Merdeka Belajar dan Resiliensi SIstem Pendidikan
Merdeka Belajar bukan sekedar program, melainkan adalah cita-cita yang mendasar untuk mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada kualitas, ada aspek keadilan atau menyeluruh. Kualitas bukan hanya meningkatkan fasilitas ataupun akses/partisipasi tetapi juga memastikan bahwa setelah mereka mendapatkan akses, akses itu diterjemahkan menjadi pengalaman belajar yang bermakna, yang relevan dan berguna untuk masa depan mereka.
Demikian disampaikan oleh Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendibudristek pada agenda studium general yang diselenggarakan dalam rangka Milad Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis, 14 April 2022. Kegiatan yang diselenggarakan secara daring ini dibuka secara langsung oleh Dekan FPSB UII, Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog.
Melalui paparannya yang berjudul “Merdeka Belajar dan Resiliensi Sistem Pendidikan”, sosok yang akan akrab dengan sapaan “Pak Nino” tersebut menegaskan bahwa merdeka belajar juga diterjemahkan pada fokus pengembangan karakter dan kompetensi dasar serta sebagai intervensi2 yang sifatnya asimetris, tidak pemerataan melainkan mempertimbangkan perlunya afirmasi kepada kelompok tertentu yang secara sosial, secara historis termarjinalkan. Keompok inilah yang perlu mendapatkan bantuan lebih agar setara dengan kelompok2 lain yang sudah lebih berdaya.
“Kenapa memilih fokus pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar? Ini dikarenakan banyak data menunjukan bahwa kita belum berhasil dalam aspek itu. Ini data yang tragis tapi kita harus akui bahwa ini problem yang nyata. Sejak 20 tahun lalu sd sekarang kemampuan sistem pendidikan kita untuk memfasilitasi pembelajaran bagi karakter dan kompetensi paling mendasar seperti kemampuan memahami apa yang dibaca itu masih sangat rendah. Setelah sekolah 9-10 tahun hanya sekitar 30% siswa kita yang memiliki kemampuan untuk memahami bacaan di tingkat yang mendasar atau menerapkan konsep matematika dasar kalau kita menggunakan standar yang diterapkan oleh PISA. Lebih menyedihkan lagi adalah angka itu tidak bergerak sejak 20 tahun sampai sekarang angka di situ-situ saja”, tuturnya.
Beliau juga menambahkan bahwa krisis pembelajaran semakin diperparah dengan hadirnya Pandemi Covid-19. Pandemi mengakibatkan hilangnya pembelajaran dan meningkatkan kesejangan pembelajaran. “Dampak pandemi berkali-kali lipat lebih para pada kelompok didik yang tinggal di desa terpencil, pada peserta didik yang dirumah tidak punya buku teks dan fasilitas belajar serta peserta didik yang orangtuanya berpendidikan rendah”, imbuhnya.
Namun demikian, selain mendisrupsi pendidikan kehadiran pandemi juga membentuk resiliensi sistem pendidikan di seluruh dunia, dimana pandemi menuntut perubahan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, mulai dari penyampaian materi, asesmen, sampai cara membangun motivasi belajar. Disrupsi karena pandemi juga menegaskan pentingnya kemauan dan kemampuan untuk yang terus belajar dan beradaptasi, serta resiliensi di level individu maupun sistem.
Adanya pandemi membuat Kemendikbudristek secara cepat menyesuaikan kebijakan dan membuat program sebagai respon darurat terhadap pandemik Covid, seperti penyederhanaan kurikulum 2013 dan ketentuan penilaian untuk kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik, pelatihan-pelatihan untuk guru dan kepala sekolah, penyediaan bantuan paket data internet untuk pendidik dan peserta didik maupun penyediaan modul-modul literasi dan numerasi yang dapat digunakan di rumah dengan panduan orangtua.
Selain diakibatkan oleh pandemi, adanya perubahan teknologi, sosiokultural, dan krisis lingkungan juga semakin menegaskan pentingnya sistem pendidikan yang resilien.
Beliau juga menambahkan bahwa selain ada Merdeka Belajar, juga terdapat platform Merdeka Mengajar. Platform ini memfasilitasi pengembangan profesional guru melalui penyediaan perangkat ajar dan modul-modul latihan daring. Paltform ini juga memungkinkan setiap guru dapat belajar secara langsung dari narasumber pusat dan langsung menerapkan materi pelatihan di kelas masing2.
“Saat ini kita mendorong agar sistem pendidikan kita lebih berorientasi pada kedalaman proses untuk pengembangan karakter dan kompetensi dasar yang diformulasikan secara sederhana dalam profil pelajar Pancasila yang memiliki spiritualitas (akhlak mulia), gotong royong, kreativitas, nalar kritis, kebhinekaan dan kemandirian”, tandasnya.
Kurikulum Merdeka menurutnya juga memberi ruang untuk kontekstualisasi pembelajaran dimana kurikulum tersebut didesain lebih sederhana karena fokus pada materi esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik, lebih mendalam dan menyenangkan dalam proses pembelajaran serta penyusunan kurikulum operasional masing-masing sekolah lebih merdeka dengan target capaian pembelajaran per dua atau tiga tahun.