Etika Berkomunikasi dengan Digital Text

Puji Rahayu, S.Pd, MLST., Ph.D, 14/04/2024 10:00 WIB

Girl, hijab, holds cellphone, wear sunglasses, big smile

Oleh: Puji Rahayu –

“Kalau sudah selesai, JANGAN DISIMPAN DULU ya Bu!”  

Saya kaget dan berdebar-debar setelah membaca pesan dari seorang staff lewat WhatsApp.  Dalam kepala saya, staf tersebut sedang berteriak sehingga seketika dada saya terasa ngap. Supaya tidak berlarut-larut, saya segera mengambil langkah sigap. Saya buka lagi pesan di WhatsApp dan bergumam dalam hati: 

“Bukan, Dia bukan sedang berteriak dengan saya; Dia hanya kurang paham tentang arti huruf besar semua dalam pesan WhatsApp.” 

Mungkin anda pernah atau bahkan sering mengalami keadaan semacam ini. Mungkin anda pernah mengira dosen anda sedang marah karena menjawab “oke.” (oke titik). 

Mungkin juga anda pernah merasa berbunga-bunga baper karena teman anda menjawab chat anda dengan emotikon hati dan anda salah paham karenanya. 

Atau, mungkin anda pernah merasa baper karena dosen anda lama tidak membalas pesan anda padahal sudah ada dua centang biru pertanda pesan sudah dibaca. 

Sebenarnya, layakkah kita merasa risau dan kacau sampai mempengaruhi produktifitas kita sehari-hari? Tidak perlu. Rugi kalau kita terpengaruh dan membuat kita tidak produktif. 

Lalu, bagaimana cara untuk menghindari hal tersebut? 

Beritahu lawan bicara kita tentang kesepahaman umum atau etika berkomunikasi dalam pesan teks digital. Mereka mungkin belum paham. Bisa jadi mereka seorang alim/ ulama yang memiliki ilmu dan paham tentang agama. Bisa jadi mereka seorang ahli ekonomi yang menjadi rujukan semua orang di Indonesia. Akan tetapi, mereka mungkin tidak paham tentang aturan-aturan tidak tertulis mengenai komunikasi lewat chat. Supaya komunikasinya enak, kita beritahu saja hal-hal berikut. Bukankah saling menasehati sesama muslim itu sangat dianjurkan? Misalnya dalam Surah Al- Ashr 1-3. 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr, 1-3)

Terlepas dari asbabun nuzul surat ini, memaknainya menasehati sesama muslim saya kira tidak ada salahnya. Pandemi Covid-19 membawa budaya kerja yang baru di hampir semua aspek kehidupan. Komunikasi langsung (face-to-face) digantikan dengan bantuan alat digital. Berkoordinasi pekerjaan dengan menggunakan email atau bahkan WhatsApp, mengirim file dengan menggunakan email atau bahkan WhatsApp. 

Informasi harus benar

Pesan secara digital, ataupun konvensional, harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Begitu juga ketika kita meneruskan pesan dari orang lain. Kita perlu tabayyun tentang kebenaran berita yang akan kita teruskan. Jangan sampai kita menyebarkan berita bohong (hoax) yang bisa jadi efeknya luas tidak hanya pribadi. Pesan hoax telah terbukti membuat gaduh dalam masyarakat bahkan bisa membuat dua kelompok saling serang karena berita hoax. Al-qur’an bahkan sudah memperingtkan hal ini.  

“Ketika kamu sambut berita itu dari lidah ke lidah, kamu katakan dengan mulutmu perkara yang sama sekali tidak kamu ketahui, kamu sangka bahwa cakap-cakap demikian perkara kecil saja. Padahal dia adalah perkara besar pada pandangan Allah” (Q.S An-Nur [24] : 15). 

Informasi disampaikan dengan cara yang beretika

Dalam artikel ini, kita akan lebih fokus pada sifat pesan dan metode pengirimannya, chat pribadi atau dalam group.

Pesan pribadi JANGAN pernah dikirimkan di group. Pesan pribadi yang dikirim ke group bisa membuat ramai sebelum pesannya sendiri dipahami oleh yang bersangkutan. Bisajadi baik orang yang dituju maupun anggota group yang lain merasa terganggu. Anggota group merasa terganggu karena menerima pesan bukan untuk mereka sementara si penerima pesan merasa terganggu karena isi pesan (kalau itu bersifat personal) diketahui oleh orang banyak. Jadi, hindari mengirimkan pesan pribadi ke group. 

Jadi, kapan mengirimkan pesan ke group? Kirimkan pesan ke group kalau informasinya tidak bersifat personal dan penerimanya lebih dari satu anggota group tersebut. Akan lebih bagus lagi kalau memang pesannya untuk orang-orang tertentu karena membutuhkan respon dari orang-orang tertentu, menyebutkan nama dengan cara tagging akan lebih efektif. Misalnya: 

“Mbak Puji Rahayu S.Pd., minta tolong nanti berkoordinasi dengan Mas [email protected] ya tentang rider group band yang akan kita undang di acara HUT prodi. Trimakasih” 

Pesan seperti di atas akan mempermudah pihak-pihak terkait untuk membacanya lebih detail sementara orang lain bisa melewati pesan tersebut. Insya Allah dengan cara seperti ini, komunikasi di group akan lebih efektif. 

Penggunaan huruf kapital, cetak miring, dan cetak tebal

Penggunaan huruf kapital hendaknya mengikuti kaidah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), salah satunya adalah huruf kapital yang digunakan pada awal kalimat. Hati-hati menggunakan huruf kapital ini. Mengapa demikian? 

  1. Salah satu karakter pesan hoax menggunakan huruf kapital semua. Mungkin maksudnya adalah untuk penekanan atau mencari perhatian. Sebagai alternatif, menebalkan kata bisa menjadi pilihan yang tidak 
  2. Tapi, dalam berbagai sumber, penggunaan huruf kapital dalam sebuah komunikasi tulis di media online menandakan nada bicara yang tinggi, berteriak, dan pengucapan kata yang penuh amarah. 
  3. Kata atau kalimat yang ditulis dengan huruf besar semua tidak rapah pengguna, sulit dipindai, dan sulit dibaca. 

Judul yang ditulis dengan huruf kapital semua cenderung sulit dipindai. Jadi, sebaiknya menuliskan judul “Hati-hati menggunakan huruf kapital” bukan HATI-HATI MENGGUNAKAN HURUF KAPITAL. 

Nah, kalau kita mendapatkan pesan yang menggunakan huruf kapital semua, jangan panik. Jangan merasa kita sedang diteriaki atau dimarah-marahi seperti saya. Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan yang bersangkutan karena mungkin dia belum memahami makna dari penggnaan huruf kapital semua ini. 

Penggunaan emotikon untuk berkomunikasi digital 

Kalau anda sedang berkomunikasi WA dengan generasi Gen Z, lahir antara 1997 – 2012,  anda perlu memperhatikan penggunaan emotikon. Kenapa demikian? Bagi Gen Z, pesan komunikasi dengan chat WA lebih rumit lagi. Bagi mereka, bukan hanya huruf kapital yang mereka anggap sebagai ungkapan kemarahan. Pesan lempeng tanpa emotikon atau pesan pendek diakhiri titik sudah bisa membuat mereka kalang kabut merasa lawan bicara (dosen, misalnya) sedang marah sama mereka. 

Misalnya: 

Oke. 

Oke 

Okay

Okay      

Level emosi keempat pesan tersebut berbeda dibenak para Gen-Z. Pesan pertama, diartikan marah karena pesan pendek dan pakai titik. Bisa jadi para Gen-Z keder dan curhat ke teman-temanya seolah-olah ada masalah besar karena dosennya sedang marah kepadanya. Pesan kedua agak marah karena pesan pendek meskipun tidak pakai titik. Pesan ketiga relatif aman karena bahasa tidak baku. Pesan keempat paling ramah untuk Gen-Z dan mungkin saja membuat mereka berbunga-bunga. 

Etika pengiriman pesan digital 

Jadi bagaimana? Masih kesal dengan pesan-pesan yang anda anggap negatif karena penulisan atau tujuan pengirimannya? Tidak perlu begitu. Memberitahu mereka tentang etika-etika menulis pesan teks digital dan efek terhadap penerimanya selain mengurangi kemarahan anda, orang lain menjadi lebih paham. Harapannya, kemudian hari tidak ada lagi pesan yang “penuh amarah” dari orang tersebut pada anda maupun ke orang lain. Yang lebih penting lagi, anda insya Allah sudah mencatatkan pahala karena mengingatkan sesama muslim.