HI Kaji Jalan Damai Konflik Aceh-RI

Kepercayaan untuk saling menaati dan atau mewujudkan poin-poin kesepakatan dalam sebuah perjanjian damai oleh pihak-pihak yang berkonflik serta mediator sangatlah penting guna mewujudkan perdamaian yang langgeng. Tanpa kepercayaan, maka perdamaian yang diusahakan itu tak kan pernah berkelanjutan atau berumur lama atau bahkan tak pernah terwujud. Untuk menjaga perdamaian, maka pihak-pihak yang bertikai wajib secara sungguh-sungguh mengusahakannya. Demikian juga perjanjian yang pernah disepakati oleh pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI pada tahun 2005 lalu.

Demikian poin penting disampaikan oeh Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haythar saat mengisi Kuliah Umum bertema “Pathway to Peace: Lesson Learned from Aceh” yang diselenggaralan oleh Prodi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu, 28 September 2022 di Gedung Moh. Hatta Kampus Terpadu UII.

Lebih jauh sosok yang pernah menjadi Perdana Menteri GAM tersebut menceritakan kembali sejarah kelam konflik antara GAM dengan pemerintah Republik Indonesia hingga berakhir pada perdamaian. Menurutnya pemberontakan sebagian rakyat Aceh tersebut dipicu oleh ketidakadilan yang dirasakan pada waktu itu.

“Aceh mengalami konflik selama 29 tahun. Dari tahun 1976-2005. Pemerintah Indonesia selama masa masa orde baru tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Padahal Aceh merupakan modal kemerdekaan negara Republik Indonesia”, ungkapnya.

Adapun proses penyelesaian konflik sendiri sudah diawali sejak tahun 2000 dengan terwujudnya MoU Helsinki yang difasilitasi leh Henry Dunant Centre (HDC). Namun demikian, MoU tersebut hanya melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II serta moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss. Pada akhirnya tahun 2001 konflik kembali memanas.

Upaya kedua dilakukan pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri, yaitu perundingan Perjanjian Penghentian Permusuhan yang juga dilakukan di Jenewa, Swiss. Namun demikian, upaya-upaya perundingan damai tersebut belum juga membuahkan hasil yang diinginkan. Hingga pada 26 Desember 2004, bencana Gempa Bumi dan Tsunami Aceh yang begitu dahsyat kembali membuat para pihak yang bertikai kembali melakukan perundingan damai pada 27 Februari 2005 yang kala itu dilakukan di Vantaa, Finlandia.  Perundingan berlanjut pada 17 Juli 2005 hingga memperoleh kesepakatan damai pada 15 Agustus 2005.

Proses kesepakatan damai tersebut akhirnya diikuti dengan penyerahan 840 senjata milik GAM pada 19 Desember 2005 hingga pada 27 Desember 2005 Sofyan Dawood selaku juru bicara milter GAM menyatakan bahwa Tentara Neugara Aceh (TNA) telah resmi dibubarkan.