Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya, benarkah?

Oleh : Ista Maharsi, S.S., M.Hum

Pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” sudah sering kita dengar dan jamak dipakai untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku, dan pola pikir antara orang tua dengan anak-anak mereka. Namun, benarkah demikian? Dua kisah di bawah ini dapat membantu menjelaskan benar tidaknya pepatah tersebut.

Kisah 1

Di sebuah siang yang terik, di antara kerumunan anak-anak SD yang baru saja usai sekolah dan para orang tua yang didominasi ibu-ibu, ada seorang anak, sebut saja Rayyan, minta dibelikan jajan dengan cara berteriak kepada ibunya. Lalu sang ibu pun merespon dengan nada tinggi dan tatapan sedikit marah sambil mengatakan bahwa Rayyan tidak boleh jajan lagi. Rayyan tetap merengek minta jajan dengan nada yang bahkan lebi tinggi dari sebelumnya. Dengan cepat si ibu menarik tangan si anak sambil terus memarahi anaknya tentang larangan jajan itu. Drama pun berlanjut sampai mereka menghilang di dalam mobil yang melaju pelan meninggalkan sekolah.

Kisah 2

Di sebuah siang di sekolah lain, Affan, yang berumur 8 tahun merajuk ibunya agar dibelikan sepeda baru seperti kepunyaan temannya. Si ibu menjelaskan kepada Affan sambil menuntun Affan duduk di sebuah kursi. Si ibu pelahan menjelaskan bahwa sepeda Affan masih dalam kondisi baik dan masih sangat layak dipakai. . Si ibu menambahkan bahwa banyak teman Affan yang bahkan tidak punya sepeda, jadi Affan harus bersyukur karena mempunyai sepeda yang masih bagus. Affan tak bergeming. Si ibu pun akhirnya mengatakan bahwa Affan bisa mendapatkan sepeda baru tapi dengan beberapa syarat. Sambil menggandeng Affan menuju motor mereka di tempat parkir, si ibu melanjutkan penjelasannya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan Affan: 1) Affan menyisihkan sebagian uang jajan sampai terkumpul dua ratus ribu rupiah. Si ibu berjanji akan membelikan celengan untuk uang jajan yang disisihkan tersebut; 2) Sholat Affan tidak boleh bolong-bolong. Affan terdiam tapi akhirnya menyetujuinya.

Pada kasus 1, dapat diasumsikan bahwa Rayyan kemungkinan meniru apa yang dilakukan si ibu saat meminta sesuatu atau memberi respon terhadap sesuatu. Teriakan dan nada tinggi mungkin sudah diperlihatkan si ibu sejak Rayyan kecil. Kemudian, sikap si ibu yang menarik tangan Rayyan sambil terus menerus memarahi dapat diasumsikan oleh Rayyan sebagai contoh bentuk kekerasan yang diperbolehkan.

Sementara pada kasus 2, si ibu melakukan negosiasi dan diskusi. Nada bicara yang lembut dan sikap pada saat bicara juga menunjukkan bahwa perbedaan pendapat dapat dilakukan dengan cara baik, tanpa berteriak dan marah-marah. Bisa dibayangkan kan bagaimana reaksi si ibu jika Rayyan yang minta dibelikan sepeda baru, bukan sekedar jajan?

Seorang anak belajar kekerasan dari apa yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang-orang di sekitarnya. Cara memberi pelajaran kepada anak tentang larangan melakukan kekerasan dilakukan tidak hanya dengan memberitahukan kepada mereka tentang larangan tersebut tetapi lebih kepada memperlihatkan bagaimana bersikap dan bertingkah laku dengan baik dan tanpa kekerasan (Heflick, 2011). Dengan demikian, jelas bahwa perilaku orang tua akan cenderung ditiru oleh anak-anak mereka. Dengan kata lain, jika seorang anak melakukan tindakan-tindakan seperti memerintah dengan berteriak, marah-marah, memukul saat emosi, merusak barang, dan perilaku-perilaku agresif lainnya, kemungkinan besar perilaku tersebut dipengaruhi oleh perilaku orang tuanya yang sering disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, bagaimana dengan perintah Allah di dalam Al-Quran Surat Luqman Ayat 14 tentang kewajiban anak berbuat baik kepada orang tuanya?

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1]. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman : 14).

Apakah anak yang dibesarkan dengan berbagai kekerasan dalam rumah dapat dan tetap wajib mengasihi dan menyayangi orang tuanya?

Di sinilah hubungan antara pengetahuan orang tua tentang keasadaran pentingnya pendidikan dan pola asuh terhadap anak. Pengetahuan orang tua tentang bagaimana cara mendidik dan membesarkan anak menjadi dasar pola asuh anak. Orang tua yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan luas serta berpikiran terbuka cenderung lebih baik dalam mendidik anak. Sebaliknya, orang tua yang pengetahuannya terbatas dan tidak memiliki pola pikir terbuka cenderung lebih meyakini dan mempraktikkan pola asuh yang diberikan orang tua mereka dulu waktu masih kecil. Padahal belum tentu itu benar dan bahwa kondisi perkembangan lingkungan sekitar sudah sangat berbeda.

Ayat tersebut jelas memerintahkan setiap anak untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya tanpa syarat. Jadi, meskipun seorang anak mungkin diperlakukan tidak baik oleh ibu bapaknya, sang anak tetap wajib berbuat baik kepada mereka. Allah telah memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua terutama ibu yang telah mengandung, merawat, dan membesarkannya.

Lalu, bagaimana dengan pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”? Pepatah tersebut bisa benar, bisa juga salah. Jika seorang anak dibesarkan di dalam lingkungan dengan kekerasan namun dia mendapatkan pendidikan yang baik dan terbuka wawasannya, dia bisa saja melakukan berbagai perubahan pola pikir dan pola asuh untuk anaknya kelak. Sedangkan anak yang tumbuh dengan penuh kasih sayang, yang secara teori dia akan membesarkan anak-anak mereka kelak dengan kasih sayang pula, masih mungkin dapat salah arah jika di kemudian hari mereka mengalami pengalaman traumatis dalam hidupnya.

Benar bahwa sikap dan perilaku anak tidak selalu seperti orang tuanya. Pendidikan, keterbukaan pikiran, dan lingkungan dapat mengubah seseorang. Seorang anak wajib hukumnya berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun orang tuanya pernah melakukan tindakan kekerasan kepadanya. Buah memang tak selalu jatuh di dekat pohonnya, tetapi buah tak kan pernah ada tanpa kasih sayang pohonnya.

 

Referensi

Heflick, N. A., (2011). Children Learn Aggression from Parents. Psychology Today. Retrieved on 11 May 2019 from https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-big-questions/201111/children-learn-aggression-parents