Mahasiswa UII Pun Perlu Membuka Akses Politik

Image

H. Fuad Nashori, M.Si., Psikolog

Beberapa hari lalu, Sigit Prabowo dan Haffriza Sigit, dua pentolan DPM Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, menginformasikan bahwa akan ada rencana pada lembaga mahasiswa untuk menolak kampanye partai politik dalam bentuk apapun ke kampus.

Terhadap gagasan itu, saya dapat memahaminya, yaitu biar masalah kemahasiswaan di UII tidak tercampuri urusan politik. Agar tidak muncul kelompok-kelompok politik dalam kampus yang dapat memicu ketegangan dan bahkan kekerasan antar klik-klik (clique, kelompok kepentingan yang kecil) dalam kampus. Saya dapat memahami alasan ini. Namun, sebelum gagasan tersebut diteruskan dan direalisasikan, ada baiknya didiskusikan: apakah itu tidak merugikan mahasiswa UII sendiri?

Membuka Akses

Saya percaya bahwa berkenalan dengan politisi-politisi tingkat nasional berguna dan penting bagi civitas akademika UII,. Perkenalan semacam ini akan membuka akses bagi mahasiswa UII khususnya dan civitas academika UII umumnya untuk memahami seluk-beluk politik nasional. Bagi yang memiliki naluri dan bakat politik, ini akan menjadi jalan baginya untuk memupuk naluri dan bakat itu, sehingga berkembang secara optimal. Perkenalan dengan politisi akan membuka jalan bagi mahasiswa dan civitas academika UII umumnya untuk memberi sumbangan bagi bangsa Indonesia pada umumnya, tentu saja dengan terus menghidupkan misi UII yang bertitel rahmatan lil ‘alamin. Saya rasa kedudukan politik yang besar yang pernah diraih oleh civitas academika UII pada 9 tahun pertama millennium tiga  seperti menjadi mentri, ketua mahkamah konstitusi, ketua komisi yudisial, ketua komnas HAM, dan seterusnya dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti bertemu dengan politisi.

Mengapa akses itu perlu kita buka sekarang dan tidak nanti saja kalau sudah tidak jadi mahasiswa? Sebenarnya akses dapat dibuka kapan saja, namun lebih cepat lebih baik. Kalau jalan menuju akses nasional itu kita buka sekarang, mungkin beberapa tahun lagi dampaknya akan dirasakan. Sebaliknya, kalau akses sekarang ditutup, maka boleh jadi tak akan ada lagi peluang itu, lebih-lebih kalau seorang mahasiswa sudah jadi alumni, lalu kembali ke kota kecilnya atau ke kampungnya.

Berbagai Cara

Pembukaan akses politik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dengan mendatangi mereka, mendatangkan mereka ke kampus kita, ataupun terlibat aktivitas bersama mereka di luar area mereka dan area kita. Menerima tamu para politisi, menurut saya, agak pasif sifatnya. Usaha yang lebih besar dan lebih aktif adalah mengundang para politisi itu atau mendatangi mereka. Tentu saja ketika bertemu mereka kita tidak hanya dengan kepala kosong, tapi dengan taktik, strategi dan juga konsep, biar apa yang kita sampaikan didengarkan mereka. Usaha yang lebih aktif adalah mendatangi mereka, tentu dengan segepok konsep yang sudah disiapkan matang-matang.

Beberapa hari lalu, UII melalui Rektor Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, menerima tamu beberapa anggota DPR Pusat yang sedang menggodok undang-undang demokrasi ekonomi. Saya melihat apa yang mereka lakukan sebagai pembukaan dan pengembangan akses politik. Saya dengar gagasan ekonomi yang pro-rakyat disuarakan pakar-pakar ekonomi dan hukum UII seperti pak rektor sendiri, Dr. Jaka Sriyana, Rokhedi, MSc, Drs. Suharto, MSi (ketiganya ekonom), dan Dr. Saifuddin, SH, MH (hukum). Saya senang mendengar diskusi mereka, karena pemikiran-pemikiran positif mereka, walau terus terang saya tak dapat memahami detil pemikiran mereka.

Di masa lalu pembukaan akses yang lebih aktif telah dilakukan putra-putra terbaik UII. Saya mungkin tidak tahu banyak tetapi punya sedikit pengetahuan tentang sepak terjang yang dilakukan oleh guru besar FH UII Prof. Dr. Moh.Mahfud MD, SH, SU. Pada waktu beliau menjadi PR I UII pada pertengahan 1990-an, beliau banyak membuka akses politik ke Senayan. Saya masih ingat beberapa kali beliau memelopori penerbitan buku terbitan UII. Buku kumpulan dari ahli berbagai disiplin ilmu itu dikirimnya langsung ke Jakarta dan bertemu dengan anggota-anggota DPR. Apa yang dilakukan oleh Prof. Mahfud adalah salah satu bentuk pembukaan dan pengembangan akses ke pusat kekuasaan. Anda bisa lihat hasilnya sekarang. Prof. Mahfud sukses berat dengan menjadi seseorang yang pernah menduduki jabatan di eksekutif (mentri pertahanan serta mentri hukum dan perundang-undangan), lembaga legislatif (anggota DPR dan kalau tak salah ketua fraksi), dan yudikatif (anggota dan akhirnya Ketua Mahkamah Konstitusi). Amanat yang jarang sekali dimiliki warga Republik ini.

Berhati-hati

Saya setuju kita harus berhati-hati ketika mendatangkan politisi ke kampus atau lebih-lebih bila kampus ini jadi ajang bebas kampanye. Salah satu kekhawatirannya adalah kampus dijadikan ajang kampanye oleh sesama mahasiswa, lalu ada ketegangan dan bahkan kekerasan di antara mereka. Kalau ini terjadi, pasti tidak positif, dan memalukan!

Oleh karena itu, saya mendukung wacana yang pernah digulirkan WR III UII Ir. Sutarno, MSc. Ada renana UII untuk mengundang para politisi nasional untuk berkampanye di UII. Terbuka kesempatan bagi semua partai untuk masuk ke UII, tapi hanya melalui forum yang diselenggarakan untuk itu. Yang hadir pun harus tokoh nasional, biar manfaatnya besar bagi UII dan civitaas academika UII.

Saya mendukung bila langkah ini dilakukan bersama-sama lembaga mahasiswa, dalam hal ini adalah LEM Universitas Islam Indonesia.

Demikian. Bagaimana menurut Anda, Mas Sigit Prabowo, Mas Haffriza Sigit, dan seluruh pembaca tulisan ini?