Nalar Keimanan

Oleh: Ahmad Rusdi (Dosen Prodi Psikologi)

Memahami dan Mendiskusikan mengenai iman, nampaknya tidak sesederhana yang dibayangkan. Banyak orang menganggap iman adalah dogmatik, padahal iman lebih kepada pembenaran atas kesimpulan nalar yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, iman didefinisikan sebagai pembenaran (al-taṣdīq) dengan hati, pernyataan (al-iqrār) dengan lisan, dan tindakan nyata (al-‘amal bi al-arkān). Pembenaran dengan hati bukan berarti pembenaran buta, karena hati yang dimaksud adalah potensi tertinggi manusia untuk mencapai kebenaran, oleh karena itu inti di dalam hati adalah pengetahuan (intuisi) suci (al-af’idah) yang sebenarnya dapat diakses oleh seluruh manusia. Oleh karena itu, sebagian mufassir mengartikan al-af’idah adalah intelektualitas (al-‘aql). Sulit menemukan kontradiksi antara keimanan dengan nalar, sebaliknya, kesimpulan rasional justru membawa kepada keimanan yang semakin kuat.

Iman kepada Allah

Secara naluriah, manusia adalah makhluk yang berfikir dan mempertanyakan sebab akibat. Dari mana asalnya alam semesta merupakan pertanyaan yang muncul sejak manusia ada. Ketimbang menyimpulkan ketiadaan, justru manusia menemukan ada penyebab dari segala yang terjadi di alam semesta. Banyak teori yang menawarkan penjelasan bagaimana semesta diciptakan, namun yang tidak terbantahkan adalah penciptaan semesta tidak terjadi secara acak. Kejadian pertama semesta diciptakan menggunakan perhitungan yang sangat matematis dan tanpa perhitungan yang matematis tersebut alam semesta tidak akan tercipta. Ini sesuai dengan ayat Alquran yang mengatakan bahwa alam semesta diciptakan dengan terkonsep (al-bayān) dan dengan perhitungan matematis (ḥusbān) yang menjadikan semesta dengan penuh keseimbangan (al-mīzān).

Terdapat dua kesimpulan besar tentang keberadaan alam semesta menurut para ahli, pertama adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa dimulainya penciptaan semesta disebabkan oleh faktor di luar semesta itu sendiri, yaitu Tuhan. Kesimpulan kedua menyatakan bahwa dimulainya penciptaan alam semesta disebabkan oleh semesta itu sendiri (Smith, 1999). Dari kedua pernyataan tersebut, sudah Nampak mana kesimpulan yang masuk akal dan mana yang tidak. Kesimpulan kedua berkonsekuensi pada ketiadaan tujuan, transendesi, dan esensi pada semesta dan manusia. Selain itu, kesimpulan kedua berisiko pada ketidakteraturan hidup manusia (saling zalim), karena merasa tidak ada zat yang tertinggi yang akan menegakkan keadilan sempurna. Amat merugi bagi manusia yang meniadakan Allah sebagai pencipta dengan berbagai dasar kebebasan berpikir, namun di akhirat kelak menemui kenyataan yang berlawanan dan harus merasakan penderitaan atas kekufurannya. Sebaliknya, amat beruntung bagi manusia yang meyakini Allah sebagai pencipta, karena jauh dari risiko kekufuran dan telah mempersiapkan keimanannya untuk hari akhirat kelak.

Iman kepada Malaikat

Malaikat adalah satu-satunya makhluk metafisik yang masuk dalam rukun iman. Bukan tanpa alasan, keterangan yang Allah berikan tentang malaikat dapat menggugah nalar manusia untuk merenungkannya dan sampai pada kesimpulan tak terbantahkan tentang keberadaannya dan menjadi jalan untuk yakini perkara metafisik lain. Substrat malaikat yang berasal dari cahaya, memberikan jalan pemahaman untuk melihat fakta bahwa fenomena yang ada pada cahaya sungguh bertentangan dengan sifat-sifat materil (keduniaan). Hukum alam yang berlaku pada cahaya berbeda dengan hukum alam yang berlaku pada materi biasa (Newtonian material). Diibaratkan, Allah seperti sedang memberikan perumpamaan ciptaan yang dapat diamati, namun di dalamnya terdapat perkara-perkara yang ghaib yang sampai saat ini belum terpecahkan. Cahaya tidak terpengaruh oleh ruang dan tidak terpengaruh oleh waktu.

Allah mengirimkan pesan untuk mendalami bagaimana kecepatan malaikat Ketika terbang (al-Mursalāt: 2). Cahaya memiliki kecepatan yang apabila suatu zat berada pada kecepatan tersebut, maka waktu menjadi berhenti pada zat tersebut. Maka dari itu, bagi malaikat tidak ada batasan untuk mengetahui yang akan terjadi (al-Baqarah: 30) dengan izin Allah. Cahaya juga mampu untuk terhubung tanpa adanya batasan jarak transmisi (entanglement) dan perubahannya tidak bisa dibatasi (al-Mursalāt: 3). Dengan teori ini, disimpulkan bahwa satu intervensi dapat mengubah seluruh keadaan fundamental dari alam semesta. Maka, atas izin Allah, malaikat dapat memberikan pengaruh secara langsung untuk “mengatur” hujan, mengirimkan wahyu (al-Mursalāt: 5), mengurus langit dan bumi (al-Nāzi’āt: 5).

Cahaya merupakan pintu masuk bagi para ilmuwan untuk meneliti unsur fundamental pada semesta, yaitu partikel kuantum. Unsur terkecil dari seluruh materi ada pada dimensi kuantum dan dimensi kuantum memiliki hukum yang berbeda dengan hukum materi biasa. Hukum kuantum sangat berbeda, di dalamnya tidak ada ruang dan waktu dan tidak ada yang tetap, semua bersifat kemungkinan (superposisi). seakan-akan Allah ingin menjelaskan bahwa di balik yang fisik ada yang metafisik, di balik dunia ada akhirat.

Iman kepada Kitab-Kitab-Nya

Iman kepada kitab-kitab-Nya Ini merupakan konsekuensi atas iman kepada Allah. Ketika seseorang percaya kepada Allah, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang ada di alam semesta ini diciptakan dengan adanya tujuan, tidak ada satupun yang diciptakan di dunia ini adalah sia-sia, termasuk dirinya sendiri. Ini adalah kesimpulan yang tidak bisa dibantahkan. Oleh karena itu, Allah sebagai pencipta memberikan pedoman bagi manusia untuk menjalankan tujuan hidupnya. Berbeda dari makhluk lain yang senantiasa bersujud tanpa adanya kehendak, Allah memberikan manusia potensi tertinggi yaitu akal, sehingga manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan tindakannya. Allah perlu memberikan kitab suci bagi manusia sebagai pedoman, karena manusia memiliki kehendak bebas dan kemampuan bernalar, maka Allah berikan pedoman bagi manusia dalam bentuk ayat.     Ayat yang Allah berikan kepada manusia terdapat dua jenis, yaitu ayat kauniyah dan qauliyah. Ayat kauniyah merupakan petunjuk bagi manusia untuk berperilaku melalui kesimpulan-kesimpulan di balik ciptaan-ciptaannya. Dari fenomena alam, manusia dapat memahami konsekuensi dari perbuatan baik dan perbuatan buruk. Sehingga, seharusnya manusia mampu mengetahui bagaimana seharusnya bertindak. Tidak hanya ayat kauniyah, Allah juga menurunkan ayat qauliyah kepada manusia, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak beribadah kepada Allah karena tidak memahami ciptaannya. Allah berikan pernyataan yang tegas, aplikatif, implementatif, dan mudah dipahami, sehingga manusia dapat menjalankan fungsi ibadahnya dengan sebaik-baiknya.

Alquran sebagai kitab Allah yang terpelihara hingga saat ini senantiasa memberikan petunjuk ke pada manusia secara jelas, selalu relevan, dan tanpa kontradiksi. Hal ini karena Alquran sebagai ayat kauniyah merupakan rancangan atau ketentuan (al-qadr) sempurna yang sudah ada sebelum adanya semesta. Menurunkan Alquran ke dunia artinya dimulai penciptaan alam semesta dan segala urusannya (min kulli amr). Oleh karena itu, antara ayat qauliyah dan kauniyah tidak akan pernah bertentangan. Seluruh aspek dari semesta ini sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Alquran, baik itu perkara kosmologi (al-Anbiyā’: 30), astronomi (al-Ghāsyiyah: 18) astronomi pengkalenderan (al-Baqarah: 189; al-An’ām: 96), meteorologi (al-Nūr: 43), lempeng geologi (al-Naml: 88), vulkanologi (al-Nahl: 15; al-Anbiyā’: 31), botani (al-A’rāf: 58; al-An’ām: 99), zoologi (al-Nūr: 45), anatomi (al-Sajdah: 9; al-Nisā’: 86), dan sebagainya (Bucaille, 1995; Naik, 2000; Qadhi, 1999)

Iman kepada Rasul

Iman kepada Rasul merupakan konsekuensi atas keyakinan manusia bahwa manusia diciptakan memilki tujuan. Rasul adalah konsekuensi logis yang harus ada sehingga kitab suci bisa sampai kepada manusia. Perlu manusia yang sempurna yang dapat menyampaikan Alquran dengan bahasa yang sempurna. Sehingga, latar belakang dari Rasul, bahasa yang digunakan, tempat hidup, waktu, budaya, dan etnis dipilih Allah dengan alasan yang sangat kuat. Dengan pilihan tersebut, manusia dapat memahami pesan yang ingin Allah sampaikan tanpa satu pun ketidakjelasan dan kontradiksi.

Diperlukan contoh bagi manusia bagaimana mengimplementasikan ayat-ayat-Nya. Rasul harus ada untuk menunjukkan dan memberi model ideal (uswah) bagaimana seharusnya menjadi manusia. Sehingga, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak tahu atau tidak dicontohkan. Rasul terlibat dalam aktivitas sebagai manusia biasa, sehingga semua manusia seharusnya dapat meniru apa yang dilakukan oleh Rasul.

Keimanan kepada Rasul tidak dapat diragukan dengan alasan apapun. Tidak ada satu fakta yang dapat membatalkan bahwa para Nabi bukan seorang Nabi. Jika para Rasul bukan utusan Allah, maka apa motifnya? Berbohong? Para Nabi adalah orang yang paling amanah di antara semua manusia ketika itu. Motif kekayaan?, para Nabi ditawari kekayaan namun ditolaknya. Motif Wanita? Para Nabi ditawari wanita, tapi ditolaknya. Majnūn (gila)? para Nabi memiliki kecerdasan, memahami permasalahan, bahkan dimintai nasihatnya untuk memecahkan persoalan. Kerasukan syaitan?. Tidak mungkin Nabi menyampaikan wahyu yang bertentangan dengan keinginan syaitan. Kekuasaan? Rasul diberikan keuasaan namun ditolaknya.

Umat yang hidup di tengah para Nabi dapat melihat sendiri bagaimana Nabi berperangai dan berperilaku. Sehingga, seharusnya sulit bagi mereka untuk menerima kenabian para Rasul. Adapun umat saat ini yang tidak bernah berjumpa dengan Nabinya, maka mendapat kecintaan dari Rasul, “mereka yang tidak pernah melihatku, tetapi mereka percaya kepadaku. Dan kerinduanku kepada mereka lebih besar”.

Iman kepada Hari Akhir

Semesta memiliki batas usia dan menurut beberapa teori, semesta pada waktunya akan kembali terkompresi menjadi satu titik kecil. Apalagi bumi, fakta menunjukkan bahwa bumi memiliki batas usia. Fakta tentang tanda-tanda hari kiamat sesuai dengan perhitungan astronomis ilmiah. Suatu saat nanti, diperkirakan matahari akan mengembang hingga mencapai bumi (matahari seperti di atas kepala). Sekalipun manusia bisa bertahan dengan terus berpindah, pada suatu saat nanti, alam semesta akan berhenti mengembang, menyusut, dan mendingin (Garcia-Belindo, 2003). Jika dunia didefinisikan sebagai sesuatu yang dibatasi ruang dan waktu, maka pada saatnya nanti semesta kembali ke satu titik, maka waktu dan ruang sudah tidak ada lagi (Tammann, 1999). Artinya, dunia sudah berakhir (yaum al-ākhir).

Akhirat merupakan suatu kepastian yang tidak terbantahkan. Dimensi akhirat memiliki situasi yang jauh berbeda dengan dimensi dunia. Akhirat merupakan dimensi di mana tidak ada lagi materil, sesuatu yang tidak pernah dilihat mata (mā lā ‘ain ra’at), tidak pernah didengar telinga (lā udzun sami’at), bahkan sulit untuk digambarkan dengan khayalan pikiran (lā khaṭar ‘alā qalb basyar). Substrat duniawi sudah tidak ada lagi di alam akhirat, bagi orang yang terbudak dengan kelezatan duniawi, maka akhirat tidak lagi menyenangkan bahkan menjadi penjara dan siksaan baginya. Sebaliknya, Ketika manusia di dunia menggemari aktivitas ukhrawi, maka akhirat menjadi tempat paling membahagiakan baginya (al-Sajdah: 17).

Iman kepada Takdir

Sulit untuk menerima bahwa masa depan kita sudah diketahui, sehingga kita terjebak pada fatalism. Namun, perspektif lain dapat dipahami bahwa qaḍā’  dapat dianalogikan dengan potensi dan qadar dapat dianalogikan dengan aktuasi. Potensi dan aktuasi keduanya adalah realitas. Bahkan, teori yang lebih ekstrim menjelaskan bahwa semua potensi berjalan dan membentuk universe-nya sendiri. Iman kepada qaḍā dan qadar ingin menunjukkan bahwa konsekuensi atas aksi adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Allah memiliki pengetahuan tak terbatas akan seluruh tindakan manusia dan seluruh kemungkinan-kemungkinannya.

Manusia tidak bisa mengendalikan seluruh keadaan dengan kemampuannya, bahkan hanya sedikit yang bisa dikendalikan oleh manusia. Sebaliknya, banyak kejadian dalam hidup yang di luar kendali dari manusia. Hasil merupakan ketentuan prerogratif Allah. Jika hasil yang didapat berupa kenikmatan, hendaknya manusia bersyukur. Jika hasil yang didapatkan di bawah harapan, hendaknya manusia qanā’ah. Jika hasil yang didapatkan justru berubah menjadi cobaan, maka hendaknya manusia bersabar. Jika hasil yang akan didapatkan jauh dari kemungkinan terwujud, maka hendaknya manusia bertawakkal. Maka, iman kepada takdir akan membawa seseorang memiliki kualitas akhlak mulia yang lebih sempurna.

Jangan Pisahkan Akal dengan Hati

Banyak orang mengartikan hati (qalb) sebagai organ atau bagian dari diri manusia, sebagaimana al-Ghazālī menganalogikan jantung sebagai organ fisik dan qalb adalah organ spiritual. Otak adalah organ fisik dan akal adalah organ spiritual. Namun, perlu diketahui bahwa dunia spiritual berbeda dengan dunia materi, sehingga asumsi organ spiritual seperti pada organ fisik dapat diragukan. Salah satu prinsip dari alam spiritual adalah kesatuan. Ide di alam spiritual bersifat tunggal, adapun manifestasi fisik selalu bersifat jamak. Dengan demikian, akal seharusnya tidak bertentangan dengan hati, bahkan keduanya merupakan kesatuan (al-Ḥajj: 46), bahkan dengan seluruh fungsi mental manusia (al-A’rāf: 179; al-Nahl: 78; Qāf: 37; al-Ḥadīd: 16; ). Semakin dalam lapisan hati diaktifkan, maka semakin dalam intelektualitas suci seseorang. Begitu pula, semakin seseorang menggunakan nalar suci, maka semakin dalam dia bisa mengaktifkan hatinya. Sebaliknya, semakin buruk seseorang menggunakan akalnya, maka semakin tidak berfungsi hatinya (al-Taubah: 87; al-An’ām: 25; al-Baqarah: 7; ). Pengetahuan yang sebenarnya bersifat suci, kebenaran hanya datang karena Dengan ilmu, dan keburukan datang karena tiada pengetahuan. Dengan demikian, keimanan bukan hanya sekedar rasa dan keyakinan dogmatis, melainkan suatu pencapaian holistik sebagai manusia yang esensial.

Referensi

Bucaille, Maurice. (1995). The Qur’an and modern sicences. Islamland. https://www.islamland.com/uploads/books/The_Quran_and_Modern_Science_maurice_bucaile-eng.pdf

Garcia-Belindo. (2003). The evolution of the universe. Word Scientific. https://cds.cern.ch/record/609557/files/0303153.pdf

Naik, Zakir. (2000). The Qur’aan and modern sciences: Compatible or incompatible. Islamic Research Foundation. http://www.islamguiden.com/arkiv/quran_science.pdf

Smith, Quentin. (1999). The Reason the universe exists is that it caused itself to exist. Philosophy, 74 (290), 579-586. https://www.jstor.org/stable/3752028

Tammann, Gustav Andreas. (1999). Birth, age, and the future of the universe. Spatium (3). http://www.issibern.ch/PDF-Files/Spatium_3.pdf

Qadhi, Abu Ammar Yasir. (1999). An introduction to the sciences of the Qur’aan. Al-Hidayah Publishing and Distribution.https://theauthenticbase.files.wordpress.com/2010/11/introduction-sciences-of-the-quran-yasir-qadhi.pdf