Sebuah Refleksi Penerapan Sikap Adil Guru-Siswa

Oleh : Ista Maharsi, S.S., M.Hum (Dosen Prodi PBI) —-

Manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri karena manusia tidak akan merasa cukup dengan dirinya. Dengan kondisi demikian, manusia membutuhkan orang lain untuk menggenapi keganjilan dirinya. Dalam hubungan antar manusia ini, pemenuhan kebutuhan yang bersifat saling menguntungkan, saling memberi, dan saling menerima menjadi tak terelakkan. Dalam istilah keilmuan, hubungan ini jamak disebut sebagai kehidupan sosial. Dalam kehidupan sosial ini, keadilan menjadi sebuah nilai yang paling penting dan utama dalam masyarakat.

Dalam Al Qur’an konsep keadilan disebut dalam 28 ayat dan 11 surat, dan kata al-adl memiliki makna lurus serta dianggap semakna dengan adil dan seimbang (Baqiy dikutip dari Sasongko, 2018). Dalam artikelnya, Sasongko (2018) menambahkan bahwa adil menurut Ibnu Khaldun adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Atau dengan kata lain, seseorang melakukan kewajibannya dan mendapatkan hak serta fungsi dan perannya di dalam masyaratakat.

Dengan mengacu pada konsep keadilan Ibnu Khaldun, berbuat adil merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh setiap individu agar kehidupan sosial terjaga. Jika seseorang menjalankan kewajibannya, orang lain akan mendapatkan hak-haknya. Demikian juga berlaku sebaliknya, jika orang melakukan kewajibannya, kita akan mendapatkan hal-hak kita.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَقْسِطُواْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Hujurat: 9)

Dari ayat tersebut, dapat disarikan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil dan Allah perintahkan manusia untuk berbuat adil. Tidak ada batasan kapan dan di mana orang harus berbuat adil, selama seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka di situlah keadilan harus selalu ditegakkan.

Konsep keadilan dapat diterapkan, dimanapun dan kapanpun. Dalam dunia pendidikan, misalnya, seorang guru dan siswa juga dituntut untuk berbuat adil di dalam kelas dan dalam hubungannya dengan apapun yang bersifat akademik. Dalam tulisan singkat ini, berbagai contoh penerapan keadilan seorang guru dan siswa akan dibahas berikut hikmah yang dapat diambil dari berbuat adil.

Kewajiban seorang guru adalah mengajar, menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan ketentuan kurikulum, memberikan latihan-latihan, melaksanakan ujian, memberi umpan balik pada pekerjaan siswa, mengoreksi, memberi nilai, dan mendidik siswa menjadi lulusan yang mumpuni di bidangnya menurut tingkatan pendidikan masing-masing. Sedangkan kewajiban siswa adalah mengikuti proses pembelajaran, mengikuti instruksi yang diberikan guru, mengerjakan latihan, mengerjakan tes dengan jujur, dan menerima hasil ujian.

Dalam pola interaksi guru dan siswa, apa yang menjadi kewajiban siswa adalah hak guru, demikian juga sebaliknya apa yang menjadi kewajiban guru adalah hak siswa. Meskipun terlihat sederhana, berbuat adil di dalam kelas dan dalam interaksi antara guru dan siswa tidaklah mudah. Disiplin, misalnya, menjadi kewajiban baik guru dan siswa. Jika keduanya menerapkan disiplin, keduanya akan mendapatkan hak yang sama. Jika guru masuk kelas tepat waktu, siswa akan mendapatkan hak belajar yang seharusnya. Demikian sebaliknya, jika siswa tepat waktu, guru pun dapat melakukan tugas mengajarnya sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Namun, jika salah satu pihak tidak melakukan kewajiban tersebut, akan ada pihak yang dirugikan. Contoh kasus lain adalah kewajiban guru dalam memberi umpan balik atas kemajuan belajar siswa. Saat umpan balik tidak diberikan, siswa tidak dapat belajar dengan maksimal. Jika siswa tidak mengumpulkan tugas, guru pun tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik.

Dari beberapa contoh di atas, yang paling sering menjadi perdebatan adalah perihal nilai dan perlakuan adil dalam interaksi guru-siswa. Memberi nilai secara adil tidaklah mudah. Seringkali, guru tidak dapat menghindarkan diri dari sifat subjektifitasnya. Subjektifitas itu dapat disebabkan oleh faktor kedekatan dengan siswa, faktor pengalaman sebelumnya, faktor suka tidak suka, dan faktor lain yang seharusnya tidak masuk ke dalam rubrik penilaian. Itulah kenapa saat seorang guru menilai, hendaklah dia fokus pada rubrik penilaian yang telah ditentukan sehingga dapat meminimalkan subjektifitas penilaian. Kesampingkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keadilan dalam memberi nilai. Menghilangkan sama sekali subjektifitas juga tidak mungkin, namun paling tidak subjektifitas dapat diminimalkan. Dalam kasus lain seperti plagiarisme, saat ada siswa yang menggunakan jawaban temannya, guru dituntut untuk bersikap adil. Tentu hal ini butuh pembuktian. Seorang siswa layak diberi hukuman karena melakukan plagiarisme, dan hukuman tersebut harus berlaku untuk siapapun tanpa kecuali. Hukuman pengurangan nilai misalnya harus diberlakukan untuk semua yang melakukan plagiarisme tanpa melihat siapa siswa itu.

Perlakuan adil bagi seluruh siswa dalam hal interaksi pun tidak luput dari bias. Jangan membedakan perlakuan pada siswa yang pandai dengan yang kurang pandai, yang dekat dengan guru dan yang tidak dekat dengan guru, kecuali unsur-unsur tersebut masuk dalam kriteria penilaian standar yang telah disepakati sebelumnya. Jangan memberikan tugas pada siswa yang belum pernah diajarkan sebelumnya. Jangan memberikan penilaian berdasarkan suka tidak suka, jangan bermuka masam pada siswa yang sering absen, jangan membuang muka pada siswa yang pernah melakukan kesalahan cukup serius. Berilah kelonggaran saat siswa benar-benar dalam kesulitan. Berilah bantuan dan bimbingan saat siswa benar-benar membutuhkan pendampingan.

Dari beberap contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa yang wajib dilakukan adalah bersikap adil dan menghindari bersikap tidak adil. Namun, menurut Al-Ghazali, sikap ini saja tidak cukup dalam interaksi masyarakat. Sikap adil perlu diikuti dengan sikap ihsan (melakukan kebaikan untuk orang lain tanpa menuntut balasan) seperti disebut dalam Kitab Ilya Ulumuddin. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sikap ihsan adalah sikap sukarela, bukan wajib. Oleh sebab itu, bentuk sikap keadilan adalah wajib lalu ditambah dengan kerelaan. Hal ini berarti pula bergesernya unsur kewajiban/legalitas menjadi moralitas dan keharusan menjadi kerelaan (Orman, 2018). Dengan kata lain, dalam penerapan keadilan antara guru dan siswa hendaknya bergeser dari wajib berbuat adil menjadi sebuah gerakan moral bahwa apa yang dilakukan itu adalah sebuah tindakan bernilai tinggi, yang awalnya sebuah keharusan menjadi kerelaan. Dengan demikian, sikap adil dapat menjadi sebuah kerelaan oleh siapa saja untuk siapa saja. Tentu saja, semua harus dalam bingkai aturan Islami.

Dalam kitab Minhajul Muslim yang ditulis oleh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi disebutkan bahwa salah satu hikmah dari berbuat adil adalah datangnya ketenangan (Rizqa, 2019). Dikisahkan dalam buku tersebut bahwa utusan kaisar Romawi datang mencari Umar bin Khattab ra untuk melihat lebih dekat kehidupan sahabat Nabi itu. Utusan tersebut mencari dan menemukan Umar bin Khattab sedang tidur beralaskan tanah dan berbantalkan sebuah tongkat kecil. Lalu, utusan itupun berkata bahwa karena umar berbuat adil, dia dapat tidur dengan tenang. Sedangkan raja utusan Romawi tersebut berbuat zalim hingga dia tidak pernah tidur nyenyak. Hikmah dari kisah ini adalah bahwa keadilan akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bagi pelakunya. Secara logika, tentu saja orang yang berbuat adil tidak akan terbebani oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh orang lain.

Sebagai penutup, sebuah ayat dalam Al Qur’an dapat kita jadikan renungan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Maidah: 8).

Wallahua’lam bisshowab.

Referensi

Orman, S. (2018). Al-Ghazâlî on Justice and Social Justice. Turkish Journal of Islamic Economics, 5(2), 1–66. https://doi.org/10.26414/m020

Rizqa, H. (2019). Adil Berbuah Ketenangan. Retrieved April 14, 2020, from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/pramwa458/adil-berbuah-ketenangan

Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Al-Mu’’jam al-Mufahras Li Alfaz. dalam Sasongko, A. (2018). Berbuat Adil | Republika Online. Republika Online. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/09/18/pf8y57313-berbuat-adil