ANAKKU DENGAN SEJUTA HARAPANKU

OLeh: Rr. Indahria Sulistyarini (Dosen Prodi Psikologi)—-

Sekolah itu dengan kekhasan bangunan tuanya telah mencetak cendikia-cendikia muda. Bangunan dengan ketinggian lebih dari 3 meter, dengan ventilasi udara yang sangat memadai menjadi saksi lahirnya anak-anak muda dengan pemikiran yang brilian. Persaingan demi persaingan membuat anak-anak harus berusaha keras untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Mereka? Masih berupa sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban dengan mengulik sejarah hidup mereka. Di Pojok terlihat anak yang menahan diri untuk berinteraksi dengan teman-temannya.

Ada apa gerangan? Anak ini tak mampu mengekspresikan diri seperti teman-temannya yang lain, hanya melihat dan akhirnya menghindar. Pandangan mata pun tertuju pada sosok dengan tinggi sekitar 150-an dan berat badan 35-an. Beberapa teman menyapa tapi dia hanya merespon dengan reaksi wajah yang datar dan ucapan lisan “ala kadarnya”. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang salah? Teman yang berusaha memberikan sapaan hangat? Atau anak yang enggan berinteraksi dengan anak lainnya? Tentu tidak ada yang salah dengan semua itu selama kita mau menelisik apa yang sebenarnya terjadi.

Memiliki anak dengan sejuta prestasi sungguh merupakan harapan semua orang tua. Walaupun definisi prestasi itu pun sangat lah luas, tergantung masing-masing orang dalam memaknainya. Dalam memaknai juga akan sangat tergantung dari pengalaman hidup seseorang, latar belakang keluarga dan dengan cara apa seseorang dibesarkan. Orang tua mana yang tidak bangga menceritakan tentang prestasi anaknya di setiap kesempatan dan mengumumkannya di khalayak. Apalagi ketika mengikuti perkumpulan dengan teman sepergaulan, tentu suara-suara yang mendengungkan tentang cerita anak dengan segudang prestasi yang dimiliki adalah hal yang sangat menarik untuk didendangkan sehingga menjadi tidak asing di telinga para pendengar. Anaknya akhirnya menjadi objek kebanggaan. Bahkan dapat menjadi penghibur di saat mimpi-mimpi orang tua tak terwujud, dan akhirnya anak lah yang harus bertanggung jawab untuk merealisasikan impian tersebut. Semua les pun diberikan walaupun anak tak meminta.

Keletihan yang tampak dari raut wajah anak tidak cukup mampu menggugah belas kasihan dan empati dari orang tua karena yang terpenting bagi orang tua adalah bagaimana anak dapat mencapai prestasi dan cita-cita setinggi-tingginya. Pertanyaannya cita-cita siapa? Anak atau orang tua? Tak peduli karena dunia penuh dengan persaingan. Persaingan akademik, bisnis dan lain sebagainya. Sayangnya, persaingan akhlak tampaknya tidak masuk dalam indikator sebuah keberhasilan. Padahal penyebab dari kehancuran di muka bumi adalah karena buruknya ahlak. Salah satu bagian kecil dari ahlak buruk adalah sikap terhadap orang tua. Dalam kehidupan ini, tidak jarang kita menemukan anak yang menatap tajam orang tua bahkan sampai melotot serta membentak orang tuanya karena kemarahan yang mungkin selama bertahun-tahun dipendam. Padahal dalam semua kitab, selalu mengajarkan bagaimana seorang anak yang seharusnya berbakti pada orang tua dan berkata dengan lemah lembut. Dalam surah Surat An Nisa’ (4) ayat 9, dijelaskan terkait dengan permasalahan tutur kata : “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”

Ibarat sebuah penelitian, ternyata antara kondisi ideal dan kenyataan kadang tidak bisa sejalan. Idealnya anak tidak membentak namun kenyataan justru sebaliknya. Sungguh disayangkan jika ada suara keras yang keluar dari mulut anak karena suara yang keras kepada orang tua merupakan sifat yang tercela dan dibenci oleh Allah Swt. Namun apakah kondisi itu bisa dipahami? Sangat bisa dipahami jika kasus membentak orang tua dilakukan oleh anak karena adanya perasaan bingung dan tertekan walaupun tentu perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Di satu sisi harus mentaati apa yang diucapkan oleh orang tuanya namun disisi lain ada hasrat yang tak mampu diekspresikan.  Akhirnya muncul tekanan yang dalam bahasa psikologi seringkali dikenal dengan istilah stres. Anak yang mengalami stres akan mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi dan perilakunya.

Dalam banyak ayat dan hadist dikatakan tidak ada harta yang paling berharga kecuali anak yang soleh dan soleha yang tentunya berakhlak mulia. Dalam Hadist Riwayat Turmudzi dikatakan bahwa: “Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik daripada budi (pendidikan) yang baik”. Selain itu hadist Riwayat Ibnu Majah juga menyebutkan: “Muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah ahlak mereka karena sesungguhnya anak-anak kalian itu adalah hadiah bagi kalian”. Dari dua hadist tersebut jelas bahwa salah satu tugas yang terpenting bagi orang tua adalah mendidik anak. Tentu anak yang berakhlak mulia. Saking besarnya tanggung jawab tersebut maka Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyatakan bahwa barang siapa yang melalaikan pendidikan anaknya, yakni dengan tidak mengajarkan hal-hal yang bermanfaat, membiarkan mereka terlantar, maka sungguh dia telah berbuat buruk teramat sangat.

Banyak kisah yang menginspirasi tentang bagaimana memperlakukan anak secara baik. Salah satu kisah yang menjadi panutan dalam mendidik anak adalah Luqman.  Luqman hanya tukang kayu yang berkulit hitam yang merupakan penduduk Mesir dan hidupnya sangat sederhana. Walaupun Luqman bukan orang yang berpendidikan tinggi atau orang yang sukses dalam harta, tapi kebaikan dan sikap bijaksananya dalam mendidik anak telah diabadikan dalam ayat-ayat Quran. Luqman dinobatkan sebagai orang tua yang patut ditiru dan diteladani. Salah satu tutur kata Luqman kepada anaknya “Wahai anakku! Sesungguhnya dunia ini adalah lautan yang dalam dan sesungguhnya banyak manusia yang tenggelam di dalamnya. Oleh karena itu jadikanlah perahumu di dunia sebagai jalan untuk bertaqwa kepada Allah, Barangkali saja kamu dapat selamat (tidak tenggelam di dalamnya), tetap aku yakin kamu dapat selamat” (Al-Maraghi, 1987).

Tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak juga tercermin dalam surah Al-Luqman ayat 12 bahwa pada hakekatnya anak adalah Amanah yang harus dijaga sebaik-baiknya. Anak juga sekaligus ujian yang berat dari Allah SWT. Bahwa mendidik anak harus menggunakan strategi dan kiat-kiat yang dapat diterima oleh anak sehingga orang tua seharusnya tidak memaksakan kehendaknya kepada anak. Sikap tulus yang disertai dengan kasih sayang merupakan salah satu kunci dari keberhasilan dalam mendidik anak yang berakhlak mulia. Ketulusan terwujud dalam keikhlasan dan keiklasan melahirkan pengorbanan yang tidak pernah diakui oleh pelakunya. Tidak mengungkit apa saja yang telah dilakukan, tampaknya akan menjadi bagian yang penting dalam pola pengasuhan anak. Dari pemaparan di atas masih tidak ingin kah kita merenungi apa yang telah kita lakukan terhadap anak-anak kita? Sebuah pertanyaan menggelitik yang kadang menimbulkan sikap defensif diri kita sebagai orang tua.

 

Wallahua’lam Bisshowab.