Jebakan “Flexing”, Pamer Ibadah di Media Sosial
Oleh: M Iskandar Tri Gunawan—-
“Yeay… masak untuk buka puasa sudah selesai, makanan sudah siap disantap!. Alhamdulillah selesai sudah puasa sunnah hari ini, bahagia rasanya bisa buka puasa bersama dengan suami dan anak di rumah, setelah ini lanjut sholat jamaah di rumah dan tadarus Quran menyelesaikan juz 13”
Berikut tadi adalah penggalan salah satu contoh sebuah tulisan kalimat yang mungkin pernah kita baca pada sebuah status di media sosial yang kadangkala membuat kita mengernyitkan dahi sambil terseyum tipis. Aksi pamer yang dilakukan tanpa disadari media sosial tersebut dapat dinamakan sebagai “flexing”. Istilah tersebut sebenarnya berasal dari kata gaul atau slang word dari Amerika yang artinya suka pamer. Secara definisi, flexing juga dapat diartikan sebagai menyombongkan diri dengan memamerkan diri dengan kemewahan atau kekayaan. Dalam konteks ibadah, flexing juga dapat dimaknai sebagai perilaku memamerkan diri dalam urusan ibadah dengan kelebihan yang dimiliki dan pencapaian yang dilakukan. Flexing di media sosial pada akhirnya menampakkan kegiatan yang memamerkan kegiatan ibadah dan mengharapkan respon berupa komentar, ikon like, atau pos ulang dari orang lain.
Memahami hakikat Ibadah
Menjadi pribadi yang giat melakukan ibadah atau amal sholeh adalah merupakan keinginan setiap muslim. Ibadah yang kita lakukan, baik yang bersifat wajib maupun sunnah, merupakan salah satu bentuk penghambaan manusia yang sepenuhnya tunduk serta mengakui kebesaran dan kekuasaan tuhannya, kegiatan ibadah tersebut harus dibentuk atas sebuah kesadaran bahwa tidak ada zat yang patut disembah selain Allah SWT dan senantiasa taat menjalankan apa yang menjadi perintah-Nya.
Selain itu, ibadah dapat juga dapat dikatakan sebagai wujud syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, patut menjadi kesadaran bahwa semua yang kita peroleh dalam kehidupan di dunia ini merupakan pemberian yang tidak dapat ternilai harganya. Dalam surat Adz-Dzaariyaat, surat 56-58, Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ * مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ * إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
Ayat tersebut kurang lebih memiliki makna bahwa manusia diciptakan semata-mata hanyalah untuk beribadah kepada Allah, pengertian ibadah secara bahasa dapat diartikan sebagai perwujudan dari sikap patuh dan taat. Sementara itu, terkait rizki, Allah tidak membutuhkan makhluk yang diciptakan-Nya, namun sebaliknya manusialah yang membutuhkan Allah yang Maha kaya dan Maha pemberi rizki serta bukan yang diberi rizki.
Ibadah yang biasa kita lakukan sehari-hari terdiri dari beberapa kategori bentuk ibadah, diantaranya seperti ibadah hati, lisan dan anggota badan. Ibadah hati bentuk penerapannya seperti dengan merasa takut atau khauf, merasa ketergantungan atau tawakal, rasa berharap atau raja’. Kemudian ibadah lisan aktualisasinya dapat berupa mengucapkan dzikir, diantaranya seperti tasbih, tahlil, takbir, tahmid. Terakhir, terdapat kegiatan ibadah anggota badan yang penerapannya dapat berupa sholat, puasa, haji. Terdapat juga ibadah-ibadah lain yang dapat dilakukan dengan menerapkan keseluruhan antara ibadah hati, lisan dan anggota badan. Ibadah-ibadah tersebut di atas selain dapat dilakukan secara individual, juga dapat dilakukan bersama-sama secara kolektif.
Ikhlas dalam beribadah
Ada sebuah peribahasa yang barangkali sangat populer, yakni berbunyi: “Ketika tangan kanan melakukan maka tangan kiri tidak perlu tahu”. Makna dari peribahasa tersebut dapat diartikan bahwa ketika melakukan perbuatan baik, sepatutnya orang lain tidak perlu tahu. Maka dari itu akan lebih bijak jika dalam melakukan kegiatan ibadah kita terutama yang sunnah, sebaiknya dengan sikap yang ikhlas semata-mata hanya berharap ridho Allah SWT.
Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku Dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang di dalamnya itu ia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya Aku tinggalkan ia bersama sekutunya itu”. (HR. Muslim). Hadis tersebut memberikan petunjuk kepada kita agar dalam melakukan ibadah dapat dilakukan secara ikhlas, yaitu semata-mata diperuntukkan hanya kepada Allah SWT.
Kemudian bagaimana cara kita memahami perilaku ikhlas? Dijelaskan oleh seorang ulama bernama Al-Junaid bahwa ikhlas itu adalah dapat dikatakan sebagai bentuk rahasia antara seseorang hamba dengan Tuhannya. Perbuatan itu tidak diketahui malaikat sehingga ia menuliskannya, tidak diketahui setan sehingga ia merusakkannya, dan tidak diketahui hawa nafsu sehingga ia mengaturnya.
Dalam surat Al-Baqarah, surat 271, Allah SWT berfirman: “Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Makna dari ayat tersebut dijelaskan dalam Tafsir At-Thabari, Imam Abu Jakfar, Imam Qatadah, Imam Ar-Rabi’, dan terdapat ulama lainnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sedekah sunah, bukan sedekah wajib atau zakat. Oleh karena itu, Allah tidak melarang kita menampakkan kebaikan-kebaikan yang sunah seperti sedekah, tetapi akan lebih baik jika kita merahasiakannya karena lebih aman dari riya.
Perlukah kita mempublikasikan ibadah?
Pada saat melakukan kegiatan ibadah sehari-hari terutama ibadah yang bersifat individual, seseorang dapat melihat atau dilihat oleh seseorang yang lain pula, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, disengaja maupun yang tidak sengaja. Salah satu faktor pendukung ibadah kita dapat dilihat oleh orang lain adalah karena pesatnya teknologi digital yang mengakibatkan penggunaan gawai menjadi semakin masif. Gawai kemudian selalu digunakan dan hadir dalam setiap aktivitas manusia sehari-hari. Pada saat yang sama kemudian gawai pada akhirnya sangat berkontribusi dalam memberikan fasilitas kepada penggunaanya untuk mempublikasikan aktivitas ibadahnya.
Bila dicermati secara seksama saat kita menggunakan gawai dan mengakses akun media sosial, seringkali kita dengan sangat mudah melihat kegiatan ibadah orang lain. Sebagai contoh umum mungkin diantara kita sering melihat orang lain di lingkaran hidup kita sedang melakukan ibadah seperti diantaranya ibadah sholat sunnah, membaca Al-Qur’an, puasa sunnah, maupun sedang berinfak, itu semua karena secara tidak sengaja kita melihat postingan mereka sedang melakukan ibadah tersebut di akun media sosialnya.
Seringkali saat kita melihat seseorang mengunggah status ibadahnya, konten tersebut biasanya dalam bentuk audio visual yang dilengkapi dengan tulisan yang menceritakan kegiatan ibadahnya pada halaman media sosial pribadinya, seperti status Whatsapp, story Instagram dan Facebook. Pada akun pribadi media sosial tersebut kita biasanya mendapati orang tersebut sedang memberitahukan kesibukannya melakukan kegiatan berbuka puasa sunnah bersama keluarganya, atau pasti kita juga pernah melihat seseorang sedang menunjukkan capaian halaman Al-Qur’an nya yang telah ia baca pada hari itu, serta kita mungkin juga pernah melihat seseorang mengunggah aktivitas sholat tahajudnya di tengah malam, dan adakalanya juga kita pernah mendapati seseorang yang mengeposkan dirinya sedang ibadah umroh bersama pasangannya dan ada juga seseorang terlihat sedang memberikan sedekahnya kepada orang lain. Semua yang disebutkan tadi, bisa jadi diantaranya kita pernah melihatnya.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah hal tersebut tidak patut kita lakukan atau apakah itu bentuk perbuatan yang dianggap keliru? Jawabannya mungkin bisa sangat relatif karena orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat berdalih bahwa ia sedang ingin melakukan syiar islam atau dapat juga dianggap sebagai ajakan kepada orang lain untuk melakukan ibadah serupa. Oleh karena itu, dalam melihat kasus ini dikembalikan lagi pada tergantung dari niat seseorang tersebut. Jika apa yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang tersebut saat memamerkan kegiatan ibadahnya karena dengan niat ingin dipuji, ingin dianggap sholeh/sholeha dan dianggap pribadi yang taat beribadah, maka hal ini adalah sesuatu yang keliru.
Namun muncul pertanyaan yang lagi, siapakah diantara kita yang dapat menjamin bahwa kita dapat mengendalikan diri dari niat yang tidak diperkenankan tersebut? Tampaknya akan sulit sekali rasanya kita dapat mengendalikan atau menghindari dari munculnya keinginan yang menyimpang tersebut, apalagi mengingat sifat manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu silau terhadap pujian, selalu ingin diperhatikan, dan ingin dianggap lebih dari orang lain.
Dengan demikian, flexing dalam urusan ibadah di media sosial dapat menjadi sarana seseorang dalam mengharapkan apresiasi orang lain atas apa yang telah kita lakukan. Hal ini sangat berbahaya bagi pelaku ibadah tersebut, karena bentuk apresiasi biasanya berupa penghargaan seperti pujian. Hal yang yang paling dikhawatirkan dari pujian dari manusia adalah pada akhirnya dari pujian tersebut dapat menjauhkan kita dari niat awal yang semata-mata hanya mengharapkan ridho dari Allah SWT, sehingga apa yang kita lakukan tersebut akhirnya tidak lagi bernilai pahala.
Selain itu ada kemungkinan lain bahwa dengan seringkali melakukan flexing di media sosial, dapat menyebabkan kita mudah berbangga diri atas apa yang kita lakukan. Kemudian hal yang lebih parah dan perlu dikhawatirkan kemudian adalah apabila kita sampai terjerumus ke dalam sikap sombong yang merasa diri lebih baik dari pada orang lain. Perilaku flexing yang gemar memamerkan diri maupun bangga diri, tergolong salah satu bentuk sifat riya. Mengingat bentuknya yang sulit dikenali dan cenderung tanpa disadari, perilaku riya ini terasa sangat samar, seolah-olah pelakunya merasa seperti tidak masalah melakukannya.
Terakhir, sebagai manusia yang hidup di zaman yang serba menggunakan gawai seperti sekarang ini, peran gawai dapat menjadi seperti dua mata pisau, gawai dapat menjadi manfaat bagi diri kita namun di sisi lain dapat menjadi mudharat juga. Maka akan lebih bijak apabila kita dapat pelan-pelan mulai menjauhkan diri dari keinginan mengunggah konten ibadah kita di media sosial agar kita dapat terhindar jebakan yang dapat menghancurkan nilai amalan ibadah kita tersebut. Prinsip penting yang perlu dipegang teguh adalah kita selalu sadar bahwa tidak selalu setiap perbuatan terutama ibadah kita harus selalu diketahui orang lain, cukuplah Allah SWT saja yang tahu apa yang kita lakukan.
Wallahu’alam bishawab
Sumber:
https://islamindonesia.id/pilihan/apa-kata-islam-tentang-pelaku-flexing.htm
https://tafsirweb.com/37749-surat-adz-dzariyat-ayat-56-58.html