Berusaha Sekuat Tenaga, Berserah pada Yang Maha Kuasa
Oleh: Fenty Puspitasari——
Malam itu Christopher Columbus diundang pada sebuah perjamuan akbar di kerajaan Spanyol. Ia akan menerima penghargaan karena telah menemukan dunia baru, yang kelak masyhur disebut Benua Amerika. Columbus tahu bahwa banyak orang meremehkan kerja kerasnya. “Tinggal berlayar saja terus ke barat. Ah semua orang juga bisa melakukannya,” demikian suara-suara mencemoohnya. Columbus lantas maju, ditantangnya semua yang ada di ruang tersebut untuk memberdirikan telur rebus di atas meja. Orang-orang menggelengkan kepala, menganggap tak mungkin telur yang ujungnya lonjong tersebut bisa berdiri.
Dengan tenang, Columbus mengambil telur rebus dan mengetukkan ujung telur hingga sedikit remuk dan rata. Maka terlihatlah di hadapan semua orang, Columbus dapat memberdirikan telur tersebut di atas meja. Hadirin lantas riuh berkomentar, “Kalau hanya demikian, saya juga bisa!”. Columbus tersenyum menang, “Tiap orang dapat melakukannya, namun hanya setelah saya tunjukkan caranya.” Tantangan memberdirikan telur serupa tantangan menemukan dunia baru. Semua orang menganggap tak mungkin di awalnya. Lalu merasa bisa melakukannya, setelah Columbus memberi tahu caranya.
Keberhasilan yang gilang gemilang diterima Christopher Columbus seringkali mengaburkan cerita kerja keras yang sebelumnya ia lakukan. Bertahan pada pelayaran-pelayaran panjang yang berbahaya dengan segala keterbatasan tentu membutuhkan usaha luar biasa. Namun demikian, orang-orang seringkali mengabaikan hal itu dan fokus pada hasilnya saja. Perjuangan Columbus mengingatkan kita tentang arti sebuah usaha atau kerja keras untuk meraih sesuatu yang diinginkan. Dalam Islam kita mengenalnya sebagai ikhtiar. Rasululllah ﷺ bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya. Sungguh, seorang dari kalian pergi mengambil talinya lalu mencari kayu bakar dan dipikulkan ikatan kayu itu di punggungnya. Itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberi maupun tidak memberinya.” (HR. Bukhari). Dari hadist tersebut, nampak bahwa Islam sangat menghargai seseorang yang mau bersusah payah berusaha mencapai tujuannya hingga kelelahan daripada orang yang malas dan dengan mudah meminta-minta pada orang lain. Lelahnya orang-orang yang bekerja akan bernilai ibadah dan tidak akan sia-sia.
Usaha habis-habisan demi mencapai tujuan memang seharusnya dilakukan setiap orang di dunia. Namun perlu diingat bahwa semua usaha tersebut dilakukan sesuai ketentuan Allah. Dalam Surat An Nisa ayat 32, Allah berfirman, “ Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dari ayat tersebut, Allah memberikan karunia kepada hamba-hambanya yang mau bekerja sungguh-sungguh dan menekankan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang dilakukan tiap hamba dalam setiap ikhtiarnya. Kecurangan, tipu muslihat, ataupun mengambil hak orang lain demi mencapai tujuan pribadi tentu tidak akan luput dari pandangan Allah.
Ikhtiar juga sering menimbulkan tanya. Hidup kerap tidak terlihat adil di mata manusia. Misalnya saja berapa banyak di antara kita yang merasa sudah bekerja keras demi hidup lebih layak, tapi hasil belum juga kelihatan di pelupuk mata? Sepotong tulisan sastrawan Seno Gumira Ajidarma sepertinya lengkap menggambarkan kehidupan kita, “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Ya, sepertinya banyak di antara kita yang menjadi pemeran utama dalam tulisan itu. Berangkat bekerja sebelum matahari terbit, pulang sudah malam. Berusaha di jalan yang lurus-lurus saja, pun masih rajin berdoa. Namun demikian mengapa hasil yang diinginkan tak kunjung didapatkan? Mengapa kesusahan masih juga di hadapan?
Islam mengenalkan konsep tawakal di samping ikhtiar. Tawakal berarti menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah di samping kita juga berusaha keras mencapai keinginan dengan cara-cara yang diizinkan Allah. Dalam hadist riwayat Tirmidzi, Rasulullah ﷺ pernah bertemu seorang laki-laki yang meninggalkan untanya begitu saja di masjid tanpa diikat. Kata orang itu, ia sudah bertawakal kepada Allah akan nasib untanya. Rasulullah ﷺ lantas menegurnya, “Ikatlah untamu, kemudian kamu bertawakkal”. Berkaca pada kisah tersebut, penting bagi kita untuk menyerahkan semua urusan pada Sang Pemilik setelah kita mengusahakan yang terbaik. Berikhtiar mengikat unta setelah itu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Bekerja sungguh-sungguh di jalan yang baik, lalu berserah pada Sang Pemilik Rezeki. Mungkin kebebasan finansial yang kita targetkan setelah bekerja habis-habisan puluhan tahun tak juga teraih. Namun bisa jadi, Allah memberikan kesehatan hingga usia senja ditambah keluarga yang harmonis walau tak kaya. Bisa juga kita menggerutu karena mobil pribadi tak pernah terbeli, namun di tengah kursi kendaraan umum kita bisa menikmati perjalanan tanpa diganggu pinjaman online yang mencekik leher para korbannya. Pekerjaan yang terasa jauh dari profesi menjanjikan, seringkali membuat kita gelisah akan hari depan. Bagaimana dengan pensiun di hari tua jika gaji hanya begini-begini saja? Seringkali keluhan itu membuat kita lupa, betapa banyak ratusan orang yang menginginkan menjadi diri kita. Hidup yang kita keluhkan, diam-diam adalah anugerah yang diinginkan orang lain di luar sana.
Berikhtiar juga harusnya dilakukan tanpa menuhankan ikhtiar tersebut. Siti Hajar berlari di antara dua bukit tandus. Dadanya kering tak ada air susu. Ia mengambil pilihan berusaha sepenuh jiwa raga mencari air untuk bayinya. Musa Alaihis Salam benar-benar merasa dirinya kepayahan sebagai manusia pilihan Allah. Sedari kelahirannya, ia harus bersinggungan dengan Firaun, raja kejam yang sekaligus menjadi ayah angkatnya. Lidahnya sampai kelu meyakinkan sang raja tentang keesaan Allah. Jiwanya lelah dengan ancaman bertubi. Badannya sudah pasti mengaduh hingga ia terseok-seok berlari di tengah Laut Merah. Siti Hajar dan Nabi Musa adalah manusia. Mereka pasti ingin segera mendapat hasil dari ikhtiarnya. Mungkin terselip pula tanya mengapa Allah memberikan ujian berat pada mereka. Tapi toh mereka terus berikhtiar sambil memasrahkan semuanya pada Allah Sang Maha Berkehendak.
Allah memberikan hasil ikhtiar Siti Hajar dari dekat kaki bayinya. Air yang dicarinya memancar bukan dari jalan-jalan yang dilalui Siti Hajar. Zam-zam, air yang mulia adalah balasan dari ikhtiar itu. Musa Alaihis Salam juga tak pernah tahu kapan ikhtiarnya membuahkan hasil. Ia yang merasa akan mati di tangan Firaun yang lalim, tiba-tiba menerima perintah memukul tongkatnya ke Laut Merah. Saat itulah Allah menunjukkan hasil dari ikhtiar tak selalu linear dengan usaha hambanya. Serahkan saja pada Allah setelah sebaik-baik kita berusaha.
Apakah Allah akan memberikan hasil terbaik jika kita tidak melakukan ikhtiar? Dalam Surat At Taubah ayat 105 Allah berfirman, “…Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” Allah tidak pernah meremehkan usaha seorang hamba sekecil apapun. Banyak usaha manusia yang dibalas Allah dengan keberhasilan gemilang di dunia. Namun jika kita masih merasa tak juga mendapat keberhasilan atas usaha kita, Allah akan tetap menghitungnya sebagai amal kebaikan kita. Selalu ada balasan atas seremeh apapun usaha. Jika tidak di dunia, kejutan itu akan diterima di akhirat sana.
Penjelajahan Christopher Columbus menemukan dunia baru berawal dari usaha yang dianggap mustahil semua orang. Ia dianggap mencita-citakan hal yang tak mungkin terjadi. Ujian tak berhenti di sana. Bahkan setelah ia berhasil, sekitarnya pun masih meremehkan. Jauh lebih mulia di atasnya, usaha Siti Hajar dan Musa Alaihis Salam hanya berbekal keyakinan bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan kendati secara nalar tak mungkin mereka mendapat keberhasilan. Maka mari bekerja. Berikhtiar dengan segala yang kita punya di jalan yang Allah perbolehkan. Sungguh tugas kita hanyalah melakukan ikhtiar sebaik mungkin. Perkara hasil dan omongan orang, biarkan Allah saja yang mengurusnya.