Kegiatan Prodi Psikologi

Mengapa Seorang Muslim Perlu Kaya?

Oleh: Muhammad Yopa Velda Putra—–

Walaupun saat ini umat Islam menjadi penganut agama mayoritas nomor dua di dunia saat ini, namun umat islam adalah salah satu yang paling banyak dirundung masalah, seperti masalah kemiskinan. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa mayoritas umat Islam hidup di negara miskin atau berkembang dengan pendapatan menengah ke bawah, sedangkan sisanya umat islam yang hidup di negara kaya, mereka mendapatkan kekayaan dari sumber daya alam yang melimpah sebagai contoh minyak bumi dan gas alam. Namun seandainya sumber daya tersebut sudah habis maka pertanyaanya bagaimana kesejahteraan umat muslim yang tinggal di negara tersebut? Di negara kita yaitu Indonesia yang disebut sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia namun justru kekuatan ekonomi kita masih bergantung dengan orang non muslim. Di zaman Rasulullah SAW, meskipun beliau hidup sederhana namun beliau adalah termasuk pemimpin imperium terbesar saat itu,  dan memiliki kekayaan yang luar biasa karena beliau pandai berdagang. Selain itu 10 sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga, sembilan diantaranya adalah orang yang luar biasa kaya yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Bukan sebuah kebetulan pula dalam Al-Qur’an terdapat ayat paling panjang yang menjelaskan tentang perekonomian (Al-Baqarah 282). Read more

BERJEJARING DALAM DUNIA KERJA DI MASA PANDEMI COVID-19

OLeh: Nur Pratiwi Noviati, S.Psi, M.Psi.——–

“Duh, gara-gara pandemi semua kolegaku jadi susah dihubungi”

“PPKM membuat banyak pekerjaan dan karirku terhambat”

Ungkapan ini mungkin menjadi semakin sering kita dengar ketika kita mengalami masa pandemi COVID-19. Hal ini menunjukkan bahwa membangun hubungan dengan pihak lain dalam dunia kerja menjadi penting. Bekerja dalam membangun karir sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai kompetensi dan kualitas diri seseorang saja. Namun lebih dari itu, bagaimana seseorang dapat membangun jejaring (networking) sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang yang ada di lingkungannya. Membangun jejaring memiliki nilai yang penting bagi manusia modern saat ini. Kompleksitas yang dihadapi dalam kehidupan saat ini baik dalam ruang lingkup sehari-hari maupun dalam dunia kerja memaksa kita untuk selalu berhubungan dengan pihak lain. Read more

FPSB UII Gelar Pelatihan Pengembangan Kepemimpinan

Selama 2 (dua) hari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia menggelar pelatihan pengembangan kepemimpinan secara luring bagi mahasiswa FPSB UII (khususnya para penerima beasiswa FPSB UII), Sabtu-Ahad, 26-27 Maret 2022. Read more

Mappro Gelar Sumpah Profesi Psikolog ke-55

Program Studi Magister Psikologi Profesi (MAPPRO) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar prosesi pengambilan sumpah profesi psikolog secara daring, Sabtu, 26 Maret 2022. Ada 8 lulusan Program Studi MAPPRO yang diambil sumpahnya pada pengambilan sumpah periode ke-55 ini, yakni Anggita Nadya Yulanda, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Dita Amalia Rahmawati, S.Psi., M.Si., Psikolog, Husna Astria Aritonang, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Nikki Khoirunnisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Nurin Baroroh, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Amellia Rozza Destyani, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Indy Cita Aisyah, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan Khairul Fadhilah Mahfuzatillah, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Read more

Ramadhan: Momentum Kembali pada Tuhan

Ramadhan sebagai momentun menormalisasi kehidupan. Ramadhan juga momentum untuk mengejar ketertinggalan spiritual. Allah menyediakan banyak kesempatan untuk mengejar ketertinggalan spiritual melalui keberkahan, rahmat dan ampunan di Bulan Ramadhan. Seyogyanya kita bisa bersama-sama untuk seoptimal mungkin serius dalam beribadah di Bulan Ramadhan mendatang. Ramadhan sebagai momentum untuk kembali kepada Tuhan. Read more

PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI FPSB UII TAHUN 2022

Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (PILMAPRES) atau yang dulu dikenal sebagai Anugerah Prestasi Mahasiswa (APM) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) merupakan agenda rutin yang diselenggarakan setiap tahun dan dilaksanakan dalam rangka Milad FPSB UII. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk apresiasi FPSB UII terhadap prestasi mahasiswa FPSB UII.

Pada tahun 2022 ini, FPSB UII kembali menyelenggarakan kegiatan PILMAPRES dalam rangka Milad FPSB UII ke-27. Untuk informasi lengkap PILMAPRES FPSB UII dapat di DOWNLOAD DISINI  atau klik gambar di atas.

FENOMENA MUALAF DAN PERILAKU KELUAR ZONA NYAMAN: Sebuah Autokritik

Oleh : Dr. Faraz, MM——

Berkembangnya teknologi media sosial di Indonesia telah menguak banyak fakta luar biasa tentang fenomena mualaf (orang yang mendapat hidayah dan mengucapkan 2 kalimah syahadat). Bagaimana kisah atau perjalanan mereka masuk Islam, seringkali sangat sederhana tetapi tidak jarang penuh perjuangan. Carissa Grani, seorang dokter gigi yang bekerja di Pemprov DKI, sering memperhatikan teman-temannya yang muslimah, memakai cadar, tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan sering berwudlu termasuk membersihkan hidung. Carissa berpikir bahwa perilaku teman-temannya itu ternyata sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia di dunia saat mengahadapi pandemi Covid-19. Carissa kemudian menyimpulkan, “Inilah agama yang benar, karena sesuai dengan ilmu pengetahuan”. Atas dasar itu Carissa masuk Islam. Mudah sekali.

Bagi Koh Asen, warga Tionghoa di Jakarta Barat, masuk Islam baginya sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Dia sebenarnya terbuka dengan banyak agama, seperti Kongucu, Budha, dan Kristen, tetapi untuk Islam nanti dulu, tidak terpikir sama sekali, karena “Melihat tulisan Arab aja udah bikin pusing, “ katanya. Cara beribadah orang Islam, menurut Asen,  berbeda dengan agama lain yang mempunyai objek untuk disembah. “Orang Islam menyembah apa, gak jelas, “lanjut Asen. Namun, apa yang terjadi kemudian, pada usia menginjak dewasa, Koh Asen mengalami perasaaan panas pada tubuhnya yang luar biasa. Hal ini dialami setiap musim kemarau. Pada saat musim hujan, rasa panas itu hilang. Pada suatu musim panas, ia merasa tidak kuat lagi. Ia pun keluar rumah di sore-sore, ia mau cari hiburan nonton film bioskop. Sebelum menonton, Asen iseng melihat lihat dagangan buku yang digelar di pinggir jalan, di depan bioskop itu. Niatnya ingin membeli buku TTS (Teka Teki Silang), tetapi Asen melihat ada judul buku yang mengusik pikirannya, berjudul Seputar Alam Gaib. Menariknya ketika Asen membuka buku itu, ada tulisan Arab, tentang ayat minta hujan,  dan disitu ada anjuran, “Siapa yang menuliskan ayat ini pada batu hitam dan meletakkannya kemudian di bawah pohon kering akan mendatangkan hujan”. Kalimat itu langsung direspon Asen, dalam hatinya, ”Wah ini mah bohong, ngibul”. Asik melihat-lihat buku, Asen lupa bioskop sudah dibuka, ia bergegas dan meminta pedagang untuk membungkus buku TTS. Anehnya, ketika keluar dari bioskop, Asen terkejut karena buku yang dibungkus tadi bukan TTS tetapi Seputar Alam Gaib. Siapa yang menyangka, melalui buku itu, Koh Asen bisa masuk Islam, meskipun prosesnya tidak mudah, butuh tiga kali praktek minta hujan sesuai yang diperintahkan dalam buku. Percobaan pertama, Asen terkejut karena permintaannya tidak lama kemudian dikabulkan, hujan turun lebat. Namun, Asen menganggap itu cuma kebetulan. Empat hari kemudian ketika merasa panas lagi, Asen mencoba yang kedua, dan hasilnya sama. Asen mulai percaya tetapi belum yakin. Pada prosesi ketiga, Asen tidak bisa berbicara lagi, kecuali menangis, karena ia merasa sudah berdosa tidak percaya sejak awal pada Tuhan (Allah).

Imam Ibnu al-Qayim Al-Jauziyyah, salah satu murid terpenting Ibnu Taimiyyah, membagi hidayah dalam empat hal: (1). Hidayah umum ini diberikan Allah pada seluruh makhlukNya, sesuai Q.S. Thaha ayat 50 artinya; Musa berkata; Rabb kami ialah rabb yang telah memberikan kepada makhluk setiap makhluk bentuk kejadiannya dan ia juga memberinya petunjuk”. (2). Hidayah bayan, berupa penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Fushshilat ayat 17, artinya “Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mareka (jalan kebenaran) tetapi mareka tidak mau mengikuti petunjuk. (3). Hidayah taufik, merupakan suatu ilham dan kelapangan dada untuk menerima petunjuk Allah. Inilah hidayah (sempurna), sesuai Q.S. Faathir ayat 8, artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya. (4). Puncak dari suatu hidayah yaitu hidayah syurga. Allah berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 43 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke surga) kalau Allah tidak menunjukkan kami.

Kasus mualaf di Indonesia, seperti Carissa atau Koh Asen, menurut ketua Mualaf Center Indonesia (MCI), Koh Steven,  jumlahnya sekarang sudah puluhan ribu orang. Namun, fokus tulisan ini bukan bagaimana mereka menjadi Mualaf, tetapi yang jauh lebih menarik adalah bagaimana para mualaf yang baru saja beberapa tahun beragama Islam tetapi sudah mempunyai kontribusi yang sangat signifikan bagi syiar Islam, jauh melebihi orang  yang sudah Islam sejak lahir.

Sebut saja Felix Siauw, Ia masuk Islam 2002, tetapi penguasaan Al-Quran dan Hadits-nya luar biasa dibandingkan kita yang belajar Islam sejak lahir. Irena Handono, mantan biarawati, masuk Islam usia 26 tahun. Saat ini berprofesi ustadzah dan berdakwah ke berbagai kota di Indonesia. Terakhir, Yusuf Ismail, keturunan Tionghoa, penginjil di gereja, ayahnya pendeta, Ia masuk Islam 1994, kini kondang sebagai Kyai, memiliki pondok pesantren Al Hadid, di Karangmojo, Gunungkidul, DIY. Pertanyaannya, mengapa mereka jauh lebih cepat dalam belajar Islam? Mengapa mereka terlihat begitu mudah untuk istiqomah berprofesi sebagai pendakwah? Dibandingkan kita yang tetap asik dengan posisi duniawi sebagai pejabat di pemerintahan, di dunia ekonomi, di dunia politik maupun di dunia pendidikan seperti menjadi dosen.

Banyak dalil baik dari Al-Qurán maupun hadits yang menegaskan bahwa seorang mualaf, orang yang mengucapkan syahadat, akan dihapus semua dosanya yang dilakukan sebelumnya. “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…” (QS. Al-Anfaal: 38). Banyak hadits shohih, riwayat Bukhari dan Muslim juga memberikan penjelasan yang sama, bahwa siapa saja yang bersyahadat, memeluk agama Islam, maka akan dihapuskan dosa-dosa masa silamnya, dan seperti dilahirkan kembali, suci tanpa dosa.

Apakah karena dosa-dosanya dihapus sehingga para mualaf itu mudah istiqomah dalam berdakwah atau berjuang untuk Islam? Jawabannya bisa “Ya”  bisa “Tidak”, karena tidak semua mualaf menjadi dai atau ustad, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang berani memutuskan keluar dari zona nyamannya. Hampir semua mualaf siap dimusuhi keluarganya, kelompoknya, dan siap kehilangan harta atau siap miskin. Koh Asen, bekerja di perusahaan orangtuanya, posisinya sebagai manajer, karena orangtuanya tidak senang ia masuk Islam, maka beliau digaji dengan standar gaji pegawai yang paling rendah di perusahaan itu. Yusuf Ismail dari keluarga yang berkecukupan, karena ayahnya seorang pendeta senior, langkahnya memeluk Islam telah membuat keluarganya kehilangan penghasilan dan jatuh miskin, tidak hanya tidak punya rumah, tetapi untuk makan sehari-hari saja sulit. Ia terpaksa memutuskan tidak kuliah, tetapi tetap istiqomah.

Salah satu sosok mualaf yang juga perlu dicatat disini yakni Koh Steven, ketua MCI itu. Posisi sebelumnya, adalah pendeta di gereja terkenal di Jakarta. Ia alumnus Perguruan Kristen (S2) di Universitas Leiden, Belanda. Ketika memutuskan masuk Islam, ia mundur dari gereja. Oleh orangtuanya ia diusir. Ia pun menjadi gelandangan di Jakarta, tidur tidak jelas, di emper toko atau di emper masjid. Ia hijrah ke Cilegon jadi kuli panggul dan pekerjaan serabutan lainnya. Dengan modal bahasa Inggris, ia akhirnya bekerja sebagai office boy sebuah perusahaan asing. Dari sini ia bisa menabung dan dibantu atasannya untuk pergi umroh. Pulang umroh ia bergerak cepat mendirikan Mualaf Center Indonesia. Melalui MCI, Koh Asen berhasil memfasilitasi orang masuk Islam sebanyak   58 ribu lebih. Ketika ia sudah maju, bekerja di lembaga riset dunia di Singapore, dan mempunyai bisnis kedai kopi di beberapa tempat,  Allah mengujinya kembali.   Pada awal tahun 2020, dunia dihantui ketakutan virus covid-19. Steven  berpikir dampak negatif yang mungkin akan menimpah Indonesia ketika pandemik covid-19 merebak. Ia pun pulang ke Indonesia, menjual semua hartanya, dua rumah, tujuh mobil dan tiga motor gede, untuk membeli dan membuat masker serta beberapa peralatan medis yang dibutuhkan. Semua peralatan medis itu termasuk APD ia sumbangkan ke semua petugas kesehatan yang membutuhkan termasuk ke Yayasan-yayasan Kristen dan Budha yang menangani pasien covid-19. Dia sendiri kemudian mengontrak rumah di Yogyakarta bersama tim bisnis dan dakwahnya, sementara istrinya tinggal di Bandung bersama mertuanya. Mengapa dia mampu melakukan itu, banyak orang menilainya, “gila”, terbius agama dan sebagainya, tetapi Koh Steven sendiri punya argumentasi sederhana, menurutnya, harta yang dimiliki adalah titipan Tuhan, cepat atau lambat akan kembali ke pemiliknya, karena bencana atau faktor lain. “Daripada kembali ke Allah karena dipaksa, lebih baik saya sedekahkan saja” tegasnya. Menariknya, ketika banyak usaha berguguran karena pandemi, usaha Kedai Kopi Koh Steven, malah bertambah 19 outlet.

Bagaimana dengan kita, kita bukan orang awam, kita warga terpelajar, bahkan dari kita berprofesi sebagai dosen, bergelar doktor bahkan profesor. Kita mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam, yang mendorong untuk melakukan karya-karya yang mengintegrasikan Barat dan Islam. Pertayaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Seberapa besar tenaga dan pikiran yang kita sudah habiskan untuk  Islam? Apakah kita sudah puas berjuang untuk Islam dengan standar minimalis? Apakah kita masih berat meninggalkan profesi yang lebih banyak menciptakan kenikmatan dunia? Apakah bekal kita sudah cukup untuk dibawa ke kampung akhirat?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini, mari kita simak model lain, yakni dokter Zakir Naik, pendakwah kondang tingkat dunia. Ia merupakan alumnus terbaik dari fakultas kedokteran di kota kelahirannya Mumbay, India. Meski lulus dengan nilai terbaik, ia tidak melanjutkan profesinya sebagai dokter. Jiwanya bergetar dan menangis ketika Ahmad Deedat, gurunya,  menyampaikan firman Allah  Q.S. Al-Asr: 1-3. “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Surat ini hampir setiap hari kita baca, tetapi mengapa tidak memunculkan hidayah Allah? Sebaliknya, bagi Zakir Naik sangat cukup untuk meninggalkan profesi paling terhormat di kota Mumbay, menuju belajar menjadi pendakwah, dengan segala konsekwensi, tidak ada pemasukkan finansial, sebaliknya mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga untuk membaca dan berguru pada banyak ahli agama atau ulama.

Keluar dari zona nyaman mungkin mudah kita pikirkan, tetapi mengapa sulit untuk dipraktikkan. Persoalan klasik yang tidak kita disadari, bahwa jiwa yang kita anggap lebih penting dari pikiran dan tubuh, realitanya terbalik. Jujur, kita lebih mengutamakan tubuh dibandingkan jiwa. Perilaku kita untuk membesarkan jiwa, seperti ibadah terutama sedekah, umumnya sedikit sekali dibandingkan kegiatan untuk tubuh dan pikiran. Padahal, menurut Imam Al-Ghazali bahwa  jiwa itu habitat kebaikkan, bila habitat itu kecil dan sempit, maka kebaikkan sulit dapat bertahan lama pada diri kita. Mungkin ini penyebabnya, mengapa kebaikkan tidak menjadi kebiasaan kita. Banyak kebaikkan dunia maupun akhirat yang kita tahu kebenarannya, tetapi sulit atau berat kita praktikkan. Ini juga mungkin yang menyebabkan kita sulit keluar dari zona nyaman, dari profesi yang lebih besar dunianya dibandingkan akhiratnya. Bila kita kembali kepada kriteria hidayah Ibnu Qayyim, mungkin kita baru berada pada level 2 (bayan), berupa seruan untuk berdakwah. Diantara kita sudah banyak yang berdakwah, tetapi banyak juga yang belum punya waktu untuk itu. Sampai di sini, penulis ragu, apakah kita benar-benar sudah mendapatkan hidayah taufik dari Allah (level 3), sebuah tingkatan yang harus dilalui sebelum mendapatkan hidayah tertinggi yakni surga. Fenomena keluar dari zona nyaman ala mualaf mungkin sedikit banyak akan mengusik hati dan pikiran kita untuk mencoba, semoga.

Renungan Sebelum Berpulang

Oleh:  Diana Rahma Qadari—–

“Di dunia ini berisi ketidakpastian, satu hal yang pasti hanya satu yaitu kematian. Segala sesuatu yang kita rencanakan hari ini belum tentu terwujud esok, karena bisa jadi kematian lebih dulu datangnya dan tanpa aba-aba.”

Kalimat di atas membuat saya kembali merenungkan sejauh apa diri ini menyiapkan bekal untuk sebuah kematian? Waktu yang sudah dihabiskan apakah sudah diisi dengan hal-hal manfaat? Ataukah justru rutinitas duniawi mengambil porsi besar dalam diri sehingga menjalankan ibadah wajibpun seolah diburu waktu, menjadi asal selesai saja dan terlalu singkat. Sedekah yang kita keluarkan hanya sebatas ingin mendapat pengakuan dari orang lain, dinilai baik dan sholeh di mata manusia. Waktu yang digunakan lebih banyak membicarakan orang lain, mengumbar kekurangan orang lain seakan lupa bahwa apapun yang ada di dunia ini pasti Allah dengar, tercatat dan terhitung tanpa terlewatkan sedikitpun.

Ketika menjalankan urusan pekerjaan kita menjalankan tugas dengan segala cara untuk mendapatkan hasil terbaik. Fokus, serius, berusaha minim kesalahan sampai-sampai menunda makan dan istirahat hingga target selesai dengan hasil baik seperti yang diinginkan. Bukankah seharusnya begitu juga sikap kita terhadap urusan akhirat? Serius ketika sedang melaksanakan ibadah, menunda urusan-urusan lain hingga akhir sholat, pikiran dan hati kita fokus kepada Allah semata. Tetapi tak jarang terjadi, ketika dalam sholat justru teringat akan urusan lainnya. Tak terasa kondisi tersebut terus berulang hingga kenikmatan dalam ibadah hilang dalam diri kita.

Kematian memang menjadi nasehat terbaik untuk manusia, adapun beberapa ayat dalam Al Quran dan hadis tentang kematian sebagai berikut:

  1. QS Ali Imran: 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.”

Banyak kesenangan di dunia ini yang bisa kita dapatkan, banyak kemudahan yang dunia tawarkan. Teknologi berkembang pesat, banyak informasi yang sangat mudah kita dapatkan dan tentu saja hiburan yang mudah kita akses dan ada dalam genggaman. Kita begitu mudah mengenalkan gawai pada anak kita tapi sedikit mengajarkan ayat-ayat Al Quran bahkan seringkali kita menenangkan anak kita dengan gawai. Di balik semua kemudahan yang kita dapatkan, sangat mungkin menjadi bumerang bagi kita. Mengakses gawai untuk waktu yang lama, kemudahan mengakses hiburan di tangan kita sangat memungkinkan untuk membuat diri kita lalai dan parahnya kesenangan tersebut membuat diri kita mampu menunda sholat. Kemudahan-kemudahan yang ada di dunia ini seharusnya menjadikan diri kita semakin keras berupaya untuk memfilter dan membentengi diri kita dan keluarga dari sesuatu yang akan membawa diri kita pada sebuah penyesalan dan tentu saja dari hal yang merugikan.

  1. HR Ibn Abi al-Dunya

“Ingatlah pada kematian. Demi yang jiwaku dalam genggamannya, seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Ketika melewati makam sesekali kita perlu membayangkan diri yang semula bebas bergerak dan beraktifitas kemudian tubuh terbujur kaku dan berakhir di bawah tanah, tidak ada hari-hari bertegur sapa dengan keluarga maupun tetangga dan tentu saja tidak ada yang membuat kita kembali ke dunia. Mengingat kematian membuat diri ini menimbang, mengukur kembali amal apa yang nantinya akan menjauhkan dari siksa kubur dan berakhir kekal di surga-Nya. Mengingat kematian bukan sesuatu yang harus buru-buru dienyahkan dan bukan hal yang harus dihentikan atau disikapi dengan ketakutan namun seharusnya membuat diri kita melakukan banyak tindakan atau persiapan yang tidak ada hentinya. Jika husnul khatimah yang kita idam-idamkan, seharusnya kita juga mempersiapkan diri untuk mengantarkan jiwa dan raga menujunya. Keberhasilan orang hidup adalah mampu mengantarkan jiwa dan raganya untuk sesuatu yang kekal baginya yaitu setelah kematiannya serta mengetahui ke mana akhir dari perjalanan hidupnya.

  1. HR Ibnu Majah

Dari Ibnu Umar bahwa dia berkata: “Saya bersama dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertanya; “Ya Rasulullah, bagaimanakah mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.”

Semakin sering kita mengingat kematian, semakin sering pula usaha kita mempersiapkannya. Bertaubat, sholat khusyu’, menjaga diri dan lisan kita kepada orang lain, menjalin hubungan baik dengan saudara seiman. Hubungan yang baik membawa ketenangan dalam diri kita dan membuat diri kita optimis menjalani hidup ini dan semakin berjuang untuk mendapatkan ridho-Nya. Lingkaran yang baik adalah lingkaran di mana diri kita bisa saling mengingatkan kebaikan tanpa saling menyakiti. Tidak tersinggung apabila diri kita diingatkan ketika melakukan kesalahan, memperkaya diri kita dengan ilmu agama sebagai bekal berpulang nanti. Bersaudara, bersahabat dengan lingkaran yang baik adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, saling menjaga dari sesuatu yang akan membawa pada kemurkaan Allah. Di dunia ini banyak hal yang bisa kita cari dan bisa kita nikmati namun kenikmatan yang didapatkan tidak boleh membuat kita terlena hingga sedikit mempersiapkan mati sedangkan kematian pasti datangnya.

Waktu kita di dunia ini tidaklah lama, benar akan sebuah istilah bahwa hidup sekedar singgah untuk minum. Tidak terasa hitungan satu tahun cepat sekali berlalu dan waktu yang dijalani semakin mendekat dengan hari pertanggungjawaban.  Semakin banyak berita kematian yang kita dengar di tengah kondisi pandemi. Dalam kondisi pandemi, menjadi kesempatan bagi kita untuk banyak bermuhasabah, melakukan kegiatan amal seperti membantu meringankan kesulitan tetangga ataupun saudara yang terkena musibah. Pandemi yang dihadirkan oleh Allah di dunia ini seharusnya membuat diri mengenal arti tawakal bukan malah menyalahkan pandemi yang membuat banyak rencana yang kita buat tidak dapat terealisasikan. Pesta pernikahan yang diharapkan tidak dapat diselenggarakan kemudian menggerutu menyalahkan pandemi. Kehilangan pekerjaan dan peta rencana kehidupan berantakan karena pandemi. Tetapi apakah memang benar bahwa penundaan, kehilangan adalah buruk bagi kita? Bukankah kita diminta untuk berbaik sangka bagaimanapun keadaan yang datang pada kita seperti Umar bin Khattab pernah berkata “Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”. Dari pandemi kita belajar bahwa kehendakNya adalah yang terbaik bagi diri kita seberapapun sulitnya kita menerima karena di balik air mata kita ada hal baik yang mungkin belum secepat kilat dapat kita ambil maknanya. Kesabaran kita diuji dari sebuah kehilangan maupun kekecewaan dan dari keadaan tersebut ke mana diri kita mendatangi dan mengadu.

Pandemi membawa kita pada pemahaman bahwa batas kehidupan dengan kematian begitu tipis. Di masa pandemi ini ada masa di mana untuk memakamkan jenazah begitu memakan waktu yang lama. Tukang gali kubur kepayahan karena begitu banyak jenazah yang dimakamkan. Kematian menjadi pengingat paling dahsyat. Kedatangannya tak disangka-sangka, baru kemarin bercengkerama tetiba menerima kabar kepulangannya. Hari ini terlihat update story WhatsApp, esok hari mendengar kabar pemakamannya. Berita kematian saudara dan kerabat membuat diri tertunduk dan termenung membayangkan kapan waktu kematian datang menjemput dan dalam keadaan apa. Banyak hal di dunia ini yang sudah kita rencanakan beberapa tahun ke depan mulai dari merencanakan pendidikan anak, merencanakan membangun rumah dan banyak hal lainnya tetapi sedikit mempersiapkan kehidupan akhirat setelah kematian.

Semoga diri kita senantiasa diberikan nikmat dalam istiqomah, nikmat dalam beribadah. Waktu yang masih diberikan untuk kita jangan disia-siakan, perbanyak dengan zikir, isi ransel kehidupan dengan bekal kematian. Selamatkan diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka, buatlah diri kita dan keluarga kita sebagai manusia-manusia yang layak untuk ditempatkan di surgaNya. Buatlah diri kita dan keluarga kita tidak silau dengan gemerlapnya dunia namun menghiasi hati dengan tawakal. Semoga ketika Allah memanggil, diri kita betul-betul telah mempersiapkannya, meninggalkan banyak kebermanfaatan, amal jariyah sebagai bekal berpulang untuk bertemu dengan illahi Rabbi.

 

Dicari! Pemimpin yang Takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Oleh Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si—–

Meskipun ada kesamaan konsep kepemimpinan Islam dan teori-teori kepemimpinan modern dalam hal tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, ada perbedaan sekaligus keunggulan konseptual dalam konsep kepemimpinan Islam yang tidak dimiliki teori-teori kepemimpinan modern. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan, kekuasaan adalah tanggung jawab yang disyariatkan untuk merealisasikan dan mencapai serangkaian tujuan agar agama dan ibadah seluruhnya dipersembahkan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dibutuhkan pemimpin yang meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu, memiliki segala penciptaan dan perintah, segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pastilah tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berbuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dan memutuskan hukum sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.

Pemimpin yang mengenal Allah Ta’ala akan tertanam dalam dirinya rasa malu,  pengagungan, pemuliaan, muraqabah (merasa selalu diawasi-Nya), kecintaan, tawakal, taubat, ridha, dan berserah diri kepada-Nya. Pemimpin yang mengenal Allah Ta’ala dan hak penghambaan kepada-Nya seperti demikian akan menyadari sepenuhnya bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab yang berat. Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dua hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُولُ اللَّهِ أَلاَ تَسْتَعمِلُنِي؟ قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِنِي ثُمَّ قَالَ : يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَهَا أَمَانَةُ، وَإِنَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Hai Rasulullah! Tidaklah engkau memperkerjakan aku?’ Ia berkata, ‘Maka beliau menepuk pundakku dengan tanggannya kemudian bersabda, ‘Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya”. (HR Muslim No1825)
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَاْلأَمِيْرُ الَّذِي عَلَى النّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُم، وَالرِّ جُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَغْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang memimpin manusia, ia memimpin mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan ia akan diminta pertangung jawabannya tentang mereka, dan seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya, dia akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka dan seorang budak pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” [HR Bukhari No 2554 dan HR Muslim No 1829).

Pentingnya dimensi ruhaniah kepemimpinan dalam perspektif Islam ini dipertegas oleh keharusan seorang Muslim yang beriman وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ    (QS Al Hasyr: 18), untuk senantiasa  memikirkan akibat baik dan buruk apa yang akan dia dapatkan dari kepemiminannya, serta apa yang mereka dapatkan dari amal perbuatan kepemimpinannya yang bisa membawakan manfaat atau malapetaka baginya di akhirat. Meyakini bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Mahateliti terhadap apa yang dia kerjakan, dimana amalnya tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan tidak akan sia-sia serta diremehkan-Nya. Keyakinan demikian dapat membuatnya semakin semangat beramal saleh dalam amanah kepemimpinannya.

Pemimpin yang senantiasa berpegang teguh kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala, membiasakan amal saleh, mengubah amal-amal buruk dengan kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan melaksanakan yang makruf, tidak akan pernah menjual kebahagiaan akhirat dengan kebahagiaan dunia, dan senantiasa mengingat firman-Nya,

أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَٰحَسْرَتَىٰ عَلَىٰ مَا فَرَّطتُ فِى جَنۢبِ ٱللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ ٱلسَّٰخِرِينَ

‘Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah’ (QS Az-Zumar:56).

Dalam kontek kepemimpinan yang demikian, maka rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla, bukan kepada selain-Nya, merupakan salah satu karakteristik yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin dan menurut syariat-Nya rasa takut kepada Allah Ta’ala ini memang diperintahkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia Muslim beriman, sebagaimana firman berikut ini

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS Ali Imrân [3]:175)

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit (QS Al-Mâida[5]:44).

Rasa takut yang perlu dimiliki seorang Muslim beriman adalah rasa cemas, gundah, dan khawatir terkena adzab Allâh Azza wa Jalla akibat melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban. Rasa khawatir jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima amalan shalihnya. Perasaan-perasaan takut tersebut akan mencegah seorang Muslim beriman dari hal-hal yang diharamkan dan mendorongnya untuk bergegas melakukan kebaikan.

Ibnu Rajab al-Hambali mengingatkan bahwa tingkatan rasa takut yang wajib dimiliki seorang Muslim berima adalah sejauhmana rasa takut  kepada Allah Azz awa Jalla tersebut mendorong yang bersangkutan melakukan hal-hal yang menjadi keutamaan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan menurut syariat-Nya. Apabila perasaan takutnya kepada Allah Ta’ala mampu membangkitkan dirinya untuk bersemangat mengerjakan nafilah (amalan sunat) dan ketaatan, menjauhi yang makrûh, dan tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah, maka itu semua merupakan rasa takut yang terpuji. Sebaliknya, apabila perasaan takut kepada Allah Ta’ala menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit, mati atau kecemasan permanen yang memutus semua jenis usaha, maka rasa takut kepada Allah Ta’ala yang demikian menjadi rasa takut yang tidak terpuji.
Rasa takut akan membuat seorang pemimpin menahan diri dari perbuatan maksiat terhadap Allah Ta’ala, termasuk dalam urusan kepemimpinan, dan mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakuti dan diseganinya, yaitu Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama” (QS Fathir:28). Seorang pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala memiliki karakteristik untuk disebut sebagai  orang yang cerdas (الْكَيِّس), yaitu orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada Hari Kiamat (HR At-Tirmidzi).

Pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala apabila diingatkan dan diperi peringatan dengan ayat-ayat Allah Azza wa Jalla tersungkur sujud karena terpengaruh dengan perkataan yang paling baik (Al-Quran Al-Karim),menerimanya dengan penuh rasa takut dan gemetar—rasa takut akan adzab Allah  Ta’ala dan rasa harap terhadap rahmat-Nya, rasa takut akan kemurkaan Allah Ta’ala dan rasa harap terhadap keridhaan-Nya, rasa takut akan penghinaan Allah Ta’ala dan rasa harap akan petunjuk dan bimbingan-Nya. Lambungnya jauh dari tempat tidur untuk menyibukan diri di hadapan-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap. Selalu berdebar-debar lantara merasa takut kepada Allah Ta’ala, berharap mendapatkan karunia-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan ketaatan.

Pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala akan meyakini bahwa memikul kewajiban-kewajiban kepemimpinan merupakan salah satu amal ketaatan  terbesar di sisi Allah Ta’ala bagi dirinya demi mengharapkan pahala-Nya dan bermaksud mendekatkan diri kepada-Nya. Menegakan agama-Nya dan menata dunia dengan agama-Nya (menata dengan hukum yang diturunkan Allah Ta’ala dalam segala sendi kehidupan sehingga keadilan tersebarkan dan kezaliman hilang, barisan tersatukan dan perpecahan terhapuskan, bumi termakmurkan dan kekayaan alam termanfaatkan), dilakukan demi mengejarkan apa yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari No 660, HR Muslim No 1031, HR Ahmad No 439)
Merujuk pada tafsir Ibnu Katsir atas orang yang takut akan waktu menghadap Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga” (QS. Ar Rahman: 46), maka lebih logis untuk mengharapkan, memprediksikan pemimpin yang takut kepada Allah Ta’ala untuk lebih mampu untuk menahan hawan nafsunya, tidak melampaui batas, tidak mementingkan urusan dunia, menjalankan kewajiban-kewajiban kepada Allah Ta’ala, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Rasa takut pada Allah, menurut Ibnu Taimiyah, mendorong seseorang pemimpin untuk semakin mengenali Allah. Ma’rifatullah ini membuatnya semakin khosyah (khawatir akan siksa Allah) dan khosyah inilah yang mengantarkan pada ketaatan pada Allah. Jadi orang yang takut pada Allah patut diduga kuat akan selalu menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Ini Hidupku, Bukan Hidupmu

Oleh: Dian Febriany Putri ——- 

Telah menjadi suatu kelaziman dan menjadi hal yang tidak terlepaskan bahwasanya penggunaan teknologi baik fisik maupun non-fisik, seperti gawai dan internet, telah melekat dalam aktivitas kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang hal yang kita genggam sebelum tidur dan hal yang kita gapai saat bangun tidur adalah gawai tersebut yang berbentuk handphone atau telepon genggam. Benda yang dahulu kita kenal dan manfaatkan sebagai media komunikasi secara verbal dan tekstual, saat ini telah semakin berkembang memenuhi kebutuhan untuk dapat berkomunikasi dengan menampilkan visual. Begitu banyak perkembangan yang terjadi dengan adanya gawai dan internet ini yang mana hampir memfasilitasi aspek-aspek kebutuhan maupun aktivitas manusia, antara lain di bidang pendidikan, ekonomi/finansial, hiburan, dan tentu masih banyak lainnya. Penggunaan teknologi inipun tidak terbatas pada kalangan atau usia tertentu. Baik orang tua, orang dewasa, lebih-lebih remaja, bahkan anak-anak sudah sangat fasih betul dengan penggunaan gawai ini sendiri. Read more