Oleh: Hazhira Qudsyi – Pernahkan Anda mengalami sesuatu yang mengganggu pikiran dan ketenangan jiwa Anda? Apakah menurut Anda itu menjadi suatu masalah? Perasaan apa sajakah yang muncul dalam diri Anda? Fase hidup manusia tak ubahnya seperti roda yang berputar bukan? Ada kalanya pada satu titik, posisi kita berada di atas (“keberhasilan”, “kebahagiaan”). Ada kalanya pula pada satu titik, posisi kita berada di bawah (“kegagalan”, “kedukaan”). Dalam tiap fase hidup itu, manusia tak lepas dari “rasa” yang melingkupi dirinya, yang menjadikan “manusia adalah manusia”.
Mari kita ingat kembali….. Apa yang kita rasakan, saat kita berada pada fase hidup “di bawah”? Apa pula yang kita rasakan saat kita berada pada hidup “di atas”? Senang? Sedih? Takut? Marah? Terkejut? Beragam rasa itulah yang kita kenal dengan EMOSI.
“Selalu datang perubahan rasa suka, duka, sedih, gembira, berkembang luas sepanjang masa, itulah cuaca hidup manusia. Rasa menyerap di panca indera, emosi, dan hati mengolahnya, perilaku wujud getaran jiwa, perubahan masa, goresan luka, berbuah 1001 makna”
(Birdy & Mahmudah, 2019)
Kebanyakan orang berharap mereka dapat terbebas dari emosi-emosi “irasional” yang membuat hidup mereka menyedihkan. Namun tanpa adanya emosi, akan seperti apakah hidup kita jadinya? Rasa dan emosi adalah karunia dari Allah Subhanahu wata’ala untuk manusia. Emosi membantu kita dalam merespons situasi penting dan untuk menyampaikan maksud kita kepada orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah emosi yang kita rasakan sudah kita gunakan untuk merespons situasi dengan tepat? Ataukah emosi itu justru menjadi “beban” tersendiri dalam diri kita, yang akhirnya memberatkan diri kita?
“Dan tidak ada (pula dosa) atas orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad), agar engkau memberi kendaraan kepada mereka, lalu engkau berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu’. Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan (ikut perang)”.
(QS. At-Taubah [9]: 92)
Ayat ini memperlihatkan bahwa menyalurkan (mengekspresikan) emosi adalah sesuatu yang wajar. Allah Subhanahu wata’ala tidak membatasi manusia untuk menyalurkan emosinya, karena emosi perlu disalurkan agar terjaga keseimbangannya. Kita sepakat bahwa sekumpulan rasa menyenangkan, setiap jiwa mudah menerimanya karena selaras dengan keinginan jiwa. Namun bagaimana dengan sekumpulan rasa tidak menyenangkan, yang buruk, yang menyakitkan, dan menimbulkan trauma? Apakah sekumpulan rasa sakit dan duka yang bermuara pada sekumpulan emosi negatif di jiwa ini sudah dilepaskan? Apakah sempat diproses dan dipulihkan? Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam pun bersabda mengenai penyaluran emosi ini:
“Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah”
(HR. Muslim)
Ketika banyak sekali isi “ransel” emosi negatif yang belum diproses dan dipulihkan sebagaimana mestinya, maka akan sangat potensial menimbulkan berbagai masalah lanjutan di kehidupannya kelak. Mengapa kemudian ransel emosi itu belum dilepaskan? Mengapa ransel emosi itu tetap penuh dan tertahan? Menurut Birdy & Mahmudah, hal ini berkaitan erat dengan kekeliuran paradigma emosi. Apa sajakah itu?
1) Tabu laki-laki menangis; 2) Mengalihkan, ketika mengalami peristiwa menyakitkan, ada kecenderungan orang mengalihkan ke aktivitas lain, tanpa mengenali apa emosi yang muncul dan memproses ragam kebutuhan atau keinginan yang melatarbelakanginya; 3) “Melupakan” dan berpikir bahwa time will heal, emosi adalah energi, yang tidak mungkin hilang begitu saja tanpa ada proses mengalirkan; 4) Toxic Positivity, nasihat itu positif, namun apakah timing-nya tepat sesuai kondisi dan kebutuhan penerima?; 5) Diam atau lawan, tidak ada eksplorasi dan pemrosesan emosi atau rasa yang muncul, tidak ada upaya mencari solusi yang tepat ke depannya?; 6) Marah itu tabu, banyak orang yang akhirnya gagap mengekspresikan amarah dengan cara yang benar dan kadar yang benar; dan 7) Meminta bantuan tentang perawatan kesehatan mental adalah aib, masih cukup banyak anggapan orang yang meminta bantuan ketika sedang sakit mental itu lemah, baik ke teman, kerabat, atau professional.
“Apa-apa yang harus dikeluarkan tetapi ditahan, maka akan menjadi sampah negatif yang membahayakan jiwa”
(Birdy & Mahmudah, 2019)
Lantas, bagaimana cara agar kita dapat melepaskan atau mengalirkan emosi yang ada, supaya “ransel” emosi kita tidak penuh? Birdy & Mahmudah mengatakan, bahwa kita dapat melakukan beberapa hal agar emosi yang kita rasakan tidak sekedar menumpuk pada diri kita, diantaranya adalah 1) Aware, menghadirkan kesadaran pada berbagai hal atau apa-apa yang pernah (dan sedang) dialami, dari dulu kejadian apa yang menyebabkan reaksi emosi tertentu pada diri kita; 2) Accept, menyadari dan mengakui bahwa diri ini “terluka” dan sedang “tidak baik-baik saja”; 3) Allow, orang disebut cerdas mengelola dan mengolah emosi jika orang itu mampu mengalirkan emosi dengan ekspresi yang benar; dan 4) Away, kita lepaskan rasa marah atau duka kita itu pergi dengan berpasrah sepenuhnya kepada Allah, memaafkan orang-orang yang dirasa menyakitkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarna) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”
(HR. Bukhari dan HR. Muslim)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pengendalian emosi penting dilakukan manusia. Ransel emosi yang setiap saat kita bawa, perlu sesekali kita kosongkan. Kita juga dapat melakukan beberapa hal untuk dapat mengosongkan ransel emosi kita, bagaimana kemudian kita perbaiki hubungan dengan Allah, self-healing (tapi tetap fokus selesaikan masalah yang terjadi ya….), jaga kondisi fisik dengan pola hidup sehat, membingkai ulang atas setiap peristiwa, dan tentunya, it’s OK to ask help, jangan takut untuk minta bantuan ke orang lain ya….
Referensi:
Birdy, D., & Mahmudah, D. (2019). Anger management: The life skill. Bogor: Zenawa Media Giditama.
Husnaini, R. (2019). Hadis mengendalikan amarah dalam perspektif Psikologi. Diroyah: Jurnal Ilmu hadis, 4(1), 79-88.