Urgensi Merawat dan Memperkuat Akidah Cendekiawan Muslim: Tantangan Modernitas terhadap Akidah

Oleh: Masitoh Nur Rohma (Dosen Hubungan Internasional UII) ——

Konsep dasar mengenai akidah erat kaitannya dengan tauhid atau pengesaan Tuhan. Akidah sendiri dapat diartikan sebagai keyakinan, ikatan antara manusia dengan Tuhan (Allah). Oleh karena itu, konsep akidah tidak dapat dilepaskan dari fitrah manusia untuk beragama. Akidah sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan menghadapi tantangan berupa modernitas. Tulisan ini membahas tentang urgensi memperkuat akidah di tengah modernitas dengan mengeksplorasi butir-butir tantangan yang muncul akibat modernisasi.

Zaman Kegelapan Eropa (the Dark Ages) dilingkupi dengan otoritas gereja yang tidak dapat ditandingi oleh entitas mana pun termasuk negara (raja). Gereja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, mengatur seluruh sendi kehidupan mulai dari agama, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan hingga kekuatan militer. Doktrin gereja merupakan titah mutlak yang tidak bisa dibantah. Siapa pun yang bertentangan dengan gereja harus diberantas terlepas dari salah dan tidaknya sebuah perkara.

Perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa ketika Dark Ages terbendung oleh kekangan gereja. Para ilmuwan yang menggagas teori-teori baru yang bertentangan dengan doktrin gereja ditekan bahkan nyawanya terancam. Galileo Galilei merupakan salah satu contoh ilmuwan yang menggagas teori yang bertentangan dengan doktrin gereja. Galileo menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya yang disebut sebagai teori heliosentris. Karena teori yang dia cetuskan, Galileo diinvestigasi gereja hingga dijatuhi hukuman percobaan karena tidak mempercayai teori geosentris.

Besarnya kekuasaan gereja menimbulkan keresahan masif di masyarakat Eropa. Gereja menjadi pihak yang bertindak sewenang-wenang mengatasnamakan Tuhan dalam segala tindakan dan keputusan. Masa-masa kelam mencapai titik kulminasi hingga terjadi Perang 30 Tahun yang melibatkan gereja dengan para penentangnya.

Pasca Perang 30 Tahun disebut sebagai Zaman Pencerahan yang menandai adanya kebebasan terhadap doktrin dan otoritas gereja. Hilangnya pengaruh gereja disambut dengan gembira sebagai bentuk kemerdekaan sebuah peradaban. Masa tersebut kemudian menjadi titik awal modernisasi. Efek yang ditimbulkan selama Dark Ages tidak hanya terasa pada hilangnya pengaruh gereja dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Eropa. Akan tetapi, secara umum, agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak lagi bernilai di peradaban Barat sehingga tidak memiliki porsi untuk tampil di ranah publik. Barat menjadi bersikap skeptis terhadap kebenaran-kebenaran yang bersumber dari ranah keagamaan dan secara signifikan membuat agama ditinggalkan. Berangkat dari hal tersebut, Islam sebagai agama yang berupaya memurnikan ajaran-ajaran yang diwahyukan langsung dari langit menghadapi tantangan-tantangan yang menyebar dari hegemoni cara pandang Barat terhadap agama.

Fitrah Beragama pada Manusia

Setiap manusia memiliki fitrah tauhid rububiyyah yang meyakini keesaan Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rezeki seluruh makhluk, penguasa serta pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang menjalankan siang dan malam, yang memuliakan dan menghinakan, dan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu (DPPAI 2018, 36-37). Allah kemudian menurunkan agama Islam melalui wahyu kepada para nabi dan rasul untuk memenuhi fitrah beragama pada manusia. Dalam arti luas, setiap nabi dan rasul membawa ajaran tauhid yang dinyatakan dalam agama Islam. Namun, dalam arti sempit, agama yang mengajarkan tauhid adalah agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia hingga di akhir zaman. Kodrat manusia untuk bertauhid atau berjiwa monoteisme dinyatakan dalam firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.S. Al-A’raf: 172)

Ayat tersebut ditafsirkan bahwa pada dasarnya setiap manusia telah memiliki naluri untuk bertauhid. Manusia sebelum lahir ke alam dunia, tinggal di alam ruh dan alam rahim. Di dalam alam ruh itulah manusia dibaiat oleh Allah bahwa ia mengakui Allah adalah satu-satunya Tuhan. Fitrah manusia yang suci ini terus terbawa hingga ia dilahirkan ke dunia. Secara naluriah manusia kemudian memiliki kebutuhan untuk bergantung pada sesuatu atau bersandar dan tempat bergantung tersebut sudah seharusnya hanya kepada Allah SWT. Namun, ketika manusia tumbuh dan mendewasa, tidak semuanya dapat terus menjalani fitrah bertauhidnya. Banyak di antara mereka yang kemudian ingkar terhadap Islam atau bahkan tidak percaya dengan keberadaan Tuhan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani dan majusi (penyembah api). Apabila kedua orang tuanya muslim, maka anaknya pun akan menjadi muslim. Setiap bayi yang dilahirkan dipukul oleh syetan pada kedua pinggangnya, kecuali Maryam dan anaknya (Isa) (H.R. Muslim).

Setiap manusia terlahir suci, tidak memiliki dosa setitik pun. Namun, akan menjadi apakah ia ditentukan oleh bentukan orang tuanya. Seseorang akan menjadi muslim ataukah Nasrani maupun Yahudi tergantung bagaimana pengaruh yang diberikan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, terdapat manusia yang dapat memenuhi fitrah beragama Islam dan ada pula yang tidak. Fitrah beragama yang terpenuhi dan tidak terpenuhi inilah yang menjadi titik awal bagaimana pengaruh modernitas dapat menjadi tantangan terhadap akidah.

Modernitas dan Tantangan yang Muncul

Zaman modern merupakan turunan dari peradaban Barat yang mengedepankan prinsip sekularisme, materialisme, dan hedonisme (Tohirin 2011, 284). Sekularisme merupakan paham yang memisahkan antara agama dan negara. Agama dipandang sebagai urusan individu yang pengekspresiannya di hadapan publik menjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Modernitas menuntut adanya perubahan cara pandang terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan alam untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran secara optimal (Asmaya 2009, 46). Modernitas ditandai dengan pesatnya industrialisasi dan masifnya perkembangan ilmu pengetahuan. Industrialisasi mengantarkan Barat menguasai dunia melalui imperialisme dan kolonialisme. Dalam perkembangannya hegemoni Barat ditopang oleh sistem kapitalistik yang mengandalkan ekonomi sebagai roda penggerak dan alat kontrol terhadap kekuasaan.

Kemajuan teknologi menciptakan alienasi terhadap diri seorang manusia. Modernisasi membuat manusia merasa asing terhadap dirinya sendiri dan nilai-nilai kepribadian yang dia miliki (Asmaya 2009, 47). Maka bukan hal yang mengherankan jika manusia menjadi asing terhadap fitrahnya, merasa asing dengan tanda-tanda kekuasaan Allah karena orientasi hidupnya hanya sebatas kesenangan hidup di dunia.

Sekularisme

Arus modernitas belajar dari pengalaman peradaban Barat yang kelam ketika kekuasaan gereja mengekang segala aspek kehidupan. Ketidakpercayaan Barat terhadap hikmah-hikmah yang dibawa oleh agama memunculkan keyakinan bahwa agama harus disingkirkan dari ranah publik dan urusan negara. Benih-benih pemisahan antara agama dengan negara tumbuh subur di antara masyarakat yang mengandalkan pola pikir berdasarkan rasionalitas. Teori sekularisasi yang diusung oleh Brian Wilson, Steve Bruce, dan Peter L. Berger berargumen bahwa kesenjangan antara modernitas dan agama menekan signifikansi sosial agama (Pickel 2017, 263). Hal tersebut berimplikasi pada kemunduran nilai-nilai relijius. Penyebaran sekularisme dan hegemoni Barat menjadi titik mendasar tantangan modernitas yang dihadapi oleh nilai-nilai Islam, terutama prinsip ketuhanan dan pelibatan agama dalam setiap sendi kehidupan. Sekularisme menyelinap dalam dunia Islam melalui kolonialisasi yang dilakukan di negara-negara muslim untuk mencabut pondasi-pondasi keislaman yang sudah ada (Ismail 2014, 87).

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memiliki sumber hukum yang lengkap untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sumber-sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Quran dan as-sunnah. Di dalam sumber-sumber pokok tersebut segala urusan manusia mulai dari ibadah, muamalah, hingga hikmah-hikmah kehidupan dan urusan yang berkaitan dengan akhirat telah diatur dengan jelas dan terperinci. Setiap hal telah diatur dengan detail yang mengindikasikan kehidupan seorang muslim tidak dapat terlepas dari tuntunan agama.

Sementara itu, sekulerisme yang menuntut pemisahan antara agama dan negara merupakan sebuah tentangan yang besar terhadap ajaran Islam. Kaidah bertuhan tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus menjadi ruh yang mewarnai jalannya kehidupan di dunia. Sedangkan Islam mengajarkan bahwa akidah merupakan pondasi yang menjadi dasar setiap amal perbuatan yang dilakukan manusia. Setiap pencapaian dan kebaikan tidak akan bermakna apa-apa jika tidak dilandasi dengan akidah.

Pada titik ekstremnya, sekularisme beranggapan bahwa agama akan membatasi atau bahkan menghambat proses modernisasi. Agama dianggap menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan jalan manusia untuk memperoleh kebebasan dan pemenuhan hak-hak individu. Oleh karena itu, nilai-nilai relijius menurut paham ini harus disingkirkan dari kehidupan. Alam harus murni dari makna-makna spiritual dan politik bukanlah sesuatu yang sakral (Asmaya 2009, 49).

Sekularisme menjadi tantangan terbesar akidah karena hanya menyediakan ruang yang sangat terbatas bagi agama untuk berekspresi. Sementara Islam meletakkan akidah sebagai dasar dalam setiap aspek kehidupan. Contohnya dalam memilih pemimpin, di dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 28, Islam menuntun untuk memilih pemimpin dari golongan mukmin. Keyakinan bahwa memilih pemimpin yang seakidah akan membawa keselamatan dan kemaslahatan umat bertentangan dengan sekularisme. Akibatnya, gesekan antara golongan yang meyakini urusan dunia harus dikaitkan dengan agama dan golongan sekuler semakin kuat hingga memicu berbagai macam konflik.

 

Materialisme

Cara berpikir rasional mendorong masyarakat modern untuk selalu menjadikan unsur-unsur materi sebagai dasar dalam bertindak dan mengambil keputusan. Segala sesuatu harus dapat diukur dan diterima secara logis. Oleh karena itu, agama juga dianggap sebagai takhayul. Islam khususnya, dianggap sebagai lamunan atau angan-angan pembawanya (Nabi Muhammad SAW). Materi menjadi sumber kepuasan dan salah satu pencapaian tertinggi dalam kehidupan.

Allah telah berfirman di dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 14 bahwa pada dasarnya manusia memang tidak dapat menghindar dari kecintaan terhadap materi atau dunia:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)

Kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat material bukanlah sesuatu yang salah karena kodrat manusia memang demikian. Namun, ayat tersebut juga mengingatkan bahwa selain dunia, terdapat kehidupan lain yang lebih baik sebagai tempat kembali manusia. Oleh karena itu, materialisme hanya berpikir pendek dalam melihat kehidupan. Materialisme yang tidak memercayai adanya kehidupan setelah kematian sangat bertentangan dengan akidah. Kedua hal tersebut sama sekali tidak bisa dikompromikan.

Islam tidak melarang manusia untuk mencari kesenangan dunia tetapi kesenangan itu memiliki batasan tertentu. Di dalam Al-Quran Surah Al-Jumu’ah ayat 10 Allah berfirman:

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntun

Ayat tersebut bermakna bahwa manusia diperintahkan untuk mencapai keseimbangan dunia dan akhirat, bukan condong pada salah satunya. Manusia diperintah untuk beribadah kepada Allah tetapi juga diperintah untuk memenuhi kebutuhan dunianya. Sementara itu, materialisme hanya mengusung kepentingan dunia dalam setiap tujuan tindakannya.

Kapitalisme sebagai turunan yang lahir dari materialisme menimbulkan persoalan. Di dalam sistem masyarakat kapitalis, dunia dianggap sebagai lahan untuk berkompetisi bagi siapa saja. Setiap individu berkompetisi untuk memperoleh keuntungan material tanpa batas. Dari satu sisi hal tersebut bagus untuk memacu semangat mencapai kehidupan yang lebih baik. Di sisi lain, makna kehidupan yang hanya sebatas materi mendegradasikan moral dan akhlak. Nilai-nilai kehidupan yang sakral digadaikan dengan kesenangan dunia yang bersifat sementara.

Kapitalisme yang berangkat dari kebebasan dan kesetaraan hak untuk berkompetisi membuat setiap orang dapat terjun dalam dinamika sosial, tak terkecuali dalam urusan ekonomi. Namun, sistem yang kapitalistik membuat golongan pemilik modal menguasai sebagian besar perputaran ekonomi dunia. Pihak yang tidak memiliki modal menjadi pihak yang tereksploitasi dan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri karena dikendalikan oleh unsur-unsur materi yang dimiliki pemilik modal. Kompetisi pun pada akhirnya hanya dapat dilakukan oleh kelompok yang memiliki kapasitas modal, bukan lagi oleh setiap orang.

World system theory yang diungkapkan Wallerstein merupakan penggambaran bagaimana sistem ekonomi kapitalis menimbulkan keterpurukan negara-negara berkembang. Negara-negara maju dengan modal besar mengeksploitasi negara berkembang dengan mengeruk sumber dayanya. Tidak hanya sumber daya alam yang dieksploitasi, sumber daya manusianya pun tak luput dari sasaran. Mereka dijadikan sebagai tenaga buruh dengan upah yang murah karena tidak memiliki keahlian yang spesifik untuk melakukan kerja. Akibatnya, dalam kaidah kapitalisme, siapa yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Padahal di dalam Islam hal tersebut tidak diperbolehkan. Kepemilikan harta harus diimbangi dengan memberikan zakat. Berlaku dzalim dengan melakukan eksploitasi sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Di tengah arus modernisasi, materialisme sering kali menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan karena sudah menjadi gaya hidup dan termanifestasi ke dalam sebuah sistem atau tata kelola yang mumpuni. Manusia dikurung dalam penjara keduniawian sehingga jauh dari nilai-nilai agama. Butir modernitas berupa materialisme ini menjadi salah satu tantangan yang akan terus muncul seiring dengan kodrat manusia yang selalu ingin memenuhi kebutuhannya selama ia hidup di dunia.

Hedonisme

Masyarakat modern yang rasional tidak mempercayai kehidupan yang kekal setelah kematian. Hidup hanya untuk saat ini maka harus dinikmati dan dihabiskan untuk bersenang-senang atau hedonisme. Dalam hal ini, perkembangan ilmu pengetahuan menjadi salah satu manifestasi bagaimana manusia berusaha menciptakan kemudahan dan kenyamanan dalam hidupnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan sampai pada titik di mana aspek keilmuan lebih diagungkan dari pada Tuhan itu sendiri.

Kemudahan akibat modernisasi dan teknologi mendorong manusia untuk mendapatkan kebahagiaan secara instan. Gaya hidup foya-foya dan seks bebas merupakan beberapa contoh bagaimana hedonisme mewarnai kehidupan modern yang sama sekali tidak mempertimbangkan kebahagiaan secara hakiki dan kehidupan yang berkelanjutan.

Berangkat dari hak asasi manusia, hedonisme pemenuhan hak individu merupakan sebuah keharusan. Padahal di dalam Islam, pemenuhan kewajiban merupakan hal yang harus diutamakan dari pada menuntut hak. Manusia diperintah untuk menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah, yakni beribadah, bersyukur, berdoa, dan sebagainya. Paradigma Islam beranggapan bahwa manusia tidak akan mendapatkan haknya secara pantas jika ia tidak menunaikan kewajiban dengan baik. Demikian pula bahwa ketika manusia yang bertakwa akan diganjar surga dan yang ingkar akan diganjar neraka. Relasi antara kewajiban dan hak ini tidak dikenal di dalam hedonisme yang membuatnya sangat jauh dari orientasi ukhrawi.

Emansipasi

Emansipasi menjadi salah satu tantangan yang tidak terelakkan ketika berbicara tentang akidah dan modernisasi. Emansipasi berangkat dari pemahaman bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan hak yang harus dipenuhi dan dihormati oleh individu-individu lain. Individu menjadi pusat perhatian kaum modern, bukan pada negara, kelompok, atau pun entitas lain. Hak-hak individu harus dijunjung setinggi-tingginya dan dibela sekuat-kuatnya jika ingin mencapai kesuksesan dan kemapanan. Antroposentrisme menjadi roda penggerak emansipasi di dalam modernitas.

Emansipasi diartikan sebagai kesetaraan yang mengarah pada posisi individu terhadap individu yang lain. Emansipasi muncul dalam setiap aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Di dalam segi ekonomi misalnya, perempuan tidak lagi hanya menguasai ranah domestik tetapi juga diberi ruang untuk keluar dan melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti laki-laki. Mereka keluar rumah dan memadati jalanan, melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap maskulin seperti berpolitik. Hak-hak bersuara dan berpendapat juga mereka dapatkan, bahkan hingga pada ranah paling privat seperti pemaknaan terhadap gender dan jenis kelamin bisa mereka lakukan sendiri.

Di dalam emansipasi tidak dikenal yang namanya diskriminasi akibat latar belakang individu. Di dalam dunia Islam sudah jelas bahwa kaum-kaum menyimpang seperti LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender) akan mendapat hukuman dan diperlakukan sebagai orang yang tidak normal. Akidah Islam menanamkan bahwa pelanggaran terhadap ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah SAW tidak bisa ditawar. Sedangkan dalam masyarakat modern yang menjunjung tinggi nilai emansipasi, kaum LGBT justru mendapatkan tempat dan sambutan hangat.

Emansipasi juga menentang posisi kaum perempuan di dalam Islam yang menyatakan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan yang ditegaskan dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”

Mereka juga mengkritik bahwa agama samawi bersifat maskulin karena dibawa oleh nabi yang kesemuanya laki-laki. Dalam praktik ibadah, mereka juga tidak setuju bahwa imam solat haruslah laki-laki. Beberapa golongan bahkan berupaya merusak akidah dengan melaksanakan solat dengan imam perempuan dan makmum laki-laki. Pertentangan yang muncul tersebut tidak bisa ditawar. Umat Islam menemui tantangan untuk menjaga kemurnian akidah tidak hanya dari kalangan eksternal tetapi juga internal.

Penutup

Akidah sebagai landasan pokok kehidupan seorang muslim tidak bisa ditawar dan digadaikan dengan hal lain. Tidak ada substansi yang dapat menggantikan akidah sebagai jalan yang menuntun manusia pada keimanan dan tauhid yang murni. Cendekiawan yang tidak memiliki landasan akidah akan tenggelam pada pemujaan terhadap ilmu pengetahuan yang berlebihan. Pengetahuannya pun dapat menyimpang dari kodrat-kodrat yang digariskan Ilahi seperti ketika membuat proyek kloning, operasi transgender, dan sebagainya.

Akidah yang kuat dan lurus merupakan jalan keluar dari bahaya yang ditimbulkan akibat sekularisasi, materialisme, hedonisme, dan emansipasi. Oleh karena itu, sebagai cendekiawan muslim, kita harus senantiasa membentengi diri dan menggenggam buhul-buhul tali Allah dengan kuat supaya tidak disesatkan oleh kenikmatan dunia. Jangan sampai waktu, tenaga, dan materi hanya habis untuk kesenangan sesaat tanpa menyisakan sedikit pun tabungan di akhirat karena tidak memahami akidah dengan baik.

Sejatinya, manusia tidak perlu mengejar dunia dengan sekuat tenaga karena dunia dan seisinya memang dikaruniakan kepada kita. Allah SWT berfirman di dalamAl- Quran Surah Al-Jasiyah ayat 13.

Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir

Akan tetapi, tanda-tanda kekuasaan Allah melalui nikmat duniawi tidak dapat dilihat oleh orang yang hatinya buta dan tuli terhadap kalam Ilahi. Mereka yang mengejar dunia akan diberi kemewahan dan kekuasaan yang melenakan sebagai bentuk ujian yang menyenangkan. Di dalam Al-Quran Surah Al-Anfal ayat 28 Allah SWT berfirman:

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar

 Dunia biarkan di dalam genggaman, tetapi agama letakkan di dalam hati yang akan mewarnai setiap langkah dalam kehidupan. Manusia diperintah untuk mengejar dunia, memanfaatkan rahmat yang diturunkan Allah dengan sebaik-baiknya, menikmati waktu untuk memenuhi hak diri.  Akan tetapi, manusia juga diperintah untuk terus mematrikan hati dan pandangannya pada akhirat. Tidak boleh melepaskan keyakinan pada Allah bahwa Allah Maha Mengawasi dan Maha Membalas. Merawat akidah penting supaya manusia tidak kehilangan arah dan mampu menyeimbangkan kebutuhan hidup di dunia dan kebutuhan di akhirat kelak.

Referensi

Tim Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Pilar Substansial Islam, Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta, 2018.

Tohirin dalam Hilal Ramadan dan Muhammad Dwi Fajri (eds.), Aqidah Untuk Perguruan Tinggi. Uhamka Press, Jakarta Selatan, 2011.

Asmaya, Enung, ‘Modernitas dan Tantangannya terhadap Pelaksanaan Dakwah,’ Jurnal Dakwah dan Komunikasi, vol. 3, no. 1, 2009, pp. 46-62.

Ismail, M. Syukri, ‘Kritik terhadap Sekularisme: Pandangan Yusuf Qardhawi,’ Kontekstualita, vol. 29, no. 1, 2014, pp. 82-97.

Pickel, Gert, ‘Secularization – an empirically consolidated narrative in the face of an increasing influence of religion on politics,’ Politica & Sociedade – Florianopolis, vol. 16, no. 36, 2017, pp. 259-294.