HIKMAH BERINTERAKSI DENGAN AL QUR’AN
Oleh: Nizamuddin Sadiq, Ph.D. (Dosen Prodi PBI) —–
Dalam kesempatan memberikan sambutan ketika menerima kembali delapan belas doktor baru lulusan tahun 2022 dari universitas dalam dan luar negeri, Rektor Universitas Islam Indonesia mengawalinya dengan menyampaikan fakta bahwa satu diantara tiga mahasiswa doktoral tidak dapat menyelesaikan studinya. Oleh karena itu, rektor mengajak semua yang hadir untuk sejenak termenung dalam diam dan mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya yang membahagiakan tersebut. Ajakan rektor tersebut saya sambut dengan khusyuk. Sembari mengucapkan do’a syukur karena dapat menuntaskan studi doktoral di Inggris yang harus harus ditempuh dalam waktu relatif panjang dan melelahkan. Sebuah perjalanan yang sejatinya mengikuti jalan takdir.
Salah satu di antara berbagai pengalaman mengikuti jalan takdir yang penuh lika-liku itu berupa sebuah momen yang terjadi lebih kurang sebelas tahun yang lalu. Saat itu, saya berazam untuk menuntaskan cita-cita melanjutkan studi S3 di Inggris. Untuk itu, saya melakukan sebaik-baik usaha yang bisa saya ikhtiarkan. Namun demikian, manusia boleh berencana, keputusan akhir berada ditangan Yang Maha Kuasa. Demikian pula apa yang saya alami. Sampai tahun keempat, saya belum juga mendapatkan izin pimpinan untuk melanjutkan studi. Kenyataan ini membuat saya galau, sedih dan tentu saja kecewa. Saya protes kepada diri saya sendiri bahkan juga mulai bertanya-tanya kepada Sang Pencipta. Apa yang salah dengan ikhtiar saya sehingga belum ada tanda-tanda akan dikabulkan?
Meskipun belum sampai kepada tahap ngambek kepada Allah SWT, lintasan pikiran semacam itu terus menghantui. Hati gelisah dan pikiran pun bercabang. Namun, keadaan ini tidak membuat saya malas beribadah. Saya tetap rutin menjalankan ibadah-ibadah yang biasanya saya lakukan, termasuk kebiasaan saya menderas Al Qur’an. Kebiasaan ini saya lakukan saat selesai sholat Subuh dan Maghrib. Tidak itu saja, saat itu saya ingin sekali menghafalkan surat Ar-Rahman. Jadi, kebiasaan saya bertambah, selain menderas Al-Qur’an seperti biasanya, saya juga mencoba menghafalkan surat tersebut.
Setiap kali menderas ayat 33, hati saya selalu tergelitik. Ayat ini diawali Yaa ma’syaral jinni wal insi yang Artinya, hai para jin dan manusia. Ada kata jin yang mendahului manusia. Pada umumnya, manusia atau orang beriman yang mendapat panggilan dalam Al qur’an. Namun, di ayat ini jin justru ditempatkan di depan manusia. Saya bertanya dalam hati. Ada apa dengan jin sehingga di seru lebih dulu dibandingkan manusia? Cukup penasaran, akhirnya saya membuka terjemah Al Qur’an dan mendapati artinya: “Hai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”.
Membaca terjemahan ayat ini pertama kali, kesannya biasa-biasa saja. Tidak tampak ada sesuatu yang berbeda. Namun lambat laun, ketika berulang kali saya deras dan baca terjemahnya, saya seperti diingatkan tentang sesuatu. Apa ya kira-kira? Tanya saya dalam hati. Sampai suatu ketika, saya lupa untuk kali yang keberapa, saya seperti Archimedes yang mengucapkan kata “Eureka!” Kata ini artinya aku telah menemukannya. Saat itu, Archimedes menemukan prinsip pengapungan diatas zat cair tanpa disadari saat merendam dirinya di bak air. Hampir saja saya meniru Archimedes untuk berteriak lantang, “Saya tahu jawabannya. Saya tahu jawabannya”.
Tentu saja saya tidak berteriak, namun saya mengucapkan istighfar dan syukur sekaligus karena akhirnya mendapatkan jawaban. Saya tahu mengapa saya belum juga menemukan jalan untuk melanjutkan studi doktoral saya. Dalam ayat itu Allah SWT seakan-akan “menantang” saya. Apa sanggup saya studi doktoral ke Inggris tanpa pertolonganNya? Tentu saja tidak. Saya tidak punya kekuatan apapun selain berserah diri kepadaNya. Inilah kunci jawaban atas semua kegalauan, kesedihan dan kekecewaan yang saya rasakan saat itu. Tidak ada satupun makhluk yang mampu melintasi penjuru langit dan bumi kecuali dengan pertolongan Allah SWT.
Meskipun ayat ini tidak terkait dengan studi doktoral, namun salah satu poin penting tafsir ayat 33 Surat Ar-Rahman adalah penegasan bahwa jin dan manusia tidak akan dapat melarikan diri dari perintah dan takdir Allah SWT. Oleh karena itu, takdir sebagai pertemuan antara ikhtiar manusia dan kehendakNya harus dipahami dari kacamata keimanan. Dari sisi keimanan, tujuan takdir bagi manusia adalah merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Ketika iman sudah dapat menerima, mempercayai dan meyakini takdir sepenuh hati, maka hati menjadi tenang dan ikhlas. Oleh karena itu, interaksi saya dengan Surat Ar-Rahman ayat 33 ini merupakan insiden kritis yang mengubah suasana hati saya menjadi lebih tenang dan lapang.
Saya tidak lagi takut. Apakah saya akan mendapat beasiswa atau tidak, apakah akan berangkat ke Inggris atau tidak, apakah akan studi doktoral atau tidak, semuanya saya serahkan kepada Yang Maha Mengatur alam semesta dengan segala isinya. Saya semakin teguh dengan prinsip bahwa kewajiban manusia adalah berikhtiar sebaik-baiknya, dan setelah semua ikhtiar tersebut paripurna maka harus disempurnakan dengan sikap tawakal yang hebat. Sebagaimana firman Allah, “Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS At-Taubah: 51).
Dengan sikap tawakal itulah Allah SWT akan memberi pertolongan melalui cara yang tidak biasa. Jika para ulama sering mengingatkan bahwa manusia akan diwafatkan sesuai dengan kebiasaannya, maka tidak salah saya mengatakan: manusia akan diberi petunjuk melalui apa yang sering dibacanya.
Wallahu a’lam.