Oleh: Annisaa Miranty Nurendra – Salah satu isu yang dihadapi oleh generasi milenial adalah menjadi generasi sandwich. Apa itu generasi sandwich? Generasi sandwich adalah istilah yang awalnya diperkenalkan oleh Dorothy Miller yang merupakan seorang profesor sekaligus direktur praktikum dari Universitas Kentucky tahun 1981 dalam jurnal yang berjudul “The Sandwich Generation: Adult Children of The Aging”. Jadi istilah generasi sandwich adalah suatu keadaan yang mana seseorang memiliki tanggung jawab ganda untuk menghidupi dua generasi sekaligus. Dua generasi itu merupakan generasi atas atau orang tua atau mertua, dan juga generasi bawah yaitu anak kandung atau bahkan cucu. Bagi mereka, orang-orang yang mengalami terjepit keadaan ini memiliki tanggung jawab untuk merawat orang tua dan juga anak-anaknya pada waktu yang bersamaan.
Posisi generasi sandwich untuk menjaga generasi di bawah sekaligus di atasnya menimbulkan sejumlah konsekuensi, salah satunya adalah tanggungan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak masuk kategorisasi generasi sandwich. Selain itu, waktu luang generasi sandwich pun cenderung lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak tergolong di dalamnya. Pelaku generasi sandwich juga menghadapi situasi yang menantang secara mental.
Beberapa penelitian menunjukkan, status sebagai generasi sandwich juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi pernikahan, kesehatan, menimbulkan stres, kecemasan, dan kesedihan. Penelitian lain menunjukkan kelompok individu yang memiliki tanggung jawab merawat orang tua lebih banyak yang merasa tertekan apabila dibandingkan dengan yang tidak memiliki tanggung jawab serupa. Pelaku generasi sandwich juga berpotensi mengalami konflik saat tanggung jawab keluarga dan tuntutan pekerjaan dilakukan secara bersamaan.
Karena situasinya yang sangat menantang baik secara finansial maupun psikologis, banyak opini yang berkembang agar sebaiknya milenial menghindari peran sebagai generasi sandwich. Tetapi, apakah benar menjadi generasi sandwich begitu merugikan? Tulisan ini akan mengungkap bagaimana menjadi generasi sandwich sebetulnya justru memiliki efek buffer stress terhadap depresi yang terjadi pada lansia, serta bagaimana perspektif Islam terhadap generasi sandwich.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, menjadi generasi sandwich adalah kerentanan tersendiri bagi para pelakunya. Meskipun beban psikologis yang ditanggung oleh generasi sandwich tampaknya besar, tetapi hal ini mungkin membawa manfaat bagi generasi yang ditanggung. Misalnya dari sisi kesejahteraan lansia. Lansia pada umumnya mengalami krisis kebermaknaan hidup yang diakibatkan oleh masa pensiun, kondisi kesehatan, maupun kesepian karena tidak lagi bersama dengan anak-anak mereka yang sudah berkeluarga masing-masing. Salah satu contoh di Korea Selatan angka bunuh diri pada lansia sangat tinggi. Hal ini terjadi karena lansia disana kebanyakan miskin, tidak didanai, dan budaya tinggal bersama orangtua sudah menghilang. Sehingga kemudian lansia tersebut bunuh diri karena tidak ingin menjadi beban bagi keluarga.
Generasi sandwich dapat membantu lansia untuk mengatasi hal tersebut. Ketika lansia tinggal bersama dengan keluarga anaknya, mereka tidak kehilangan koneksi dengan anaknya, dan bahkan mereka juga memiliki relasi dengan cucunya. Interaksi yang berkualitas dengan anak dan cucu menurut studi akan menambah kebermaknaan hidup bagi lansia dan menghindarkan lansia dari kesepian. Ketika lansia mengasuh cucunya, tentunya tidak hanya bermanfaat bagi lansia itu sendiri. Cucu juga akan mendapatkan manfaat seperti memiliki hubungan yang baik dengan orang di luar keluarga inti (extended family) yang tentunya juga akan mendukung pertumbuhan anak. Hubungan antara kakek/nenek dengan cucunya, pada beberapa kasus sering disebut sama baiknya dengan kualitas hubungan antara anak dengan orangtuanya.
Dalam Islam, jika dimaknai lebih mendalam, apa yang dilakukan oleh generasi sandwich sebenarnya merupakan bagian dari berbakti kepada orangtua (birrul walidain). Fenomena generasi sandwich dan perintah berbakti kepada orangtua sebetulnya telah difirmankan Allah SWT pada QS Al Isra ayat 23 dan 24, yaitu “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Dalam ayat tersebut, tergambarkan bahwa ketika orangtua sudah masuk usia lanjut, maka anak perlu mengurus orangtua mereka. Tentu saja hal tersebut bukan suatu hal yang mudah karena orang yang sudah lanjut usia tentunya memiliki banyak keterbatasan, oleh karena itu Allah SWT memerintahkan agar berlaku lemah lembut.
Meski demikian, Islam juga menyampaikan bahwa berbakti kepada orangtua memiliki banyak keutamaan, terutama di akhirat. Berbakti kepada orangtua adalah salah satu amalan yang paling dicintai oleh Allah SWT sebagaimana pada hadist berikut : “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasul menjawab, “Shalat pada (awal) waktunya.” “Kemudian apa lagi?” Nabi Menjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orang tua.”Aku bertanya kembali.” “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Beliau terus menyampaikan kepadaku (amalan yang paling dicintai oleh Allah), andaikan aku meminta tambahan, maka beliau akan menambahkan kepadaku”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasai).
Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa Allah SWT akan memberikan rizki yang luas bagi orang yang berbakti kepada orangtuanya: “Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezkinya, maka hendaknya ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung silaturrahim (kekerabatan).” (HR. Ahmad).
Demikianlah, apabila dimaknai dengan baik, sebetulnya menjadi generasi sandwich memiliki hikmah tersendiri. Tidak hanya menguatkan kesejahteraan orangtua yang sudah lansia, menambah hubungan hangat dengan anak-anak, tetapi juga berbakti kepada orangtua merupakan sebuah tabungan akhirat yang banyak. Orang yang menyayangi orangtuanya, tentulah tidak akan keberatan menjadi generasi sandwich. Meskipun beban finansialnya tinggi, tidak perlu takut miskin karena insya Allah akan dibukakan pintu rizkinya.
Tentu saja dengan beban psikologis yang lebih tinggi, pelaku generasi sandwich perlu lebih resilien terhadap tekanan-tekanan yang ada. Oleh karena itu, semoga dengan adanya dukungan dan pemaknaan terhadap hikmah menjadi generasi sandwich, dapat memperkuat pelaku generasi sandwich untuk lebih tegar dan meneruskan kebaikan-kebaikan yang dilakukan kepada orangtuanya yang sudah lanjut usia. Wallahu’alam.