Tuliskan dan Deklarasikan Cita-citamu

Oleh: Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog–

Quote: Rumuskan dan tuliskan, bahkan bila perlu deklarasikan, cita-citamu. Suatu saat engkau akan sadar apa yang kau tulis telah tergenggam di tanganmu!

Ini adalah salah satu quote (kutipan) yang saya tuliskan dan saya sampaikan di hadapan pimpinan, dosen, dan tendik Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati, 6 Februari 2023. Saat itu saya sampaikan 23 quotes terkait kompetensi-kompetensi spiritual, moral, mental, fisik, sosial, `dan kepemimpinan untuk mereka. Ada beberapa tanggapan dan pertanyaan yang muncul. Salah satunya adalah ketika salah seorang di antara mereka tertarik untuk mendapatkan penjelasan latar belakang munculnya quotes yang saya sampaikan.

Saya jelaskan beberapa di antaranya. Salah satunya adalah quote yang saya sampaikan adalah quote sebagaimana saya tulis di atas. Pada waktu berusia muda, saat sekolah SMP dan SMA, saya memiliki buku catatan yang saya beri judul My Future. Dalam buku ini menuliskan tentang hidup yang saya dambakan atau cita-citakan di masa depan. Inti dari cita-cita itu adalah menjadi insan yang bahagia, berharga, dan berdampak. Dalam buku itu saya tuliskan begitu banyak hal yang saya cita-citakan, dari hal yang besar hingga yang kecil-kecil.

Sebelum membahas tentang pentingnya menuliskan cita-cita, terlebih dulu kita bicarakan pentingnya memiliki cita-cita. Ada dua pendapat ulama besar yang hendak saya kutip, yaitu pendapat Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Ziad. Syaikh Bakr bertutur, ”Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral dan faktor pendorong bagi dirimu, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu.” Selanjutnya, Imam Ibnu Qayyim menyampaikan, “Seseorang yang berakal sudah seyogyanya bisa sampai pada puncak dari apa yang dia mampu. Sekiranya masuk akal bagi seorang anak manusia untuk naik ke langit, maka menurutku merupakan kekurangan yang paling jelek kalau dia sudah merasa puas di bumi.” Intinya, penting bagi seorang muslim memiliki cita-cita yang tinggi.

Cita-cita tidak hanya perlu dimiliki orang muda. Orang yang sudah paruh baya, para pimpinan, dosen, dan tendik, juga perlu memiliki cita-cita. Sekurang-kurangnya cita-citanya adalah husnul khatimah dan masuk surga. Dikarenakan cita-cita ini mampu menggerakkan, orang yang sudah berusia lansia sekalipun seyogyanya menggenggam cita-cita agar dirinya terus bergerak. Hakikat hidup adalah pergerakan. Saya selalu teringat dengan nasihat mantan Presiden Amerika Bill Clinton, “Ciri anda belum tua adalah anda masih memilih cita-cita yang dengannya anda terus berjuang mewujudkannya.”

Saya mencermati kalau cita-cita hanya di angan-angan atau sekadar diucapkan apalagi dengan semangat apa adanya, maka lebih banyak kita lupakan. Kemamuan menuliskannya dan bahkan mendeklarasikannya hingga terasa dramatikalnya akan menghasilkan daya dorong yang lebih kuat. Pengalaman saya sendiri menunjukkan bahwa cita-cita yang dituliskan membuat saya bersemangat. Selain itu, cita-cita yang dituliskan juga menyadarkan saya betapa saya telah memperoleh banyak nikmat, yaitu cita-cita saya terwujud.

Ada beberapa contoh hal yang (relatif) kecil yang saya tulis di My Future  yang di belakang hari terwujud. Beberapa di antaranya adalah keinginan memiliki rumah yang menghadap kiblat, rumah yang dekat dengan masjid, ada kamar mandi dan tempat wudhu dalam rumah (bukan di luar rumah), dsb. Dulu, rumah orangtua saya menghadap ke utara. Saya yakin lebih elok kalau kita lebih sering menghadapkan wajah kita ke arah kiblat. Alhamdulillah, rumah yang saya tinggali bersama istri dan anak-anak hampir dua puluh tahun ini menghadap ke arah kiblat. Dulu, waktu saya kecil, di dalam rumah orangtua saya tidak ada kamar mandi. Kamar mandi terpisah dari rumah utama. Kalau malam hari mau buang air besar atau berwudhu, pasti hati dilanda ketakutan. Ini karena di desa begitu sering terdengar ada maling yang berkeliaran di malam hari (termasuk di belakang rumah saya) dan pastinya cerita tentang hantu yang tiada habis-habisnya. Saya bayangkan akan sangat memudahkan kalau kamar mandi berada dalam rumah sehingga saya mengakses tempat wudhu tanpa rasa takut sedikit pun.

Saya dulu juga berharap punya rumah yang dekat dengan masjid dan alhamdulillah tercapai. Betapa bahagianya kalau rumah dekat dengan masjid, karena tidak repot kalau berjamaah, pikir saya. Waktu saya kecil, rumah orangtua saya sebenarnya tidak berjauhan dengan masjid. Hanya saja antara rumah saya dan masjid ada sungai kecil yang sangat gelap dan tak ada jembatannya kalau mau melewatinya. Kalau pagi hingga sore sungai bisa dilewati namun sangat jorok. Hal itu karena sungai itu merupakan jalan pulang-pergi kerbau gembalaan orang kaya di kampung. Di malam hari jalan yang melewati sungi di belakang masjid itu sangat gelap karena belum ada listrik. Sangat menakutkan juga karena di desa cerita tentang hantu begitu akrab. Kini, alhamdulillah tiada tara, harus berjuang keras untuk ke masjid itu hanya cerita masa lalu karena antara rumah saya dan masjid hanya dibatasi tiga rumah. Masjid begitu mudah dijangkau.

Di bagian awal dari buku catatan saya berjudul My Future itu, saya menulis apa saja yang ingin saya lakukan ketika dewasa sehingga saya menjadi orang yang bermanfaat atau memberi dampak. Saya tulis cita-cita saya di sana, yaitu menjadi doktor, dosen, psikolog, dai, penulis. Alhamdulillahnya adalah semua yang saya cita-citakan itu sudah tercapai. Saya sudah menjadi penulis di majalah nasional sejak SMA. Menjadi dai walau kecil-kecilan sejak mahasiswa (ditandai jadi khatib dan berceramah di sebuah kampung di Gunung Kidul). Mendapat gelar dan menjadi psikolog serta menjadi dosen 10 tahun setelah saya tuliskan di buku tersebut. Alhamdulillah, jadi doktor 27 tahun setelah saya menuliskannya dalam buku harian futuristik saya.

Melalui profesi-profesi itu, saya berharap menjadi orang yang memberi dampak atau manfaat. Saya ingin apa yang saya tuliskan, katakan, dan lakukan menjadi rujukan bagi orang lain. Alhamdulillah, saat ini tulisan-tulisan saya –kata Google Scholar– dikutip sebanyak 7.500 kali dan memiliki 30 h-index. Juga, kata ResearchGate, tulisan-tulisan saya dikutip 800 kali dan memiliki 12 h-index. Dalam dunia kepenulisan, impact atau dampak diketahui dari berapa banyak tulisan kita dikutip orang/ahli lain dan seberapa tinggi h-index. Saya memang tak tahu seberapa banyak kata-kata lisan dan perbuatan dipertimbangkan atau diikuti orang. Hanya merasa sebagian saran, nasihat, atau usulan kita diterima dan ditindaklanjuti orang lain. Beberapa orang saya dengar mengatakan, “saya ikuti nasihat Pak Fuad dan alhamdulillah kini…”

Dari apa yang saya alami, kalau punya keinginan atau cita-cita, tulislah atau katakan dengan penuh penghayatan. Pikiran, hati dan perilaku kita, secara sadar atau tidak, perlahan akan mengantarkan kita ke sana. Allah swt mendengar doa dan harapan kita. Dengan kemahakuasaannya, Dia membentangkan jalan bagi kita. Melalui takdir dan didukung perjuangan yang penuh semangat dan tak mengenal putus asa, lambat atau cepat, cita-cita itu tercapai.

Terakhir, cita-cita juga bagus kalau dideklarasikan. Sumpah palapa dari Patih Kerajaan Majapahit bernama Gajah Mada untuk menyatukan nusantara, menunjukkan pentingnya deklarasi cita-cita. Pada waktu saya SMA, saya juga mendeklarasikan cita-cita saya untuk hidup dalam pekerjaan yang tidak terlalu mengandalkan fisik. Ini terjadi karena pada musim tertentu saya harus bekerja sangat keras membantu orangtua mengairi ladang yang sulit air dengan cara mengambil air dari sungai yang curam. Air diangkut dengan wadah tertentu dan disiramkan ke pohon-pohon tembakau. Saya lakukan puluhan kali tiap hari. Saya benar-benar merasa capek dan bahkan mengalami masalah ketika buang air kecil (saya mengalami apa yang disebut orang Jawa sebagai anyang-anyangen). Ingin buang air kecil tapi tak bisa keluar. Sangat tidak nyaman. Sedemikian beratnya saya menghayati apa yang saya kerjakan dan sakit yang saya rasakan saat itu, akhirnya saya membuat deklarasi di bawah pohon tembakau bahwa saya tak akan mengambil pekerjaan yang sangat mengandalkan fisik.  Saya berdoa diberi pekerjaan yang mengandalkan pemikiran dan hubungan baik. Alhamdulillah, Allah kabulkan semua doa dan harapan.

Demikian. Wallahu a’lam bi ash-shawab. Bagaimana menurut Anda?

 *Dr. H. Fuad Nashori, dosen Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosil Budaya UII/Ketua Inter-Islamic University Conference on Psychology Forum (IIUCP Forum)