FENOMENA MUALAF DAN PERILAKU KELUAR ZONA NYAMAN: Sebuah Autokritik
Oleh : Dr. Faraz, MM——
Berkembangnya teknologi media sosial di Indonesia telah menguak banyak fakta luar biasa tentang fenomena mualaf (orang yang mendapat hidayah dan mengucapkan 2 kalimah syahadat). Bagaimana kisah atau perjalanan mereka masuk Islam, seringkali sangat sederhana tetapi tidak jarang penuh perjuangan. Carissa Grani, seorang dokter gigi yang bekerja di Pemprov DKI, sering memperhatikan teman-temannya yang muslimah, memakai cadar, tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan sering berwudlu termasuk membersihkan hidung. Carissa berpikir bahwa perilaku teman-temannya itu ternyata sesuai dengan apa yang harus dilakukan manusia di dunia saat mengahadapi pandemi Covid-19. Carissa kemudian menyimpulkan, “Inilah agama yang benar, karena sesuai dengan ilmu pengetahuan”. Atas dasar itu Carissa masuk Islam. Mudah sekali.
Bagi Koh Asen, warga Tionghoa di Jakarta Barat, masuk Islam baginya sesuatu yang hampir-hampir tidak mungkin. Dia sebenarnya terbuka dengan banyak agama, seperti Kongucu, Budha, dan Kristen, tetapi untuk Islam nanti dulu, tidak terpikir sama sekali, karena “Melihat tulisan Arab aja udah bikin pusing, “ katanya. Cara beribadah orang Islam, menurut Asen, berbeda dengan agama lain yang mempunyai objek untuk disembah. “Orang Islam menyembah apa, gak jelas, “lanjut Asen. Namun, apa yang terjadi kemudian, pada usia menginjak dewasa, Koh Asen mengalami perasaaan panas pada tubuhnya yang luar biasa. Hal ini dialami setiap musim kemarau. Pada saat musim hujan, rasa panas itu hilang. Pada suatu musim panas, ia merasa tidak kuat lagi. Ia pun keluar rumah di sore-sore, ia mau cari hiburan nonton film bioskop. Sebelum menonton, Asen iseng melihat lihat dagangan buku yang digelar di pinggir jalan, di depan bioskop itu. Niatnya ingin membeli buku TTS (Teka Teki Silang), tetapi Asen melihat ada judul buku yang mengusik pikirannya, berjudul Seputar Alam Gaib. Menariknya ketika Asen membuka buku itu, ada tulisan Arab, tentang ayat minta hujan, dan disitu ada anjuran, “Siapa yang menuliskan ayat ini pada batu hitam dan meletakkannya kemudian di bawah pohon kering akan mendatangkan hujan”. Kalimat itu langsung direspon Asen, dalam hatinya, ”Wah ini mah bohong, ngibul”. Asik melihat-lihat buku, Asen lupa bioskop sudah dibuka, ia bergegas dan meminta pedagang untuk membungkus buku TTS. Anehnya, ketika keluar dari bioskop, Asen terkejut karena buku yang dibungkus tadi bukan TTS tetapi Seputar Alam Gaib. Siapa yang menyangka, melalui buku itu, Koh Asen bisa masuk Islam, meskipun prosesnya tidak mudah, butuh tiga kali praktek minta hujan sesuai yang diperintahkan dalam buku. Percobaan pertama, Asen terkejut karena permintaannya tidak lama kemudian dikabulkan, hujan turun lebat. Namun, Asen menganggap itu cuma kebetulan. Empat hari kemudian ketika merasa panas lagi, Asen mencoba yang kedua, dan hasilnya sama. Asen mulai percaya tetapi belum yakin. Pada prosesi ketiga, Asen tidak bisa berbicara lagi, kecuali menangis, karena ia merasa sudah berdosa tidak percaya sejak awal pada Tuhan (Allah).
Imam Ibnu al-Qayim Al-Jauziyyah, salah satu murid terpenting Ibnu Taimiyyah, membagi hidayah dalam empat hal: (1). Hidayah umum ini diberikan Allah pada seluruh makhlukNya, sesuai Q.S. Thaha ayat 50 artinya; Musa berkata; “Rabb kami ialah rabb yang telah memberikan kepada makhluk setiap makhluk bentuk kejadiannya dan ia juga memberinya petunjuk”. (2). Hidayah bayan, berupa penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Fushshilat ayat 17, artinya “Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mareka (jalan kebenaran) tetapi mareka tidak mau mengikuti petunjuk”. (3). Hidayah taufik, merupakan suatu ilham dan kelapangan dada untuk menerima petunjuk Allah. Inilah hidayah (sempurna), sesuai Q.S. Faathir ayat 8, artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya”. (4). Puncak dari suatu hidayah yaitu hidayah syurga. Allah berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 43 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke surga) kalau Allah tidak menunjukkan kami”.
Kasus mualaf di Indonesia, seperti Carissa atau Koh Asen, menurut ketua Mualaf Center Indonesia (MCI), Koh Steven, jumlahnya sekarang sudah puluhan ribu orang. Namun, fokus tulisan ini bukan bagaimana mereka menjadi Mualaf, tetapi yang jauh lebih menarik adalah bagaimana para mualaf yang baru saja beberapa tahun beragama Islam tetapi sudah mempunyai kontribusi yang sangat signifikan bagi syiar Islam, jauh melebihi orang yang sudah Islam sejak lahir.
Sebut saja Felix Siauw, Ia masuk Islam 2002, tetapi penguasaan Al-Quran dan Hadits-nya luar biasa dibandingkan kita yang belajar Islam sejak lahir. Irena Handono, mantan biarawati, masuk Islam usia 26 tahun. Saat ini berprofesi ustadzah dan berdakwah ke berbagai kota di Indonesia. Terakhir, Yusuf Ismail, keturunan Tionghoa, penginjil di gereja, ayahnya pendeta, Ia masuk Islam 1994, kini kondang sebagai Kyai, memiliki pondok pesantren Al Hadid, di Karangmojo, Gunungkidul, DIY. Pertanyaannya, mengapa mereka jauh lebih cepat dalam belajar Islam? Mengapa mereka terlihat begitu mudah untuk istiqomah berprofesi sebagai pendakwah? Dibandingkan kita yang tetap asik dengan posisi duniawi sebagai pejabat di pemerintahan, di dunia ekonomi, di dunia politik maupun di dunia pendidikan seperti menjadi dosen.
Banyak dalil baik dari Al-Qurán maupun hadits yang menegaskan bahwa seorang mualaf, orang yang mengucapkan syahadat, akan dihapus semua dosanya yang dilakukan sebelumnya. “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…” (QS. Al-Anfaal: 38). Banyak hadits shohih, riwayat Bukhari dan Muslim juga memberikan penjelasan yang sama, bahwa siapa saja yang bersyahadat, memeluk agama Islam, maka akan dihapuskan dosa-dosa masa silamnya, dan seperti dilahirkan kembali, suci tanpa dosa.
Apakah karena dosa-dosanya dihapus sehingga para mualaf itu mudah istiqomah dalam berdakwah atau berjuang untuk Islam? Jawabannya bisa “Ya” bisa “Tidak”, karena tidak semua mualaf menjadi dai atau ustad, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang berani memutuskan keluar dari zona nyamannya. Hampir semua mualaf siap dimusuhi keluarganya, kelompoknya, dan siap kehilangan harta atau siap miskin. Koh Asen, bekerja di perusahaan orangtuanya, posisinya sebagai manajer, karena orangtuanya tidak senang ia masuk Islam, maka beliau digaji dengan standar gaji pegawai yang paling rendah di perusahaan itu. Yusuf Ismail dari keluarga yang berkecukupan, karena ayahnya seorang pendeta senior, langkahnya memeluk Islam telah membuat keluarganya kehilangan penghasilan dan jatuh miskin, tidak hanya tidak punya rumah, tetapi untuk makan sehari-hari saja sulit. Ia terpaksa memutuskan tidak kuliah, tetapi tetap istiqomah.
Salah satu sosok mualaf yang juga perlu dicatat disini yakni Koh Steven, ketua MCI itu. Posisi sebelumnya, adalah pendeta di gereja terkenal di Jakarta. Ia alumnus Perguruan Kristen (S2) di Universitas Leiden, Belanda. Ketika memutuskan masuk Islam, ia mundur dari gereja. Oleh orangtuanya ia diusir. Ia pun menjadi gelandangan di Jakarta, tidur tidak jelas, di emper toko atau di emper masjid. Ia hijrah ke Cilegon jadi kuli panggul dan pekerjaan serabutan lainnya. Dengan modal bahasa Inggris, ia akhirnya bekerja sebagai office boy sebuah perusahaan asing. Dari sini ia bisa menabung dan dibantu atasannya untuk pergi umroh. Pulang umroh ia bergerak cepat mendirikan Mualaf Center Indonesia. Melalui MCI, Koh Asen berhasil memfasilitasi orang masuk Islam sebanyak 58 ribu lebih. Ketika ia sudah maju, bekerja di lembaga riset dunia di Singapore, dan mempunyai bisnis kedai kopi di beberapa tempat, Allah mengujinya kembali. Pada awal tahun 2020, dunia dihantui ketakutan virus covid-19. Steven berpikir dampak negatif yang mungkin akan menimpah Indonesia ketika pandemik covid-19 merebak. Ia pun pulang ke Indonesia, menjual semua hartanya, dua rumah, tujuh mobil dan tiga motor gede, untuk membeli dan membuat masker serta beberapa peralatan medis yang dibutuhkan. Semua peralatan medis itu termasuk APD ia sumbangkan ke semua petugas kesehatan yang membutuhkan termasuk ke Yayasan-yayasan Kristen dan Budha yang menangani pasien covid-19. Dia sendiri kemudian mengontrak rumah di Yogyakarta bersama tim bisnis dan dakwahnya, sementara istrinya tinggal di Bandung bersama mertuanya. Mengapa dia mampu melakukan itu, banyak orang menilainya, “gila”, terbius agama dan sebagainya, tetapi Koh Steven sendiri punya argumentasi sederhana, menurutnya, harta yang dimiliki adalah titipan Tuhan, cepat atau lambat akan kembali ke pemiliknya, karena bencana atau faktor lain. “Daripada kembali ke Allah karena dipaksa, lebih baik saya sedekahkan saja” tegasnya. Menariknya, ketika banyak usaha berguguran karena pandemi, usaha Kedai Kopi Koh Steven, malah bertambah 19 outlet.
Bagaimana dengan kita, kita bukan orang awam, kita warga terpelajar, bahkan dari kita berprofesi sebagai dosen, bergelar doktor bahkan profesor. Kita mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam, yang mendorong untuk melakukan karya-karya yang mengintegrasikan Barat dan Islam. Pertayaannya, apa yang sudah kita lakukan untuk agama kita? Seberapa besar tenaga dan pikiran yang kita sudah habiskan untuk Islam? Apakah kita sudah puas berjuang untuk Islam dengan standar minimalis? Apakah kita masih berat meninggalkan profesi yang lebih banyak menciptakan kenikmatan dunia? Apakah bekal kita sudah cukup untuk dibawa ke kampung akhirat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berat ini, mari kita simak model lain, yakni dokter Zakir Naik, pendakwah kondang tingkat dunia. Ia merupakan alumnus terbaik dari fakultas kedokteran di kota kelahirannya Mumbay, India. Meski lulus dengan nilai terbaik, ia tidak melanjutkan profesinya sebagai dokter. Jiwanya bergetar dan menangis ketika Ahmad Deedat, gurunya, menyampaikan firman Allah Q.S. Al-Asr: 1-3. “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Surat ini hampir setiap hari kita baca, tetapi mengapa tidak memunculkan hidayah Allah? Sebaliknya, bagi Zakir Naik sangat cukup untuk meninggalkan profesi paling terhormat di kota Mumbay, menuju belajar menjadi pendakwah, dengan segala konsekwensi, tidak ada pemasukkan finansial, sebaliknya mengeluarkan banyak uang, waktu dan tenaga untuk membaca dan berguru pada banyak ahli agama atau ulama.
Keluar dari zona nyaman mungkin mudah kita pikirkan, tetapi mengapa sulit untuk dipraktikkan. Persoalan klasik yang tidak kita disadari, bahwa jiwa yang kita anggap lebih penting dari pikiran dan tubuh, realitanya terbalik. Jujur, kita lebih mengutamakan tubuh dibandingkan jiwa. Perilaku kita untuk membesarkan jiwa, seperti ibadah terutama sedekah, umumnya sedikit sekali dibandingkan kegiatan untuk tubuh dan pikiran. Padahal, menurut Imam Al-Ghazali bahwa jiwa itu habitat kebaikkan, bila habitat itu kecil dan sempit, maka kebaikkan sulit dapat bertahan lama pada diri kita. Mungkin ini penyebabnya, mengapa kebaikkan tidak menjadi kebiasaan kita. Banyak kebaikkan dunia maupun akhirat yang kita tahu kebenarannya, tetapi sulit atau berat kita praktikkan. Ini juga mungkin yang menyebabkan kita sulit keluar dari zona nyaman, dari profesi yang lebih besar dunianya dibandingkan akhiratnya. Bila kita kembali kepada kriteria hidayah Ibnu Qayyim, mungkin kita baru berada pada level 2 (bayan), berupa seruan untuk berdakwah. Diantara kita sudah banyak yang berdakwah, tetapi banyak juga yang belum punya waktu untuk itu. Sampai di sini, penulis ragu, apakah kita benar-benar sudah mendapatkan hidayah taufik dari Allah (level 3), sebuah tingkatan yang harus dilalui sebelum mendapatkan hidayah tertinggi yakni surga. Fenomena keluar dari zona nyaman ala mualaf mungkin sedikit banyak akan mengusik hati dan pikiran kita untuk mencoba, semoga.