Berbakti Kepada Anak

Oleh : Dwi Pranita——

Berbakti kepada anak.  Kalimat ini sepertinya terdengar aneh di telinga sebagian orang, karena biasanya yang sering kita dengar adalah seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya. Bukan orangtua yang berbakti kepada anaknya. Perlu kita ketahui bahwa seorang anak merupakan titipan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang harus kita jaga. Titipan di sini berarti bahwa anak sebenarnya merupakan pinjaman dari Allah yang dipinjamkan dalam keadaan baik dan tanpa noda maka dari itu harus kembali dalam keadaan yang baik juga. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Dari hadis tersebut, maka dapat diketahui bahwa orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjadikan anaknya baik atau tidak. Jika orangtuanya berhasil mendidik anaknya dengan baik maka akan membawa kebaikan tersendiri pula bagi orangtuanya, namun jika orangtuanya tidak mendidik dengan baik maka akan membawa keburukan sendiri bagi orangtuanya. Read more

Cara Islam Mencegah Kejahatan Jalanan

OLeh : Mira Aliza Rachmawati, S.Psi, M.Psi (Dosen Psikologi FPSB UII)—–

Jogyakarta terkenal sebagai kota pendidikan dan sudah disematkan sejak sebelum kemerdekaan. Dari berbagai sumber didapatkan informasi bahwa alasan kota Jogjakarta sebagai kota pendidikan karena banyaknya pelajar maupun mahasiswa dari luar kota yang sekolah di kota Jogyakarta.  Sayangnya, Jogja juga tidak absen dari perilaku kejahatan sebagian pelajar yang dikenal dengan sebutan klitih.  Apakah kemudian julukan tersebut menjadi memudar akibat perilaku brutal yang dilakukan oleh sebagian pelajar di kota Jogjakarta tersebut? Read more

Menyikapi Kegagalan

Oleh : Latifatul Laili, S.Psi., M.Psi., Psikolog ——

Coba Anda ingat pelan-pelan, kapan terakhir kali Anda mengalami kegagalan? Apa kegagalan terbesar Anda? Sebetulnnya berapa lama dan berapa banyak pelajaran yang kita dapat dari kegagalan tersebut? Kalau kita bandingkan dengan pengalaman berhasil, seberapa banyak kita belajar darinya? Mengapa kita menghabiskan lebih banyak waktu memutar scene demi scene adegan kita gagal dibandingkan momen kesuksesan kita? Bagaimana Allah memberikan kita petunjuk menghadapi kegagalan? Read more

Jebakan “Flexing”, Pamer Ibadah di Media Sosial

Oleh: M Iskandar Tri Gunawan—- 

“Yeay… masak untuk buka puasa sudah selesai, makanan sudah siap disantap!. Alhamdulillah selesai sudah puasa sunnah hari ini, bahagia rasanya bisa buka puasa bersama dengan suami dan anak di rumah, setelah ini lanjut sholat jamaah di rumah dan tadarus Quran menyelesaikan juz 13” Read more

Bersuci Bagi Orang dengan Kondisi Fisik yang Tak Sempurna

Oleh : Ajeng Putri Andani—-

Nama Abu Qilabah tidaklah asing bagi umat Islam, beliau merupakan salah seorang dari ahli ibadah dan ahli zuhud, juga salah satu sahabat Nabi SAW yang paling banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhmmad SAW. Nama asli beliau adalah Abdullah bin Zaid al Jarmi dan berasal dari Bashroh. Abu Qilabah mempunyai kisah hidup yang menakjubkan, beliau adalah sahabat Nabi yang tidak memiliki kaki dan tangan, pendengarannya pun sudah lemah dan penglihatannya sudah rabun (almanhaj.or.id). Read more

MENGELOLA EKSPEKTASI: SIAP MENANG, SIAP KALAH

Oleh: Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A—– 

“Berikan saya ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, dan kebjiaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya”

(Reinhold Nieburh) Read more

Janji Allah bagi Hamba yang Bersedekah

Oleh : Sulasmi, S.Psi.—–

Keluarkan yang ada di sakumu, maka akan datang sesuatu dari arah mana yang tidak kamu duga. Ungkapan ini cukup sederhana namun sejatinya mengandung makna yang cukup mendalam terutama sangat erat berkaitan dengan bersedekah. Bersedekah tidak hanya dalam bentuk harta kekayaan tapi juga berupa ibadah seperti berdzikir, beramal dan perbuatan baik yang lainnya. Read more

MENGHORMATI ILMU DAN AHLI ILMU

Oleh : Hazhira Qudsyi, S.Psi, M.A—- 

“Harta akan sirna dalam waktu dekat, namun ilmu akan abadi tak bisa disirnakan”

(Syaikh Imam Az-Zarnuji)

Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang pintar dan berilmu? Bisa memiliki pengetahuan, bisa tahu tentang banyak hal, bisa memahami apa yang dikatakan oleh orang lain, dan berbagai bentuk pengetahuan dan keterampilan. Sejatinya setiap orang punya keinginan dapat memiliki kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan. Terlebih bagi umat Islam, di mana banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits mengenai keutamaan orang yang memiliki pengetahuan, orang yang berilmu. Salah satu keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al Mujadalah berikut ini:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ – ١١

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah [22]: 11).

Betapa pentingnya menuntut ilmu bagi individu, terutama bagi muslim, sampai-sampai Rasulullah shollahu’alaihi wassalam menegaskan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim” (HR. Ibnu Majah)

Dalam konteks kewajiban menuntut ilmu ini, Syaikh Imam Az-Zarnuji menjelaskan bahwa setiap muslim dan muslimah tidak berkewajiban mempelajari semua ilmu, namun berkewajiban mempelajari ilmu yang dibutuhkan saat itu. Dan ditambahkan pula bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu yang dibutuhkan saat itu, dan sebaik-baik amal adalah menjaga (amal) yang dituntut saat itu (Az-Zarnuji, 2019). Dengan demikian, kita tidak dapat menafikan bahwa belajar dan menuntut ilmu adalah suatu hal yang penting bagi tiap muslim.

Dengan ilmu, hal tersebut menjadi salah satu amalan manusia yang tidak akan terputus sekalipun manusia itu meninggal. Sebagaimana sabda Rasulullah shollahu’alaihi wassalam:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Dan dengan ilmu, sejatinya manusia dapat mencapai apa yang diinginkan di dunia maupun di akhirat, seperti yang disabdakan Rasulullah shollahu’alaihi wassalam:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ

“Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu,” (HR Ahmad).

Dengan banyaknya keutamaan menuntut ilmu (berilmu) yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, menunjukkan bahwa agama Islam memberikan perhatian penuh pada ilmu dan bagaimana muslim seharusnya menuntut ilmu. Seperti yang disampaikan oleh Saihu (2020), bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama lainnya adalah pada penekanannya terhadap ilmu. Dalam Islam, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul dari makhluk-makhluk lain dengan tujuan menjalankan fungsi kekhalifahan. Ditambahkan oleh Saihu (2010), bahwasanya Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shollahu’alaihi wassalam mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan.

Kini kita tahu pentingnya menuntut ilmu. Lantas, apa yang perlu kita lakukan dalam menuntut ilmu? Apakah kemudian sekedar kita hadir ke majelis ilmu dan menyimak apa yang disampaikan oleh guru? Atau ditambah dengan mencatat materi yang dijelaskan guru? Banyak hal yang perlu kita persiapkan dan perhatikan saat kita menuntut ilmu, tidak sekedar kita hadir secara fisik dalam forum ilmu dan mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru. Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam menuntut ilmu adalah adab menuntut ilmu (adab sebelum ilmu).

Syaikh Az-Zarnuji memaparkan, bahwa beliau telah melihat banyak penuntut ilmu pada zaman sekarang yang bersungguh-sungguh, namun tidak sampai kepada ilmu, tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu tersebut, dan tidak dapat mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Beliau menambahkan, bahwa hal tersebut disebabkan karena penuntut ilmu keliru dalam menempuh jalan untuk mencari ilmu dan meninggalkan syarat-syaratnya, di mana siapa yang salah jalan maka akan tersesat dan tidak akan meraih tujuan, entah sedikit maupun banyak. Oleh karena itulah, penting bagi para penuntut ilmu untuk memperhatikan cara dalam menuntut ilmu yang baik, bagaimana pentingnya adab sebelum menuntut ilmu (Az-Zarnuji, 2019).

Az-Zarnuji (2019) menjelaskan, bahwa syarat utama dalam menuntut ilmu diantaranya berkaitan dengan niat, memilih guru, dan menghormati ilmu. Seringkali kita sudah banyak mendengar bagaimana kita seharusnya menghormati orang lain, tetapi bagaimana dengan menghormati ilmu? Bagaimana cara kita dalam menghormati ilmu?

Hakekatnya, ilmu itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, jika kita melakukan segala upaya untuk menghormati ilmu, itu artinya kita telah mengagungkan Dzat yang Maha memiliki ilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Ali Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ – ٧

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 7).

Itulah yang kemudian dikatakan oleh Syaikh Az-Zarnuji bahwa adab yang utama dalam menuntut ilmu adalah takzim terhadap ilmu, memuliakan ilmu, menghormati ilmu. Takzim ini merupakan nilai adab yang tertinggi. Seseorang tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu, dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu, kecuali dia takzim dan hormat kepada ilmu itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah memuliakan dan menghormati para ulama (guru) (Az-Zarnuji, 2019). Rasulullah shollahu’alaihi wassalam bersabda:

تَعَلَّمُوْاوَعَلِّمُوْاوَتَوَاضَعُوْالِمُعَلِّمِيْكُمْ وَلَيَلَوْا لِمُعَلِّمِيْكُمْ

“Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu.” (HR Tabrani)

Jika penulis boleh merujuk pada apa yang pernah disampaikan oleh seorang ustadz dalam suatu kajian, disebutkan bahwa dalam konteks menghormati ilmu ini, ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan dalam menghormati ilmu, yakni (Sholihun, 2020):

  1. Hormat itu lebih baik dari taat.

Orang melakukan penghormatan bukan karena objeknya, namun karena siapa yang memerintahkan. Dalam konteks belajar, siapa atau apa yang perlu kita hormati? Kedudukan ilmu itu sendiri yang perlu kita hormati. Bagaimana dengan guru kita? Harus kita muliakan kedudukannya sebagai guru, ustadz kedudukannya sebagai ustadz, ulama kedudukannya sebagai ulama. Kedudukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan kita, maka apapun perintah-Nya, apapun larangan-Nya, maka akan kita hormati. Bagian dari penghormatan itu adalah ketaatan. Tetapi jika taat belum tentu hormat.

  1. Sebab kehormatan itulah, orang itu akan tercapai apa yang diinginkan.

Orang yang menuntut ilmu itu tidak akan sampai pada apa yang dimaksudkan kecuali dia menghormati ilmu dan kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan, serta menghormati guru dan kedudukannya sebagai guru. Jangan sampai kita menjadi orang yang kufur, yang meremehkan perintah dan meninggalkan penghormatan.

  1. Diantara bentuk menghormati atau memuliakan ilmu adalah memuliakan ustadz atau memuliakan guru. Dalam hal ini, ada beberapa cara untuk memuliakan guru, antara lain:
  1. Tidak berjalan di depannya.
  2. Tidak menempati tempat duduknya (termasuk mejanya).
  3. Tidak memulai berbicara di sisi guru kecuali mendapatkan izinnya.
  4. Tidak banyak bicara di sisi guru (tidak memperbanyak ngobrol, terlebih lagi jika itu obrolan-obrolan yang tidak penting).
  5. Tidak bertanya sesuatu kepada guru, saat guru sedang kelelahan. Karena itu bisa menjadi sebab, memunculkan kebosanan, bisa dari guru, bisa juga dari orang lain.
  6. Menjaga waktu, mengikuti waktu yang diberikan guru. sepatutnya ketika majelis taklim sudah dimulai, ya ditunggu saja sampai guru atau ustadznya datang, dan tidak perlu memaksa atau memburu.
  7. Seorang murid tidak mengetuk pintu, namun justru murid itu harus bersabar sampai guru itu menemuinya.
  8. Memuliakan putra-putrinya dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan gurunya.

Dalam mempelajari ilmu, salah satu yang penting adalah keberkahan ilmu, yakni bertambahnya kebaikan (ziyaadatul khoiir). Jika apa yang dipelajari itu berkah, jika interaksi dalam proses pembelajaran itu diberkahi Allah, insya Allah akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Dan ilmu yang bermanfaat, akan menjadi amalan yang tidak terputus meski manusia itu telah meninggal. Salah satu cara untuk mencapai keberkahan ilmu adalah dengan memuliakan ilmu. Dan diantara bentuk memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan guru. Ali radhiyallahu anhu pernah berkata, “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajariku satu huruf, jika mau ia boleh menjualku, dan jika mau ia membebaskanku”. Rasulullah shollahu’alaihi wassalam bersabda:

تَعَلّمُواالعِلْمَ وَتَعَلّمُوْا لِلْعِلْمِ السّكِيْنَةَ وَالْوَقَا رَ وَتَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَتَعَلّمُوانَ مِنْهُ

“Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya” (HR. Ath-Thabrani).

Syaikh Az-Zarnuji menjelaskan, bahwa seorang penuntut ilmu harus mencari rida gurunya, menjauhi kemurkaannya, melaksanakan perintahnya selama bukan maksiat. Maka jika seorang guru tersakiti oleh muridnya, maka murid akan terhalang dalam mendapatkan keberkahan ilmu, dan ia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali hanya sedikit. Seperti sebuah syair yang dikutip oleh Syaikh Az-Zarnuji seperti berikut (Az-Zarnuji, 2019):

“Sesungguhnya guru dan dokter itu, tidak akan memberikan nasihat jika tidak dihormati. Tahanlah sakitmu jika kamu kasar terhadap dokter. Dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu kasar terhadap gurumu”

Masya Allah.  Betapa pentingnya kita sebagai penuntut ilmu, sebagai pembelajar, untuk senantiasa memuliakan guru-guru kita dan tidak menyakiti hati guru-guru kita, karena di situlah ada keberkahan atas ilmu yang sedang kita pelajari. Tidak hanya itu saja, dalam konteks menghormati dan memuliakan ilmu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh penuntut ilmu, agar keberkahan atas ilmu dapat kita peroleh, yaitu (Az-Zarnuji, 2019):

  1. Memuliakan kitab

Murid atau pelajar hendaknya tidak mengambil dan memegang kitab kecuali dalam keadaan suci. Ditambahkan oleh Saihu (2020), bahwa demikian juga dalam konteks belajar, hendaknya ketika kita akan memulai belajar juga dalam keadaan suci. Untuk itu, sebelum pelajar memulai belajar (dalam konteks apapun), sepatutnya dia tidak mengambil kitab kecuali dia dalam keadaan suci (dari hadas kecil maupun besar). Hal ini dikarenakan ilmu adalah cahaya, dan wudhu juga cahaya, sehingga cahaya ilmu akan bertambah terangnya karena bersuci (berwudhu). Keberkahan ilmu akan semakin bertambah dengan kita berwudhu.

Ilmu itu adalah cahaya dari Allah, dan Allah berkehendak untuk menjatuhkan cahaya ilmu itu kepada seseorang yang dalam kondisi bersih. Bersih niatnya, bersih dirinya dari hadas, bahkan hatinya juga harus bersih. Maka kesucian itu akan memperkuat pemahaman atas ilmu dan memperkuat rahmat Allah terhadap ilmu pengetahuan yang terlimpah kepada seseorang (Sholihun, 2020).

  1. Tidak menjulurkan kaki ke arah kitab. Jika kitab ada di depannya, maka kakinya tidak diarahkan ke kitab.
  2. Tidak meletakkan sesuatu yang lain di atas kitab. Tidak meletakkan buku (terlebih lagi buku-buku agama) sembarangan, karena hal tersebut bagian dari adab.

Dalam hal menyusun buku, yang paling atas adalah buku/kitab tafsir (diletakkan paling atas karena itu adalah kalamullah). Apalagi Al-Qur’an, tidak boleh meletakkan sembarangan. Baru kemudian diikuti oleh buku-buku yang lain (Sholihun, 2020). Mengapa penting kitab itu ditata, dipotong-potong menjadi segi empat, itu tentu akan memudahkan seseorang untuk mengangkat kitab, menata kitab, dan mengulanginya.

  1. Mencatat dan memperbagus tulisan saat mencatat.

Diantara memuliakan ilmu adalah memperbagus ketika menulis. Berlatih supaya bagus tulisannya, jelas, dan dapat terbaca. Dan jangan menulis itu acak-acakan dan meninggalkan catatan-catatan di pinggir.

Catatan yang dibuat atas ilmu dapat menjadi amal jariyah. Maka mengapa penting untuk membuat catatan yang bagus dan rapi dalam dokumentasi yang baik. Semisal dibundel dalam satu buku yang rapi. Dan dalam mencatat kajian agama, jangan dijadikan satu dengan catatan yang lain-lain dalam satu buku. Tulis dalam buku terpisah dan tersendiri (Sholihun, 2020). Pelajar juga dapat menulis catatan dengan warna apa saja, kecuali warna merah dan warna kuning yang menyala, karena kedua warna itu sering digunakan oleh orang kafir.

  1. Memuliakan dan menghormati kawan dan siapapun yang belajar darinya.

Pelajar perlu mengedepankan sikap keempatian, kepedulian, dan kasih sayang di antara manusia. Hindari sifat iri dengki kepada teman atau sahabat dalam menuntut ilmu. Allah berkenan mengistimewakan kepada siapapun yang Dia kehendaki dalam proses belajar, penting untuk ada mahabbah (cinta), cinta yang dibangun karena Allah (Sholihun, 2020).

  1. Menyimak semua ilmu dan hikmah dengan penuh pengagungan dan penghormatan.

Sepatutnya bagi yang mempelajari ilmu, ketika kita sedang belajar, dan guru sedang menyampaikan materi kepada kita, maka kita wajib mendengarkan ilmu itu dengan penuh penghormatan, khidmat, dan takzim, sekalipun materi tersebut sudah sering kita dapatkan, diulang-ulang, bahkan sampai berkali-kali. Kecenderungan orang, akan meremehkan ilmu, ketika dia sudah mendengarnya berulang kali. Dan hal ini dapat menjadi sebab terhalangnya keberkahan sebuah ilmu. Ketika kita meremehkan ilmu, itu artinya sama dengan meremehkan Dzat yang memiliki ilmu (Sholihun, 2020).

  1. Tidak memilih sendiri jenis ilmu yang akan dipelajari.

Penting bagi pelajar untuk memperhatikan aspek kemampuan dalam mempelajari ilmu. Jika seseorang itu masih pemula dalam bab atau bidang tersebut, maka sepatutnya murid/pelajar menyerahkan sepenuhnya kepada guru harus mempelajari dari mana dulu dan urut-urutannya. Mulai belajar dari sesuatu yang kecil, terus menerus akan semakin meningkat, sehingga pada akhirnya sampai pada tahapan dia dapat memilih ilmu apa yang akan dia pelajari (Sholihun, 2020).

  1. Tidak duduk terlalu dekat dengan guru.

Poinnya adalah ketakziman. Jika antara guru dan murid terlalu dekat, maka dikhawatirkan akan mengurangi ketakziman seorang murid terhadap guru, tidak memandang adab dalam berinteraksi dengan guru. Dikhawatirkan juga menjadi sebab kecemburuan pada murid yang lainnya, menjadikan sombong dan ujub pada diri murid tersebut. Demikian pula sebaliknya, jika terlalu jauh jaraknya, guru akan tidak menganggap seorang murid seperti anaknya, sehingga dapat mengurangi kemungkinan adanya hubungan emosional antara guru dengan murid (Sholihun, 2020).

  1. Menghindari akhlak yang tercela.

Seorang murid wajib menghindari akhlak yang tercela. Jika dalam diri seorang murid masih ada sifat sombong, maka itu akan menjadi penghalang untuk dirinya, penghalang dalam memperoleh ilmu, bahkan penghalang bagi diri penuntut ilmu dalam memahami ilmu. Akhlak yang tercela dalam diri itu seperti najis dalam diri. padahal ilmu itu adalah sesuatu yang suci, karena turun dari Dzat yang suci, sehingga akan turun pada hati dan diri seseorang yang suci. Sifat-sifat yang tercela itu harus dibersihkan, agar ilmu itu dapat masuk dan memberikan keberkahan kepada penuntut ilmu (Sholihun, 2020).

Subhanallah. Betapa banyak hal-hal yang mungkin saja luput untuk kita perhatikan saat belajar dan menuntut ilmu. Mohonlah kepada Allah agar diberikan pemahaman dan keberkahan saat sedang mempelajari ilmu. Serta berdoa semoga ilmu yang sudah kita pelajari akan terus bertambah kebaikan-kebaikannya, dan bertambah kebermanfaatannya. Allahumma aamiin.

 

Referensi:

  1. Az-Zarnuji, I. (2019). Ta’limul Muta’allim: Pentingnya adab sebelum ilmu. Cetakan ketujuh. Penerjemah: Abdurrahman Azzam. Solo: Penerbit Aqwam.
  2. Saihu. (2020). Etika menuntut ilmu menurut kitab Ta’lim Muta’alim. Al Amin Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 3(1), 99-112.
  3. Sholihun, M.A. (2020). Materi kajian kitab Ta’lim Muta’allim Syaikh Az Zarnuji. Dirangkum mandiri oleh penulis.

 

MENYELAMI NIKMAT DAN UJIAN KEHIDUPAN DUNIA MENINGKATKAN KEIMANAN

Oleh : Giri Hadmoko——- 

Allah SWT menciptakan alam semesta beserta isinya pasti ada maksud dan tujuannya. Dalam pandangan  Islam, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi semua yang ada di dalamya, baik yang dapat diamati maupun yang tidak bisa diamati. Di mana alam dibagi menjadi dua alam, yaitu alam nyata dan alam ghaib. Keberadaan alam semesta ini sebagai tanda dari kekuasaan sang Pencipta.  Selain Allah SWT menciptakan alam, Allah SWT juga menciptakan manusia, sebagai penghuni di bumi ini, yang mana akan berperan sebagai pemimpin atau pengendali dari alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan mempunyai kedudukan tertentu, yaitu sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-baqarah ayat 30)

Kedudukan manusia bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari segala apa yang ada di muka bumi ini. Hal tersebut tergantung pada akhlak dan akal (ilmu) nya.

Mari kita sejenak merenung tentang kehidupan di dunia ini yang sudah kita lewati, dari awal kita dilahirkan di dunia.  Pertama kita terlahir di dunia ini atas kehendak Allah SWT melalui seorang ibu. Sembilan bulan kita dikandung dalam rahim seorang ibu, dari segumpal darah lalu menjadi segumpal daging. Kemudian Allah SWT mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rezekinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya. Setelah terlahir di dunia, kita mendapat kasih sayang dari kedua orang tua, kita diasuh dilindungi disayang, dalam perjalanan kehidupan dari masa ke masa kita melakukan perubahan, dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dalam perjalanan hidup dan tambahnya umur kita tidak jauh dari segala kenikmatan dari Allah SWT yang  telah kita rasakan dan kita nikmati, di saat masih bayi kita begitu lemah, sekarang bisa  tumbuh menjadi kuat, itu semua karena seorang ibu dan orang tua kita.

Pada diri kita ada anggota badan yang begitu nyata kita rasakan dan fungsikan di saat hidup di dunia ini yaitu perut, lisan, mata, telinga, tangan, kaki, dan kemaluan. Kita bersyukur tanpa meminta, semua organ itu diberi kesehatan dan berfungsi pada kegunaanya masing masing. Coba bayangkan bila semua organ itu dapat berfungsi tetapi harus dengan biaya, pasti kita sangat berat untuk menjalaninya. Berutunglah kita dengan semua yang ada di badan ini dengan segala kesempurnaan dan kegunaannya, itu suatu nikmat yang besar. Allah SWT memberikan semua itu dengan segala kesempurnaannya. Kita bisa menikmati apa saja yang telah Allah SWT ciptakan di dunia ini.  Allah SWT  menciptakan bumi lengkap tidak ada yang kurang sedikitpun, semua tersedia dan ada di bumi Allah SWT.  Semua itu untuk mencukupi kebutuhan yang diperlukan umat manusia. Sebagai contoh udara, air, tumbuhan, hewan ternak, bahan makan, emas, serta sumber ilmu yang terkandung di dalamnya, semua itu akan menjadi bekal manusia  bertahan serta mempelajarinya. Semua itu tanda kuasa dan cinta-Nya Allah SWT pada umat manusia. Maha Besar Allah SWT.
Telepas dari semua nikmat Allah SWT yang diberikan, dalam menjalani kehidupan di bumi, kita pasti juga tidak terlepas dari masalah, baik masalah pribadi, masalah keluarga, masalah sosial. Semua masalah itu memang telah menjadi sandangan orang hidup di dunia ini. Allah SWT mendatangkan masalah ke umat manusia sebagai ujian dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Masalah setiap manusia itu pun jelas sangat berbeda beda, Allah SWT memberikan ujian berupa masalah kepada umatnya sesuai dengan kemampuan manusia yang akan diuji, dan tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hambanya sebagaimana dalam firman Allah SWT:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah ayat 286)

Sebagai umat islam yang beriman, dengan semua yang melekat pada kita, baik berupa nikmat kesenangan atau ujian yang ada, pasti kita tidak bisa menghindar dari ketetapan Allah SWT, karena Allah SWT memberikan nikmat dan ujian kepada manusia tidak akan salah ataupun tertukar antara satu dengan yang lainnya.  Itu semua adalah wujud cinta Allah SWT kepada umatnya, dengan tujuan sebagai peringatan dan untuk mengatahui seberapa kuat kadar iman makhluk-Nya.  Melalui semua ujian dan nikmat itu akan menjadikan manusia menyadari apa arti kehidupan sebenarnya, maka dari itu kita dalam menghadapai dan menyikapi  ujian dengan cara yang dicontohkan Rosul SAW.

  1. Beriman pada takdir

Sebagai manusia yang merupakan ciptaan Allah SWT, maka sudah seharusnya kita mempercayai takdir yang diberikan kepada kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)

  1. Yakinlah bahwa ujian para nabi lebih berat

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sa’d bin Abî Waqqâsh Radhiyallahu anhu :

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ

Ya Rasûlullâh! Siapakah yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya” (HR. at-Tirmidzi no. 2398, an-Nasâi no. 7482, & Ibnu Mâjah no. 4523)

  1. Selalu ada hikmah

Cara menerima ujian dari Allah SWT berikutnya adalah dengan memetik hikmahnya. Yakinkan diri bahwa setiap ujian akan membawa hikmah tersendiri bagi kita. Tidak ada ujian yang sia-sia jika dilewati dengan baik.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun ayat 115-116)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ (38) مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Ad Dukhan ayat 38-39)

  1. Ujian merupakan bentuk cinta Allah

Abu Hurairah r.a. berkata, bahawa Rasulullah bersabda,

Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik maka dia akan diberi-Nya cobaan.” (HR.Bukhari).

Rasul bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).

  1. Perbanyak mengingat dosa

Rasul bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ

Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”. (HR. At-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh Al-Albani)

  1. Selalu berzikir

Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS Ar Ra’du ayat 28).

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzaab ayat 41).

  1. Perbanyak sedekah

Rasul bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api“.(HR. At-Tirmidzi).  Rasulullah kembali bersabda: “Bersegeralah untuk bersedekah. Karena musibah dan bencana tidak bisa mendahului sedekah“.

  1. Selalu sabar

Allah berfirman:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan [Âli ‘Imrân ayat 186]

  1. Sholat taubat

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Aku adalah seorang lelaki, jika aku telah mendengar sebuah hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla memberiku manfaat yang Dia kehendaki dengan perantara hadîts itu. Jika ada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan sebuah hadits kepadaku, maka aku akan memintanya bersumpah (bahwa dia benar-benar telah mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika dia telah bersumpah kepadaku, maka aku mempercayainya.

Dan sesungguhnya Abu Bakar telah memberitakan sebuah hadits kepadaku, dan Abu Bakar telah berkata jujur, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang melakukan dosa, lalu dia berdiri kemudian bersuci lalu menunaikan shalat, setelah itu memohon ampun kepada Allâh, kecuali Allâh pasti akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini (yang maknanya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imrân ayat 135)

  1. Husnuzhon pada Allah

Allah berfirman:

وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir..” (QS. Yusuf: 87).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya, jika dia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari 7405 & Muslim 6981)

  1. Yakin bahwa ujian mampu menghapus dosa

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمِّ، وَلاَ حُزْنٍ، وَلاَ أَذًى، وَلاَ غَمِّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا؛ إِلاَّ كَفَّرَ الله بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Apa saja yang menimpa seseorang Muslim seperti rasa letih, sedih, sakit, gelisah, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dengan sebab itu semua”. (Muttafaqun ‘alaihi)

  1. Semakin besar cobaan semakin besar pahala

Anas r.a. berkata: Nabi saw. bersabda,“Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya cobaan. Sesungguhnya apabila Allah Ta’ala itu mencintai suatu kaum maka Dia mengujinya. Barang siapa yang rela menerimanya, dia mendapat keridhoan Allah, dan barangsiapa yang murka, maka dia pun mendapat kemurkaan Allah” (H.R.Tirmidzi)

Itulah 12 cara menerima ujian dari Allah SWT sesuai dengan ajaran Rasul. Bila kita sudah berpedoman dengan cara itu , InsyaAllah SWT semua masalah yang ada di dunia ini akan mudah kita hadapi, Semoga usaha yang kita upayakan untuk menerima dan menghadapi serta menyelesaikan  dari semua ujian Allah SWT  menjadikan iman kita semakin meningkat dan menjadi orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Amin

Sumber: https://dalamislam.com/info-islami/cara-menerima-ujian-dari-allah-SWT

Makna Minal Aidin wal Faizin

Oleh: Dr. H. Fuad Nashori, M.Si., M.Ag., Psikolog—-

Salah satu ajaran Islam dalam konteks hari raya adalah mendoakan diri dan orang lain yang telah menyelesaikan kewajiban menjalankan berbagai ibadah selama bulan ramadhan. Ucapan standar yang diajarkan oleh Nabi Muhammad adalah Taqabbalalahhu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum (yang artinya semoga Allah menerima amalanmu dan amalanku, puasamu dan pusaku). Di Indonesia, para ulama mengajarkan bagaimana menyampaikan doa kepada sesama muslim dengan ungkapan minal aidin wal faizin. Ucapan versi  lengkapnya adalah ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin. Artinya, “semoga Allah menjadikan kami dan anda orang-orang yang kembali dan beruntung”. Read more