HIMAPPRO Gelar Seminar Pemberdayaan Masyarakat Terdampak Bencana

Pemberdayaan Masyarakat Terdampak Bencana. Demikian seminar pengembangan komunitas di daerah terdampak bencana yang diselenggarakan  Himpunan Mahasiswa Magister Psikologi Profesi (HIMAPRO) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu, 18 Oktober 2017 di R. Auditorium FPSB UII. Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Drs. Heddy Shri Ahimsa  Putra, M.A., M.Phil., Ph.D (pakar antropologi budaya), Noer Kholik (GIS Staff in BPPTKS, Badan Geologi), Fajar Radite Syamsi (Founder Sekolah Gunung Merapi) dan Bapak Subagjo (Kepala Dukuh Pangukrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman). Moderator dibawakan oleh Rahmat Oktavianto Akbar.  Acara dibuka oleh Dekan FPSB UII, Dr.rer.nat. Arief Fahmi, M.A., Psikolog.  Seminar diikuti oleh para akademisi, praktisi, pemerhati,  maupun perwakilan dari instansi pemerintah dan swasta.

Subagjo selaku pembicara pertama menyampaikan kondisi riil masyarakat sebelum erupsi Merapi dimana saat itu dirinya menjalankan peran sebagai kepala dukuh bayangan untuk mengcover tugas kepala dukuh resmi yang sudah berusia lanjut dan sering sakit. Beliau juga menceritakan kondisi warga paska erupsi saat tinggal hunian tetap yang disediakan pemerintah, dimana sebagian warganya masih sering ke hunian lamanya untuk memberi makan ternak atau untuk keperluan lainnya. Termasuk kesulitan yang dialami wilayahnya dalam pengadaan air bersih.

Sedangkan paparan kedua materi disampaikan oleh Heddy Shri Ahimsa  Putra yang membahas masalah relokasi bagi warga Merapi yang terkena dampak erupsi tahun 2010 lalu. Hasil penelitian antropologi menemukan bahwa pendudukan penduduk lereng Merapi telah lama beradaptasi dengan lingkungan alam tempat tinggal mereka. “Mereka mengenal dengan baik situasi dan kondisi alam di sekitar mereka (gunung, sungai, tanah, iklim, cuaca dan lain sebagainya). Mereka memiliki hubungan emosional dengan lingkungan. Mereka hidup bertani dan beternak. Tanaman dan ternak adalah harta mereka yang sangat berharga. Tanaman  dan ternak telah membuat hidup mereka lebih bermakna. Mereka tidak akan membiarkan tanaman dan ternak mereka mati. Hal inilah yang kadang membuat warga berkeinginan atau bahkan nekat untuk kembali rumah mereka yang sudah hancur hanya untuk sekedar memberi makan ternak mereka, meski daerah mereka sudah ditetapkan sebagai wilayah KRB dan dilarang untuk dihuni”, ungkapnya.

Hal itu pula yang membuat kebanyakan dari korban erupsi Merapi enggan untuk direlokasi. Mereka tidak mau dipisahkan selamanya dengan tempat tinggal asal mereka, karena bahaya yang ada hanya bersifat sementara / tidak lama. Relokasi juga tidak diminati karena tempat yang baru belum tentu lebih nyaman lingkungan alam dan sosialnya dibandingkan dengan lingkungan yang baru.  Juga dikarenakan ada nya kekhawatiran bahwa tempat tinggal yang lama akan diambil dan ditempati oleh orang lain.  Lantas kapan relokasi itu bisa diterima?  Ada beberapa faktor yang harus dipenuhi agar relokasi itu dapat diterima, seperti  tempat tinggal lama yang memang sudah benar-benar tidak bisa ditempati lagi, penduduk lama tidak ingin lagi kembali ke tempat tinggal lama, keadaan di tempat tinggal baru lebih baik daripada tempat tinggal yang lama.

Heddy Shri Ahimsa  Putra juga menyampaikan pentingnya penanganan paska relokasi, seperti pemantauan oleh pemerintah, pemberian bantuan, pendampingan, dan pemberdayaan. Untuk pendampingan bisa dilakukan dalam rangka perbaikan ekonomi , kesehatan, kebencanaan, maupun sosial kemasyarakatan. Khusus untuk pemberdayaan saat warga sudah cukup berdaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melalui skema wisata alam yang terkenal dengan ‘Lavatour’, dimana wisata alam ini sudah dikenal secara internasional.  Hal lain yang perlu diperhatikan dalam relokasi adalah masalah kependudukan, pendidikan, kelembagaan lokal dan integrasi sosial.

Selain permasalahan relokasi, peserta seminar juga memperoleh materi tentang mitigasi bencana yang disampaikan oleh Noer Cholik dan juga kondisi fasilitas pendidikan dan juga perkembangan komunitas pelaku usaha ‘lavatour’ yang disampaikan oleh Fajar Radite Syamsi. Fajar sangat berharap adanya bantuan-bantuan dari semua pihak untuk pengelolaan Sekolah Gunung Merapi yang didirikannya maupun pendampingan mitigasi bencana bagi para pelaku wisata ‘lavatour’ agar saat terjadi bencana tidak membawa korban nyawa.