Mengapa Sulit Memberi dan Meminta Maaf?

Oleh : Dr. H. Fuad Nashori, S.psi., M.Si., M.Ag., Psikolog—–

Beberapa orang, dalam satu dan lain hal merasakan sukar baik untuk memberi maaf dan meminta maaf. Secara psikologis, apakah ada penjelasan  untuk hal ini? Demikian pertanyaan yang pernah diajukan kepada saya di suatu kesempatan.

Ketika dilukai orang lain secara sengaja maupun tak sengaja, baik fisik maupun psikologisnya, sebagian besar orang akan merasakan terluka atau terzalimi. Umumnya mereka percaya bahwa butuh waktu untuk memaafkan orang-orang yang telah menzaliminya. Dalam penjelasan psikologis, memang ada proses yang kadang panjang hingga akhirnya seseorang benar-benar memaafkan.

Ada yang prosesnya cepat dikarenakan kepribadian yang bersangkutan sangat membantu, misalnya kepribadian kebaikan hati (agreeableness) yang menonjol. Orang yang baik hati memiliki ciri peduli terhadap nasib orang lain (tender-mindedness), rendah hati (humility), murah hati (altruism), ramah (compliance). Nabi Muhammad adalah contoh terbaik pribadi yang mudah memaafkan. Ketika mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari orang Thaif, beliau tidak menunjukkan kemarahannya. Rasulullah sangat cepat dalam memaafkan mereka, termasuk mendoakan mereka, dikarenakan sangat peduli dengan nasib masa depan mereka. Mendoakan orang lain yang menzalimi yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah menunjukkan tuntasnya pemaafan dalam diri beliau. Rasulullah juga tetap menunjukkan kemurahan hatinya atas seorang warga Madinah yang bermata buta dan beragama Yahudi. Sekalipun orangtua buta itu terus menerus mencerca namanya, Rasulullah tetap saja menyuapi orang tersebut dengan penuh kasih sayang dan kelembutan secara istikomah. Rasulullah dan pemeluk Islam secara persis paham apa yang difirmankan Alloh dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron (3) ayat 159 yang berbunyi “Maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarhlah dengan mereka.”

Faktor-faktor lain, seperti keterikatan interpersonal, dukungan social, religiusitas, berat ringannya perbuatan dzalim yang dirasakan, dan sebagainya. Seberapa dekat hubungan kita dengan orang yang menyakiti juga berpengaruh. Orang yang dekat yang sudah menorehkan cerita kebaikan di hari kita lebih mudah kita maafkan dari pada orang yang sedikit berbaik baik kepada kita. Nasihat-nasihat dari orang yang berpengaruh dalam kehidupan kita akan membantu seseorang memaafkan. Nasihat dari teman, mitra, teman kerja, keluarga, kerabat, juga memudahkan pemaafan. Kesalahan yang kecil dan sedang lebih mudah dimaafkan. Sementara kesalahan yang berupa pembunuhan, fitnah perselingkuhan, pengkhiatan adalah kesalahan yang lebih berat dan lebih susah dimaafkan. Agama pastinya memberikan pengaruh yang besar terhadap pemaafan, terutama Ketika “keberagamaan mendorong tumbuhnya rahmatan lil alamien, yaitu kasih sayang bagi siapapun, tidak pandang agama apanya, sukunya apa, rasnya apa” (Religiosity and Forgiveness – Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (uii.ac.id).

Namun, sebagian besar orang memerlukan waktu untuk dapat memaafkan secara optimal atas kesalahan orang lain yang diterimanya. Ada sejumlah proses perjalanan yang harus ditempuh untuk benar-benar bisa memaafkan. Para ahli psikologi seperti Robert Enright percaya butuh prosses untuk betul-betul memaafkan. Tahap pertama adalah perasaan sakit hati dan dendam. Tahap kedua orang mulai memikirkan pemaafan. Pemikiran pemaafan ini sangat terbantu oleh pengetahuan dan keyakinan agama seseorang. Bila nilai agama sudah dia miliki, maka itu akan membantunya untuk bergerak ke tahap berikutnya. Dukungan, nasihat, dan bahkan perintah ungkapan dari orang lain juga bisa sangat membantu. Tahap berikutnya adalah aktivitas memaafkan, yang dilakukan secara interpersonal. Pemaafan akan lebih terasa bila ada interaksi yang positif. Orang yang marah memaafkan dan orang yang menzalimi menyesali. Saya percaya dengan bertemu dan berbicara dari hati ke hati, pemaafan akan lebih optimum bisa tercapai. Tahap terakhir adalah orang merasakan adanya internalisasi kebermaknaan memaafkan.

Jauh sebelum Robert Enright, lebih kurang 1000 tahun lalu, argumentator Islam Imam Al-Ghazali, juga menyampaikan pemaafan itu berlangsung bertahap. Tentu tahapnya disiapkan dan dijalani orang-orang yang berkomitmen memaafkan. Pertama: Gadhab (marah). Di sini orang yang menjadi korban transgresi menyadari adanya rasa marah (sakit hati, iri dengki, keinginan balas dendam) yang dapat menghadirkan dampak buruk dari kemarahan.  Kedua: Hilmun (pengendalian rasa tersinggung). Ada proses untuk membuat diri tidak mudah tersinggung. Awalnya boleh jadi ada keterpaksaan untuk membuat diri tidak mudah marah, tapi lama kelamaan jadi kebiasaan. “Orang yang kuat bukan orang yang pandai bergulat tapi yang mampu menguasai diri saat marah” (HR Bukhari & Muslim). Ketiga: ‘Afwun. Suatu keadaan saat sesorang berhak atas suatu hak, lalu hak tersebut digugurkannya (dihilangkannya) dan dilepaskannya dari orang yang harus menunaikan hak tersebut. Islam menjamin masuk surga bagi orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Keempat: Ihsan. Tahapan ini dalah tahapan di mana individu membalas kezaliman dengan kasih sayang. Dalam tahap ini seorang berupaya agar ia dapat menyediakan berbagai kebaikan, baik berupa materi, perhatian, doa, dan sebagainya kepada seseorang yang telah teridentifikasi sebagai balasan yang lebih baik dari apa yang sudah diterimnya dari orang lain. Kelima: al-Rifqun. Ini adalah suatu bentuk belas kasihan yang diwujudkan dalam perilaku/sikap lemah lembut. Di sini seseorang berbuat baik kepada orang lain karena kepeduliannya yang sangat tinggi kepada orang yang ditolongnya.

Harus saya katakan bahwa kadang orang berhenti sangat lama di tahap pertama. Benci, marah, sakit hati, dan dendam selalu dipeliharanya dalam hati. Budaya jothakan yaitu saling mendiamkan yang ada dalam budaya Jawa kadang mempersulit untuk memaafkan. Budaya harga diri yang sangat tinggi juga mempersulit pemaafan. Dulu, orangtua Romeo dan orangtua Yuliet saling membenci bahkan mereka ingin kebencian itu dapat diteruskan dari waktu ke waktu.

Mengajukan permintaan maaf juga bukan perkara mudah. Sebagian besar orang melihat masalah yang dihadapi dengan sudut pandangnya sendiri. Kalaupun orang merasa bersalah atas berlangsungnya suatu kezaliman, mereka umumnya berpikir bahwa orang lain yang lebih salah. Para koruptor saja lebih senang menyalahkan orang lain dari pada diri sendiri. Padahal kesadaran bahwa “saya yang bersalah”, saya ikut bersalah, atau saya memiliki andil kesalahan yang lebih besar, sangat penting untuk membuat seseorang dapat meminta maaf.

Saya percaya bahwa bila seseorang punya kejujuran dalam dirinya, maka ia akan mudah memperoleh insight atau pencerahan untuk menyadari kesalahannya. Bila orang yang beriman, maka ia akan cenderung berupaya memperoleh memperoleh pengampunan dari Tuhan (Menghapus Dosa dengan Memaafkan dan Meminta Maaf – Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia (uii.ac.id). Pengampunan dari Tuhan akan diperolehnya hanya bila ia memperoleh pemaafan dari orang lain.

 

Tipe yang Mudah dan Sulit Memaafkan

Apakah memang ada tipe-tipe orang yang secara psikologis punya kecenderungan sukar memberi dan meminta maaf? Apakah orang yang sukar meminta maaf sukar juga memberi maaf?
Secara umum kepribadian berhubungan dengan pemberian maaf. Saya menemukannya dalam penelitian yang saya lakukan pada sejumlah etnis. Tentu juga saya menemukannya dalam berbagai riset yang dilakukan para ahli sebelumnya. Tipe kepribadian kebaikan hati atau agreeableness adalah tipe yang secara konsisten paling mudah memaafkan. Ciri orang-orang tipe ini adalah hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan, dan fleksibel. Dengan sifat-sifat itu mereka mudah memaafkan. Pertimbangan mereka sehingga mereka mudah memaafkan adalah karena mereka bertanggung jawab. Tanggung jawab moral untuk menghadirkan kebaikan kepada orang lain menjadikan mereka mampu memaafkan. Karena tanggung jawab itu, mereka tidak menganggap penting kezaliman yang dilakukan orang lain kepada diri mereka. Yang mereka pentingkan adalah tanggung jawab untuk memberi dampak positif kepada orang lain.  Pemaafan diberikan untuk memudahkan hadirnya dampak positif bagi orang lain.

Tipe yang kedua yang juga mudah memaafkan adalah kepribadian ekstraversi. Ciri-ciri orang tipe ini adalah keterbukaan ekspresi, asertif, dan berjiwa sosial. Mereka juga mudah memaafkan. Ini karena mereka suka bergaul, suka berada di antara banyak orang. Dengan memaafkan, mereka ingin mempertahankan hubungan baiknya dengan orang lain. Mereka ingin agar relasinya dengan relasinya dengan orang lain yang memburuk dapat diperbaiki. Memaafkan menjadikan mereka nyaman menjalin dan menjalani relasi dengan orang lain.

Tipe yang paling sulit memaafkan adalah kepribadian neurotisisme. Ciri penting dalam orang tipe ini adalah mudah merasa marah, sedih, stres, cemas dan depresi. Dengan perasaan itu individu selalu diliputi rasa permusuhan terutama terhadap orang yang pernah menyakiti hatinya.  Orang yang bertipe neurotis adalah orang yang tidak stabil secara emosi. Mereka mudah terpengaruh oleh suasana hati akibat stimulasi tak menyenangkan dari lingkungan. Istilah populernya adalah baper. Mereka mudah baper bila ada hal yang tidak menyenangkan. Sebagian dari mereka mempunyai ciri sumbu pendek. Kalau merasa tersakiti, mereka menunjukkan emosi yang negative seperti marah, benci, sakit hati.  Sebaliknya, orang yang secara emosional stabil cenderung tidak terpengaruh suasana hati atau terlalu sensitif sehingga mereka mudah untuk memaafkan.

Demikian. Wallahu a’lam bi ash shawab.

*Dr. H. Fuad Nashori adalah dosen Jurusan Psikologi Fakultas psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII