Krisis Kehidupan dan Jalan Pulang Menuju Tuhan
Oleh: Resnia Novitasari (Dosen Prodi Psikologi) —–
Pernahkah kita mendengarkan cerita atau curahan hati, baik secara langsung atau lewat media sosial melalui ungkapan semacam ini: “Aku kok merasa hidupku hambar ya akhir-akhir ini?”, “Kok rasanya ada yang kurang dalam hidupku padahal aku sudah mencapai banyak hal yang aku impikan?”, “Mengapa sih masalah hidupku kayak nggak habis-habis?”. Isu-isu personal ini kerap mengemuka dalam kehidupan manusia modern. Ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita, namun terbatas sekali pengetahuan kita tentang hal itu.
Perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam diri kita ini kemudian memunculkan banyak kompensasi dalam kehidupan manusia. Mungkin kita akan mencarinya dalam materi, mungkin juga dalam bentuk relasi. Semua hal itu kita persepsi sebagai obat, namun sebetulnya hanya menjadi penawar sementara. Di sisi lain, sebagai manusia dewasa, problematika hidup semakin kompleks. Saat manusia dihadapkan dengan silang sengkarut dari pekerjaan, keluarga, ataupun tanggung jawab lainnya pada akhirnya sering membuat kita terengah-engah dalam menjalani kehidupan. Ketiadaan tujuan dan makna dalam kehidupan menjadikan diri seperti layaknya mesin yang mekanik.
Terkadang semua hal tersebut mengarahkan pada krisis-krisis tertentu. Jika kita menilik dari perspektif Psikologi, krisis dapat diartikan sebagai satu periode dalam hidup yang cenderung sulit, tidak stabil, dan rentan stress. Krisis merupakan titik balik dalam hidup yang memungkinkan adanya satu perubahan yang menantang. Krisis ini seringkali membawa kita ke titik terendah dalam hidup, sehingga memang tekanannya begitu terasa berat. Bentuk-bentuk krisis yang kerapkali dialami pada saat sekarang antara lain perpisahan dengan pasangan, kematian orang terdekat, perubahan yang drastis di pekerjaan, tekanan kehidupan sosial, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan kalau krisis kerap membawa kita pada perasaan tidak berdaya, frustrasi, rasa takut atau cemas dengan masa depan, serta rasa takut tertinggal dibandingkan orang lain.
Namun demikian, krisis punya wajah yang beragam. Di satu sisi ia menghantam dan menggerus kedirian manusia, akan tetapi di sisi lain ia menawarkan daya ungkit untuk perubahan diri. Oleh sebab itu, dalamkehidupan manusia, pencarian akan sesuatu yang kosong dan hilang dalam dirinya serta krisis yang ia alami justru menghadirkan transformasi diri yang luar biasa. Kita bisa mengambil kisah Nabi Yunus AS dengan krisis yang dialami pada saat beliau jatuh ke dalam perut ikan paus. Kesadaran diri yang timbul melalui doa beliau justru menunjukkan kedudukan adab beliau sebagai seorang hamba, yakni: “Laa ilaaha illaa anta, subhaanaka, innii kuntu minadz dzaalimiin” yang artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau (ya Allah), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk di antara orang-orang yang berbuat zalim (aniaya)”. Titik terendah dalam hidup Nabi Yunus AS justru melambungkan beliau ke ketinggian menuju kepada-Nya.
Daya ungkit krisis pada akhirnya membawa kita kepada kesadaran diri yang utama, yakni menyadari bahwa sejatinya diri kita ini adalah sebagai manusia dan sebagai hamba. Krisis yang menjatuhkan dan membuat tidak berdaya secara psikologis akan menghadirkan keputusasaan. Namun demikian, krisis ini justru dapat menjadi dorongan untuk melucuti ego dan kedirian kita, serta memaksa kita menengadah ke Dzat yang Maha Tinggi. Perasaan tidak mampu justru akan menghadirkan rasa bergantung kepada kekuatan-Nya. Perasaan tidak berharga justru akan membawa rasa bersyukur pada apapun yang Allah berikan kepada kita. Perasaan tidak tahu akan apa yang terjadi di masa depan justru membantu kita melepaskan kendali akan kehidupan kita. Pemahaman akan keterbatasan diri justru akan membawa kita pada kemerdekaan dan kebebasan. Rasa sakit, pedih, patah hati, dan duka cita justru menjadi jalan pulang menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengingat pada tujuan dan makna hidup yang hakiki.
Dalam sebuah hadist Qudsi, Allah SWT berfirman ”Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati- Ku satu jengkal, Aku akan mendekatinya satu hasta.” (HR Bukhari dan Muslim). Allah SWT senantiasa memanggil hamba-Nya untuk pulang kembali kepada-Nya, dan krisis kehidupan menjadi salah satu alat bagi-Nya. Namun memang panggilan ini seringkali kita abaikan atau tidak mampu kita dengarkan. Panggilan untuk pulang inilah yang mesti kita jalani dengan sepenuh hati. Siapkah kita untuk pulang dan menyambut Rahmat-Nya?
Wallahu’alam bisshowwab