Dicari! Pemimpin yang Takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Oleh Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si—–

Meskipun ada kesamaan konsep kepemimpinan Islam dan teori-teori kepemimpinan modern dalam hal tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, ada perbedaan sekaligus keunggulan konseptual dalam konsep kepemimpinan Islam yang tidak dimiliki teori-teori kepemimpinan modern. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan, kekuasaan adalah tanggung jawab yang disyariatkan untuk merealisasikan dan mencapai serangkaian tujuan agar agama dan ibadah seluruhnya dipersembahkan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan pemimpin yang meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu, memiliki segala penciptaan dan perintah, segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pastilah tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berbuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dan memutuskan hukum sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.

Pemimpin yang mengenal Allah Ta’ala akan tertanam dalam dirinya rasa malu,  pengagungan, pemuliaan, muraqabah (merasa selalu diawasi-Nya), kecintaan, tawakal, taubat, ridha, dan berserah diri kepada-Nya. Pemimpin yang mengenal Allah Ta’ala dan hak penghambaan kepada-Nya seperti demikian akan menyadari sepenuhnya bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab yang berat. Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dua hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُولُ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعمِلُنِي؟ قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِنِي ثُمَّ قَالَ : يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَهَا أَمَانَةُ، وَإِنَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Hai Rasulullah! Tidaklah engkau memperkerjakan aku?’ Ia berkata, ‘Maka beliau menepuk pundakku dengan tanggannya kemudian bersabda, ‘Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya”. (HR Muslim No1825)
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَاْلأَمِيْرُ الَّذِي عَلَى النّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُم، وَالرِّ جُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَغْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang memimpin manusia, ia memimpin mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan ia akan diminta pertangung jawabannya tentang mereka, dan seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya, dia akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka dan seorang budak pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” [HR Bukhari No 2554 dan HR Muslim No 1829).

Pentingnya dimensi ruhaniah kepemimpinan dalam perspektif Islam ini dipertegas oleh keharusan seorang Muslim yang beriman وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ    (QS Al Hasyr: 18), untuk senantiasa  memikirkan akibat baik dan buruk apa yang akan dia dapatkan dari kepemiminannya, serta apa yang mereka dapatkan dari amal perbuatan kepemimpinannya yang bisa membawakan manfaat atau malapetaka baginya di akhirat. Meyakini bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Mahateliti terhadap apa yang dia kerjakan, dimana amalnya tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan tidak akan sia-sia serta diremehkan-Nya. Keyakinan demikian dapat membuatnya semakin semangat beramal saleh dalam amanah kepemimpinannya.

Pemimpin yang senantiasa berpegang teguh kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala, membiasakan amal saleh, mengubah amal-amal buruk dengan kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan melaksanakan yang makruf, tidak akan pernah menjual kebahagiaan akhirat dengan kebahagiaan dunia, dan senantiasa mengingat firman-Nya,

أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَٰحَسْرَتَىٰ عَلَىٰ مَا فَرَّطتُ فِى جَنۢبِ ٱللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ ٱلسَّٰخِرِينَ

‘Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah’ (QS Az-Zumar:56).

Dalam kontek kepemimpinan yang demikian, maka rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla, bukan kepada selain-Nya, merupakan salah satu karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin dan menurut syariat-Nya rasa takut kepada Allah Ta’ala ini memang diperintahkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia Muslim beriman, sebagaimana firman berikut ini

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali Imrân [3]:175)

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit (QS Al-Mâida[5]:44).

Rasa takut yang perlu dimiliki seorang Muslim beriman adalah rasa cemas, gundah, dan khawatir terkena adzab Allâh Azza wa Jalla akibat melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban. Rasa khawatir jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima amalan shalihnya. Perasaan-perasaan takut tersebut akan mencegah seorang Muslim beriman dari hal-hal yang diharamkan dan mendorongnya untuk bergegas melakukan kebaikan.

Ibnu Rajab al-Hambali mengingatkan bahwa tingkatan rasa takut yang wajib dimiliki seorang Muslim berima adalah sejauhmana rasa takut  kepada Allah Azz awa Jalla tersebut mendorong yang bersangkutan melakukan hal-hal yang menjadi keutamaan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan menurut syariat-Nya. Apabila perasaan takutnya kepada Allah Ta’ala mampu membangkitkan dirinya untuk bersemangat mengerjakan nafilah (amalan sunat) dan ketaatan, menjauhi yang makrûh, dan tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah, maka itu semua merupakan rasa takut yang terpuji. Sebaliknya, apabila perasaan takut kepada Allah Ta’ala menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit, mati atau kecemasan permanen yang memutus semua jenis usaha, maka rasa takut kepada Allah Ta’ala yang demikian menjadi rasa takut yang tidak terpuji.
Rasa takut akan membuat seorang pemimpin menahan diri dari perbuatan maksiat terhadap Allah Ta’ala, termasuk dalam urusan kepemimpinan, dan mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakuti dan diseganinya, yaitu Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama” (QS Fathir:28). Seorang pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala memiliki karakteristik untuk disebut sebagai  orang yang cerdas (الْكَيِّس), yaitu orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada Hari Kiamat (HR At-Tirmidzi).

Pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala apabila diingatkan dan diperi peringatan dengan ayat-ayat Allah Azza wa Jalla tersungkur sujud karena terpengaruh dengan perkataan yang paling baik (Al-Quran Al-Karim),menerimanya dengan penuh rasa takut dan gemetar—rasa takut akan adzab Allah  Ta’ala dan rasa harap terhadap rahmat-Nya, rasa takut akan kemurkaan Allah Ta’ala dan rasa harap terhadap keridhaan-Nya, rasa takut akan penghinaan Allah Ta’ala dan rasa harap akan petunjuk dan bimbingan-Nya. Lambungnya jauh dari tempat tidur untuk menyibukan diri di hadapan-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap. Selalu berdebar-debar lantara merasa takut kepada Allah Ta’ala, berharap mendapatkan karunia-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan ketaatan.

Pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala akan meyakini bahwa memikul kewajiban-kewajiban kepemimpinan merupakan salah satu amal ketaatan  terbesar di sisi Allah Ta’ala bagi dirinya demi mengharapkan pahala-Nya dan bermaksud mendekatkan diri kepada-Nya. Menegakan agama-Nya dan menata dunia dengan agama-Nya (menata dengan hukum yang diturunkan Allah Ta’ala dalam segala sendi kehidupan sehingga keadilan tersebarkan dan kezaliman hilang, barisan tersatukan dan perpecahan terhapuskan, bumi termakmurkan dan kekayaan alam termanfaatkan), dilakukan demi mengejarkan apa yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari No 660, HR Muslim No 1031, HR Ahmad No 439)
Merujuk pada tafsir Ibnu Katsir atas orang yang takut akan waktu menghadap Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga” (QS. Ar Rahman: 46), maka lebih logis untuk mengharapkan, memprediksikan pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala untuk lebih mampu untuk menahan hawan nafsunya, tidak melampaui batas, tidak mementingkan urusan dunia, menjalankan kewajiban-kewajiban kepada Allah Ta’ala, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Rasa takut pada Allah, menurut Ibnu Taimiyah, mendorong seseorang pemimpin untuk semakin mengenali Allah. Ma’rifatullah ini membuatnya semakin khosyah (khawatir akan siksa Allah) dan khosyah inilah yang mengantarkan pada ketaatan pada Allah. Jadi orang yang takut pada Allah patut diduga kuat akan selalu menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.