Melacak Kearifan Lokal dan Membangun Budaya Mitigasi: Refleksi Jurnalisme Bencana Indonesia dan Jepang

Ketiga Pemateri (Kiri) Muzayin Nazaruddin, S.Sos., M.A., (Tengah) Yoshimi Nishi, dan (Kanan) Ahmad Arif

Perpustakaan Pusat Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi saksi pertemuan para pakar dan praktisi jurnalisme dalam The 4th Annual Workshop on Globalization 2023. Mengangkat tema “Media and Disaster Journalism: Comparing Indonesian and Japanese Experiences”, workshop ini bertujuan untuk membandingkan pengalaman jurnalistik di Indonesia dan Jepang dalam menghadapi bencana. Kegiatan ini diselengggarakan oleh International Program Prodi Ilmu Komunikasi UII dan digelar pada Kamis (19/10/2023).

Acara dibuka dengan pemaparan mendalam oleh Yoshimi Nishi, Ph.D., Profesor dan Peneliti di Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Nishi memaparkan bagaimana Jepang, negara yang sering dilanda bencana, membangun budaya mitigasi yang kuat melalui pewarisan ingatan kolektif.

Nishi menjabarkan bagaimana media populer, seperti film dan drama, berperan penting dalam membentuk kesadaran nasional tentang bencana. “Film dan literatur mungkin tidak menggerakkan kekuatan politik, tetapi mereka mencerminkan keadaan pikiran yang pada akhirnya dapat mendominasi ruang sosial”, ujarnya mengutip Henri Chambert-Loir.

Salah satu contoh yang Nishi soroti adalah film “Your Name” (2016), yang mengangkat kisah keluarga yang mewarisi kekuatan untuk mencegah bencana dari komet yang jatuh ke Bumi. Selain film fiksi ilmiah, Nishi juga menyinggung film monster “Shin Godzilla” (2016) dan drama seri populer seperti “Crimson fate” (1976) dan “Oshin” (1983-1984).

Beralih ke konteks Indonesia, Ahmad Arif, Ketua Umum Jurnalis Bencana untuk Indonesia dan Jurnalis Kompas, menyoroti bagaimana tsunami Aceh 2004 dan tsunami Jepang 2011 memberikan pelajaran berharga bagi dunia jurnalistik.

“Di Indonesia, media cenderung memprioritaskan penggambaran tragedi untuk mendorong empati masyarakat. Namun, mereka kurang memberikan liputan pada kesiapsiagaan dan fase pascabencana, yang penting dalam mendorong pengurangan risiko bencana,” ungkap Arif.

Ia membandingkan dengan pendekatan media Jepang yang cenderung menghindari kisah-kisah kesedihan dan kehancuran. “Jurnalis Jepang lebih fokus pada penyampaian harapan dan pembelajaran tentang bagaimana menghadapi situasi bencana,” tambahnya.

Muzayin Nazaruddin, Peneliti Komunikasi Bencana dan Lingkungan di UII, menambahkan bahwa media di Indonesia masih didominasi paradigma “bad news is good news” dalam meliput bencana. Ia mendorong transformasi paradigma ke arah “jurnalisme pengurangan risiko bencana”, yang lebih menekankan pada edukasi dan mitigasi.

Workshop ini ditutup dengan diskusi yang dinamis, di mana para peserta berbagi pengalaman dan gagasan tentang cara membangun jurnalisme bencana yang lebih baik di Indonesia.