Kecintaan Dunia dan Gangguan Jiwa

Oleh: Novvaliant FT (Dosen Prodi Psikologi)—-

Mencintai kehidupan dunia adalah Sunnatullah serta hal yang sangat manusiawi. Kecintaan manusia terhadap harta, kekuasaan dan berbagai kesenangan hidup muncul dalam berbagai macam perilaku, seperti berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, berlomba-lomba mencapai kekuasaan atau sekedar jalan-jalan menikmati pemandangan alam. Sebagai mana yang tertulis dalam surat Ali Imran ayat 14 Allah Swt berfirman yang artinya:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Sayangnya, cukup banyak yang terjebak dengan kecintaan terhadap dunia ini, hingga merasa bahwa kenikmatan dunia merupakan tujuan hidupnya. Tidak jarang yang akhirnya menggunakan segala cara agar kenikmatan dunia bisa didapatkan dengan segera. Hawa nafsu diperturutkan, logika disalahgunakan dan peringatan diabaikan. Perilaku inilah yang sempat dikhawatirkan oleh Rasulullah yang beliau sebut dengan al wahn. Perilaku korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan munculnya berbagai macam perilaku menyimpang merupakan manifestasi agar kenikmatan dunia bisa segera dirasakan tanpa peduli dengan efek sampingnya yang bisa jadi membahayakan sekitar, baik sesama manusia maupun lingkungan. Allah SWT telah mengingatkan dalam ayat cinta-Nya di QS Ar-Rum 41:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Rasulullah SAW sendiri pernah menyampaikan terkait dengan kekhawatiran beliau mengenai umatnya yang akan diuji dengan kesenangan dunia. Nabi Muhammad pernah berdiri di depan para sahabat dan berkata: “Bukan kemiskinan yang aku takuti untukmu, tapi apa yang aku takuti untukmu adalah dunia akan dihadirkan untukmu seperti yang telah disajikan untuk mereka yang sebelum kamu, lalu kau akan bersaing untuk itu, dan itu akan terjadi, menghancurkanmu, sama seperti itu menghancurkan mereka.” (Ibn Majah)

Sahabat Rasulullah SAW sendiri pun yang terkenal dengan kata-katanya yang penuh hikmah juga menyampaikan kekhawatiran yang sama, tentang bagaimana kecintaan terhadap dunia yang berlebihan, dapat membawa pada kegelisahan.  Imam Ali bin Abi Thalib dalam Nahj Al-Balagha menyebutkan:

 “Tiadalah cinta dunia itu menguasai hati seseorang, kecuali dia akan diuji dengan tiga hal, yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.” 

Kegelisahan inilah yang berpotensi menjadi hulu bagi munculnya berbagai macam gangguan jiwa. Manusia menjadi cemas dengan berbagai macam alasan, seperti harapan yang tidak tercapai, mudah iri dan dengki dengan pencapaian orang lain, mencari kebahagiaan seperti mengejar fatamorgana, serta mudah terjebak dengan lingkaran depresi, jika menemui kegagalan. Muncul distorsi kognitif, jika Allah memberikannya nikmat, ia berpikir bahwa Allah memuliakannya, namun sebaliknya jika Allah mengujinya dengan kesempitan, maka ia menganggap Allah menghinakannya. Pola pikir ini mengabadi di QS Al Fajr 15-16, yakni

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku” dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“.

Sikap Seorang Muslim

Lalu, bagaimanakah sikap seorang muslim seharusnya dalam menyikapi dunia? Rasulullah SAW memberikan ilustrasi yang menarik. Dari Jabir RA, suatu ketika Rasulullah berjalan melewati pasar dan sesaat kemudian beliau melihat bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambil dan memegang telinga kambing itu seraya bersabda, ”Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak kambing ini dengan harga satu dirham.” Para sahabat menjawab, ”Kami tidak mau anak kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga murah, lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Kemudian Rasulullah berkata lagi, ”Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?” Mereka menjawab, ”Demi Allah, seandainya anak kambing ini hidup, maka ia cacat telinganya. Apalagi dalam keadaan mati.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ”Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian.” (HR Muslim).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga menggambarkan, bahwa sikap seorang muslim ketika di dunia adalah layaknya seorang musafir. Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar Beliau berpesan, ”Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).”

Selain itu, Allah pun telah menggambarkan kenikmatan dunia hanyalah permainan yang menipu, sebagaimana yang tertuang di QS Al Hadid 20, yakni

”Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” 

Pemahaman yang lebih utuh mengenai hakikat dunia, dapat membantu bagaimana seharusnya mencintai dunia dengan proporsional. Dunia tidak perlu dibenci, karena bagaimanapun dunia merupakan jalan yang mesti ditempuh sebelum menuju kehidupan yang abadi. Namun jangan sampai terlena sehingga seolah tujuan hidup hanya berhenti di dunia, karena ada tanggungjawab yang perlu diperhatikan. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Qashsash 77 yang artinya:

“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ketika mampu untuk mencintai dunia dengan seimbang, salah satu efeknya antara lain mencegah munculnya berbagai macam akar gangguan jiwa. Indikatornya antara lain menjadi pribadi yang tidak mudah mengalami kecemasan karena menghadapi ketidakpastian dalam hidup. Kecemasan ini berkurang atau bahkan hilang karena meyakini bahwa Allah telah mengatur semuanya dengan sempurna meski tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Selain itu, muncul karakter yang tidak mudah terpuruk atau putus asa saat musibah dan kegagalan datang melanda, karena percaya bahwa Allah tidak akan mendzalimi hamba-hamba-Nya. Sifat lain yang akan tumbuh adalah menjadi seorang yang lebih mudah untuk bersyukur, karena lebih mampu menghayati nikmat yang Allah berikan, tidak hanya sebatas mensyukuri karuniaNya, bahkan mampu mensyukuri ujian dariNya.

Penutup

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai dunia, satu sisi dapat berbahaya, sebagaimana api yang saat kita terjebak dengan euforia, dapat membakar dan menghanguskan semuanya sehingga muncul berbagai macam masalah seperti munculnya berbagai macam gangguan jiwa. Pemahaman yang mendalam dan komprehensif bagaimana seharusnya seorang muslim melihat dunia, dapat membantu untuk mencegah munculnya permasalahan-permasalahan terkait dengan hati bahkan dapat sebagai batu loncatan untuk kehidupan abadi yang lebih baik di akhirat nanti.

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” (QS al-Qasas: 77).

Wallahu’alam bishshowab