SYIAR ISLAM VS ISLAMOPHOBIA DI INDONESIA
Oleh: Dr. Faraz, MM—-
Pertama sekali dalam sejarah umat Islam Amerika menyelenggarakan sholat Tarawih Times Square New York, pada Ramadhan 2022 lalu. Pola syiar Islam baru dan menarik itu juga terjadi di Indonesia, yakni berupa sekelompok generasi muda yang membaca Al-Qurán di sepanjang jalan Malioboro. Fenomena ini sangat membahagiakan di tengah kondisi masyarakat yang dihantui permasalahan moral dan sosial, seperti kekerasan seksual, kecanduan narkoba dan kasus “klitih” yang merupakan perilaku kekerasan di Yogyakarta. Namun, tidak semua orang menanggapinya secara positif.
Banyak pihak, termasuk tokoh Islam Indonesia, yang menyayangkan mengapa umat Islam Amerika melakukan sholat di jalan, bukankah sudah ada masjid, tempat yang seyogyanya untuk beribadah. Masyarakat muslim Indonesia juga banyak yang mempertanyakan motivasi mengaji di sepanjang objek wisata Malioboro. Mereka melihat kurang pas. Sikap-sikap seperti ini banyak diterjemahkan umat Islam Indonesia pada umumnya sebagai Islamophobia, atau sikap anti Islam. Pertanyaan menarik, apakah Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam memungkinkan juga adanya Islamophobia? Menurut Mahfud MD, “Tidak ada Islamophobia di Indonesia, karena hampir semua menteri beragama Islam, kemudian budaya Islam sangat hidup di Istana,” (DetikNews, 20/04.2022).
Islamophobia itu apa sih? Islamophobia itu berasal dari kata Islam dan Fobia (takut), artinya faktor psikologi sangat kuat mendasari konsep ini. Fobia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perasaan ketakutan yang sangat berlebih terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Menurut Zulian (2019) fobia juga dapat diartikan sebagai perasaan ketakutan yang tidak mendasar dan tidak masuk akal. Dengan demikian Islamophobia dapat diartikan sebagai sikap atau perilaku ketakutan yang berlebihan, tidak mendasar dan seringkali tidak masuk akal terhadap sesuatu yang berbau Islam.
Kasus Islamophobia paling anyar, terjadi tanggal 16 Mei 2022, ketika rombongan keluarga ustaz kondang Indonesia, yang berniat berliburan, bukan berdakwah, di negeri Singapura dihalangi dan dilarang. Hal itu disayangkan terjadi, padahal yang bersangkutan telah mempunyai surat-surat lengkap sebagai pelancong atau turis, bahkan surat izin dari Immigration and Checkpoints Authority (ICA) Singapura. Alasan yang dilontarkan Kementerian Dalam Negeri Singapura, bahwa ustaz kondang itu tergolong penceramah ekstrimis, karena pernah mengatakan bom bunuh diri sebagai perilaku yang sah dalam konteks konflik Palestina- Israel. Kemudian mengatakan juga salib kristen sebagai tempat tinggal jin (roh jahat) (Sugeng Purwanto, 18 Mei 2022).
Bagaimana dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap Islamophobia, bukan Individu pejabat seperti Pak Mahfud MD ? Pada tahun 2015, tepatnya tanggal 15 Mei 2015, saat kegiatan Isra Mikraj di Istana Negara, dilantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan “Langgam Jawa”. Kementerian Agama selaku penanggungjawab mengakui bahwa pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara tradisi nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air (Mustiana Lestari, 17 Mei 2015). Kegiatan ini jelas menimbulkan keresahan, karena sebagian besar umat menganggap hal itu dilarang, mereka mengacu kepada hadis nabi Saw yang diriwayatkan Imam Al Tirmizi, “Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya”.
Kedua, saat kementerian agama dijabat figur berlatar belakang militer, banyak narasi yang sangat mengusik kenyamanan beragama, antara lain: melarang ASN berpakaian cadar bagi perempuan dan bercelana cingkrang bagi laki-laki. Miris mendengarnya, apalagi saat pak menteri mengatakan bahwa radikalisme dewasa ini telah menghantui anak-anak yang terlihat good looking dan pandai berbahasa Arab (Febriansyah Ariefana, 8 September 2020).
Menariknya, Pemerintah memang akhirnya mengganti menteri yang dianggap kontroversi tersebut, tetapi penggantinya justru mengeluarkan lebih banyak lagi narasi yang membuat gaduh umat. Ucapan yang sangat menyesakkan nafas umat, ketika sang menteri membuat perumpamaan panggilan azan menggunakan toa dengan gonggongan hewan. Mengapa mempersoalkan azan sebagai syiar Islam dengan gonggongan hewan dapat mengusik banyak hati umat? Ibnu Taimiyyah pernah berkata,“Di antara syi’ar-syi’ar agama yang hanif ini adalah azan yang mengandung pengumuman untuk berzikir atau mengingat Allah. Dengan adzan ini, terbuka pintu-pintu langit, para setan lari terbirit-birit dan turun rahmat (ketenangan) dari Allah”.
Nuansa Islamophobia juga dapat dilihat dari apa yang dilakukan Kementerian Kominfo RI. Yang pernah memblokir situs-situs Islam sebanyak 19, antara lain: arrahmah.com, voa-islam.com, ghur4ba.blogspot.com, panjimas.com, thoriquna.com, dakwatuna.com, kafilahmujahid.com, an-najah.net, muslimdaily.net, hidayatullah.com, salam-online.com, aqlislamiccenter.com, kiblat.net, dakwahmedia.com, muqawamah.com, lasdipo.com, gemaislam.com, eramuslim.com, dan daulahislam.com. Banyak yang menyesalkan, tetapi pemerintah tidak bergeming (Puji Harityanti, 2015).
Jauh sebelumnya, sebenarnya sikap pemerintah juga terlihat jelas, ketika pemerintah menyelenggarakan diskusi dengan tema ‘Tren Gaya Hidup Hijrah: Peluang atau Ancaman bagi NKRI’, di Jakarta Kamis 25/7/2019 (Suciati, 2019). Ada kesan, pemerintah mencurigai dan mengaitkan fenomena maraknya syiar Islam di Indonesia dengan bangkitnya radikalisme yang mengancam NKRI. Pemerintah merasa harus merangkul komunitas-komunitas hijrah agar tak menjadi gerakan eksklusif dan disusupi paham radikal.
Fenomena Syiar Islam di dunia maupun Indonesia tentu menjadi menarik untuk dibahas dan ditulis berkaitan dengan maraknya Islamophobia di dunia maupun Indonesia sendiri. Sebagai seorang Muslim wajib menjelaskan agar tidak terjadi mis-komunikasi maupun mis-persepsi, dan biar Allah yang akan menilai dan mengeksekusi kebenaran pada akhirnya. Menjamurnya orang Eropa (seperti Inggris) yang masuk Islam, banyaknya gereja yang tutup hingga ratusan, sebaliknya berdirinya masjid hingga ratusan juga di Eropa, menandakan tangan-tangan Allah berupa kebenaran sudah ditunjukan. Namun, itu semua tidak akan terjadi tanpa ikhtiar umatnya untuk melakukan dakwah atau syiar Islam
Secara sederhana, syiar dapat diartikan sebagai tanda, simbol, atau slogan Islam yang tampak dari ibadah. Syiar menjadi simbol kemuliaan dan kebesaran Islam. Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan Imam At-Tirmizi juga menggunakan syiar dalam arti slogan, ”Syiar (slogan) orang mukmin pada Sirathal Mustaqim adalah, ‘Ya Allah, selamatkan, selamatkan.” Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, menggunakan kata syiar juga sebagai simbol. Dalam peperangan, syiar dimaknai sebagai “matikan …matikan”(Agung Sasongko, 28/3/2019). Sementara untuk syiar bermakna “Tanda”, disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, “Syiar (tanda) kaum Muhajirin adalah Abdullah dan syiar kaum Anshar adalah Abdurrahman. Kata syiar dalam Al-Quran adalah sya’a-ir. Sya’a-ir Allah diartikan sebagai syiar Allah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan, hal ini sangat berkaitan dengan upaya syiar yang dilakukan nabi. Tidak hanya itu, ketika pulang beliau memilih jalan yang berbeda dari berangkatnya (Hadis riwayat Bukhari, No.986). Ini bentuk syiar yang lain dalam rangkaian ibadah sholat Id. Kemegahan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi menjadi syiar bagi masyarakat muslim maupun non-muslim dunia. Kemegahan masjid Istiqlal saat baru dibangun maupun setelah mengalami renovasi itu juga merupakan bentuk syiar bagi masyarakat Indonesia.
Syiar melalui ibadah sholat rawatib, maka rangkaian syiar dapat di mulai dari suara panggilan azan, kemudian berbondong bondong umat mengambil air wudu, dan kemudian salat berjamaah. Semakin banyak jamaah yang hadir semakin tinggi nilai syiarnya. Bentuk syiar paling utama adalah berdakwah. Makna syiar seharusnya menjadikan Islam lebih dikenal oleh publik dalam semua dimensi kemuliaan dan keagungannya.
Syiar Islam juga seharusnya tidak berhenti pada syiar saja. Tetapi bagaimana membuat orang yang mendengar syiar itu, jatuh hati pada Islam, lalu memeluk agama Islam dan hidup tenang dalam keislamannya. Jadi, pada akhirnya, syiar Islam adalah dakwah Islam di mana yang belum muslim makin mengenal Islam, dan yang sudah muslim makin kuatnya imannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah dan beramal shalih serta mengatakan; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (QS. Fushshilat: 33).
Menurut al-Razi (Ilyas Ismail, 2010), syiar tak hanya menunjuk pada amalan ibadah-ibadah besar seperti haji semata, tetapi semua ibadah, bahkan semua aktivitas yang menjadi simbol kepatuhan seseorang kepada Allah. Syiar diagungkan sebagai manifestasi rasa takwa. Firman-Nya: ”Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj: 32).
Kegiatan mengagungkan syiar Allah pada ayat tersebut dipahami para ulama dalam beberapa makna. Pertama, ihtifal. Bahwa aktivitas keagamaan yang bernilai syiar, perlu dilakukan secara terbuka, meriah, dan penuh antusiasme, tetapi tetap khidmat dan penuh makna.. Kedua, iltizam. Bahwa mengagungkan syiar itu merupakan kewajiban agama yang harus ditunaikan oleh setiap muslim sebagai bagian dari proses tadzkir, yaitu usaha untuk mengingatkan manusia pada keagungan Allah. Ketiga, itmam. Bahwa syiar harus dilakukan sebaik dan sesempurna mungkin.
Syiar Islam vs Islamophobia merupakan dua fenomena yang sejak zaman nabi sudah ada, dan akan selalu ada hingga akhir zaman. Perseteruan antara Islam dan anti Islam, atau kebenaran dengan kebatilan, sesungguhnya akan terus berlangsung hingga hari kiamat. Kebatilan (baca: Islamophobia) akan tetap ada selama pengikut kebatilan itu masih ada. Pengikut kebatilan adalah mereka yang mengikuti bujuk rayu setan atau iblis. Iblis sudah divonis kafir, karena menolak perintah Allah, untuk bersujud kepada Nabi Adam, kemudian iblis diusir. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hijir, ayat 39, “Iblis berkata: Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan aku sesat, pasti akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”
Firman Allah dalam Q.S. Al-Furqon, ayat 31, “Allah menjadikan adanya musuh bagi tiap-tiap Nabi dari golongan pendosa, dari bangsa jin dan manusia”. Artinya pada setiap di zaman nabi saja, termasuk di dalamnya Nabi Muhammad Saw, selalu saja ada kaum penentang dari syiar-syiar Islam yang disampaikan para nabi, apalagi di zaman sekarang. Allah menegaskan kembali di dalam Q.S. Al Maidah, ayat 82, “Bahwa para musuh itu adalah kaum kafir, terutama dari golongan Yahudi dan Nasrani,” Pengalaman di Indonesia, kaum muslim juga banyak yang melakukan sikap dan perilaku anti Islam. Golongan terakhir ini kemungkinan besar dapat digolongkan sebagai kaum munafik.
Contoh-contoh nyata dari para penentang syiar Islam yang dibawa para nabi telah difirmankan dengan jelas oleh Allah. Sebut saja Firaun, raja Mesir paling ditakuti di zamannya, namun Ia sangat takut dan membenci ajaran tauhid (baca: Islam) yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. Saking takutnya, sehingga setiap anak laki-laki yang lahir di bumi kekuasaannya akan dibunuh, hal itu beliau lakukan hanya karena orang yang dapat mengalahkan kekuasaannya, menurut ramalan, adalah seorang laki-laki yang membawa risalah Tuhan.
Kalau dewasa ini, para ulama dituding sebagai kelompok paling berbahaya, paling radikal, esktrimis dan sebagainya. Tudingan kepada Nabi Muhammad Saw lebih kasar lagi, seperti dianggap sebagai orang gila (Q.S. Al-Hijir: 6); tukan sihir (Q.Q. Shad:4); dan sebagai penyair gila (Q.Q. Shaffat:37).
Dalam perspektif psikologi, kita dapat menganalisis sikap atau perilaku Islamophobia dari pendekatan atau teori perilaku (behavioral) yang mengatakan bahwa proses belajar merupakan cara ampuh membentuk sebuah fobia terhadap Islam. Pemberitaan media asing yang tidak hanya bombardir tetapi juga hampr-hampir tidak ada lawan yang sebanding menyebabkan sebuah berita atau informasi kebatilan dapat mengalahkan kebenaran. Faktanya, mengutip kasus yang dialami Ustaz Abdul Somad (UAS), banyak masyarakat bahkan tokoh yang kebetulan beragama Islam, apalagi yang non-muslim, jelas-jelas menyalahkan UAS, yang telah dituduh sebagai radikalis, ekstrimis, dan sebagainya.
Sesungguhnya kita harus prihatin, karena sikap dan perilaku pemerintah yang diperlihatkan dalam berbagai kasus Islamophobia terkesan tidak memihak umat Islam, padahal lembaga dunia seperti PBB saja, yang dikenal sebagai lembaga Barat, pencetus dan yang menyebarluaskan Islamophobia ke dunia, benar-benar telah menyadari bahayanya Islamophobia dan sejak 15 Maret 2022 ini mereka mendeklarasikan sikap perang terhadap gerakan Islamophobia, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tatanan dunia yang mengarah pada perdamaian.
Tantangan ke depan Umat Islam Indonesia tentu tidak mudah. Jangan lagi berbangga dengan mayoritas, karena nyatanya, umat Islam Indonesia adalah mayoritas yang lemah, yang dapat dikuasai dan didikte minoritas. Semoga umat dapat tetap istiqomah melakukan syiar Islam di tengah gempuran Islamophobia. Semoga.