Oleh: Fenty Puspitasari – “Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, jalan setapak yang membawa orang ke mata air” (Douglas Malloch)
Kisah perjuangan para teladan selalu menarik untuk disimak. Sebut saja, kisah Rasulullah ﷺ dan sahabat yang hikmahnya tak pernah pudar. Cerita ulama besar yang mencerahkan umat. Tak lupa kisah pemimpin yang mendermakan diri untuk rakyat. Perjuangan mereka dikenang bahkan menjadi cerita penuh inspirasi di dunia. Namun kadang muncul pula setitik tanya, di mana letak manusia biasa seperti kita di tengah orang-orang yang begitu harum perjuangannya?
Jangankan menginspirasi, diuji kewajiban meeting akhir pekan, merepet mulut ini tiada henti. Jangankan mencerahkan, terjebak macet satu jam saja, menyumpahi negara setengah mati. Itu baru masalah dunia. Bagaimana nanti dengan surga? Adakah si bukan siapa-siapa punya tempat di sana?
إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
“…Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat pada orang yang berbuat kebaikan.” Kalimat Allah dalam Al A’raf ayat 56 begitu menentramkan. Allah Maha Mengetahui. Dia paham benar tak semua hamba bisa membangun jalan raya ke surga. Banyak yang hanya mampu merintis jalan setapak menuju ke sana. Jadi mari membuka jalan-jalan kecil itu dari kisah sederhana tentang tiga anggota tubuh yang hampir kita semua punya.
Cerita Tentang Mulut
Abu Dzar Al Ghifari sangat jengkel pada Bilal kala itu. Ia berucap dengan kalimat menusuk, “Wahai anak budak hitam!”
Mendengarnya, Rasulullah ﷺ sangat marah dan balik menunjuk muka Abu Dzar, “Masih ada sifat jahiliyah di dalam dirimu!”
Siapapun tahu, Abu Dzar Al Ghifari adalah seseorang yang jujur. Bahkan saat ia memaki Bilal, kalimat yang keluar adalah tentang keadaan Bilal yang sesungguhnya. Bukankah benar bahwa Ibunda Bilal adalah budak berkulit hitam? Sungguh, tidak ada kebohongan dalam perkataan Abu Dzar. Tapi kejujuran tidaklah cukup, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mulut terbuka berkata-kata.
Allah dengan kasih sayang-Nya mengajarkan manusia berbicara. Dengan kemampuan itu, kita mudah menyampaikan isi hati dan kepala. Sayangnya, karena kemudahan itu pula, kita menganggap segala hal harus diutarakan. Kita cenderung ringan berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu. Tak terhitung banyaknya ucapan yang kita anggap lumrah saja, namun ternyata membawa dosa yang membinasa.
Melihat betapa berbahayanya ucapan yang keluar dari mulut kita, maka benar adanya jika Rasulullah ﷺ menyandingkan kemampuan menjaga lisan dengan keimanan seseorang. “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berbicara jujur tentang hal bermanfaat dengan cara yang benar dan di waktu yang tepat, Insya Allah akan membuat kita berkesempatan menambah amal kebaikan. Demikian juga, saat kita memilih diam daripada bicara yang mengundang murka Allah, semoga akan dicatat pula menjadi jalan ke surga.
Cerita Tentang Telinga
Seorang ulama besar memiliki sebuah rahasia. Beliau ikhlas mendapat julukan Si Tuli di belakang namanya. Semua berawal dari kedatangan seorang perempuan yang mengadukan masalah hidupnya. Tak dinyana, perempuan itu membuang angin dengan suara keras hingga terdengar ke telinga Sang Ulama. Muka perempuan itu seketika berubah. Wajahnya memerah, menahan malu. Sang ulama paham benar perasaan perempuan itu. Lantas tanpa ragu, beliau berpura-pura tuli demi menyelamatkan harga diri tamunya.
Semenjak hari itu, Sang Ulama mendapat julukan baru, Hatim Al Asham. Hatim Si Tuli. Julukan yang terkesan sangat merendahkan namun sejatinya meninggikan akhlak terpuji si pemilik telinga. Keridhaan hati Hatim Al Asham dengan julukan itu menunjukkan kesungguhan hatinya menutupi aib dan menjaga perasaan sesama. Beliau mengingatkan kita pada sabda Rasulullah ﷺ, “Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim di dunia, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat”.
Rahmat Allah yang sangat besar adalah ditutupnya kekurangan dan dosa manusia. Jika sampai hari ini kita masih dihargai dan disayangi banyak orang, sungguh itu karena Allah menutup keburukan kita di dunia. Jika Allah berkehendak membukanya, tentu perkataan Muhammad bin Wasi ini menjadi nyata, “Kalau saja dosa-dosa itu berbau, niscaya tidak seorangpun akan duduk dekatku.”
Allah yang Maha Suci saja menutupi aib manusia yang tak berbilang jumlahnya. Maka tak maukah kita “pura-pura tuli” dengan aib sesama?
Cerita Tentang Perut
Khalifah Harun Ar Rasyid pernah menanyakan tentang kebiasaan sarapan pagi Imam Syafi’i. Sang Imam menjawab, “Saya melakukannya karena empat hal: air yang masih dingin, udara yang masih segar, lalat yang masih sedikit, dan sarapan menekan ketamakan terhadap makanan orang lain.”
Senada dengan hal tersebut, K.H. Bisri Mustofa membiasakan diri untuk makan di warung sebelum sampai di tempat pengajian. Beliau tahu bahwa pasti akan dijamu oleh pemilik hajat di tempat yang dituju. Namun ulama besar itu memilih memelihara diri agar tak berharap-harap akan suguhan.
Para ulama selalu menyimpan hikmah di kesehariannya. Mengisi perut ternyata melimpahkan banyak pahala. Makanan yang masuk menjadi usaha menjaga kesehatan. Dari makanan, tubuh mendapat energi untuk melakukan ketaatan. Selain itu, perut yang terisi makanan adalah ikhtiar untuk membentengi dari ketamakan. Maka belajar dari para teladan, mari niatkan makan tak hanya untuk sekedar kenyang.
Cerita sederhana tetang mulut, telinga, dan perut dari orang-orang shalih semoga menjadi pelecut memperbaiki diri. Pada ketiga anggota tubuh itu Allah menitipkan kasih sayangnya. Banyak pahala yang bisa kita usahakan dalam keseharian. Semoga Allah mencatat usaha sekecil apapun sebagai jalan setapak menuju mata air surga.
Tak apa jika kadang merasa lelah saat mengusahakan kebaikan. Ambil jeda sesaat dan yakinkan diri semua tak akan sia-sia. Tidak apa-apa juga, jika dalam proses itu, kita merasa hanya bisa maju sejengkal demi sejengkal. Sekali lagi, kebaikan tak melulu tentang langkah-langkah besar. Ambil nafas, dan bisikkan lagi sebuah puisi penguat hati,
“…aku ingat janjiMu Tuhan Kalau aku datang dengan berjalan Engkau akan menjemputku dengan berlari-lari” (Andrea Hirata)
Semoga Allah merahmati.