkan dan bukan hal yang harus dihentikan atau disikapi dengan ketakutan namun seharusnya membuat diri kita melakukan banyak tindakan atau persiapan yang tidak ada hentinya. Jika husnul khatimah yang kita idam-idamkan, seharusnya kita juga mempersiapkan diri untuk mengantarkan jiwa dan raga menujunya. Keberhasilan orang hidup adalah mampu mengantarkan jiwa dan raganya untuk sesuatu yang kekal baginya yaitu setelah kematiannya serta mengetahui ke mana akhir dari perjalanan hidupnya.

  1. HR Ibnu Majah

Dari Ibnu Umar bahwa dia berkata: “Saya bersama dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertanya; “Ya Rasulullah, bagaimanakah mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.”

Semakin sering kita mengingat kematian, semakin sering pula usaha kita mempersiapkannya. Bertaubat, sholat khusyu’, menjaga diri dan lisan kita kepada orang lain, menjalin hubungan baik dengan saudara seiman. Hubungan yang baik membawa ketenangan dalam diri kita dan membuat diri kita optimis menjalani hidup ini dan semakin berjuang untuk mendapatkan ridho-Nya. Lingkaran yang baik adalah lingkaran di mana diri kita bisa saling mengingatkan kebaikan tanpa saling menyakiti. Tidak tersinggung apabila diri kita diingatkan ketika melakukan kesalahan, memperkaya diri kita dengan ilmu agama sebagai bekal berpulang nanti. Bersaudara, bersahabat dengan lingkaran yang baik adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, saling menjaga dari sesuatu yang akan membawa pada kemurkaan Allah. Di dunia ini banyak hal yang bisa kita cari dan bisa kita nikmati namun kenikmatan yang didapatkan tidak boleh membuat kita terlena hingga sedikit mempersiapkan mati sedangkan kematian pasti datangnya.

Waktu kita di dunia ini tidaklah lama, benar akan sebuah istilah bahwa hidup sekedar singgah untuk minum. Tidak terasa hitungan satu tahun cepat sekali berlalu dan waktu yang dijalani semakin mendekat dengan hari pertanggungjawaban.  Semakin banyak berita kematian yang kita dengar di tengah kondisi pandemi. Dalam kondisi pandemi, menjadi kesempatan bagi kita untuk banyak bermuhasabah, melakukan kegiatan amal seperti membantu meringankan kesulitan tetangga ataupun saudara yang terkena musibah. Pandemi yang dihadirkan oleh Allah di dunia ini seharusnya membuat diri mengenal arti tawakal bukan malah menyalahkan pandemi yang membuat banyak rencana yang kita buat tidak dapat terealisasikan. Pesta pernikahan yang diharapkan tidak dapat diselenggarakan kemudian menggerutu menyalahkan pandemi. Kehilangan pekerjaan dan peta rencana kehidupan berantakan karena pandemi. Tetapi apakah memang benar bahwa penundaan, kehilangan adalah buruk bagi kita? Bukankah kita diminta untuk berbaik sangka bagaimanapun keadaan yang datang pada kita seperti Umar bin Khattab pernah berkata “Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”. Dari pandemi kita belajar bahwa kehendakNya adalah yang terbaik bagi diri kita seberapapun sulitnya kita menerima karena di balik air mata kita ada hal baik yang mungkin belum secepat kilat dapat kita ambil maknanya. Kesabaran kita diuji dari sebuah kehilangan maupun kekecewaan dan dari keadaan tersebut ke mana diri kita mendatangi dan mengadu.

Pandemi membawa kita pada pemahaman bahwa batas kehidupan dengan kematian begitu tipis. Di masa pandemi ini ada masa di mana untuk memakamkan jenazah begitu memakan waktu yang lama. Tukang gali kubur kepayahan karena begitu banyak jenazah yang dimakamkan. Kematian menjadi pengingat paling dahsyat. Kedatangannya tak disangka-sangka, baru kemarin bercengkerama tetiba menerima kabar kepulangannya. Hari ini terlihat update story WhatsApp, esok hari mendengar kabar pemakamannya. Berita kematian saudara dan kerabat membuat diri tertunduk dan termenung membayangkan kapan waktu kematian datang menjemput dan dalam keadaan apa. Banyak hal di dunia ini yang sudah kita rencanakan beberapa tahun ke depan mulai dari merencanakan pendidikan anak, merencanakan membangun rumah dan banyak hal lainnya tetapi sedikit mempersiapkan kehidupan akhirat setelah kematian.

Semoga diri kita senantiasa diberikan nikmat dalam istiqomah, nikmat dalam beribadah. Waktu yang masih diberikan untuk kita jangan disia-siakan, perbanyak dengan zikir, isi ransel kehidupan dengan bekal kematian. Selamatkan diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka, buatlah diri kita dan keluarga kita sebagai manusia-manusia yang layak untuk ditempatkan di surgaNya. Buatlah diri kita dan keluarga kita tidak silau dengan gemerlapnya dunia namun menghiasi hati dengan tawakal. Semoga ketika Allah memanggil, diri kita betul-betul telah mempersiapkannya, meninggalkan banyak kebermanfaatan, amal jariyah sebagai bekal berpulang untuk bertemu dengan illahi Rabbi.