Berburu Ridho Ilahi
Oleh : Widodo Hesti Purwantoro —————
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berburu diartikan sebagai perbuatan mengejar atau mencari buruan yang diidentikan dengan hewan/binatang. Namun seiring berjalannya waktu, istilah berburu mengalami perluasan pemakaian. Tak lagi ditujukan hanya untuk hewan/binatang, kata “berburu” saat ini sering kita jumpai menempel atau menyertai istilah lainnya, seperti berburu masa depan, berburu diskon, berburu medali, berburu kuliner dan masih banyak lagi.
Jika kita cermati dan rasakan, peburuan-perburuan tersebut biasanya menyertakan persyaratan atau ketentuan-ketentuan khusus untuk meraih atau memperolehnya target perburuan tersebut, atau istilah yang sering kita temui adalah “S&K yang berlaku”. Ambil contoh saja berburu diskon di sebuah swalayan. Di sana pasti sudah ada ketentuan waktunya, ketentuan tempatnya, syaratnya (biasanya minimal pembelian berapa ribu), dan terakhir biasanya ada embel-embel ‘selama persediaan masin ada’ atau terbatas.
Sebagai orang yang beriman terhadap hari akhir, sudah sewajarnya jika kita menginginkan akhir kehidupan yang baik atau bahagia. Dan kita imani bersama bahwa hanya Allah SWT (bersama keridhoanNya) yang memiliki hak penuh untuk memberikan kehidupan yang baik atau pun sebaliknya. Orang sering mengibaratkan kondisi tersebut dengan dunia pewayangan, dimana kita sebagai wayang tak punya daya sedikitpun untuk membantah atau menolak kehendak sang dalang (Allah SWT). Untungnya, istilah tersebut tak sepenuhnya benar. Sebagai wayang, kita masih diberi Allah hak untuk merubah nasib yang sebenarnya mungkin sudah ditetapkan Allah sebelumnya, seperti doa yang pasti akan dikabulkan Allah SWT (saat kita memenuhi S&K yang berlaku), maupun dengan sedekah yang manfaatnya dapat mengubah ketentuan Allah SWT khususnya dalam hal rizqi maupun usia seseorang.
Kesadaran di atas tentu akan menarik bagi kita untuk terus berupaya secara maksimal meraih ridho Allah SWT agar kita diberi akhir kehidupan yang baik (baca: bahagia). Untuk meraih keridhoan Allah ini, bisa dikatakan gampang-gampang susah. Gampang karena memang cara atau jalan yang bisa ditempuh untuk meraih ridho tersebut yang relatif banyak dan namun tak butuh modal banyak, seperti “berusaha” menjauhi larangan Allah dan “berusaha” menjalankan perintahNya sesuai yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, menuntut ilmu, membahagiakan atau berlaku baik terhadap kedua orang tua untuk mendapatkan ridho orangtua yang juga merupakan ridho Allah SWT, senantiasa berdzikir (mengingat) Allah SWT, senantiasa bersalawat pada Nabi Muhammad SAW, menerima dengan segala keridhaan atas apapun (kebaikan dan keburukan) yang Allah berikan pada kita, menyingkirkan penghalang di jalan, dan masih banyak lagi cara “murah” yang bisa kita upayakan. Namun demikian, selain cara murah ternyata Allah juga sediakan cara meraih ridho yang berbiaya atau bermodal lumayan mahal, seperti halnya berperang di jalan Allah, menjalankan ibadah haji dan masih banyak.
Sedangkan susahnya adalah memastikan bahwa apa yang kita upayakan tersebut akan mendapat ridha Allah SWT, dan pastinya kita tidak bisa memastikan tentang keridhaan Allah SWT atas apa yang kita lakukan. Yang bisa kita lakukan hanyalah ‘berusaha’ atau bisa juga disamakan dengan ‘berburu’ keridhaan Allah SWT di tengah-tengah penyakit hati (baca: kesesatan) yang juga ‘dititipkan’ oleh Allah SWT melalui permintaan makhluknya yang bernama setan/iblis sebagaimana yang ada di Al Quran Surat Shaad ayat 82-83 : ” Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka (QS Shaad: 82-83)
Dari ayat tersebut bisa dipastikan bahwa bahwa setiap manusia akan mendapat godaan/ujian/upaya keras dari syetan/iblis agar tersesat (baca: tidak mendapat ridha Allah SWT). Hanya orang-orang yang mukhlis (baca: ikhlas beribadah semata mencari ridah Allah SWT) yang akan mendapat ridha Allah SWT.
Tentang keikhlasan ini pun sebenarnya juga sudah dijelaskan dalam hadits berikut :
Abu Hurairah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.’
Selanjutnya Rasulullah Sahallahu alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya, “Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’
Rasulullah Sahallahu alaihi wa sallam menceritakan orang selanjutnya yang pertama kali masuk neraka, “Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka’,” (HR. Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa segala amalan yang kita lakukan tak akan pernah bisa diterima Allah SWT selagi masih ada sedikit riya’ atau ketidak ikhlasan di hati dalam melakukan ibadah atau amal salih. Selain keikhlasan, amal yang dilakukan mestinya juga memiliki dasar pelaksanaan yang sama dengan apa yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Katsir “Inilah dua landasan amal yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dari penjelasan di atas, mari kita senantiasa menyadarkan diri kita untuk ‘senantiasa ikhlas’ dalam setiap melakukan amal salih sebagai upaya berburu ridho Allah SWT. Hanya ini kunci utama sebagai pembuka ridho Ilahi. Semoga Allah SWT memudahkan kita untuk mendapatkan setiap ridhoNya. Amiin. Yaa Robbal ‘alamiin.