Dilema Pemimpin Perempuan dalam Islam
Oleh : Lifthya Ahadiati Akmala (Dosen Prodi Psikologi FPSB UII) —-
Perdebatan antara boleh atau tidaknya perempuan untuk memegang peran pemimpin dalam sebuah organisasi, perusahaan, ataupun negara telah menjadi pembahasan panjang dalam berbagai forum kajian mulai dari perspektif tata negara hingga keagamaan. Pertanyaan mendasar yang kemudian seringkali memancing diskusi mengenai posisi perempuan dalam puncak manajerial adalah mampu atau tidaknya perempuan sebagai individu untuk mampu mengelola suatu organisasi atau lembaga dengan segala dinamikanya.
Faktanya, meskipun masih banyak pihak yang menyangsikan kemampuan perempuan dalam memegang posisi kepemimpinan akan tetapi jumlah perempuan pada posisi puncak organisasi ternyata semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, hampir 50% dari talent pool di Amerika Serikat dan negara lainnya diduduki oleh perempuan, dimana lebih dari 51% nya menduduki posisi manajerial. Di Indonesia sendiri, 6 posisi dari jajaran kabinet Indonesia Maju juga diduduki oleh perempuan.
Jika menilik pada sejarah dan kisah nabi-nabi di dalam Al-Qur’an, di dalam Surat Saba’ ayat 15 dengan jelas diceritakan tentang kisah Ratu Balqis yang merupakan seorang perempuan yang memimpin kerajaan besar. Ratu Balqis mampu berpikir lincah, bersikap hati-hati, dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Respon yang ditunjukkan ketika melihat keindahan istana Nabi Sulaiman pun menunjukkan kualitas kecerdasannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam perjalanan sejarah agama Islam pun terdapat kisah mengenai peran perempuan dalam kepemimpinan.
Ketika banyak pihak menyangsikan kemampuan perempuan dalam memegang peran kepemimpinan secara efektif dan meningkatkan nilai unggul organisasi yang dipimpinnya, hasil survey yang dilakukan oleh Catalyst (2014) sebagai lembaga non-profit yang bergerak pada kemajuan perempuan di perusahaan menunjukkan bahwa peran perempuan dalam posisi manajerial puncak mampu memberikan keuntungan 35% lebih tinggi daripada perusahaan yang memiliki proporsi perempuan yang lebih rendah pada posisi manajerialnya.
Meskipun banyak fakta ataupun data yang menunjukkan perubahan positif yang diberikan oleh perempuan ketika menduduki posisi manajerial di suatu perusahaan, akan tetapi perdebatan mengenai kelayakan akan hal tersebut ternyata masih hangat untuk didiskusikan. Kebimbangan akan kemampuan perempuan dalam memimpin suatu organisasi bagi banyak pihak sejatinya bukan tanpa alasan. Pertimbangan mengenai kapasitas personal, kompetensi, hingga unsur ajaran agama menjadi isu yang cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan sebuah organisasi untuk menempatkan perempuan pada posisi puncak.
Jika menilik pada konsep kepemimpinan itu sendiri, Yukl (2010) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi orang lain dengan sengaja untuk membimbing, mengatur, serta memfasilitasi kegiatan dan hubungan dalam suatu kelompok atau organisasi. Suatu proses kepemimpinan dapat dikatakan efektif jika dilihat dari sejauh mana kinerja kelompok atau organisasi tersebut mampu ditingkatkan serta pencapaian tujuan organisasi dapat terfasilitasi dengan baik. Pemimpin yang efektif dinilai sebagai individu yang kontribusi kepemimpinannya dapat dirasakan oleh semua anggota organisasi.
Bias kepercayaan tentang keterampilan dan perilaku yang diperlukan untuk mampu menjalankan kepemimpinan yang efektif merupakan salah satu alasan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang terjadi pada ranah pemilihan pemimpin. Lebih lanjut Yukl (2010) menjelaskan bahwa selama ini kepemimpinan yang efektif diasumsikan dengan atribut percaya diri, berorientasi pada tugas, kompetitif, objektif, tegas, dimana semuanya dipandang sebagai atribut yang dimiliki oleh laki-laki.
Kepemimpinan yang efektif juga identik dengan ketrampilan interpersonal yang kuat, kepedulian untuk membangun kerjasama, terjalinnya hubungan saling percaya seperti mendukung, mengembangkan, maupun menguatkan yang seringkali diatribusikan sebagai feminim. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, organisasi profit maupun non-profit saat ini lebih membutuhkan kepemimpinan efektif yang mampu meningkatkan fungsi organisasi secara optimal sehingga seharusnya organisasi lebih berfokus pada perilaku serta atribut yang dimiliki oleh calon pemimpin dibanding menjadikan gender sebagai isu atau alasan kepemimpinan.
Jelas tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini stereotip yang berkembang terutama di masyarakat Indonesia memandang perempuan sebagai sosok yang kurang mampu untuk menduduki posisi kepemimpinan. Sebenarnya hal ini juga bukan merupakan asumsi semata karena hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya pun menjelaskan bahwa meskipun perempuan menampilkan sisi maskulinitas yang dimilikinya ketika memimpin, hal ini tidak mengundang respon yang cukup positif dari lingkungannya dibandingkan ketika laki-laki menampilkan sisi maskulinitasnya.
Kondisi ini tentu tidak bisa lepas dari latar belakang agama dimana mayoritas masyarakat Indonesia merupakan muslim. Perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya perempuan memegang posisi kepemimpinan juga turut dikaji melalui persepektif agama. Masyarakat muslim dalam aplikasi kehidupannya menjadikan Al-Quran dan hadis sebagai dasar penetapan suatu keadaan yang terjadi. Termasuk diantaranya adalah fatwa mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin dalam suatu organisasi atau negara.
Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga resmi pemerintah yang dapat mengeluarkan fatwa atas sesuatu pun belum pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan sebagai pemimpin. Hal ini didasari pada masih adanya perdebatan pula di kalangan ulama tentang asas boleh atau tidaknya perempuan sebagai pemimpin. Bagi sebagian pihak yang melarang dengan tegas perempuan untuk dapat menduduki posisi kepemimpinan biasanya mendasarkan pada ayat Al-Qur’an Surat An-Nisaa’: 34 yang sebagian ayatnya berarti:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”
Berdasarkan ayat tersebut, para ahli tafsir menyatakan bahwa kata “qawwam” yang terkandung pada ayat tersebut bermakna pemimpin, pelindung, pengatur, dan sebagainya. Lebih lanjut al-Razy dalam Tafisr al-Kabir menjelaskan bahwa kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki dibandingkan perempuan disebabkan karena keunggulan akal dan fisiknya.
Senada dengan pendapat tersebut, al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kasysyaf mengungkapkan bahwa keunggulan laki-laki dibandingkan perempuan dikarenakan akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, dan keberanian yang dimilikinya. Thaba’thaba’i juga turut menguatkan bahwa kelebihan akal yang dimiliki oleh laki-laki mampu melahirkan jiwa-jiwa keberanian, kekuatan, dan kemampuan dalam mengatasi kesulitan. Sebaliknya, perempuan dipandang lebih sensitif dan emosional.
Dalam Tafsir al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan tentang pemahaman mengenai Surat An-Nisaa’ ayat 34 tersebut bahwa pada ayat tersebut tidaklah langsung datang perintah yang mengatakan kepada laki-laki untuk wajib menjadi pemimpin dan kepada perempuan untuk wajib menerima pimpinan. Akan tetapi yang diterangkan lebih dahulu dalam ayat tersebut adalah kenyataan dimana meskipun tidak ada perintah namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan, sehingga kalaupun misal terdapat perintah perempuan memimpin laki-laki maka kepemimpinan tersebut tidak akan bisa berjalan sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia sebagaimana yang disebutkan pada awal mula ayat tersebut.
Stringer (2014) dalam studinya juga menjelaskan bahwa perempuan memiliki kelemahan ketika menduduki posisi sebagai pemimpin. Perempuan biasanya akan cenderung menerapkan tujuan yang kurang menantang untuk dicapai oleh organisasi dibandingkan yang ditetapkan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan rendahnya keberanian pengambilan resiko yang dimiliki oleh perempuan sehingga diasumsikan organisasi tidak akan dapat berkembang dengan cepat apabila dipimpin oleh pemimpin perempuan.
Perempuan juga dinilai lemah dalam kemampuan analisis dan riset pasar sehingga kurang mampu untuk menangkap peluang pengembangan organisasi. Inovasi-inovasi yang akan dilakukan oleh organisasi juga cenderung sulit jika suatu organisasi dipimpin oleh perempuan.
Sementara itu, Quraisy Shihab pada kitab tafsirnya juga menjelaskan maksud Surat an-Nisaa’ ayat 34 tersebut dimana kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak kemudian serta merta mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi termasuk dalam hal kepemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Meskipun sebagian ulama menjadikan ayat tersebut sebagai dasar untuk melarang perempuan memegang posisi puncak dalam organisasi, akan tetapi sebagian lainnya juga menjelaskan bahwa maksud kepemimpinan laki-laki pada ayat tersebut adalah pada konteks kehidupan rumah tangga, sehingga pada konteks kehidupan bermasyarakat ataupun organisasi maka hak laki-laki untuk menjadi pemimpin sama sebagaimana hak perempuan untuk mengelola organisasi.
Jika ditilik lebih lanjut, meskipun pada banyak hal laki-laki lebih diunggulkan sebagai pemimpin dibandingkan perempuan ataupun perempuan mulai digaungkan untuk dapat menduduki posisi puncak dalam sebuah organisasi, ternyata sebuah penelitian yang dilakukan oleh Eagly dan Johnson (2010) menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang cukup berarti antara laki-laki maupun perempuan dalam perilaku kepemimpinan.
Meskipun tidak ada perbedaan pada unsur kepemimpinan antara laki-laki maupun perempuan akan tetapi keduanya memiliki perbedaan dari segi gaya kepemimpinan. Perempuan cenderung menggunakan kepemimpinan partisipatif dibandingkan laki-laki. Dalam pemahaman yang lebih baru, perempuan cenderung lebih banyak menggunakan gaya kepemimpinan transformasional dibandingkan laki-laki dengan perbedaan mendasar yang terletak pada kemampuan individual seperti perilaku yang mendukung, kemampuan mengembangkan bawahan, hingga rasa percaya diri.
Atribusi yang melekat pada diri individu dalam bentuk maskulinitas ataupun feminin memiliki pengaruh pada gaya kepemimpinan berdasarkan jenis kelamin. Kepemimpinan dengan gaya feminim cenderung berorientasi pada hubungan interpersonal, karismatik, serta demokratis. Trinidad (2005) menjelaskan hal ini sebagai dampak dari stereotip yang berkembang di masyarakat tentang perempuan sebagai sosok yang sensitif, hangat, bijaksana, serta ekspresif.
Melawan arus yang berkembang di masyarakat, aliran feminisme mengklaim bahwa perempuan lebih mungkin untuk memiliki nilai-nilai serta keterampilan yang dibutuhkan sebagai pemimpin yang efektif dibandingkan laki-laki dalam organisasi modern. Pengalaman hidup mulai dari masa kecil, hubungan antara orangtua dan anak, hingga latar belakang sosial budaya yang dimiliki mendorong nilai-nilai feminin seperti kebaikan, belas kasih, mangayomi dan berbagi.
Para pendukung aliran feminisme juga berpendapat bahwa perempuan lebih peduli untuk membangun kesatuan, inklusif, serta peduli terhadap hubungan interpersonal. Perempuan juga dipandang sebagai sosok yang lebih bersedia untuk mengembangkan bawahannya dan berbagi kekuasaan dengan bawahannya. Perempuan juga diyakini lebih memiliki empati, lebih mengandalkan intuisi serta lebih sensitif terhadap kualitas hubungan dengan orang lain.
Kepemimpinan dapat dikatakan efektif tentunya juga dinilai dari peningkatan kualitas bawahan serta pengalaman yang dirasakan oleh bawahan selama periode kepemimpinan tersebut. Stringer (2014) dalam penelitiannya pada para bawahan tentang persepsi mereka terhadap gender pemimpin, hasilnya menunjukkan bahwa bagi para bawahan baik laki-laki maupun perempuan memiliki kompetensi yang sama untuk menjadi pemimpin di suatu organisasi, akan tetapi memang perempuan memiliki kekuatan yang berbeda dengan yang dimiliki oleh laki-laki.
Pada penelitian tersebut lebih lanjut dijelaskan bahwa perempuan dapat bersikap lebih terbuka dan apa adanya dibandingkan laki-laki. Hal ini kemudian membuat perempuan jauh lebih menghadapi konflik secara langsung. Perempuan juga dipandang lebih kuat menjadi coach serta lebih baik dalam menyampaikan umpan balik positif maupun negatif bagi bawahannya. Hal ini mendukung kemampuan perempuan yang mampu untuk mengembangkan potensi organisasi ketika menduduki posisi kepemimpinan dalam suatu organisasi.
Tentu tidak semua masyarakat muslim melarang untuk memilih perempuan sebagai pemimpin. Sebagian ulama kemudian mendasarkan pendapat tersebut pada Qur’an Surat at-Taubah ayat 71 yang berarti:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Pada ayat tersebut, Allah SWT mempergunakan kata “auliya” (pemimpin) bukan hanya ditujukan kepada pihak laki-laki saja, akan tetapi baik laki-laki ataupun perempuan secara bersamaan. Maka pada sebagian ulama yang memperbolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin, ayat ini menjadi dasar dalam penentuan asas boleh pada kondisi tersebut. Ayat ini mengisyaratkan bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin selama dia mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dalam tafsir al-Maraghi dan tafsir al-Manar dimana kata “auliya” mencakup wali dalam arti sebagai penolong solidaritas dan kasih sayang.
Selaras dengan hal tersebut, Rosener (2005) juga memberikan gambaran bahwa ketika perempuan memegang posisi pemimpin dalam suatu organisasi maka gaya kepemimpinannya cenderung bersifat interactive leadership yang memiliki karakteristik kuat dalam hubungan interpersonal. Pemimpin perempuan akan mampu mendorong partisipasi bawahan, mengutamakan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi, menguatkan keterampilan interpersonal, dan membangun suasana yang menyenangkan dalam bekerja.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya tentu jelas terlihat bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi kekuatan dan kelemahannya masing-masing terutama ketika menduduki posisi sebagai pemimpin. Sikap yang kurang bijaksana apabila pelarangan atau pemberian kesempatan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin dalam suatu organisasi hanya didasarkan pada isu-isu atribusi yang bersifat stereotip tanpa memahami lebih lanjut mengenai potensi kekuatan yang dimiliki.
Perempuan sejatinya juga memiliki potensi yang baik untuk dapat menjadi pemimpin dalam suatu organisasi dengan dua syarat. Pertama, memiliki kemampuan serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan kepemimpinan secara efektif. Kedua, kebutuhan organisasi terhadap sosok pemimpin sesuai dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh perempuan. Diluar kondisi tersebut maka menjadi tantangan bagi masyarakat untuk membentuk lingkungan yang suportif agar potensi perempuan juga dapat berkembang optimal sejalan dengan berkembangnya kualitas masyarakat di Indonesia.
Referensi
Trinidad, C. dan Normore, A.H. (2005). Leadership and Gender: A Dangerous Liaison?. Leadership and Organization Development Journal, 26, 7/8, pg. 574.
Yukl, G. (2010). Leadership in Organizations Seventh Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.