Jokowi dan Bayang-Bayang Dinasti Politik: Analisis Tajam Prof. Salim Said
Praktik dinasti politik kembali menjadi sorotan tajam dalam diskusi bertajuk “Jokowi Melawan Debt Collector” dan “Dinasti Politik dan Tren Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional (PSHI) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Senin (20/11).
Prof. Salim Said, pengamat politik kawakan dan penulis buku “Jokowi Melawan Debt Collector”, mengibaratkan manuver politik Presiden Joko Widodo seperti debitur yang berupaya “melunasi hutang” kepada Megawati Soekarnoputri dan PDIP. Dukungan PDIP yang mengantarkan Jokowi ke kursi kepresidenan, menurut Prof. Salim, bukan tanpa “harga”.
“Ada semacam ‘debt collector’ yang dihadapi Jokowi,” ujar Prof. Salim.
Ketegangan hubungan Jokowi dan PDIP semakin terlihat, terutama setelah anak Jokowi, Gibran Rakabuming, merapat ke kubu Prabowo Subianto dan menjauh dari PDIP.
Menanggapi fenomena dinasti politik yang juga marak di berbagai belahan dunia, Prof. Dr. Mochtar Mas’oed, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UGM, memaparkan bahwa praktik ini menghambat kompetisi politik yang sehat dan merugikan rakyat karena pilihan menjadi terbatas.
“Kandidat dinasti politik memang punya keunggulan, seperti modal politik yang besar dan ongkos politik yang lebih murah, tapi praktik ini jelas merugikan demokrasi,” tegas Prof. Mochtar.
Kedua profesor mengingatkan bahwa praktik dinasti politik, meskipun marak terjadi, bukanlah sesuatu yang wajar. Kepada generasi muda, keduanya berpesan untuk kritis dalam menghadapi fenomena ini dan tidak mudah terbuai politik transaksional.
“Jangan pernah lelah untuk berpikir kritis dan aktif berkontribusi dalam proses politik demi mewujudkan demokrasi yang sehat dan berintegritas,” pungkas Prof. Mochtar.