Manusia Langit dan Manusia Bumi dalam Kitab Al-Hikam

Hidayatun Nafiah, 14/03/2024 08:00 WIB

A handsome man looking up, bending a bright universe, bright orange sunrise, crystal clear clarity, photo realistic

Oleh: Hidayatun Nafiah – “Manusia langit itu orang yang ibadah terus kalau manusia bumi lebih mengutamakan dunia”, kata seseorang dalam sebuah perkumpulan. “Wah berarti enak ya jadi manusia langit pasti masuk surga,” saut yang lain. “Ya kalau bisa kita jadi manusia langit daripada manusia bumi”. Diskusi itu terus terngiang dalam hati karena terasa janggal dan tidak sepakat sepenuhnya dengan pernyataan tersebut.

Hari berikutnya tiba-tiba diri ini terilhami oleh ustadzah ketika halaqoh Jumat berlangsung, “Di dunia ini ada orang yang diposisikan untuk ibadah dan diposisikan bekerja” jelasnya. Kitab al Hikam karangan Syekh Ibnu Atha’illah menerangkan bahwa manusia terklasifikasi menjadi dua maqam yakni maqam tajrid dan maqam asbab. Maqam tajrid adalah yang diposisikan untuk ibadah bak manusia langit dan maqam asbab diposisikan untuk bekerja bak manusia bumi. Tajrid berasal dari bahasa arab yang bermakna penanggalan, pelepasan, atau pemurnian, maka secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia.  Sedangkan asbab adalah jama’ kata dari sebab yang berurusan dengan usaha yang melibatkan hukum sebab-akibat.

Pemahaman mengenai manusia langit dan bumi mulai tercerahkan. Mana yang paling baik, tajrid atau asbab? Tidak ada. Jawabannya adalah tidak ada yang lebih baik antara maqam tajrid dan maqam asbab. Parameter yang paling baik terletak pada keridhaan hamba terhadap Allah SWT dimanapun ia diposisikan. Kedua maqam mempunyai porsi masing-masing, bahkan bisa menjadi lebih baik atau buruk sekaligus. Bisa jadi yang kelihatannya duniawi malah lebih baik karena berkonteks akhirat dan sebaliknya. Semuanya kembali kepada lub (hati yang terdalam) apakah sudah tulus terhadap ketetapan Nya dan menjalankan peran dengan sebaik-baik mungkin? Atau kah malah justru kita sedang tidak ridho dan menyalahi ketentuan Nya.

Dua maqam ini tidak serta merta menetap dalam diri dalam satu waktu. Melainkan terus berputar ada kalanya menempati maqam tajrid dan ada kalanya juga pada maqam asbab. Tantangannya adalah agar bagaimana kita bisa selalu ridho dengan seluruh ketetapan Allah SWT baik ketika berada pada maqam tajrid atau maqam asbab. Dalam kitab Al – Hikam dijelaskan 

إِرَادَتُــكَ الـتَّجْرِيْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِيَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَةِ الْخَفِـيـَّةِ

وَإِرَادَتُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِيَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

“Kehendakmu untuk tajrid (mengisolasi diri, fokus beribadah tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkanmu pada asbab (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), itu termasuk syahwat atau nafsu yang samar atau tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk asbab (berusaha) padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrid, maka demikian itu berarti suatu bentuk kemerosotan kelas.”

Pemahaman ini membuat diri menjadi kilas balik, monolog dalam hati “dulu udah ridho belum ya?”, “ko banyak ngeluh”, “enak ya jadi dia”, dan pikiran lain yang menunjukan ketidaktahuan diri. Tidak tahu makna dari tulus ikhlas yang sebenar-benarnya. Tidak sadar sepenuhnya ketika sedang dalam maqam tajrid dan maqam asbab. Mungkin dahulu ketika menjadi mahasiswa lebih banyak menempati maqam tajrid karena mendapatkan kewajiban yang masih tergolong ringan yakni belajar. Apalagi diberi fasilitas penuh dengan beasiswa tidak perlu bekerja banting tulang untuk biaya kuliah. 

Usai kuliah berganti lagi maqamnya, tidak hanya belajar melainkan harus bekerja. Ketika susah mencari kerja tetap harus berusaha dan introspeksi. Bisa jadi waktu tunggu untuk mendapatkan kerja adalah posisi tajrid yang Allah berikan. Sangat baik apabila digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya karena belum ada tanggung jawab kerja. Begitupun ketika bekerja tidak boleh malas-malasan atau bahkan melanggar kewajiban yang telah ditugaskan. Tidak lupa juga bekerja secara maximal dengan niat yang tulus ikhlas kepada Allah SWT untuk ibadah, karena ibadah tidak terbatas pada salat dan mengaji saja. 

Begitupun yang saat ini sedang penulis lakukan, berusaha bekerja dengan sepenuh hati menjadi staf jurnal di Fakultas Psikologi Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Menikmati semua proses yang ada, menjalani hari-hari dengan kebersyukuran dan hati bahagia. Kalau kata Ibu, “mumpung masih bisa bekerja, kerjakan sebaik mungkin, ndak tau nanti kalau menikah prioritas dan kewajibannya tambah lagi”. Bekerja menjadi wadah untuk beribadah, mempersiapkan diri, sekaligus sebagai langkah untuk ke jenjang selanjutnya. 

Terakhir jangan lupa senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar dipermudah untuk mendapatkan rahmatNya sesuai dengan jalur  yang telah ditentukan baik maqam tajrid atau asbab.

اَللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلَا تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، لَا إِلَـٰهَ إِلَّا أَنْتَ

Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang aku harapkan, janganlah Engkau sandarkan urusanku kepada diriku meskipun sekejap mata. Perbaikilah seluruh urusanku, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau. (HR. Abu Dawud)