Pribadi yang Rendah Hati

Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog, 01/04/2024 13:10 WIB

A peaceful school children with hijab looking her mother with hijab, and listening the story about prophet. she smile and looking a book

Oleh: Fuad Nashori – Saya menyaksikan sejumlah contoh tentang perilaku yang menunjukkan kerendahan hati. Saat proses mengerjakan disertasi di Universitas Padjadjaran lebih dari 10 tahun lalu, saya dibimbing tiga promotor. Promotor pertama dan kedua adalah guru besar. Yang menarik adalah promotor kedua lebih senior dari sisi usia dibanding dengan promotor pertama. Sekalipun demikian, ada sebuah ungkapan yang selalu saya ingat dari ibu promotor yang baik hati ini. “Mas Fuad, bila nanti ada perbedaan pendapat antara saya dan promotor utama, Anda ikuti saja pendapat beliau.” Ungkapan ini menunjukkan betapa beliau adalah pribadi yang rendah hati.

Promotor pertama tak kalah rendah hatinya walau dalam konteks yang berbeda. Saya menyaksikan berbagai peristiwa yang menunjukkan betapa beliau adalah pribadi yang rendah hati. Setiap kali bertemu beliau di meja makan, saya selalu menyaksikan ada pak sopir yang makan bersama promotor saya ini. Dalam hati saya berkata, “betapa pak promotorku ini sangat menghargai sopirnya.” 

Dalam tulisan ini akan diungkap apa pentingnya kerendahan hati dan apa saja yang menjadi ciri pribadi yang rendah hati. Selain itu, akan ditulis empati sebagai cara untuk membentuk diri kita menjadi pribadi yang dirindukan surga ini.  

Derajatnya Diangkat Allah

Orang yang rendah hati menghargai setiap manusia. Setiap orang dipandangnya penting dan karenanya layak dihargai. Bagi orang yang mempekerjakannya seorang sopir dipandangnya sangat penting dan karenanya layak dihargai, termasuk kalau makan diajak satu meja. Seorang cleaning service sangat penting dan karenanya layak dimanusiakan. Seorang asisten rumah tangga sangat penting dan karenanya patut dihargai sebagaimana pekerja lainnya.

Karenanya komitmennya untuk menghargai siapapun, maka orang yang rendah hati diganjar Allah dengan derajat yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah. “Barangsiapa bersikap rendah hati (tawadhu) kepada Allah Subhana wa Taala satu derajat, niscaya Allah akan mengangkatnya satu derajat, dan barangsiapa bersikap sombong kepada Allah satu derajat, maka Allah akan merendahkan satu derajat hingga derajat yang paling hina” (HR Ibnu Majah, dalam Shahih Muslim No 166). Sabda Rasulullah ini mendapat dukungan dari ummul mukminin Ibunda Aisyah ra. Aisyah ra berkata: “Jika kalian ingin menjadi hamba yang paling mulia, maka tawadhulah!” (Dunya, 2016)

Apa yang dimaksud dengan kemuliaan dan derajat yang lebih tinggi? Derajat yang tinggi dan kehidupan yang mulia ditafsirkan para ulama sebagai surga. Orang yang rendah hati dihargai Allah dengan kehidupan yang serba nyaman dan bahagia di surga. Surga merindukan orang yang rendah hati. Sekalipun boleh jadi si pribadi tawadhu ini tidak memperoleh kedudukan sosial, budaya, politik, atau ekonomi yang tinggi di dunia, namun mereka punya jaminan terbaik dari Allah berupa surga. 

Kedudukan dan kemuliaan dari orang yang rendah hati sesungguhnya tidak hanya dapat dinikmati di hari akhir nanti. Di dunia ini pun mereka dapat merasakan penghargaan dan kemuliaan dari sesama. Mungkin mereka bukan orang yang dielu-elukan atau orang yang dihargai karena prestasinya atau kompetensinya. Mereka mendapat kemuliaan dan derajat yang tinggi di hati manusia yang lain dalam bentuk cinta, kasih sayang, rasa hormat, kebanggaan, kekaguman. Penghargaan untuk kaum rendah hati ini dapat saja berwujud merebaknya harum wangi kepribadian mereka di hati banyak orang. Si rendah hati bertahta di hati orang-orang yang dihargainya karena ia dihargai Allah swt. 

Sederajat

Salah satu ciri rendah hati adalah memperlakukan setiap orang sederajat. Orang yang rendah hati mempercayai setiap manusia itu istimewa dan unik. Setiap orang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Sekalipun akhirnya manusia ada yang mencapai kesuksesan tak tertandingi dan sebaliknya keterpurukan yang tiada terperi, mereka tetap manusia yang dasarnya sederajat. Karenanya, mereka percaya bahwa menghargai semua orang lebih layak dilakukan daripada bertindak yang sebaliknya.

Selebihnya adalah orang bertindak sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Apa yang dilakukan oleh promotor kedua disertasi saya –sebagaimana saya ceritakan di awal tulisan- didasari oleh kesadaran beliau sebagai orang kedua dalam otoritas pembimbingan. Beliau sadar sepenuhnya tanggung jawab utama ada di tangan promotor pertama. 

Kalau rasa tinggi hati ada dalam diri seseorang, maka ia memandang dirinya memiliki keunggulan atas orang lain. Ia akan merasa diri lebih senior, lebih berpengalaman, lebih kompeten, lebih pintar, lebih cerdas adalah pikiran-pikiran yang sering di-high light dalam kesadarannya. Dalam kenyataannya, saya sering mendengar antar promotor tidak mau mengalah karena merasa pendapatnya yang paling benar dan karenanya menempatkan mahasiswa dalam dilema yang tak berkesudahan. 

Dalam konteks bermasyarakat, orang yang rendah hati biasa menempatkan orang lain yang secara sosial lebih rendah dalam posisi sederajat. Sekalipun mereka adalah orang yang kedudukan sosialnya tinggi, mereka tetap mampu berbaur dengan orang miskin, pengemis, anak jalanan, penderita sakit kusta, dan sebagainya. Rasulullah bisa makan bersama orang-orang yang sakit kulit. Menantu beliau, Ali bin Thalib, dan cucu beliau, Husein bin Ali, biasa makan bersama orang miskin. 

Sensitif dengan Kelebihan orang Lain

Tidak hanya memandang dan memperlakukan orang lain sederajat, orang yang rendah hati sensitif terhadap kelebihan atau kemuliaan orang lain. Sekalipun yang hadir di hadapannya anak kecil, ia dapat dengan mudah melihat kelebihan anak kecil. Si anak adalah pribadi yang masih suci dan tidak dipenuhi dosa seperti dirinya. Sekalipun di hadapannya adalah warga masyarakat yang paling miskin, ia dapat menyaksikan kesabaran dan kebersyukuran yang selalu memancar dari wajah dan lisan si miskin. Sekalipun di hadapannya adalah mahasiswa yang berasal dari daerah terpinggir, terluar dan tertinggal, ia dapat menyaksikan ketangguhan dan semangat yang membaja dari mahasiswa tersebut. Setiap manusia yang melintas di hadapannya, akan terlihat kekuatan dan keunggulannya masing-masing.

Tunduk kepada Kebenaran

Salah satu ciri tawadhu yang seringkali disuarakan Rasulullah dan ulama Islam adalah kesanggupan seseorang untuk tunduk kepada kebenaran. Ini sekaligus kritik terhadap konsep tawadhu Barat yang konsep kerendahan hatinya terfokus pada konteks hubungan antar manusia. Dalam perspektif psikologi Islam, ketundukan kebenaran maksudnya adalah tunduk kepada kebenaran sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Bahwa tawadhu berintikan ketundukan kepada kebenaran dapat dicermati dari salah satu hadis Rasulullah. Hal ini sesuai dengan pendapat seoramg ulama terkenal ini.

Diriwayatkan oleh Ibrahim bin al-Asyats ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Fudhail tentang tawadhu dan ia menjawab,” Tawadhu itu adalah hendaknya anda tunduk dan patuh kepada kebenaran, walaupun anda mendapatkannya dari mulut seorang anak atau dari seorang yang bodoh sekalipun anda tetap menerimanya” (Dunya, 2016). 

Empati

Empati dapat menjadi faktor yang membentuk kerendahan hati dalam diri seeseorang. Rogers (1959) menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang dalam memahami orang lain yang dilakukan dengan cara seolah-olah masuk ke dalam diri orang lain. Dengan demikian, ia dapat merasakan, mengalami perasaan, serta pengalaman orang lain tanpa harus menghilangkan identitas diri. Selanjutnya, Goleman (2006) mengungkapkan empati merupakan kemampuan membaca emosi dari sudut pandang orang lain serta adanya kepekaan terhadap perasaan orang lain. Empati ini merupakan dasar dari rasa peduli pada kebutuhan serta perasaan orang lain yang berbeda-beda (Borba, 2008). 

Islam mengajarkan manusia untuk berempati kepada sesama. Empati yang sedemikian mendalam ini diandaikan sebagai sebagai satu banginan. Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan” (H.R. Imam Bukhari). Salah satu bentuk empati adalah saat pembagian warisan. Sekalipun anak yatim tidak berhak atas suatu warisan, namun ketika kita berempati kepada kehidupan mereka, maka kita berikan sebagian warisan yang kita peroleh kepada mereka. “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” (QS. An-Nisa [4]: 8). Empati tentu saja semestinya terarah kepada siapapun, terutama terhadap orang-orang yang berada dalam radar tanggung jawab masing-masing orang. Keluarga, tetangga, saudara, kerabat, mitra kerja, murid/mahasiswa, guru kita, asisten kita adalah mereka-mereka yang berada dalam ring terdekat dalam kehidupan kita. Tentu lebih luas lebih baik. Ketika seseorang dapat berempati kepada orang lain, maka mereka bagaikan satu tubuh atau satu bangunan.

Kemampuan berempati ini pada gilirannya akan memudahkan seseorang menjadi pribadi yang rendah hati. Penelitian Kahli (2021) menunjukkan bahwa empati memiliki hubungan yang positif dengan kerendahan hati. Empati menjadikan seseorang rendah hati. Dikatakan oleh Gander et al. (2016) dan Malouff et al. (2014), ketika individu memiliki tingkat empati yang tinggi, maka hal ini akan mendorongnya meningkatkan kualitas hubungannya dengan orang lain. Begitu kualitas hubungan dengan orang lain meningkat, individu akan mampu memahami orang lain secara lebih baik. Pada gilirannya, individu akan lebih mudah menemukan kelebihan dan keunggulan mitranya itu setelah intensitas relasinya meningkat. Orang lain akan dipandangnya sebagai pribadi yang penting yang layak dihargai.

Sekalipun terasa sesuatu yang sangat ideal, bahkan nyaris seperti memetik bintang di langit, tapi kerendahan hati penting untuk dijadikan kompas. Ia dapat memandu kita untuk mengikis kesombongan atau ketinggian hati yang kadangkali secara halus menyusup ke dalam hati kita. Semoga selalu ada semangat untuk meningkatkan kualitas diri, termasuk di dalamnya adalah kerendahan hati.

Bagaimana menurut Anda?

Referensi

Borba, M. (2008). Membangun Kecerdasan Moral. Terjemahan. PT Gramedia Pustaka Umum.

Dunya, I.A.  (2016). Berjiwa Tawadhu. Terjemahan. Darul Ulum al-Ilmiyyah.

Gander, M., George, C., Pokorny, D., & Buchheim, A. (2016). Assessing attachment representations in adolescents: Discriminant validation of the adult attachment projective picture system. Child Psychiatry and Human Development, 48(2), 270-282. doi:10.1007/s10578-016-0639-2

Goleman, D. (2006). Emotional intelligence (10th ed.). Bantam Books.

Kähli, J. (2021). Investigating trait emotional intelligence as a predictor of humility: A quantitative study. [Dissertation]. Capella University

Lajnah Pentashih Al-Qur’an. (2020). Al-Qur’an dan terjemahnya. Kementiran Agama Repubik Indonesia.

Malouff, J. M., Schutte, N. S., & Thorsteinsson, E. B. (2014). Trait emotional intelligence and romantic relationship satisfaction: A meta-analysis. American Journal of Family Therapy, 42(1), 53-66. doi:10.1080/01926187.2012.748549

Rogers, C. R. (1959). A theory of therapy, personality and interpersonal relationships as developed in the client-centered framework. In S. Koch (Ed.), Psychology: A study of a science: Vol. 3. Formulations of the person and the social context. McGraw Hill.