MEMBANGUN GENERASI MUDA ADAPTIF DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DAN MULTIKULTURALISME

Oleh: Ista Maharsi (Dosen Prodi PBI)—–

Anak:     “Bunda, sekolah di sekolah negeri itu gimana sih? Kalau mondok itu apa? Temanku Salsa disuruh Mamanya ke full day school. Aku sekolah di mana?”

Ibu:        “Kalau Nayla sekolah di sekolah negeri, itu artinya Nayla akan bertemu dengan teman-teman yang berasal dari keluarga dengan kebiasaan dan agama yang berbeda-beda. Kalau sekolah di pondok, itu adalah sekolah Islam tradisional, aturan-aturan Islam, teman semua Islam, dan semua kegiatan sesuai dengan aturan Islam. Sekolah ini dipimpin oleh seorang Kyai atau Bu Nyai yang bertanggungjawab atas pondok. Nah, jaman sekarang, ada yang namanya pondok modern atau kadang disebut sebagai full day school yakni sekolah umum dan sekolah agama Islam yang dijadikan satu.” (Nayla, 12 tahun)

Cuplikan dialog di atas merupakan sebuah fenomena pengenalan sekolah sekaligus multi budaya dengan bahasa sederhana kepada seorang anak. Sang Ibu secara tidak langsung memperkenalkan pada anaknya tentang keberagaman keluarga, budaya, dan agama. Dengan model komunikasi seperti ini, sang Ibu telah memberikan pendidikan multikulturalisme sederhana kepada anaknya sehingga kesadaran terhadap berbagai macam perbedaan yang ada di lingkungan sekolah telah diperkenalkan. Diharapkan, kelak saat sang anak memasuki sekolah yang berbeda budaya dan lingkungannya dengan sekolah sebelumnya, anak menjadi lebih siap dan dapat beradaptasi dengan lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang bahkan sama sekali tidak tau tentang isu tersebut.

Pentingnya Pengenalan Multikulturalisme dalam Islam di Usia Dini

Pendidikan, baik formal maupun non formal, di sekolah maupun di dalam keluarga dan masyarakat, merupakan ajang belajar untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman, dan pembiasaan. Lingkungan pendidikan yang beragam memberikan ruang lebih kepada pembelajar untuk belajar dan menyesuaikan banyak hal. Belajar bersama dengan orang dari latar belakang berbeda tentu tantangannya lebih besar dibandingkan dengan orang dari latar belakang yang sama. Seorang anak yang dibesarkan di tengah-tengah budaya multikulturalisme, dimana di dalam keluarganya terdapat perbedaan budaya baik keluarga inti, keluarga besar, maupun tetangga, dan masyarakat sekitar menjadikan anak terbiasa dengan perbedaan. Jika dididik dengan baik, anak akan memiliki kemampuan adaptasi yang baik, menghormati perbedaan, dan memiliki empati yang baik juga.

Kisah ibu dan anak dalam dialog multikulturalisme bisa jadi merupakan hal yang hanya ditemukan di dalam keluarga yang open-minded. Bagi sebagian keluarga, pendidikan adalah pilihan orang tua, dan anak sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan keputusan. Sedangkan bagi keluarga lain, pendidikan adalah masalah bersama di mana orang tua berperan memberikan informasi dan pendampingan dalam proses pemilihan sekolah anak. Bagaimana pun juga, anaklah yang akan menjalani proses pendidikan yang panjang dalam rentang 6-11 tahun ke depan. Dengan pemahaman inilah penting bagi anak untuk mengetahui apa yang akan mereka hadapi selama mereka bersekolah.

Seorang anak yang selalu disekolahkan di sekolah Islam sejak dari usia 5 tahun hingga dewasa akan memiliki lebih banyak kemungkinan mengalami kendala berinteraksi dengan orang-orang dengan latar budaya dan agama yang berbeda. Di sini lah pentingnya memberikan pengetahuan dan pengalaman multikulturalisme bagi anak. Berdialog, observasi, berdiskusi, dan mengalami sendiri berbagai hal terkait interaksi dengan orang dari agama lain, budaya etnik lain, dan kebiasaan kelompok lain merupakan beberapa contoh hal yang dapat dilakukan orang tua dan anak.

 Pentingnya Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam untuk Menghadapi Dunia Digital Global

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin melesat memaksa kita untuk beradaptasi cepat dan tepat. Terlebih lagi, bagi generasi Z dan Alpha yang lahir sebagai generasi digital. Pemahaman terhadap multikulturalisme serta cara dalam menghadapi keberagaman sangat perlu ditanamkan. Ketidakpahaman terhadap perbedaan agama, budaya, cara pandang, pikiran, gaya komunikasi, sikap, dan tingkah laku dapat menimbulkan miskomunikasi dan masalah yang besar karena ditulis pada platform sosial media dan website yang menjangkau pembaca yang luas. Jika kita melihat lebih dekat bagaimana netizen berkomentar, bersikap, dan berkomunikasi lewat sosial media, ada banyak sekali hal-hal negatif, diskriminatif, dan provokatif yang dapat memicu permasalahan kelompok bahkan negara. Tentu kita tidak ingin anak-anak kita/generasi muda  memiliki sikap dan karakter yang tidak baik dalam menyikapi apapun di era digital seperti ini. Terlebih keterikatan generasi kini dengan sosial media yang semakin tak terpisahkan harusnya menjadikan semua pihak berperan dalam pendidikan multikulturalisme ini.

Pijakan Al Qur’an dan Sunnah terhadap cara bersikap telah diajarkan oleh Allah Swt dalam kalam-Nya dan Rasulullah SAW dalam keseharian beliau.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari)

Dari hadits tersebut hendaklah kita mengajarkan pada anak-anak kita bahwa ada adab-adab berkomentar baik secara lisan, tertulis, langsung maupun menggunakan media. Jika ada hal yang sekiranya tidak kita setujui, tetapi kita tidak ingin berkomentar karena mudhorot berkomentar justru lebih berbahaya, diam adalah pilihan terbaik. Namun, terasa sangat memprihatinkan jika kita melihat kembali apa yang terjadi saat ini. Kata-kata kasar, komentar negatif, hujatan, cacian, bahkan fitnah banyak tersebar di hampir semua media sosial. Padahal apa yang mereka komentari dan hujat belum tentu adalah sebuah kebenaran yang mereka persepsikan.

Integrasi Islam dan multikulturalisme ke dalam sistem pendidikan

Islam dan multikulturalisme adalah dua hal yang saling terkait serta memiliki peran penting dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Ketrampilan beradaptasi dengan lingkungan baru merupakan sebuah keharusan mengingat bahwa manusia hidup di dalam lingkungan beragam. Prinsip persaudaraan sesama muslim sudah tertuang dalam QS Al-Hujuraat ayat 10 dan ayat 13 sebagai berikut.

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati (QS. Al-Hujuraat: 10).

 Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti (QS Al-Hujurat: 13)

Kisah turunnya ayat ini sangatlah menarik dan disinilah multikulturalisme dan cara menyikapinya diajarkan. Menurut Tafsir Bil-Ma’tsur, turunnya surat Al-Hujurat ayat 13 dilatarbelakangi oleh kisah Bilal bin Rabah yang melantunkan adzan dengan naik ke Ka’bah. Sebagian orang di Mekkah saat itu ada yang menanyakan “Budak hitam inikah yang adzan di atas Ka’bah?” Al-Harits bin Hisyam mengejek “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan?” Lalu, sebagian yang mendengar mengatakan “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.” Setelah itu turunlah surat Al-Hujurat ayat 13 (Hosen, 2017).

Kisah turunnya surat Al-Hujurat ayat 13 ini memberikan contoh yang sangat jelas tentang bagaimana orang berbeda satu dengan yang lain. Secara tegas, Allah SWT memerintahkan kepada manusia bahwa Allah tidak memandang ras, warna kulit, status sosial, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Yang Allah SWT lihat adalah ketaqwaannya. Dengan demikian sudah seharusnyalah kita tidak membeda-bedakan orang karena di mata Allah SWT semua orang memiliki nilai yang sama kecuali tingkat ketaqwaannya.

Dari dua nukilan ayat Al-Qur’an di atas, dapat diambil pelajaran bahwa keberagaman adalah hal yang mutlak atas penciptaan makhluk. Perbedaan suku, budaya, bangsa, dan agama adalah rahmat dari Allah sehingga kita sebagai manusia diperintahkan untuk saling mengenal bahkan mendamaikan jika ada saudara atau teman yang bertikai. Dalam penerapan kehidupan sosial masyarakat dan dunia sosial media, kita perlu memilah-milah kapan dan bagaimana kita berkomentar dan bersikap.

Dengan begitu banyaknya perbedaan dalam masyarakat baik lokal maupun global, keterampilan menerapkan prinsip multikulturalisme merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh para generasi penerus bangsa. Terlebih lagi, dengan semakin tak terbatasnya bentuk interaksi dan komunikasi antar manusia dengan adanya teknologi, pendidikan keterampilan multikulturalisme menjadi salah satu kunci penting suksesnya komunikasi global. Ditambah lagi, mobilitas manusia yang semakin tinggi dan luas baik dalam menuntut ilmu, berkarir, dan pengembangan diri dan profesi, internalisasi nilai-nilai Islam dalam bingkai multikulturalisme semakin menjadi kebutuhan. Dalam hal ini, Islam telah banyak memberikan petunjuk dan contoh-contoh bagaimana menyikapi berbagai perbedaan ekonomi, sosial, budaya, dan agama dengan tetap berpegang teguh pada prinsip Islam tanpa mencederai kelompok lain.

Integrasi konsep nilai-nilai Islam dan multikulturalisme dapat dilakukan dengan menggabungkan dua teori pendidikan Islam dan multikulturalisme. Dimensi pendidikan multikulturalisme dapat mencakup integrasi pendidikan, konstruksi ilmu pengetahuan, pengurangan prasangka, kesetaraan pedagogi, serta pemberdayaan budaya sekolah (Banks, 2004). Sedangkan dalam Islam, prinsip pendidikan Islam meliputi syahadat, Qur’an dan Hadist, belajar adalah kewajiban agama, pendidikan sepanjang hayat, pendidikan pikiran, kesetaraan kesempatan mengenyam pendidikan, pendidikan Islam holistik, integrasi ilmu dan iman, pendidikan menyeluruh, pendidikan karakter, dan pendidikan multidisipliner (Salleh, 2008).

Dengan pembelajaran dan pembiasaan berbagai keterampilan tersebut sejak usia dini, diharapkan para generasi penerus bangsa dapat menjadi pribadi yang adaptif dengan menunjukkan karakter pribadi yang berterima secara luas sehingga dapat menjadi manusia-manusia yang menyebarkan kebaikan dan kedamaian bagi sesama. Generasi muda yang cerdas adalah mereka yang dapat berkomunikasi dengan baik, bersikap baik, bijak menerima perbedaan, dan mampu menyikapi perbedaan dengan sebaik-baiknya tanpa mencederai kelompok manapun. Kondisi ideal generasi muda seperti ini bukanlah mustahil diwujudkan. Jika proses pembelajaran dan sistem pendidikan mendukung, insya allah pemuda pemudi Islam dengan pandangan multikulturalisme yang mengusung keragaman perbedaan namun menyatukan dan mendamaikan akan lahir.

 Wallahu’alam Bisshawab.