Sudahkah kita menjadi pribadi yang Qona’ah?

Willi Ashadi, S.H.I., M.A., 18/04/2024 10:00 WIB

Sudah seyogyanya manusia harus aware dan menyadari bahwa hidupnya di dunia tidak abadi dan bersifat sementara. Dalam Alquran, Allah Swt sudah mengingatkan bahwa semua makhluk pasti akan mengalami kematian. Allah Swt berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ 

Artinya: Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukan ke dalam surga, sungguh ia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. (Q.S. Ali Imran 185) 

Dari ayat tersebut, manusia dapat mengambil hikmah bahwa hidup di dunia tidak abadi dan menyadari bahwa semua yang dimiliki bersifat sementara dan akan diminta pertanggungjawabannya. Allah Swt juga mengingatkan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah untuk beribadah. Allah Swt berfirman:

 وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

 

Artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Q.S. Adzariyat 56)

Selain itu manusia juga harus ingat bahwa kehidupan di dunia hanyalah tipu daya, oleh karena itu sikap dan kebijaksanaan manusia yang harus selalu dijaga konsistensinya adalah sifat dan sikap qanā’ah. Berdasarkan buku monograf yang berjudul Qanā’ah dalam Psikologi Islam (Rusdi, dkk. 2023) dijelaskan bahwa qanā’ah, adalah keadaan psikologis seseorang dalam menerima kondisi di bawah harapan dengan tetap merasa tercukupi yang didasari oleh iman, empat aspek qanā’ah yaitu: konseptualisasi harta (value), ketepatan dalam menentukan standar kebutuhan (fulfilment), kendali syahwat (control), dan penerimaan (acceptance). Dijelaskan lebih lanjut tentang qanā’ah dalam konteks lain (qanā’ah untuk perkara ibadah, akhirat, atau kebaikan), dan korelasi positif dan negatif dari qanā’ah (akhlak mulia yang berhubungan dengan qanā’ah, lawan dari sifat qanā’ah). 

Sikap qanā’ah juga menjadi salah satu bagian terpenting dalam ajaran Islam. Qanā’ah merupakan bagian dari akhlak yang berorientasi menjadikan seseorang merasa cukup dan tidak rakus. Dengan adanya qanā’ah, manusia akan menyelamatkan lingkungannya dan pada tataran yang lebih tinggi nilai qanā’ah dapat memperbaharui peradaban yang berkelanjutan.

Didalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali dituliskan bahwa sikap qanā’ah merupakan kekayaan batin yang tak terhingga nilainya. Seseorang yang memiliki sikap qanā’ah akan lebih kaya dari pada samudra lautan. Hal ini dikarenakan ia bisa mengontrol diri dari kehidupan yang sering berhadapan dengan materialisme. Hal ini kerap menghadirkan rasa tidak puas, saat materi yang dimiliki ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Rasa kekurangan akan materi menjadi hal yang membuat manusia merasa tidak tenang dalam hidupnya. Dalam konsep Islam, qanā’ah menjadi obat penawar akan sikap materialisme yang kuat dalam diri individu.  

Lebih lanjut Imam Ghazali menyebutkan dalam karyanya:

 

فقال له الحكيم: البهتان على البريء أثقل من السموات، والحق أوسع من الأرض، والقلب القانع أغنى من البحر، والحرص والحسد أحر من النار، والحاجة إلى القريب إذا لم تنجح أبرد من الزمهرير، وقلب الكافر أقسى من الحجر، والنمام إذا بان أمره أذل من اليتيم. 

 

“Berkata Hakim kepadanya: kebohongan terhadap makhluk itu lebih berat dari (beratnya) langit, dan suatu kebenaran itu lebih luas daripada bumi, dan hati yang qanā’ah lebih kaya daripada lautan, dan kekikiran & kedengkian lebih panas daripada neraka, dan kebutuhan akan sesuatu yang dekat ketika belum berhasil lebih dingin daripada neraka terdingin dan hati orang kafir lebih keras daripada batu, dan pengadu domba ketika tampak perkara darinya, (ia menjadi) lebih hina dari anak yatim.” 

 

Teks di atas menjelaskan bahwa hati yang qanā’ah lebih kaya daripada lautan, dan kekikiran serta kedengkian lebih panas daripada neraka. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa salah satu indikator qanā’ah adalah merasa bahagia dengan apa yang dimiliki dan menghindari kekikiran atas harta yang dimiliki dan menjauhi kedengkian atas harta yang ada pada orang lain. 

Pada bahasan lain, Imam Ghazali juga menyebutkan dalam karyanya bahwa anak cucu adam yang qanā’ah (merasa cukup), ia menjadi pribadi yang kaya. Adapun dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu indikator yang ada pada sifat qanā’ah adalah dengan merasa cukup, dan keutamaan yang ada pada qanā’ah bukan hanya sekedar tentang harta, kaya atau mis kin. Hal ini sebagaimana yang dicirikan pada kutipan di atas. Barang siapa yang merasa cukup atau qanā’ah, maka dia akan merasa kaya. 

Akhirnya, dari uraian diatas kita bisa mengambil pelajaran bahwa hidup manusia di dunia bersifat sementara. Oleh karena itu, manusia harus belajar menjadi pribadi qona’ah dalam keadaan apapun dan dimanapun manusia itu berada. Semoga Allah Swt menjadikan kita pribadi yang qanā’ah (merasa cukup) dan menghindari kita dari sikap kekikiran & kedengkian dalam jiwa. Wallahu A’lam Bisshowab.