Menyikapi Kegagalan
Oleh : Latifatul Laili, S.Psi., M.Psi., Psikolog ——
Coba Anda ingat pelan-pelan, kapan terakhir kali Anda mengalami kegagalan? Apa kegagalan terbesar Anda? Sebetulnnya berapa lama dan berapa banyak pelajaran yang kita dapat dari kegagalan tersebut? Kalau kita bandingkan dengan pengalaman berhasil, seberapa banyak kita belajar darinya? Mengapa kita menghabiskan lebih banyak waktu memutar scene demi scene adegan kita gagal dibandingkan momen kesuksesan kita? Bagaimana Allah memberikan kita petunjuk menghadapi kegagalan?
Memahami Kegagalan
Pengalaman gagal menciptakan perasaan yang tidak nyaman. Beberapa perasaan yang seringkali muncul adalah rasa kecewa, tidak mampu, marah, menyesal, tetapi juga rasa malu. Guy Winch menyebutkan bahwa takut gagal sebetulnya dilatarbelakangi dari rasa malu. Rasa malu membuat kita merasa buruk akan diri kita (self-esteem), juga merasa buruk (guilt) atas upaya atau apa yang kita kerjakan (effort). Hal inilah yang membuat kita secara alami merasa takut untuk gagal, sehingga secara tidak sadar kita berupaya untuk memitigasi potensi-potensi kegagalan. Secara tidak sadar kita menyingkirkan peluang untuk gagal, meski sebetulnya itu berarti kita tidak ingin mencoba hal baru, mengambil kesempatan, “yaa, dari pada nanti gagal”. Is it healthy?
Lebih lanjut, dalam bukunya Emotional First Aid: Healing Rejection, Guilt, Failure, and Other Everyday Hurts, Winch menyebutkan bahwa ada tiga luka psikologis yang ditimbulkan ketika kita mengalami kegagalan. Pertama, kegagalan melemahkan keyakinan, motivasi, serta optimisme, membuat kita merasa tidak berdaya dan terperangkap. Dengan satu dua kali pengalaman gagal dapat memberikan efek luka psikologis bagi kita. Ketika pengalaman gagal tersebut sangat penting atau amat bermakna bagi kita. Pikiran kita dikepung oleh adegan sewaktu gagal. Adanya rasa malu, rasa tidak mampu dan tidak berdaya berkembang menjadi lingkaran setan hingga akhirnya satu luka ini semakin parah apabila tidak ditangani.
Kedua, kegagalan membahayakan rasa harga diri kita dengan membuat kita mengambil kesimpulan mengenai kemampuan, kapasitas, keahlian kita yang tidak akurat, Riset menunjukkan bahwa pengalaman tidak hanya membuat tujuan kita terasa lebih jauh atau lebih sulit untuk diraih, tetapi juga pandangan kita akan diri kita menjadi lebih kecil. Kita merasa diri kita kurang pintar, kurang mampu, kurang terampil, kurang kompeten, kurang menarik, dan seterusnya. Hal ini kemudian berkembang menjadi diri kita yang kurang percaya diri untuk menampilkan hasil pekerjaan kita. Namun sebetulnya penilaian ini tidak selalu akurat. Satu kali, dua kali kita mengalami kegagalan bukan berarti kita adalah orang yang gagal.
Ketiga, rasa gagal memicu stres dan ketakutan yang tidak kita sadari sehingga tanpa sengaja merusak upaya-upaya yang kita lakukan. Beberapa studi menunjukkan bahwa keyakinan kita akan sukses dan gagal mempengaruhi seberapa banyak usaha yang kita lakukan untuk mencapai tujuan. Ketika kita merasa takut tidak dapat mencapai kesuksesan, secara tidak sadar kita mengerahkan usaha yang tidak maksimal, yang mana hal tersebut akan berakhir dengan diri kita yang lagi-lagi mengalami kegagalan. Rasa gagal juga membuat kita tidak ingin mengambil resiko, menghambat proses berpikir secara kreatif dan menemukan solusi “out of the box”.
Panduan Islami Menyikapi Kegagalan
Rasulullah Muhammad SAW sekalipun tidak terhindar dari kegagalan dan kesulitan dalam hidupnya. Rasulullah bukan dari kalangan ekonomi menengah ke atas, beliau pernah dibenci oleh sekelompok orang, pernah dihina, pernah mengalami kehilangan, pernah mengalami kekalahan. Namun demikian, beliau mampu menjalani kesulitan dan kegagalan itu dengan hati yang tenang, menjadikan kegagalannya sebagai sesuatu yang bermakna. Bagaimana kita belajar dari keteladanan Rasulullah dalam menyikapi kegagalan?
Ketika gemuruh rasa gagal menyelimuti diri kita, maka satu hal yang perlu kita tegakkan adalah sikap tawakal. Tawakal dapat kita pahami sebagai sikap seorang muslim yang berserah kepada Allah SWT atas ikhtiar dan perkara yang kita hadapi. Kita perlu sejenak duduk dan membaca kembali satu pesan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 51:
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ – ٥١
Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”
Apapun yang terjadi dalam hidup kita sejatinya telah diatur oleh Allah Yang Maha Kuasa. Bisa jadi kita tidak suka dengan kejadian gagal ini, kehendak Allah bukanlah keinginan kita, tetapi Allah tahu apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Oleh karenanya, kita perlu menerima pengalaman gagal tersebut dengan lapang hati.
Tentu, proses menerima dan berdamai dengan rasa gagal itu tidaklah mudah, bahkan mungkin sulit luar biasa. Kita tumbuh dalam masyarakat yang hanya mengapresiasi keberhasilan, merayakan kemenangan. Sementara kegagalan menjadi sesuatu yang memalukan sehingga kita ingin sembunyi dari orang lain, mungkin di dalam hati menyalahkan keadaan di luar diri kita, menyalahkan orang lain, kita tidak ingin merasa gagal. Jadi, tentu saja, menerima kegagalan bukanlah hal mudah. Namun demikian, saat kita terima kegagalan, rupanya ruang lega menjadi lebih terasa, pengalaman gagal membuat kita “stay grounded” dan mengajarkan kita untuk rendah hati. Bukankah Allah menginginkan hambaNya yang rendah hati?
Pada sisi lain, Allah SWT juga menciptakan dunia yang tidak ideal ini sebagai cobaan untuk manusia. Karena kita sebagai manusia sering terlena, kurang bersemangat dalam ibadah apabila dalam kondisi hidup nyaman tanpa kesulitan. Ingat kembali saat kita berada dalam gegap gempita tepuk tangan, silau cahaya perhatian orang lain, apresiasi dan euphoria kesenangan. Bukankah pada saat kita di puncak gembira, justru ibadah kita melemah? Namun apabila manusia dihadapkan pada pengalaman gagal, kalah, penderitaan maka secara alami manusia mendekat kepada Allah. Kita minta agar Allah senantiasa bersama kita, agar Allah memberikan kita solusi, kita minta Allah memberikan kekuatan dan rahmatNya untuk kita. Ibadah juga kita genjot agar pertolongan Allah semakin dekat.
Oleh karenanya, kita perlu mengubah sudut pandang kita yang menganggap kegagalan sebagai pengalaman yang amat buruk ini menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Barangkali pengalaman gagal ini adalah cara Allah menegur kita untuk kembali mendekat padaNya. Barangkali pengalaman gagal ini adalah cara Allah agar kita memetik pelajaran dan bertumbuh darinya.
Panduan Islami Menghadapi Rasa Takul Gagal
Nyatanya kegagalan bukanlah kejadian yang ingin kita ulangi, yang mudah kita apresiasi. Pengalaman gagal yang bertumpuk atau amat intens untuk kita menjadi sangat personal, menimbulkan luka dan rasa sakit. Kita takut merasa gagal, rasa takut itu kemudian menjadikan kita manusia yang lemah. Kita tidak ingin mencoba kesempatan baik di depan kita, kita melewatkan kesempatan untuk mengenal hal baru dan kita duduk terpojok dengan rasa bosan. Hal itu terjadi semata-mata karena kita takut kalau nantinya akan gagal. Berulang kali muncul pikiran “Bagaimana kalau aku berpendapat, orang lain akan menertawakan?” “Bagaimana kalau aku nantinya akan kalah”, “Bagaimana kalau aku mengacau”, Bagaimana…
Well, perlu kita akui kita ini tidak sempurna. Daripada memikirakan “bagaimana-bagaimana” di kepala kita yang jauh dari ideal, kita tanyakan saja pada diri kita: “Dengan kondisi yang sedang aku hadapi sekarang, upaya apa yang masih bisa aku lakukan?” “Mana yang masih ada dalam kendaliku?” Kalimat ini setidaknya akan membuat kita beralih dari pikiran-pikiran buruk, pikiran-pikiran yang kita takutkan akan kegagalan menjadi fokus pada apa yang bisa dilakukan.
Allah mencintai hambaNya yang berkuat hati, meski ujian hidup menerpa, kegagalan menghantui, namun tetap kokoh melaluinya. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah, dan masing-masing berada dalam kebaikan. Bersungguh-sungguhlah pada perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu katakan: ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah: ‘Qoddarallah wa maa syaa fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendakiNya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘Seandainya’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Ahmad 9026, Muslim 6945, dan yang lainnya).
Cara lain yang bisa kita coba adalah dengan bertanya pada diri kita: “Hal paling buruk apa yang terjadi?”. Adakalanya konfrontasi akan kekhawatiran kita justru membuat kita berpikir lebih logis. Mari kita jujur saja, seburuk apa sih pengalaman gagal kita? Skenario terburuk apa dari peristiwa gagal ini? Apa yang akan terjadi ketika presentasi kita tidak dilirik oleh penonton? Apa hal paling buruk yang mungkin terjadi kalau kita kalah bertanding? Nyatanya dunia tidak berakhir saat kita gagal. Paling mentok kita dapat omelan, paling mentok kita tidak disukai orang lain. Bukankah itu hal yang normal? Hal terburuk yang kita bayangkan bukanlah akhir dari dunia.
Selanjutnya, ada sebuah doa yang bisa kita baca untuk membantu kita melalui kegagalan dan kerasnya dinamika kehidupan. Kegagalan membuat hati kita menjadi lemah, merasa menjadi orang yang gagal/payah, menilai diri secara rendah. Maka untuk melindungi hati kita dari kelemahan, Rasulullah mengajarkan kita untuk berdoa setiap pagi dan petang:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706).
Lebih lanjut, kita perlu senantiasa mengingat Allah. Pikiran yang buruk, hati yang tidak tenang, hasrat untuk menolak keadaan sesungguhnya adalah bisikan setan. Setan senang bila kita terpenjara oleh pikiran buruk mengenai kegagalan.
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ * إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
Artinya: “Dan jika setan datang menggodamu, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (untuk berbuat dosa) oleh setan, mereka pun segera mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).”
(Q.S Al-A’raf: 200-201)
Menyikapi Kegagalan: Final Choice
Ada dua opsi dalam menyikapi kegagalan; (1) terus tenggelam dalam perasaan buruk karena mengalami kegagalan; (2) menyikapi kegagalan dengan penerimaan secara lapang hati sesuai panduan di atas. Mana yang akan Anda pilih?
Riset sebelumnya oleh Lyubomirsky, Sousa, dan Dickerhoof menunjukkan bahwa ketika kita mengungkit pengalaman gagal, kemudian tenggelam bersama perasaan-perasaan buruk kegagalan dapat membuat kita tidak bahagia dan menurunkan performa kerja kita. Pada sisi lain, saat kita memiliki sudut pandang yang lebih konstruktif mengenai kegagalan maka hasilnya berbeda. Riset eksperimen dari DiMenichi dan Richmond menunjukkan bahwa individu yang melakukan refleksi atas kegagalan dalam hidupnya memiliki peningkatan skor kegigihan (grit) dibandingkan refleksi atas kesuksesan.
Akhirnya, kita semua perlu menyadari bahwa pengalaman gagal tidak dapat kita hindari. Secara alami manusia akan mengalami kegagalan berkali-kali. Barangkali pengalaman gagal ini adalah hadiah dari Allah yang perlu kita terima dengan hati yang lapang. Mari bersama kita embrace, kita terima pengalaman kegagalan. Mau lari sejauh mana untuk menghindari kegagalan? Mengalami kegagalan bukan akhir dunia. Mengalami kegagalan bukanlah bukti kepayahan diri kita, namun bukti bahwa kita adalah manusia. Manusia yang membutuhkan Allah untuk bersandar, untuk belajar dari kegagalan, dan terus tumbuh mekar.