The 5th CCCMS Kaji Komunikasi Ruang dan Lingkungan
Komunikasi merupakan instrumen penting dalam dialektika ruang dan masalah lingkungan hidup manusia yang saat ini masih menjadi masalah utama. Hampir dua dekade ketika manusia modern memulai perjalanan mereka di abad ke-21, ratusan tahun setelah meninggalkan tahap ‘nomad’, manusia masih terjalin dalam masalah; bagaimana membuat bumi nyaman untuk ditinggali. Oleh karena itu, untuk membahasnya Prodi Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) mengangkat tema ‘Communicating Space And Environment /Komunikasi Ruang dan Lingkungan’ pada kegiatan The 5th Conference on Communication, Culture and Media Studies (CCCMS), 8-10 Sya’ban 1440 H/14-16 April 2019 di Gedung Soekiman Wijosandjojo (FPSB UII) dengan menghadirkan Prof. Libby Lester dari University of Tasmania dan Kati Lindström asal KTH Royal Institute of Technology, Swedia sebagai keynote speakers.
Kati Lindström dalam paparannya tentang Landscape Semiotics berpendapat bahwa komunikasi lingkungan perlu memperhatikan nilai-nilai yang dibangun secara semiotika dan perkembangan historis bentang alam yang dilindungi, jika keberhasilannya adalah jangka panjang.
“Over-representation of certain attractive landscapes in public communication is as perilous as under-representation, leading to overprotection of certain landscapes and lack of protection for other, less prestigious landscapes or species. Over-representation of certain attractive landscapes in public communication is as perilous as under-representation, leading to overprotection of certain landscapes and lack of protection for other, less prestigious landscapes or species. As an example, I will bring biodiversity communication in Japan. Japan is an active player in international biodiversity politics and has ambitious domestic biodiversity targets. Government considers environmental communication crucial for reaching these, launching many different campaigns such as Satoyama Initiative or Biodiversity Mascot campaign. Employing well-established stylistic devices (court culture, Japanese cute), prestigious meta-narratives (Japanese as nature people) and established institutional systems of tourism and governance, the used frames have reached huge popularity. Yet awareness surveys show that people continue to consider biodiversity a matter of governmental policy rather than individual life style”, ungkapnya.
Selain menghadirkan 2 keynotes speakers tersebut, panitia juga menghadirkan Dr. Riin Magnus & Dr. Nelly Maekivi-University of Tartu Estonia untuk ikut menyampaikan materi tentang ecosemiotics. Sedangkan pada sesi paralel setidaknya ada sekitar 61 presenter yang berasal dari dalam dan luar negeri yang ikut mempresentasikan karya ilmiahnya.