Menghapus Dosa dengan Memaafkan dan Meminta Maaf
Oleh: Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog
Salah satu kehidupan manusia adalah suka berbuat salah dan dosa. Manusia membutuhkan cara untuk menutupi kekurangannya itu, khususnya dosa yang terarah kepada sesama manusia. Saat orang lain berbuat salah dan dosa yang terarah kepada kita, kita diajari untuk memaafkan. Saat kita berbuat salah dan dosa kepada orang lain, kita diajari untuk meminta maaf. Tulisan ini akan melakukan kajian terhadap dua hal di atas, yaitu memaafkan dan meminta maaf.
Sabar dan Memaafkan
Dalam kehidupan sehari-hari ada saja perbuatan orang lain yang tidak berkenan bahkan menyakitkan hati kita. Bila kita menyimpannya dalam hati, rasa sakit itu ternyata menimbulkan berbagai dampak fisik dan psikologis. Sakit hati membahayakan kesehatan jantung dan sistem peredaran darah (William & William, 1993), kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, sakit telinga (Pennabaker, 2003). Sakit hati juga menjadikan hati manusia dipenuhi marah, dendam dan benci kepada orang lain yang dipersepsi merugikannya. Ini menjadi sumber stres dan depresi manusia. Hati yang dipenuhi energi negatif, akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang destruktif, baik dalam bentuk rerasan, pengungkapan kemarahan di depan publik, maupun hujatan. Dampak lebih jauh adalah kekerasan, termasuk di dalamnya mutilasi.
Bagaimana semestinya kita menyikapi perilaku orang lain yang mengganggu kita? Jawaban pertama adalah kesabaran. Allah ‘azza wa jalla (QS al-Baqarah <2>: 155-156) berfirman:
“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa. Namun, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang yang apabila ditimpa musibah mengucapkan ‘sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).
Yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang menyakitkan hati kita, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allah tidak mengizinkannya. Seekor nyamuk tak akan menyentuh kulit apalagi sampai menghisap darah kita kalau Allah tidak mengizinkan. Tidak mungkin ada tamparan mendarat di muka kita kalau Allah tidak mengizinkan. Kalau Allah menghendaki atau mengizinkan suatu kerugian menimpa kita, pasti Allah punya maksud. Maksud utamanya adalah menguji kita dengan cara memberi cobaan kepada kita. Bila punya cara berpikir ilahiyah sebagaimana di atas, maka kita akan sampai kepada pemahaman “Allah sedang menguji saya”. Orang yang mampu bersabar, maka Allah bersamanya. Innallaha ma’ash-shabirin.
Menarik untuk menjadi catatan kita sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sofyan Trenggana (UII, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara intensitas puasa (senin-kamis) dengan kesabaran. Puasa melatih seseorang untuk merelevankan setiap perilakunya dengan Allah. Puasa senin dan kamis, sebagaimana penelitian di atas, dapat mengubah diri seseorang untuk menjadi lebih sabar. Lebih-lebih kalau puasa itu dilakukan secara terus-menerus sebagaimana halnya kita lakukan di bulan ramadhan. Pastilah efek yang ditimbulkannya lebih besar, dalam hal ini adalah melatih kesabaran seseorang.
Jawaban kedua adalah memaafkan. Allah ‘azza wa jalla dalam al-Qur’an (QS al-Maidah, 5:15) berfirman:
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Memaafkan adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti atau didzalimi. Lebih dari itu, pemaafan juga proses menghidupkan sikap dan perilaku positif terhadap orang lain yang pernah menyakiti . Oleh Nashori (2014), pemaafan dapat diartikan kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal dengan orang lain dan menumbuhkembangkan pikiran, perasaan, dan hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran secara tidak adil
Memaafkan memang tidak mudah. Butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Adanya kebaikan bagi diri kita dan bagi orang lain akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan. Seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford California, Frederic Luskin (Martin, 2003), pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang. Hasil penelitian Luskin menunjukkan bahwa memaafkan akan menjadikan seseorang: (a) Jauh lebih tenang kehidupannya. Mereka juga (b): tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, dan dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama. Dan yang pasti, mereka (c) semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.
Para ahli psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual. Pada beberapa tahun belakangan, pemaafan semakin populer sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan emosi negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat ketidakadilan, memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan (Walton, 2005). Pemaafan selanjutnya secara langsung mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat (Worthington & Scherer, 2004).
Pada saat berpuasa, kesediaan kita untuk memaafkan juga tinggi. Kita memiliki semangat yang tinggi untuk memperoleh pahala dan menguras dosa-dosa kita. Maka, saat lebaran datang, kita bahkan mengobral pemaafan. Semoga pemaafan tidak hanya di bibir, tapi sampai di hati. Allah ‘azza wa jalla melalui Al-Qur’an (QS Ali Imran, 3: 159) memberikan resep agar pemaafan tuntas, yakni memohonkan ampunan bagi mereka serta bermusyawarah.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Termasuk pengertian memohonkan ampun bagi mereka adalah mendoakan kebaikan bagi mereka, mengusahakan kebaikan bagi mereka, dan sebagainya. Melalui ayat tersebut, Allah juga memerintahkan manusia agar luka yang pernah ada jangan sampai semakin menganga dikarenakan munculnya sebab kemarahan, yaitu dengan bermusyawarah. Oleh karena itu, bermusyawarahlah sebagaimana disampaikan ayat di atas dimaksudkan agar dua orang atau lebih yang pernah konflik hendaknya membuat kesepakatan-kesepakatan sebelum bekerjasama lagi agar peristiwa yang menyakitkan hati tidak lagi terulang.
Meminta Maaf
Dalam al-Qur’an, sebagaimana diungkapkan ahli tafsir terkemuka di Indonesia, M. Quraish Shihab (2011), tidak ditemukan perintah untuk meminta maaf. Namun, dalam al-Hadits ditemukan perintah untuk berusaha dihalalkan dosa-dosa kita kepada saudara kita, yang berarti kita diminta untuk meminta maaf atau dimaafkan. Hal ini sebagaimana diungkapkan sebuah hadis Nabi saw.
Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa pernah melakukan kedzaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizalimi) kemudian dibenankan kepadanya. (HR Al-Bukhari).
Salah satu pengetahuan yang sudah lama kita simpan berkaitan dengan masalah ini adalah dosa orang tidak dimaafkan kecuali korban atau orang yang dirugikan memberi maaf. Memang ada kemungkinan orang yang menjadi korban dari perbuatan dzalim kita akan memberi maaf. Namun, ada kemungkinan juga dia tidak memberikan maaf. Dia simpan kebencian dan kemarahan dalam hatinya. Kalau itu yang terjadi, dosa tetap tersandang dalam diri kita.
Karenanya, pilihan yang lebih proaktif, yaitu meminta maaf, menjadi pilihan yang lebih menjamin kepastian dihapuskannya dosa-dosa. Meminta maaf jelas merupakan salah satu bentuk kerendahhatian (tawadhu’) pribadi dan tentu juga merupakan salah satu bentuk keberanian manusia.
Kita percaya bahwa sekalipun suatu perbuatan salah atau memalukan kita lakukan, tetap ada jalan bagi seseorang untuk memperbaiki diri. Jalan untuk menghapus perbuatan yang memalukan atau perbuatan salah adalah menghapus kesalahan dengan jalan sosial (meminta maaf kepada orang lain) dan spiritual (bertaubat kepada Tuhan) dan melakukan perbuatan yang baik dengan jalan sosial (berbuat positif kepada sesama) dan spiritual (berbuat baik kepada Tuhan).
Satu hal positif yang semestinya dilakukan untuk menghapus perbuatan salah adalah meminta maaf. Kalau perbuatan salah itu terarah kepada seseorang, pemintaan maaf mestinya diarahkan kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban. Bila kesalahan itu tertuju kepada banyak orang, maka permintaan maaf itu semestinya dilakukan secara terbuka, melalui pers.
Selain itu, permintaan maaf sesungguhnya punya manfaat agar orang-orang yang menjadi objek dari perbuatan salah tidak melakukan tindakan yang destruktif dan agresif (Baron & Byrne, 2014). Sebagaimana kita ketahui, seringkali orang yang menjadi objek kedzaliman melakukan pembalasan dengan cara yang lebih keras. Temuan dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa agresivitas lebih sering didasari oleh alasan membalas perkataan atau perbuatan agresif orang lain. Yang jadi permasalahan adalah balasan itu umumnya lebih keras dibanding rasa sakit yang diterima seseorang.
Permintaan maaf ini berguna untuk meredam amarah yang ada dalam diri orang yang didzalimi. Penyesalan atas kata-kata atau perbuatan di masa lalu serta janji untuk tidak mengulangi perbuatan salah berfungsi untuk meredam amarah yang bergejolak dalam diri seseorang yang disakiti.
Demikian. Bagaimana menurut Anda?
Daftar Pustaka
Al-Munzhiri, Z.D. (2002). Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Penerbit Mizan
Baron, R.A. & Byrne, D. (2014). Social Psychology: Undersatnding Human Interaction. Boston: Allyn and Bacon.
Martin, A.D. (2003). Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit Arga.
Nashori, H.F. (2014). Psikologi pemaafan. Yogyakarta: Safiria Insania Cita.
Pennebaker, J.W. (2002). Ketika Diam Bukan Emas. Bandung: Mizan.
Ramadan, T. (2007). Muhammad Rasul Zaman Kita. Jakarta: Penerbit Serambi.
Shihab, M.Q. (2011). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan Media Utama.
Thompson, L.Y., Snyder, C.R., Hoffman, L., Michael, S.T., Rasmussen, H.N., Billings, L.S., Heinze, L., Neufeld, J.E., Shorey, H.S., Roberts, J.C., & Robert, D.E., (2005). Dispositional Fogiveness of Self, Other, and Situation. Journal of Social and Personality Psychology, 73 (2), 313-359.
Tim Penerjemah Depag. (2012). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departeman Agama R.I.
Trenggana, S. (2008). Hubungan antara Intensitas Puasa Senin Kamis dan Kesabaran. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Walton, E. (2005). Therapeutic Forgiveness: Developing A Model For Empowering Victims Of Sexual Abuse. Clinical Social Work Journal, 33 (2), 193-207.
Worthington, E.L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness Is An Emotion-Focused Coping Strategy That Can Reduce Health Risks And Promote Health Resilience: Theory, Review, And Hypotheses. Psychology and Health, 19 (3), 385–405.
Penulis adalah dosen psikologi Islam dan psikologi sosial Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII & Wakil Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islam – Himpsi